Minggu, 22 Desember 2019

EKSEKUSI MATI

EKSEKUSI MATI
Oleh Lily N. D. Madjid



Kejam. Sungguh kejam mereka. Dikurungnya kami berhari-hari, dengan hanya diberi makan seadanya. Itupun hanya sehari sekali. Padahal apa salah kami hingga mereka memperlakukan kami seperti ini?

Lihatlah mereka. Setelah memperlakukan kami seperti ini, mereka masih dapat bernyanyi-nyanyi dengan riangnya.

Potong bebek angsa
Masak dikuali
Nona minta dansa
Dansa empat kali... 

Aaaargh! Aku benci lagu itu. Aku benci mereka yang berwajah tanpa dosa setelah berbuat seenaknya pada kami. Di mana hati nurani mereka? Sungguh aku ingin menjerit, memaki, mencaci mereka tanpa henti.

"Sabar, sayang. Mungkin ini semua ujian bagi kita." Suamiku memberikan penghiburan. Ah, lelakiku yang tabah dan penyabar. Untunglah aku masih memilikinya. Setelah satu persatu keluargaku mereka renggut. Jika ia tidak ada di sisiku untuk menenangkan, entah apa jadinya aku. Mungkin aku sudah lama kehilangan kewarasan.

"Aku tak kuat lagi, Bang."

"Sabar, Sayang, sabar... "

"Bagaimana kalau kita mencoba lari dari sini?"

"Sayang. Aku ... Aku tidak yakin. Tidak semudah itu bisa lari dari mereka. Lihatlah, kita berdua berada dalam penjara, lagi pula... "

"Jika kita tetap di sini, itu berarti kita menyerahkan diri pada kematian, Bang! Kau ingat bagaimana mereka membantai ayah, ibuku, ibumu, bahkan anak kita...  Anak kita, huhuhuhuhu...  Aku tak kuat lagi, Bang. Aku ingin pergiii.... "

"Sayang,"

"Tidak. Aku tak ingin bertahan, jika itu yang akan Abang katakan!" teriakku putus asa. Kudorong sekuat tenaga pintu penjara yang mengurung kami berdua.

"Sayang, penjara ini tak mungkin kita tembus."

"Aku tak peduli jika Abang sudah menyerah. Tapi aku tidak. Aku akan terus berusaha." ketusku.

Suamiku terlihat termenung. Lalu kemudian, dia ikut membantu mendorong pintu jeruji ini sekuat tenaga. Terlihat bodoh memang. Tetapi bukankah kita harus terus berusaha?

"Hei! Kalian berdua! Mau mencoba kabur ya?" Satu suara mengejutkanku. Celaka, kami ketahuan. Dan, oh tidak! Dia memanggil teman-temannya.

"Lihat mereka berdua. Mereka mencoba keluar dari sini. Hahaha...  Lucu sekali."

Gerombolan itu mengelilingi kami, menertawai kami seolah kami mahluk bodoh. Padahal kami hanya ingin mempertahankan diri, ingin mencoba bertahan hidup.

"Ambil satu. Kita eksekusi sekarang juga!" kata seseorang. Oh, tidak.

"Kau menjauh sayang, biar aku yang menghadapi mereka." kata suamiku. Airmataku bercucuran.

Kulihat suamiku menghadang mereka. Tapi apalah daya, dia hanya sendiri. Mereka memegangnya bersama-sama. Mengunci tubuhnya dalam sekali renggut.

"Abaaang!" Jeritku histeris. Melihat mereka membuat suamiku tak berdaya.

"Ambil senjataku!" teriak seseorang.

Ya Tuhan. Aku tak kuat lagi. Lihat mereka...  Aaargh! Tidaaaak...  Mereka, mereka menggorok lehernya. Di depan mataku. Dasar manusia-manusia laknat! Sekarang mereka bahkan menyiramnya dengan air panas. Keji. Aku tak ingin melihat lagi. Aku tak sanggup melihat lagi.

Kututup mataku yang bercucuran air mata. Ah, Abang. Sepertinya sebentar lagi aku kehilangan kewarasanku.

TRAK!
TRAK!

Aku mengintip ke arah datangnya suara. Di sana mereka sedang mencincang tubuh telanjang suamiku. Gila! Mereka membelah perut dan mengeluarkan isinya. Mencincangnya menjadi potongan-potongan kecil dan memercikinya dengan perasan lemon.

Dapatkah kau bayangkan pedihnya? Aku tidak. Sebab aku sudah kehilangan kesadaranku saat seseorang berteriak keras.

"Bebeknya sudah siap, mana bumbu rica-ricanya?" Orang itu membawa potongan-potongan tubuh suamiku sambil bersenandung riang.

Potong bebek angsa
Masak dikuali
Nona minta dansa
Dansa empat kali...

Jumat, 20 Desember 2019

BINTANG KECIL

BINTANG KECIL
Oleh Lily N. D. Madjid


Malam ini cerah sekali, walau bulan hanya sebentuk sabit. Langit bersih. Bintang-bintang bertaburan di langit. Aku suka suasana seperti ini. Aku suka memandang taburan bintang di langit sana, seperti taburan permata di tiara milik mama. Aku suka membayangkan diriku duduk di lengkungan bulan sabit itu.

Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada

Kusenandungkan lagu kesukaanku.  Dulu, mama yang mengajariku lagu itu. Kugumamkan berulang-ulang. Kuayunkan dua kaki seiring larik-larik lagu yang keluar dari bibirku. Ayunan yang kududuki melambung semakin tinggi dan ssemakin tinggi. Biasanya, jika kunyanyikan lagu itu, mama akan ikut bernyanyi bersamaku. Ia bernyanyi sambil memelukku dan kami memandang ke arah langit berdua.

Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada

Tetapi kini tak ada  lagi mama. Dia telah tiada. Kutemukan ia dengan belati menancap di dada, suatu hari, sepulangku dari sekolah. Darah membasahi seluruh tubuhnya. Aku menjerit-jerit mamanggilnya. Tetapi dia diam saja. Hanya matanya saja yang terbuka, menatap ke langit sana. Mungkinkah mama menatap bintang kesayangan kami? Tetapi di siang hari tak ada bintang yang bertaburan, bukan?

Lalu nenek dan kakek membawaku ke sini. Ke desa tempat mereka tinggal. Kata mereka aku tak mungkin tinggal sendiri setelah mama pergi, dan papa mendekam di balik jeruji. Aku pun berpikir begitu. Terlalu menyedihkan kenangan yang tertinggal di rumah itu. Sampai sekarang aku bahkan tak tahu, apa yang membuat papa tega menyarangkan belatinya di dada mama. Bukankah selama ini mereka saling mencinta?

Di desa ini aku lebih tenang. Tak ada lagi mimpi buruk tentang kematian mama dalam tidurku. Apalagi di desa kecil ini, langitnya selalu lebih indah di malam hari. Seperti malam ini. Kau lihat? Bintang bertaburan di atas sana. Gemerlap tak terkira. Apakah mama ada di sana? Duduk di antara lengkung bulan sabit, menikmati kilauannya?

Kupejamkan mata. Membayangkan mama dengan senyumnya. Dengan suara merdunya. Kuhapus bayanganku tentang mama di saat terakhir aku melihatnya. Ya. Akan kuhapus saja. Hanya yang terindah saja tentang mama yang boleh tersisa dalam kenangan di kepala. Juga dalam dada.

Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada

Udara terasa dingin menggigit. Kuusap tengkukku yang meremang. Sejenak aku terdiam. Ada yang ikut bersenandung di sana. Entah di mana. Lirih suaranya mengalun lembut. Kutajakan pendengaran, juga mencari dari mana suara itu berasal.

Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada

Ah, di sana. Di bawah rerimbun pohon angsana, kulihat sebuah siluet berdiri tegak menghadap ke arahku. Mataku terpicing. Bayangan itu seperti sosok tak asing. Dan senandungnya yang mengiringi gumam laguku, bukankah suara yang begitu kukenal?

Bukankah itu … Mama?

D I A N D R A

D i a n d r a
Oleh Lily N. D. Madjid


Diandra berlari secepat kaki kecilnya mampu membawanya menjauh. Tetapi luka dikaki menghambatnya untuk bergerak cepat. Sementara paman mata satu yang mengejarnya semakin mendekat.

Diandra menyesal, tadi kakek dan nenek sudah melarangnya bermain jauh dari rumah. Tetapi suasana desa ini terlalu menarik untuk dilewatkan. Jiwa petualang dalam diri Diandra memberontak tak ingin dikekang.

Di mata Diandra,desa ini begitu menarik. Bukan hanya keindahan yang memukau. Menemukan kenyataan bahwa tak dilihatnya anak seusia dirinya di sana membuatnya bertanya-tanya. Gadis kecil sembilan tahun itu penasaran. Ke mana mereka? Dalam keasyikannya, ia lupa pada larangan kakek dan neneknya.

*****

Saat ini Diandra masih berusaha berlari walau kakinya sudah sangat letih. Nafasnya tersengal. Ia tak kuat lagi, tetapi paman berwajah menakutkan itu masih mengejar di belakangnya. Dia tertawa-tawa gembira. Berteriak-teriak pada Diandra.

"Jangan lari cicak kecilku. Kemarilah... Hahahahaha... "

Diandra mempercepat ayunan langkahnya sambil menggigit bibirnya kuat-kuat menahan nyeri di kakinya.

"Kakeeek... Neneeek... Tolong Andra. Tuhaaan, jauhkan orang itu dari Andra." Mulut Diandra komat-kamit di antara deru nafas paniknya.

****

Awalnya, saat sedang berjalan menyusuri jalan desa yang mengarah ke hutan kecil tadi, Diandra melihat sebuah rumah kecil. Dari dalamnya terdengar suara seseorang bernyanyi riang.

Cicak-cicak di dinding
Diam diam merayap
Datang seekor nyamuk
Hap ... lalu ditangkap

Diandra mendekat karena penasaran. Pintu rumah kayu itu tertutup rapat. Jendela-jendelanya berteralis kayu. Ia semakin mendekat, melongokkan kepalanya di ambang jendela. Mata Diandra terbelalak melihat pemandangan di depannya. Di sana berjajar tubuh anak-anak seusia dirinya, telah menjelma mummi  tanpa kain membalut. Wajah mereka yang sudah mengkerut seperti menampakkan ketakutan yang teramat sangat. Bertolak belakang dengan wajah paman bermata satu di dekatnya yang terus saja bernyanyi dengan keriangan yang berlebihan.

Saking terkejutnya, Diandra lupa. Ia berteriak ngeri, membuat paman itu mengethui keberadaan Diandra. Ia marah. Mengejar Diandra yang berlari menghindar. Kepanikan dikejar oleh lelaki bertampang mengerikan  membuat Diandra tak memperhatikan langkahnya. Kakinya luka entah terkena apa. Diandra tak menghiraukan. Ia hanya ingin menyelamatkan diri. Tetapi langkahnya malah membawanya masuk ke dalam hutan.

****

Diandra diam menahan nafasnya, juga menahan sakit di kakinya. Ia menyurukkan diri ke sebuah lubang di tengah pohon besar. Hanya itu persembunyian yang dapat ia temukan. Suara paman bermata satu masih terdengar. Bersenandung dengan riang.

Cicak-cicak di dinding
Diam diam merayap
Datang seekor nyamuk
….

Lalu sunyi.

Diandra menajamkan telinganya. Tak ada lagi suara. Apakah Paman mata satu itu telah pergi? Diandra ingin memeriksa, tetapi ketakutan masih menyekapnya.

Entah berapa lama dia meringkuk di sana. Hingga kesunyian melingkupinya. Diandra mengangkat wajah. Ia mencoba melangkah dari dalam lubang persembunyiannya.

“Hap! Kamu kutangkap, Cicak Kecil!” Suara serak menyeramkan terdengar di sisi telinga Diandra. Ia masih sempat berteriak, sebelum sebuah pukulan membuat dunianya gelap.

**** **** ****

Di rumah, kakek dan nenek panik kehilangan Diandra. Hingga beberapa  waktu kemudian, seorang lelaki  melintas di depan rumah mereka.

“Ada apa, Pak Ramdan?”

“Cucuku menghilang, Pak lurah.”

Pak lurah memberikan simpatinya. Menenangkan kakek dan berjanji akan mengerahkan warga untuk mencari Diandra. Setelah itu ia melangkah pergi. Sebuah senyum simpul terukir di bibirnya. Matanya yang hanya sebelah memancarkan gairah.

P E N U N G G U

PENUNGGU
Oleh Lily N. D. Madjid


Hari ini adalah hari pertamaku tinggal di rumah baru, di kota yang juga baru. Aku baru saja dimutasi ke kota  ini. Saat pindah, kuboyong serta keluarga kecilku. Amarylis, istriku, tidak mengeluh. Dia dengan lapang dada menerima kepindahan kami ke kota kecil ini. Begitu juga Sakti, putra semata wayang kami yang masih berusia balita. Dia malah terlihat antusias sekali.

“Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku….”

Aku menggeliat. Suara nyanyian kecil Sakti menyusup ke gendang telingaku. Ah, sudah bangun rupanya bocah itu. Kucoba memicingkan mataku yang masih terasa berat. Bocah kecil itu masih meringkuk di sudut kasur kami. Tetapi matanya sudah terbuka lebar. Mulut kecilnya bersenandung tanpa henti.

“Papa,” sapanya setelah menyadari aku memandangnya. “Papa, aku mau mandi.” Sakti bangkit dan mendekat. Aku kembali menggeliat.

“Sama mama, ya?”

“Mamanya mana?”

“Coba Sakti cari mama di dapur,” kataku sambil kembali memejamkan mata. Sungguh aku masih mengantuk. Kegiatan pindahan kemarin sangat menguras tenaga. Sakti turun dari tempat tidur, lalu menghilang di balik pintu kamar.

“Mamaaa … Mama, aku mau mandi!” teriak bocah kecil itu. Tidak lama kudengar suara siraman air di kamar mandi, ditingkahi senandung Sakti bernyanyi.

Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku….”

*****

Aku baru saja akan kembali terlelap saat kusadari satu sosok berdiri di ambang pintu kamar. Amarylis. Ia memandangiku sambil tersenyum.

“Sakti mandi sendiri?” Tanyaku. Ia mengangguk lalu melangkah mendekat. Anggun sekali caranya berjalan. Di sisi pembaringan dia berdiri memandangiku lekat. Masih dengan senyum yang mengembang.

“Kenapa?” tanyaku. Tidak biasanya dia bersikap malu-malu seperti itu. Amaryllis hanya menggeleng. “Sini, temani aku di sini.” Istriku mendekat. Memelukku erat sambil mengecup dua pipiku. Matanya yang berbinar menatapku lekat. Aku balas mendekap dan menciumi wajahnya. Tubuhnya.

“Mmm … Kamu pakai parfum baru, ya?” gumamku. Rasanya sebelumnya Amarylis tak pernah memakai parfum beraroma lembut melati seperti ini.” Dia tak menjawab. Hanya tersenyum. Semakin gemas aku dibuatnya. Tapi aktivitasku terganggu oleh suara berkelontang keras dari arah kamar mandi. Aku terlonjak kaget.

“Sakti …” Aku dan istriku saling pandang.

Bergegas aku berlari ke arah kamar mandi. Jangan-jangan anak itu terpeleset. Kamar mandinya memang belum sempat kubersihkan sejak kami datang kemarin. Lantainya masih licin berlumut.

“Mas! Mas Arshaka! Tolong, ini Sakti jatuh…” Aku tertegun. Itu suara teriakan Amarylis. Tapi kenapa suaranya berasal dari dapur?

Diambang pintu kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, kulihat amarylis sedang memangku Sakti yang menggigil pucat.

“Amy,” desisku. “Bukannya kamu tadi … kita …” aku tergagap.

“Apa sih, Mas? Ini bantu anaknya!”

Walau jantungku berdebar keras, kuabaikan dulu untuk segera menolong Sakti.

“Papa, papa … “

“Sakti kenapa?”

“Sakti takut, Papa …” bisik sakti sambil melirik ke arah kamar mandi. Dia masih gemetar.

“Takut apa?” tanyaku dan istriku bersamaan.

“Nenek itu marah. Dia nggak suka dengar Sakti nyanyi lagu Bangun Tidur …”

“Nenek? Nenek Siapa?” aku dan istriku saling pandang.

“Nenek muka seram yang ada di kamar mandi. Dia galak, nggak seperti tante baik hati di kamar kita.” Katanya.

Kurasa kepalaku pening tiba-tiba.

Kamis, 19 Desember 2019

GIRI DAN JATI

Giri dan Jati
Cerpen Lily N. D. Madjid



Giri melangkah gontai, menyusuri lorong-lorong  pasar yang sepi. Toko-toko sudah tutup. Ternyata tidak mudah menjadi pemulung. Setiap pemulung sudah memiliki daerah operasi sendiri. Giri yang baru kali ini turun ke pasar berkali-kali ditegur. Mulai dari teguran pelan hingga bentakan kasar.

Begitupun dengan tempat bermalam. Tidak semua emper toko bisa dijadikan tempat melepas lelah. Empat kali Giri diusir saat merebahkan diri melepaskan penatnya. Ternyata hidup di jalan tidak semudah yang Giri bayangkan.

*****

“Kamu anak baru?”

Giri terlonjak. Dia baru saja merebahkan diri di sudut  terdalam pasar. Tempatnya sepi. Giri tidak melihat sesiapa di sana tadi.

“Ya.” Gumam Giri setelah reda dari keterkejutannya. Seorang anak duduk di bagian tergelap.

“Dari mana?”

“Aku lari dari rumah.”

“Lari?”

“Ayah tiriku pengangguran kejam. Aku tak tahan disiksa.”

“Hmmm …”

Giri memicingkan matanya. Tetapi malam mengaburkan pandangan Giri. Hanya siluet anak itu yang terlihat.

“Kamu sudah lama di sini?”

Tak ada jawaban. Samar-samar Giri melihat anggukannya.

“Namamu siapa?”

“Jati.”

“Aku Giri.” Giri mengenalkan diri. “Mudah-mudahan kamu tidak mengusirku. Aku tak kuat lagi jika harus mencari tempat lain untuk bermalam.”

“Kamu mau tidur di sini?”

“Kamu keberatan?”

“Tidak. Aku senang. Tapi tempat ini sepi sekali. Siang hari pun orang tak kemari.”

“Kenapa?”

“Kamu tidak tahu?”

“Apa?”

“Ah, ya. Kamu pendatang baru.”

“Memangnya kenapa?” Giri penasaran. Jati tak langsung menjawab. “Jati? Ayo ceritakan.”

“Nanti kamu takut mendengarnya.”

“Aku pemberani. Makanya kuputuskan meninggalkan rumah.”

“Tidak. Kamu takut pada ayah tirimu, makanya kamu lari dari rumah.” Jati terkekeh. Giri mendengus.

“Ceritakan saja. Kenapa orang-orang tak pernah lagi datang kemari.”

“Orang-orang tak berani datang kemari. Sejak … ditemukan mayat korban mutilasi di lorong ini. Hanya potongan-potongan tubuhnya saja. Kepalanya tak pernah ditemukan.”

“Ka … kapan kejadiannya?” Suara Giri bergetar.

“Sudah lama. Tapi orang-orang tak mau lagi menginjak tempat ini. Toko-tokonya saja sudah lama tutup.” Kata Jati pelan. “Hei, kamu ketakutan, ‘kan?” katanya lagi. Lalu dia terkekeh pelan.

“Tidak. Aku Cuma lelah. Aku mau tidur.” Giri berkelit. Dia rebah di lantai yang dingin. Meringkuk seperti bayi agar tak kedinginan. “Kamu belum mengantuk?” tanyanya. Jati tidak menjawab. Giri malah mendengarnya bersenandung pelan.

Topi saya bundar,
Bundar topi saya
Kalau tidak bundar
Bukan topi saya

“Kenapa kamu tidak bergeser ke sini? Di situ gelap sekali.” Giri menguap. Dilihatnya Jati mendekat. Kini Giri bisa melihat lebih jelas lagi sosok Jati. Anak itu tinggi sekali. Rambutnya ikal. Kulitnya putih pucat. Atau karena penerangan yang tak memadai, maka ia terlihat pucat? Di kepalanya terlihat bertengger sebuah topi fedora berwarna putih.

“Topimu  bagus,” gumam Giri.

“Oya? aku malah tidak menyukainya. Kamu boleh ambil kalau kamu mau.” Jati memutar-mutar topi di kepalanya. “Topi ini milik lelaki itu. Aku ambil.”

“Lelaki itu?”

“Iya. Lelaki penculik yang membunuhku. Aku sempat menariknya sebelum dia menggorok leherku.” Kata Jati pelan. Giri ternganga mendengarnya. Apalagi saat dilihatnya Jati melepas topinya dan mengulurkannya pada Giri. “Ini untukmu saja.” Kepala Jati masih menempel pada topi yang kini menggeletak di lantai dekat Giri berbaring. Mulut di kepala itu bersenandung pelan.

Topi saya bundar,
Bundar topi saya
Kalau tidak bundar
Bukan topi saya

Rabu, 11 Desember 2019

TENGAH MALAM




TENGAH MALAM
Oleh Lily N. D. Madjid


Adri terjaga. Suara riuh tawa di ruang sebelah membuyarkan mimpinya.

"Ck! Kebangetan! Tengah malam begini ngakak nggak pakai peredam," gerutu Adri, menyusupkan kepalanya di antara bantal.

Suara tawa itu masih sanggup menembus gendang telinganya. Adri bangkit. Dia melangkah dengan malas ke arah pintu kamar yang tepat berhadapan dengan ruang santai kos-kosan. Dari sanalah suara tawa itu membahana.

CEKLEKK!

Diputarnya kunci kamar. Mereka yang tertawa terbahak semakin ramai. Pintu terbuka.

"Guys! Tolong... "

Adri terpana. Ruangan itu sepi tanpa sesiapa. Diingatnya tadi pagi Bima pamit mudik. Juga Andromeda dan Segara, mereka tak ada di rumah.

Jadi? Siapa yang tadi tertawa?

TERUSIR



TERUSIR
Oleh Lily N. D. Madjid

TRING!
Satu pesan masuk. Dari nomor dengan foto profil perempuan berwajah cerah.
[Kamu saya kick dari kosan]
[Bukos? Apa salahku?]
[Selalu nunggak iuran. Jarang setor tulisan. Tak pernah krisan tulisan penghuni lainnya!]
[Tapi... Saya rajin baca semua tulisan, Bukos.]
[Ini grup nulis! Pokoknya, kamu keluar!]
[Tolong beri kesempatan ke dua. Please!]
Tak ada balasan. Hanya notifikasi dari WAG menulis yang kuikuti, katanya admin telah mengeluarkanku.
***
"Bun, kok tidur?"
Aku tersentak saat anakku menepuk bahuku pelan. Kupandangi layar monitor di hadapanku. Menampilkan lembar kosong MSWord. Kulirik sudut layar, 20.50 WIB. Oh, tidak! Aku belum setor FFF hari ke sembilan!

BANTUAN




B A N T U A N
Oleh Lily N. D. Madjid

Bima tersentak saat Adri mendadak memasuki kamarnya.
“Gawat, Bim!”
“Gawat?”
Bokap marah-marah. Dia mau gue bawa calon istri di ultahnya ke 60.”
“Begitu? Santailah.”
Gimana bisa? Ultah bokap lusa. Lu kan tahu, gue jomblo merana …”
Waduh? Dadakan gitu?”
“Gue terancam dicoret dari daftar ahli waris kalo nggak bisa menuhin permintaannya!
“Tenang. Gue bantu.”
Lu bisa cariin?”
“Aman, Bro.” Bima mengedipkan matanya, tersenyum lebar.
***
Adri selesai mematut diri saat terdengar ketukan di pintu kamarnya. Seseorang berwajah cantik tersenyum manis saat pintu dibuka.
Lu udah siap, Bro?” Sapanya. Adri yang tadi sempat terpana, kini ternganga.
Astaga! Ini elu, Bim?”

Minggu, 08 Desember 2019

J A N I

J A N I
Cerpen Lily N. D. Madjid
Jumlah kata: 1521


 “Jani mau pergi aja!”

 BRAKKK!

Jani meninggalkan rumahnya setelah dia membanting pintu. Wajahnya ditekuk. Ya, Jani sedang sangat kesal. Ia kesal pada mama.

“Mama menyebalkan! Pilih kasih!” Gerutunya. Dihentakkan kakinya ke lantai sambil terus berjalan. Dia biarkan saja kaki itu membawanya tanpa tahu akan ke mana.

Akhirnya Jani tiba di tanah lapang. Sepi. Biasanya di sana ramai dengan anak-anak yang bermain. Tapi siang ini sepertinya mereka lebih memilih berada di rumah masing-masing.  Wajar saja, cuaca sangat panas. Matahari pun bersinar sangat terik.

Tapi Jani sedang tidak ingin di rumah. Di sana Mama selalu menyuruhnya ini dan itu. Menyuruh mengambilkan  popok Juna, mengambilkan botol susu Juna, menyuruhnya agar jangan mengganggu Juna, jangan berisik, Juna sedang tidur, jangan mengganggu mama, dan lain-lain. Pokoknya di rumah menyebalkan.

Sekarang, Jani duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya di bangku taman di tepi tanah lapang. Sebenarnya Jani bingung akan ke mana setelah ini. Teman-teman tak satu pun yang terlihat. Kembali ke rumah? Ih! Jani kan tadi sudah bilang mau pergi saja. Mau minggat, biar saja Mama tahu rasa. Coba, apa Mama bakal sedih kalau kehilangan Jani?

“Jani!”

Satu suara yang sangat Jani kenal memanggil. Jani menoleh. Di tepi jalan, seseorang duduk di atas jok motor sambil melambai. Jani tersenyum lebar. Kekesalannya pada mama sejenak terlupakan.

“Paman!” Serunya sambil berlari ke arah orang itu. Rupanya itu Paman Aril, adik bungsu mama. Paman Aril tersenyum, membantangkan tangannya lebar-lebar menyambut Jani.

“Wah, kesayangan paman kok di sini sendirian? Sedang apa? Pulang yuk.”

“Gak mau! Jani lagi sebal sama mama. Jani gak mau pulang!”

“Lho, kok bisa sebal sama mama?”

Jani pun menceritakan penyebab kekesalannya. Paman Aril tertawa kecil. Ia mengacak-acak rambut Jani dengan gemas.

“Kalau begitu, kita jalan-jalan, yuk,” ajak Paman. Ia membantu Jani naik ke motor. “Pegangan kuat-kuat. Peluk paman.”

Motor yang dikemudikan Paman Aril melaju. Mula-mula menyusuri jalan di tepi tanah lapang, kemudian ke luar gerbang perumahan, menyusuri jalan raya. Jani senang sekali, sudah lama Paman tidak mengajaknya jalan-jalan seperti ini.

Paman Aril adalah paman kesayangan Jani. Dia tinggal dengan nenek, di desa sebelah. Kata Mama, saat ini Paman Aril sedang kuliah. Sebentar lagi akan jadi sarjana. Jani juga ingin jadi sarjana seperti Paman Aril. Pasti keren sekali, 'kan? Lihat saja, Paman Aril juga sangat keren. Dia tidak pernah marah-marah seperti Mama. Paman Aril malah sering membelikan Jani es krim, cokelat, dan kue-kue kesukaan Jani. Paman Aril juga sering mengajak Jani jalan-jalan. Seperti sekarang ini. Ah, pokoknya Jani sayang Paman Aril.

“Kita mau ke mana, Paman?” Seru Jani, mengatasi bisingnya deru kendaraan di jalan. Diketatkannya pelukan di pinggang Paman Aril.

“Putar-putar saja.”

Cukup lama mereka menyusuri jalan raya. Jani senang melihat-lihat segala keramaian di jalan itu. Di dekat sebuah jalan layang, Paman Aril melambatkan laju motornya. Ia menuju ke kolong jembatan layang itu. Ternyata di kolong jalan layang ada sebuah taman. Di dekatnya ada satu area penjual makanan. Paman Aril mengajak Jani ke sana.

Walau berlokasi di kolong jalan layang,  tetapi tempat ini nyaman sekali. Sejuk dan bersih. Banyak orang duduk-duduk di sana sambil menikmati makanan yang mereka beli. Paman Aril dan Jani juga memesan makanan. Semangkuk mie ayam ceker pedas untuk Paman Aril, dan bakso telur jumbo tanpa mie kesukaan Jani. Tidak lupa dua gelas air jeruk peras panas untuk mereka berdua.

Saat sedang asyik menghabiskan makanannya, seorang anak lelaki seusia Jani mendekat. Dia memanggul karung besar di punggungnya. Pedagang makanan menunjuk seonggok sampah plastik di sebuah tong besar. Anak lelaki itu mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam karung yang ia bawa.

Jani terus makan sambil matanya memperhatikan aktivitas anak lelaki itu. Setelah makanannya habis, Jani mendekatinya. Paman Aril hanya mengawasi saja sambil menyesap air jeruknya pelan-pelan.

“Kamu sedang apa?” Tanya Jani. Bocah lelaki itu tersentak kaget. Menoleh lalu nyengir lebar pada Jani.

“Seperti yang kamu lihat. Mengumpulkan ini.” Anak itu menunjuk ke gundukan sampah plastik yang sebagian besar terdiri dari wadah-wadah bekas air kemasan.

“Memangnya itu untuk apa?”

“Aku jual. Nanti dapat uang.”

“Untuk apa uangnya?”

“Ya untuk apa saja. Bisa untuk beli beras, untuk beli makan. Kadang bapakku juga minta uang dari aku untuk beli rokok.”

“Hah?” Mata Jani terbelalak.

“Iya. Kenapa?”

“Kenapa bapakmu minta uang dari kamu? Kalau aku, papaku yang beri aku dan mama uang.”

“Bapakku 'kan nggak kerja.”

“Kan dia bisa minta sama ibumu. Kenapa minta sama kamu?”

“Emakku sudah meninggal. Kata bapak, emak meninggal gara-gara aku. Dia meninggal sesudah melahirkan aku.” Suara bocah itu terdengar serak. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya yang tiba-tiba saja basah.

Jani termangu. Hatinya jadi ikut sedih melihat air yang menggenang di mata bocah lelaki itu. Dalam hati dia heran dan bertanya-tanya. Apakah benar anak lelaki itu yang menyebabkan kematian emaknya sendiri? Tapi tampang anak itu tidak seperti anak yang jahat.

“Kata mamaku, merokok bisa bikin sakit paru-paru, lho. Kamu jangan mau kalau bapakmu minta uang untuk beli rokok.” Jani berusaha mengalihkan pembicaraan, berharap teman barunya itu tak lagi bersedih.

“Bapakku galak. Kalau aku nggak kasih uang, dia bisa pukul aku.” Bisik anak itu takut-takut.

“Oh?” Mata Jani membelalak. Di rumah, mama memang cukup galak. Tapi mama tidak pernah memukul. Apalagi papa. Malah semua yang Jani inginkan selalu saja dituruti oleh papa, yeah, walau kadang-kadang itu membuat mama marah juga.

“Kadang-kadang aku berpikir ingin ikut emak saja ke surga. Katanya di surga itu enak, nggak ada kesusahan, nggak ada kesedihan, nggak akan ada yang marahin kita. Tapi, setiap aku bangun tidur, masih juga aku ada di sini, di sebelah bapakku yang galak seperti macan.” Kata anak itu. Wajah kumalnya terlihat sayu. Jani memandangnya dengan iba.

Tiba-tiba, seorang lelaki, yang mungkin seusia Paman Aril, datang menghampiri. Badan tegapnya yang berkulit hitam nyaris tertutup tatto. Dia memandang galak ke arah bocah lelaki itu. Jani ketakutan. Bocah lelaki itu juga. Dia gemetaran.

"Bagus!" Sentak lelaki bertatto itu. Suaranya menggelegar. Orang-orang yang sedang makan di sana serentak menoleh. Paman Aril berdiri sambil memandang ke arah Jani. Dia terlihat siaga. "Jadi begini kerjaan Lu? Hah? Ngobrol santai saat Lu seharusnya kerja?"

Lelaki itu menarik tangan si bocah lelaki dengan kasar. Bocah itu tersungkur. Hampir saja dia menabrak gerobak mie ayam. Orang-orang menjerit tertahan. Sebagian hanya dapat memandang dengan tatapan kasihan. Paman Aril mendekat perlahan.

"Elu? Kenapa ganggu dia kerja?" Kali ini dia menuding Jani. Jani gemetar dibentak seperti itu. Dia menoleh ke arah Paman Aril yang sudah mendekat. Mengharap pertolongan.

"Pamaaan ..." rengek Jani. Paman Aril meraih tangan Jani dan berdiri di antara Jani dan lelaki bertatto itu.

"Ada apa ya, Bang?"

"Ooo...  Jadi lu bapaknya bocah itu, hah? Tolong lu ajar anak lu ya, gak usah ganggu anak gua. Dia lagi kerja! Ngarti lu?" Maki lelaki itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Paman Aril. Jani khawatir setengah mati, takut orang itu memukul Paman.

"Dia cuma mau berteman dengan anak, Abang. Bukan mau ganggu."

"Kagak perlu! Anak gua kagak pernah gua bolehin main. Dia kudu kerja. Ngarti lu? Sekali lagi gua lihat anak lu deketin anak gua, tahu sendiri akibatnya!"

Paman Aril terlihat akan menimpali ucapan laki-laki itu lagi, tapi dilihatnya Jani begitu ketakutan. Akhirnya paman memilih mengajak Jani menyingkir dari hadapan laki-laki menakutkan itu. Si lelaki menyeringai mengejek, lalu menatap galak ke sekeliling. Kemudian dia mendekati anaknya yang masih ketakutan di dekat gerobak mie ayam.

"Heh! Elu, awas kalo nanti-nanti gua liat lu asyik ngobrol lagi. Bukannya kerja yang bener. Pantes aja makin hari duit yang lu bawa makin sedikit. Rupanya gini kerjaan lu, hah?" Ditempelengnya kepala si bocah. Beberapa perempuan yang ada di sana setengah menjerit.

Air mata Jani sudah bercucuran sejak tadi. Dia sedih dan takut melihat  semuanya.  Dipeluknya lengan Paman Aril kuat-kuat.

"Paman ... Ayo pergi dari sini." Jani merengek pada pamannya.

Paman Aril menarik nafas dalam. Sebenarnya dia masih berjaga-jaga, ingin menolong bocah lelaki itu jika bapaknya berbuat lebih jauh lagi. Begitu dilihatnya si bocah lelaki kecil pergi mengikuti langkah bapaknya, sambil menyeret-nyeret karung yang sarat berisi, Paman Aril menggandeng lengan Jani meninggalkan tempat itu setelah membayar makanan mereka.

Motor Paman Aril kembali melaju di tengah keramaian jalan. Memasuki gerbang komplek, dan kembali ke bangku taman di tepi tanah lapang. Jani dan Paman Aril turun. Mereka duduk di bangku itu. Jani menyeka sisa basah di matanya.

"Paman," katanya.

"Ya?"

"Menurut Paman, apa yang akan terjadi pada anak lelaki tadi?"

"Paman tidak tahu, Jani. Tapi semoga Allah selalu melindunginya. Semoga bapaknya dilembutkan hatinya," kata Paman Aril, lalu menarik nafas dalam-dalam. Mata Jani basah lagi.

"Aamiin." Jani memejamkan matanya. Benar-benar berharap anak laki-laki tadi tidak diapa-apakan oleh bapaknya yang galak. Berharap bapak anak itu benar-benar bisa berubah menjadi lembut seperti harapan Paman Aril tadi.

Setelah itu, Jani jadi memikirkan mamanya. Tiba-tiba saja Jani menyesal sudah marah-marah pada mama., sudah kesal, sudah merajuk dan berpikiran buruk tentang mama. Padahal, yang Mama minta untuk Jani lakukan tidak seberat yang harus dilakukan anak lelaki tadi, yang entah siapa namanya. Mama hanya meminta Jani menolong mama melakukan hal-hal kecil saja. Ah, Jani sungguh-sungguh menyesal telah bersikap seperti buruk pada Mama. Jani berjanji di dalam hatinya, nanti dia akan meminta maaf pada Mama. Ya, Jani berjanji.

“Paman, kita pulang, yuk.”

“Eh? Katanya lagi sebal sama mama?”

“Sudah, Paman. Jani sudah nggak marah lagi sama mama.” Sahut Jani.

Paman Aril tersenyum. Tidak lama kemudian, Jani sudah duduk di atas motor Paman Aril yang melaju santai menuju arah pulang.

***Tamat***

*cerpen 'Jani' pernah diikutkan dalam sebuah event, tapi tidak lolos karena kelebihan jumlah kata.
** untuk event NAD anak, 'Jani'telah mengalami revisi, dari 713 kata menjadi 1521 kata.
*** Direvisi dan diselesaikan pada dini hari, 8 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction day 8

#44_NAD_FFF_8_RestoranDiUjungJalan
Jumlah Kata: 99


T  R  A  K  T  I  R
Oleh Lily N. D. Madjid

"Katanya restoran di ujung jalan itu enak, loh."

"Oya?"

"Kawan-kawanku sudah coba."

"Mmmm ..."

"Kapan Abang ajak aku?"

"Euu ..."

"Ulang tahunku?"

"Errr...  Boleh."

***

"Abang, sudah tanggal tiga puluh."
 
"Lalu?"

"Hari apa?"

"Sabtu."

"Abaaang! Ini hari ulang tahunku. Ayo tepati janji."
***

"Kumau kepiting lada hitam, cumi saus padang, kerang tauco, ikan bakar rica-rica, tumis bunga pepaya dan lemon jus. Sudah lama ingin makan itu. Kasihan jabang bayi kalau nggak dituruti. Abang pesan apa?"

"Terserah."
***

"Benar-benar enak, bikin Abang kalap, tambah tiga kali."

"Sebal, ah! Lihat aku harus cuci segunung piring kotor. Huuuu!"

"Maaf, Dek, tanggal tua..."

Sabtu, 07 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 7

#44_NAD_FFF_7_Kemarin
Jumlah Kata: 99




M E N U A   B E R S A M A
Oleh Lily N. D. Madjid


Selamat pagi, Cinta! Ah, kaumasih terlelap. Bangunlah! Azan subuh telah berkumandang.

Kemarin-kemarin, biasanya kamu yang membangunkanku. Belaian lembut di pipi, sebuah kecupan, aroma kopi yang menguar, mengawali hari-hari kita.

Kini, selalu aku yang terbangun lebih dulu. Memandangi nafas yang kauembus satu-satu. Begitu tenang kau dalam tidurmu. Begitu cantik. Lalu kubelai lembut rambutmu yang memutih.

Seperti  kaupinta, kita menua bersama. Padahal seperti baru kemarin kuterima kamu dari walimu saat mengucap akad itu.

"Bangunlah, Cinta," bisikku lembut di telingamu.

Matamu perlahan membuka. Sesaat kautatap aku lekat-lekat. Lalu terperanjat dan refleks menyambar tongkatmu.

"Siapa kamu? Berani-beraninya memasuki kamarku!" Kauacungkan tongkat itu mengancamku.

Jumat, 06 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 6

#44_NAD_FFF_6_Cake
Jumlah kata: 99


CAKE KEJU UNTUK ARA
Cerpen Lily N. D. Madjid



Ara selalu menatap cheesecake display toko roti setiap kami melintasinya.

"Ara mau itu."

Tak mungkin. Untuk makan saja kami kesulitan. Kalau kupunya uang seharga cake itu, baik kugunakan untuk mencukupi kebutuhan kami seminggu.

Ara merajuk. Aku bersusah-payah membujuknya.

"Abang belum ada uang. Siang ini Abang kerja di kebun singkong Haji Amir. Mudah-mudahan dapat upah besar."

"Benar,  Bang?" Ara berbinar.
*

"Ara!"
"Wuooow! Abang bawa cake."

Ara segera memotong cake, menggigitnya besar-besar. Tiba-tiba dia mengernyit memandangi cake itu.

"Ara baru tahu, rasa cake ternyata seperti getuk. Kejunya, apa terbuat dari kelapa muda, Bang?"

Aku tergugu. Menyeka mata yang tiba-tiba basah.

Kamis, 05 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 5

#44_NAD_FFF_5_Sambal
Jumlah kata: 99


SAAT MAKAN MALAM
Oleh Lily N. D. Madjid


Menemani putra semata wayangku makan malam selalu menjadi momen penting. Aku bisa berbincang. Seperti malam ini, kuajak ia bercerita tentang hari ini. Dia lebih banyak mendengarkan. Begitulah dia, tak banyak kata seperti mendiang ayahnya.

Kumanfaatkan waktu untuk memberinya petuah-petuah. Dia mengangguk-angguk. Kukatakan di usia senjaku ini, hanya kebahagiaannya yang ingin kulihat sebelum aku meninggalkan dunia fana. Suaraku bergetar saat mengucapkan itu. Kulihat wajahnya juga memerah. Riak bening mengambang di matanya. Kusodorkan sehelai tissue.

"Sudah, sudah ...  Jangan bersedih. Lanjutkan saja makannya."

"Err ... Maaf, Mama. Aku tak kuat menghabiskannya. Sambalnya terlalu pedas," katanya, mendorong piring yang masih berisi setengah.

Rabu, 04 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 4

#44_NAD_FFF_4_Berharga
Jumlah kata: 98


R   O   N   D   A
Oleh Lily N. D. Madjid


Membosankan! Malam ini aku kena giliran ronda. Hal yang tak kusukai karena mengganggu aktifitas malamku.

"Apa yang paling berharga bagi kalian?" Parto memulai percakapan.

Pertanyaan rumit bagi duda yang hanya tinggal berdua dengan seorang pembantu sepertiku.

"Keluarga," jawab Arif diamini oleh lima orang lainnya. Sudah kuduga.

"Menurut Pak Luckynut?" Parto menoleh ke arahku.

Kuhela nafas dalam-dalam sebelum menunjukkan benda berharga yang selalu kubawa-bawa selama ini.

"Lilin?"

"Ya. Inilah hal berharga yang harus selalu kujaga," kataku. Kupandangi lima wajah penuh tanya di depanku. "Sudah terbukti, saat malam itu aku mengabaikannya, istriku meregang nyawa dihabisi massa."

Krik, krik, krik ...

Selasa, 03 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 3

#44_NAD_FFF_3_Tissue
Jumlah kata: 100
Tema: Tissue



P E N C U L I K A N
Oleh Lily N. D. Madjid

"Bocah itu di peternakan sekarang. Cepat bereskan!"

"Siap, Boss"

Aku meluncur ke tempat tujuan. Bocah itu memang di sana. Di deretan kandang ayam. Aku mengendap-endap mendekatinya. Dia tak melihatku. Kutuangkan obat bius ke tissue basah yang sudah kusiapkan.

Aku semakin mendekat. Bocah itu masih terpaku menatap ayam-ayam.  Astaga, joroknya. Kotoran ayam di mana-mana. Memuakkan. Aku mual. Kututup hidungku dengan dua tangan. Aroma kuat terhirup seketika.

Pandanganku memburam. Bumi yang kupijak seakan berputar. Kulihat bocah itu menjerit kaget.

"Pamaan, ada orang pingsan!"

Sebelum hilang kesadaran, kulihat seorang lelaki paruh baya tergopoh-gopoh datang. Dia mendekat dan memakiku pelan.

"Dasar, amatiran" desisnya kesal.

Senin, 02 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 2

NAD Fun Flash Fiction hari ke dua.
Tema: Pertama Kali



#44_NAD_FFF_2_PertamaKali
Jumlah kata: 100

PULANG

Aku seorang pengembara, yang lama terdampar di perantauan. Bekerja, berjuang, berjibaku, berharap kelak dapat menikmati kenyamanan.

Sedikit demi sedikit, semua kuraih. Berharap dapat kubawa untuk hidup yang tenang kemudian.

Hingga akhirnya tiba waktu untuk pulang. Mengapa aku sedikit gamang? Mungkinkah karena ini kepulanganku yang pertama setelah berpuluh tahun aku berada di negeri yang bahkan telah kuanggap sebagai rumah?

"Selamat jalan," kata mereka yang mengantarku.

Aku kelu. Membeku.  Hanya memandangi jalan yang terasa asing dalam pandangan.

Di perbatasan, dua orang yang tak pernah kutemui menyambut. Salah satunya mengajukan pertanyaan yang sepertinya sering kudengar.

"Man Robbuka?" Tanyanya, dan aku gemetar ketakutan.

Minggu, 01 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 1

#45_NAD_FFF_1_Cermin
Jumlah kata: 98



REFLEKSI

Cermin itu menarikku untuk berdiri di depannya. Tetapi aku tak berani. Aku selalu takut untuk melihat diriku di cermin.

Cermin tak pernah merefleksikan diriku yang sebenarnya. Seringkali buram. Cermin-cermin lain bahkan menampilkan pantulan aneh. Kadang mulutku membesar, mataku hanya sebelah, telingaku hilang atau lidahku memanjang. Sejak itu, aku selalu takut untuk bercermin.

Tapi cermin ini, memantulkan setiap detil bayanganku sama persis dengan keadaan sebenarnya. Membuatku lega. Kiranya Tuhan menjawab doa-doaku. Dia mengirimkan cermin jernih padaku.

Hatiku riang melihat gambaran diriku di cermin. Tapi kulihat ada aku yang lain terbaring, memandang nanar ke arah cermin, diiringi tangis dan talqin.

Jumat, 29 November 2019

A M A R Y L I S

AMARYLIS
Cerpen Lily N. D. Madjid





"Aku harus membunuhnya!" Desis Amarylis. Dipejamkannya matanya rapa-rapat, sambil terus berkomat kamit mengulang kata-kata itu.

"Kau gila," bisikku. Tak percaya dengan apa yang diucapkannya.

"Sungguh, Jasmine. Aku akan membunuhnya. Aku harus membunuhnya!"

Kata-kata itu diucapkannya penuh penekanan. Matanya sudah tak lagi terpejam. Dapat kulihat sorot kesungguhan di sana. Aku sampai bergidig ngeri melihatnya. Tak pernah Amarylis terlihat seserius ini sebelumnya.

"Pikirkan lagi. Apa perlu kau bertindak sejauh itu?"

"Jasmine! Ini sudah kuputuskan. Aku tidak bisa terus seperti ini."

"Katamu kau bahagia dengan hadirnya dia dalam hidupmu."

"Memang. Ah, kau tau, getar sayap kupu-kupu kembali kurasakan dalam dadaku sejak kehadirannya. Semangatku, gairah hidupku... Semua. Semua yang selama ini tak pernah kurasakan lagi, muncul sejak dia hadir...."

Amarylis memejamkan matanya lagi. Seolah sedang merasakan semua yang bergejolak dalam jiwanya.

"Ah, aku memujanya, Jasmine. Aku memujanya." Segaris senyum tipis terukir dibibir.

Amarylis lalu membuka matanya. Pandangannya sendu. Dia benar-benar berada dalam dilema.

"Kau berhak bahagia, Amy," kataku. Ia malah menggeleng kuat.

"Tapi Jasmine, bagaimanapun aku perempuan bersuami. Aku tahu ini salah...."

"Tapi suamimu itu memang bajingan. Dia yang pantas kau bunuh, bukan  Arshaka!" Geramku. Kebencianku pada Mahendra suami Amarylis memang sudah sampai ke ubun-ubun. Dia memperlakukan istrinya seenaknya saja. Tangis dan tangis saja yang sehari-hari kudapati dari sahabatku karena perlakuannya.

"A ... Ap ... Apa yang kau katakan, Jas? Mem... Membunuh Mahendra?" Keterkejutan yang luar biasa tergambar di wajah pucat Amarylis.

"Ya. Dia yang lebih pantas mati daripada Arshaka," kataku. Wajah Amarylis semakin memucat.

"Kenapa harus ada yang mati?"

"Hah? Bukankah tadi kau sendiri yang mengatakan akan membunuh Arshaka?"

"Jasmine," Amarylis termangu, "bukan itu maksudku. Bukan Arshaka yang ingin kubunuh. Tapi ini," Amarylis menunjuk dadanya sendiri. "Rasa cintaku pada Arshaka yang ingin kubunuh. Aku tak ingin semua berlanjut terlalu jauh," bisiknya.

 Aku pun mematung di tempatku berdiri.
"Oh...."

TERROR DI HOOGE BURGERE SCHOOL

TERROR DI HOOGE BURGERE SCHOOL
Cerpen Lily N. D. Madjid
#urban_legend



"Bim, pssstt ... Bim!"
Adri berbisik. Tetapi sosok yang berjalan di depannya terus saja melangkah.

"Bima! Woi! Tungguin gue!"

Sosok di depan berbalik sambil menaruh jari telunjuknya di depan bibir.

"Ck! Ngapain sih Lu berisik gitu?" Desis Bima kesal.

"Lu cepet banget jalannya. Tungguin gue ngapa?"

"Ya, elaaah, Bro. Makin cepat makin baik kali."

Tak urung Bima menghentikan langkahnya menunggu Adri yang nyengir lebar melihat tampang Bima.

"Lu takut ya? Ngaku aja deh, Bim. Jadi kita tinggal balik, trus lu traktir gue di Jiganasuki sesuai kesepakatan."

"Ish! Takut apaan? Lu kali yang takut." Bima menyangkal. Walau wajahnya menunjukkan hal sebaliknya.

Ya. Saat ini mereka berdua sedang melakukan uji nyali di sebuah sekolah pavorit di kota Bandung yang dulunya bernama Hooge Burgere School.

Konon, kalau kita berjalan memutari sekolah itu sebanyak tiga kali di malam hari, hantu wanita Belanda bernama Nancy akan muncul.

"Buruan, Dri."

"Ahaha ... Tuh kan, Lu sebenarnya mau cepat pergi dari sini kan? Udahlah nyerah aja," ejek Adri sambil tertawa kecil.

"Sialan, Lu! Gue nggak takut, cuma kebelet pipis doang. Hayu ah, buru!"

"Sabar, Bim, sabar. Hahaha ... Eh, omong-omong, kita ini putaran ke dua atau ke tiga sih?" Adri berhenti lagi. Mengingat-ingat.

"Lha, kan tugas Lu buat ngitung." Bima kesal. Matanya memandang sekeliling.

Di sekitarnya sunyi senyap. Sangat mencekam. Bahkan angin pun seperti berhenti berhembus. Bulu kuduk Bima meremang. Dia bergidig ngeri.

"Ya ampun. Gue kok merinding, Dri. Jangan-jangan kita emang udah tiga putaran. Trus, Mevrouw Nancy sebentar lagi muncul." Suara Bima bergetar.

"Seingat gue sih belum deh, masih satu putaran lagi,  terus baru ...."

Adri tak menyelesaikan kalimatnya, sebab sesuatu terasa menyentuh bahunya. Begitu juga dengan Bima. Keduanya menahan nafas beberapa waktu.

Bima melirik ke arah bahunya. Satu tangan hitam besar berbulu lebat bertengger di sana. O, tidak. Ini jelas bukan tangan Mevrouw Nancy. Ini mungkin Genderu ....

"Aaaaaa ...." Teriak Bima histeris sebelum menggelosor lemas dan membuat Adri panik.

"Jang, kunaon eta babaturanna?" (1) Satu suara bertanya. Adri menoleh. Rupanya si pemilik tangan tadi.

"Eh, Pak Satpam? Euuu ... Teu terang, Pak. Ngadadak weh sapertos kieu." (2)

"Euleuh? Hayu atuh urang bawa ka Pos," (3)ajak Pak Satpam sambil mencoba membopong Bima. Adri segera membantu.

"Naaa ... Atuh si ujang mah, nanaonan atuh tengah peuting kieu ngadon ngurilingan sakola? Siga teu aya gawe wae ...."(4) Gerutu pak satpam sambil bersusah payah memapah Bima yang belum juga sadar.

Tamat.

Terjemahan:

1) Nak, kenapa itu temannya?
2) Eh, Pak Satpam. Nggak tahu, Pak. Tiba-tiba aja begini.
3) wah? Kalau begitu ayo kita bawa ke pos.
4) lagian si ujang mah, ngapain juga keluyuran di sekolah tengah malam begini. Kaya yang nggak ada kerjaan aja.

Sabtu, 23 November 2019

R I N D U

RINDU
Cerpen Lily N. D. Madjid



Perempuan berusia senja itu duduk di sana, di teras rumahnya. Ada resah terbaca dalam bahasa tubuhnya. Tangannya yang lincah menari-nari di antara benang dan hakken kayu berwarna madu.

Sesekali wajahnya terangkat. Pandang matanya bergerilya, mencari-cari entah apa, di jalan lengang depan rumahnya.

Walau demikian jari-jarinya masih juga menari. Seperti memiliki mata sendiri, mengaitkan rantai demi rantai benang rajut sehalus beledu. Merendanya, menjadi helai-helai kain lembut.

"Ah, kemana dia?"

Terdengar desahnya. Matanya masih saja menatap, penuh harap. Sesekali pandangannya berpindah ke atas sana. Ke arah langit yang mulai gelap. Awan memekat. Udara mulai memberat.

"Hmmm... Lelaki tua itu. Selalu saja tak kenal waktu. Tak dilihatnyakah, hujan akan turun," Gerutunya.

Sejenak matanya teralih pada gumpal benang di tangannya. Lalu ia mengambil benang lain. Kali ini berwarna merah bunga angsoka.

Mulai dirajutnya benang itu. Berselang-seling dengan warna sebelumnya.

"Mama!"

Sebuah suara memanggilnya dari dalam rumah. Memintanya masuk, karena hujan mulai tercurah.

Tetapi dia masih enggan beranjak dari sana. Matanya kembali menatap ke arah jalan yang mulai dibasahi air hujan.

"Ah, ke mana dia?"

Matanya kini memandang resah. Dadanya mulai buncah. Ia tersaput oleh gelisah. Pikirannya mengembara pada satu sosok saja.

"Mama ...."

Satu sentuhan menyentakkan lamunannya. Ia menoleh. Wajah dengan gurat khawatir menatapnya.

"Hujannya deras. Mama masuk ya. Di sini dingin sekali." Anak gadisnya mencoba memapahnya.

"Sebentar saja. Biar mama di sini sebentar saja."

"Mama mau apa? Lihat, tempias air hujan membasahi rambut Mama."

"Sebentar lagi. Lihat ini, sweater yang kurajut untuk papamu sudah hampir jadi. Kalau dia datang, akan kuberikan. Dia mungkin kehujanan sekarang," katanya.

Putrinya tertegun menatapnya. Ada riak di matanya yang perlahan menggenang.

"Mama...." Bisiknya sambil berusaha melukis segurat senyuman. "Papa sudah tenang sekarang. Dia tidak mungkin kehujanan. Mama masuk ya."

Dipapahnya sang bunda yang masih ingin bertahan.

*****     *****     *****

T A R G E T

TARGET
Cerpen Lily N. D. Madjid





"Aha! Kelar...." Bima berseru gembira. Tidak itu saja, dia melonjak-lonjak kegirangan seperti kanak-kanak yang baru menang lotere.

"Eh? Kenapa Lu, Bro?" Adri teman sekamar sekaligus sobat karibnya sejak SMA--satu kelas, bahkan kuliah pun di kampus dan jurusan yang sama--mengernyit heran.

"Hehehe... Gue senang karena target gue untuk ikut sidang bulan Desember nanti bakal tercapai. Bab lima gue bentar lagi kelar. Nih...." Bima mendekatkan laptopnya ke arah Adri yang sedang mematut diri di depan cermin.

"Tinggal rapikan dikit lagi, verifikasi,  beresin syarat-syarat lainnya, ikut sidang dan, yeaaay... Gue pun berhak menyandang gelar sarjana. Waaawww!"

"Ya nggak usah jejingkrakan kayak gitu juga kali, Bro." Adri terbahak keras.

"Loh, Elu gak usah mengekang kebebasan berekspresi orang gitu dong, Bro. Ini, ekspresi kebahagiaan gue karena berhasil memenuhi target ikut sidang bulan Desember. Target kita bersama loh itu, Bro. Dan sekarang target itu berhasil gue penuhi. Seneng dong gue...."

"Ya deh, iya... gue ikut seneng. Dobel, dobel seneng malah. Pertama, karena akhirnya target lu sidang bulan Desember akhirnya terpenuhi. Ke dua, gue seneng karena lu nggak akan terpuruk lagi kayak Desember tahun kemarin." Adri menepuk bahu Bima sambil tersenyum.

"Aaah, perusak suasana, Lu, Bro. Kenapa lu ingetin lagi soal Desember tahun kemarin itu. Tragedi itu, Bro, tragedi. Gara-gara gue kena typhus." Bima menonjok pelan bahu Adri yang terbahak keras.

"Udah, ah. Gue ngantor dulu," Adri menyambar tas kerjanya sambil menghindar dari serangan Bima. Dia melangkah ke luar sambil menghabiskan sisa-sisa tawanya.

"Oiya, Bim," Adri berbalik, "kalau Lu nanti ketemu Pak Omar, salam dari gue ya. Bilang gue kangen bimbingan sama beliau kayak dulu. Hahaha..."

"Ah sial, Lu, Bro. Bilang aja Lu nyindir gue."

"Hahahaha... Jangan baperan gitu, Bro. Eh, gue pergi dulu ya, jangan lupa, salam buat Pak Omar."

"Minggat sana buruan!"

"Hahaha...!"

***     *****     ***
Bumi, 21 November 2019

Selasa, 19 November 2019

M A A F K A N



MAAFKAN
Cerpen Lily N. D. Madjid

Aku segera berlalu setelah meletakkannya di ujung jalan itu. Dalam sebuah kotak yang hanya kulapisi selimut tipis kesayanganku. Airmata jatuh bercucuran tanpa dapat kutahan.

Mengerahkan segala daya, kulangkahkan kakiku yang terasa berat. Sebelum pergi, kusempatkan untuk memandangnya sekali lagi. Mata itu, ah, mata tanpa dosa yang menatapku seakan penuh tanya, 'mengapa kau tega?'.

Sungguh aku terpaksa melakukan semua itu. Apalah dayaku. Orangtuaku tak sudi menerimanya bersama kami.

"Apa-apaan, kamu, Rani?" Gelegar amarah mama saat itu terngiang kembali.

Hari itu, hari pertama aku menginjakkan kembali kakiku di rumah, setelah sekian lama bersembunyi.

Ya. Aku pergi beberapa lama demi dia. Si kecil yang kusayangi. Aku menyembunyikannya agar mama dan papa tak tahu. Aku tahu akan semarah apa mereka berdua jika mereka mengetahui aku memiliki dia saat ini.

Tapi aku juga tak bisa bersembunyi terlalu lama. Bagaimanapun aku hanya seorang anak yang masih saja bergantung pada orangtua. Bisa apa aku tanpa mereka? Dan.... Kembalilah aku ke rumah, hanya untuk menerima amarah dari mereka. Reaksi yang sudah kuduga sebelumnya.

"Berani-beraninya kamu membawanya...." suara mama terbata. Aku tahu dia sedang berusaha keras mengendalikan emosinya.

Aku menangis saat itu. Berusaha membujuk keduanya. Kudekati papa. Biasanya papa lebih mudah luluh dibanding mama.

"Papa, kumohon...." kataku seraya mendekat. Ingin kutunjukan pada Papa, ia yang berada dalam pelukanku saat itu.

"Jangan mendekat, Rani." Suara dingin papa menghentikan sejenak langkahku. Tapi hanya sejenak. Setelahnya kembali kudekati papa. Ingin kubuktikan bahwa ia yang kudekap ini tak bersalah sedikitpun. Mungkin aku yang telah melakukan kekhilafan.

"Papa, tolonglah...." Kupeluk kedua tangan papa.

"Rani, menjauh!"

"Lihat dulu dia, Papa. Lihatlah matanya..."

Sejenak kulihat wajah Papa melembut. Tangan papa mencoba menyentuhnya perlahan. Di belakang papa, kulihat mama berusaha mencegah.

"Ah...." senyum papa perlahan mengembang. Diambilnya si kecil itu dari pelukanku. Aku menghembuskan nafas lega.

Tapi kelegaanku hanya bertahan sekejap. Sesaat kemudian kulihat papa mengejang, kemudian memegang dadanya. Si kecil dalam dekapannya terlempar. Teriak kepanikan keluar dari mulutku dan mama, nyaris bersamaan.

*****     *****     *****

Kupandangi sekali lagi si kecil yang masih memandangku dari dalam kotak. Sungguh aku tak tega harus meninggalkannya di ujung jalan itu. Tapi di situlah tempat paling aman baginya.

Jalan itu jalan buntu, tak banyak kendaraan yang berlalu lalang di sana. Dan, semoga saja akan ada yang bersedia mengadopsi si kecil setelah ini.

Kumatnya asma Papa setelah berdekatan dengan si kecil membuatku tak tega untuk memaksanya menerima si kecil.

"Miaaauuuww"

Ah, maafkan. Aku harus segera pergi dari sini, atau airmataku tak akan terbendung lagi. Mendengar suaranya saja aku sudah tak tahan. Biar nanti kutelepon Rusy sahabatku untuk mengambilnya di sini. Kudengar, orangtuanya tidak keberatan memelihara kucing di rumah.

🐱🐱🐱

*** berlatih nulis cerita yang twist ending, tapi kok seperti nggak dapet twistnya, ya?

Bagi tipsnya donk, Kaka... 😍
Ditunggu krisannya juga.

Selasa, 12 November 2019

Kau yang Menghilang



Kau yang Menghilang
--untuk sahabat

Kau. Yang kini entah
Apakah angin telah memusuhimu?
Sehingga ia tak lagi menyampaikan kabarmu padaku
Jejaring yang merentang di antara kita pun merapuh
Tak mampu lagi menebarkan salamku untukmu
Atau menangkap pesan darimu untukku

Aku meraba-raba
Mengintip semua celah
Menduga kau bersembunyi di sana
Dalam sepi yang kau sulam menjadi selimut tebal

Tapi tak ada
Hanya sayup yang kudengar
Entah apa

Mungkin aku kurang berusaha mencarimu
Ke balik rerimbun misteri yang kau punya
Mungkin aku tak begitu pandai menyelam
Ke palung terdalam pada hatimu

Tetapi pada matahari yang setia menyalami bumi
Aku selalu meminta
Agar ia selalu menjagamu
Lalu pada bulan pucat itu
Selalu kuminta ia tak membiarkanmu sendiri
Juga kepada Tuhan
Aku memohonNya membawa kembali senyummu
Padaku

Kamis, 07 November 2019

SESENDOK SUNYI DALAM CANGKIR KOPI*


SESENDOK SUNYI DALAM CANGKIR KOPI*
Puisi Lily N. D. Madjid
 
Gambar diambil dari Google
*Repost
*Pernah dimuat dalam antologi puisi 100 penyair perempuan

Sesendok sunyi masuk dalam cangkir kopiku sore ini
Kuaduk pelan hingga mengental
Rasanya sungguh memuakkan
Pahit yang likat menjalar dari ujung lidah
Sampai pada setiap pori yang ada di kulitku
Tetapi kunikmati saja itu
Mereguknya pelan-pelan
Sambil mencoba menyanyikan lagu rindu
Walau dengan nada yang mengambang

Sebab pahitnya sunyi sering juga menenangkan
Obat mujarab untuk otakku yang sumbat
Hingga untai-untai kata riuh melompat
Berhamburan dari ujung-ujung jari
Yang kutampung sambil tersenyum sendiri

Namun hanya sesendok saja dari sunyi yang boleh kunikmati dalam secangkir kopi
Jika berlebih efeknya sungguh tak baik untuk jantung juga hati
Bisa jadi ia akan membuatku kaku dan membatu
Jika begitu, aku hanya dapat diam sambil menghitung detik waktu
Kematianku sendiri



Selasa, 05 November 2019

RENCANA KE DUA




Hidup selalu dipenuhi kejutan-kejutan. Hal-hal yang tidak terduga seringkali menghampiri. Jika sudah begini, kadang apa yang sudah kita rencanakan bisa saja buyar. Gagal total. Tak sesuai kenyataan.

Kita mungkin saja sudah menyusun rencana-rencana hidup ke depan dengan penuh kecermatan. Membuat daftar ‘hal yang akan kita lakukan’ dari A hingga Z, dengan tekad akan menuntaskannya. Kita juga mungkin sering membuat ‘daftar mimpi’ yang ingin kita capai. Lalu dengan semangat, juga tekad yang tak terpatahkan, kita berusaha keras untuk mewujudkan semua ‘mimpi’ yang telah kita tuliskan.

Tetapi, seperti yang tadi telah kukemukakan, hidup seringkali penuh dengan kejutan. Tidak semua yang sudah kita rencanakan akan berjalan seperti yang kita harapkan. Jika itu yang terjadi, apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan terpuruk menyesali keadaan? Atau kau akan memaki dirimu sendiri? Atau yang lebih serius lagi, menyalahkan Tuhan?

Seorang kawan dalam sebuah obrolan ringan berkata bahwa kita perlu memiliki rencana cadangan. Rencana ke dua dalam menjalani kehidupan. Kau boleh saja menyebutnya plan B, plan C atau apapun.

Setelah kupikir-pikir, sepertinya aku setuju. Rencana ke dua akan sedikit membantumu keluar dari kebuntuan. Mengobati  sedikit kekecewaan atas suatu kegagalan. Atau yang lebih penting, rencana ke dua akan menahanmu untuk tetap bertahan mencapai tujuan, walau dengan jalan yang berbeda.

Katanya, dia, temanku itu, selalu memiliki rencana ke dua dalam setiap langkah hidupnya. Misalnya, saat ini dia sedang menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yang katanya itu dilakukannya sebagai ancang-ancang jika kelak dia merasa jenuh dengan pekerjaannya yang sekarang. Pendidikan yang dia jalani saat ini, akan memungkinkannya beralih ke jenis profesi lain, jika suatu saat diperlukan.

“Mungkin kita merasa nyaman dengan profesi kita saat ini,” Katanya padaku saat itu, “Tetapi apakah itu akan berlangsung selamanya? Bisa saja kan, suatu saat kita merasa bosan. Atau bahkan, keadaan memaksa kita meninggalkan pekerjaan ini.”

Aku termenung sejenak saat itu. Bahwa masa depan tak sepenuhnya bisa kita pastikan, itu sudah kupahami sebelumnya. Juga, bahwa kehidupan kadang tak selalu seperti yang kita inginkan, juga sudah kuyakini bahwa itu benar. Tetapi memikirkan bahwa suatu saat, aku akan meninggalkan profesiku yang sekarang, dan beralih pada profesi lain, sepertinya hanya samar-samar pernah melintas dalam pikiran. Tak pernah kupikirkan dengan serius. Malah, hal yang sering kubayangkan adalah aku yang akan terus menjalani profesiku ini hingga kelak masa baktiku selesai.

Tetapi melihat kesungguhannya saat mengatakan hal itu, mau tak mau aku pun jadi ikut memikirkan rencana ke duaku jika tidak lagi menjalani profesi ini. Coba tebak, apa yang kemudian aku pikir akan kulakukan? Percaya atau tidak, kalau aku berpikir untuk memilih jalan pedang dengan menulis? Errr... Jalan pedang atau jalan pena, ini ya?

Tolong jangan tertawa seperti itu. Aku tahu kemampuan menulisku masih receh sekali. Tetapi itu bukan halangan, bukan? Aku akan mulai mempersiapkan rencana ini dengan lebih serius. Jika kawanku itu sampai menempuh pendidikan yang lebih tinggi sebagai bentuk persiapan untuk rencana ke duanya. Maka aku akan serius mengasah kemampuan menulisku sebagai persiapan rencana ke duaku itu.

Hei! Sudah kubilang jangan mentertawaiku seperti itu. Hmmm… daripada kau tertawa saja, bagaimana kalau kau katakan padaku, apa rencana ke dua yang pernah terpikir di kepalamu?
Ngamprah, 5 November 2019

Jumat, 11 Oktober 2019

TAK LEKANG OLEH WAKTU

TAK LEKANG OLEH WAKTU
Cerpen Lily N. D. Madjid




Mata tua itu berbinar. Senyum simpul tak lepas dari bibirnya yang sedang mengalirkan kisah dari masa lalu. Bersamaan dengan itu, tangannya tetap lincah menyiangi sayuran di atas tampah.

Aku yang saat itu mendengarkan ceritanya ikut tersenyum. Memandang lekat wajahnya yang jelas sekali memancarkan rona bahagia.

Sebenarnya aku tidak terlalu memperhatikan lagi alur kisah yang sedang ia ceritakan. Karena ini bukan kali pertama aku mendengarnya. Aku lebih tertarik untuk mengamati raut wajahnya saat bercerita.

Dia induk semangku. Pemilik rumah kost tempat aku tinggal. Kami biasa memanggilnya Uti, karena begitulah ia ingin kami memanggilnya. Panggilan singkat dari eyang uti atau eyang putri.

Usia Uti tidak muda lagi, tentu saja. Pertengahan enam puluh, kukira. Bisa jadi lebih. Ia berpostur sedang, cenderung gemuk. Rambut beruban di kepalanya mulai menipis. Selalu digelungkan di puncak kepala.

Ia juga selalu rapi. Selalu mengenakan mantel harian berwarna merah bata yang mulai kusam melengkapi daster batiknya.

Uti sangat senang bercerita. Terutama tentang kisah hidupnya. Setiap kali ada kesempatan ia selalu bersemangat menceritakan kembali kisah-kisahnya. Tak peduli kami--anak-anak kostnya--sudah bosan mendengar cerita yang sama, ia tetap semangat berkisah. Mengingat faktor usia, bisa saja sih, ia sudah lupa kalau ia pernah menceritakan hal itu pada kami.

Kisah yang cukup sering kudengar adalah kisahnya dengan Mbah Parto, suaminya saat ini, alias bapak kost kami.

Konon menurut Uti, ia dan Mbah Parto telah menjalin kisah kasih sejak mereka masih sangat belia.

"Dulu kalau kami pacaran tidak seperti kalian sekarang." katanya sambil tertawa. Dulu sekali, saat pertama kali menceritakan kisah ini pada kami.

"Memangnya gimana, Ti?"

"Jaman Uti dulu, kalau mau ketemu itu, diam-diam. Ndak terang-terangan macam kalian. Sembunyi-sembunyi. Malu kalau dilihat orang."

"Wah, nggak asyik dong, Ti, kalau begitu."

"Ya, begitu itu." Uti terkekeh. "Pernah aku sama bapak itu janji mau ke pantai. Kami ketemu di suatu tempat. Aku datang duluan, sudah cantik. Pakai baju putih, rambutku kujalin. Kepang dua. Ndak lama trus bapak datang, pakai sepeda. Aku diboncengnya." kata Uti.

Kuamati wajah Uti yang menunduk, ia tersipu-sipu malu. Teman-temanku riuh menggoda.

"Senang dong, Ti?"

"Yo seneng. Ada takutnya juga, takut dilihat orang. Aku kan malu kalau ketahuan berdua-duaan begitu."

"Aciee, cieeee... Uti. Trus, trus, Ti?"

"Terus ya kami ke pantai. Jalan-jalan, duduk-duduk, sudah itu pulang."

Kisah selanjutnya berdasarkan cerita Uti, tidak selalu menyenangkan. Konon orang tua Mbah Parto malah menjodohkan si Mbah dengan wanita lain. Mereka pun putus hubungan.

Mbah Parto menikah dengan wanita pilihan orangtuanya. Tidak lama Uti pun menikah dengan laki-laki lain. Aku kurang jelas juga, apakah Uti menikah karena dijodohkan atau bagaimana.

Satu hal yang jelas, mereka, Uti dan Mbah Parto berpisah, membangun keluarga masing-masing. Jarak pun ikut memisahkan mereka, sebab setelah menikah, Uti dan suaminya merantau ke pulau seberang.

Berat sepertinya. Itu dapat kulihat dari gurat wajah Uti saat kisahnya sampai di bagian tersebut. Tetapi walaupun berat, keduanya tetap mampu bertahan. Bahkan melangkah ke depan menapaki garis takdir perjalanan hidup masing-masing, meski tak sesuai keinginan.

Hidup toh harus terus berjalan, bukan? Tak bisa mereka terus berdiam, menyalahkan takdir, apalagi menyalahkan Tuhan.

Berpuluh tahun mereka berpisah. Tak pernah saling berkabar. Menjalani kehidupan mereka sendiri-sendiri. Beranak pinak. Bahkan hingga mereka masing-masing memiliki cucu.

"Sewaktu istri bapak meninggal, dia lalu mulai cari tahu keberadaanku. Dapat nomor teleponku, dan menghubungi." mata Uti kulihat menerawang.

"Lalu, Ti?"

"Waktu itu, suamiku sudah lebih dulu meninggal dibanding istri bapak. Begitu tahu aku sudah single, bapak nyusul aku ke pulau seberang."

"Ce el be ka dong, Ti." riuh teman-temanku menimpali.

"Heheheh... Apa itu celebeka?" Uti terkekeh.

"Ya elaaah, Uti. Ce el be ka, Ti, bukan celebeka."

"Trus, trus, Ti?"

"Terus opo?" Uti masih terkekeh. "Terus ya aku nikah sama bapak. Terus aku di bawa bapak ke sini. Terus ketemu kalian-kalian ini." Uti terkekeh-kekeh lalu melanjutkan aktivitasnya memasak.

Walaupun sudah sepuh, untuk urusan dapur Uti masih sangat gesit. Bahkan di rumah ini ia menawarkan diri mengurus makan harian kami para penghuni kost. Pembayarannya boleh dilakukan saat transferan tiba. Tak jarang Uti juga memberi diskon saat akhir bulan.

"Nggak usah terlalu dipikirkan." katanya suatu waktu, saat aku bertanya apa dengan begitu dia tidak rugi jadinya.

"Aku biasa mengurus cucu-cucuku di pulau seberang. Bertemu kalian mengobati rinduku pada mereka."

Aku terdiam. Segurat sendu sekejap kutemukan di matanya yang biasa bersinar.

"Sebenarnya anak-anakku ndak suka aku ke sini. Mereka bilang, untuk apa aku menikahi bapak yang sudah tua dan sakit-sakitan. Hanya menambah beban. Kata mereka, seharusnya aku di seberang saja bersama mereka. Menghabiskan masa tuaku di tengah anak dan cucu-cucuku sendiri. Bukannya mengurus orang lain di sini..."

Sejenak Uti terdiam. Kemudian ia menoleh ke arahku, menatapku dalam.

"Tapi kalau kau benar-benar mencintai seseorang, apapun akan kau lakukan, bukan?"

~Tamat~

Jumlah kata: Tidak dihitung 🤭🤭🤭

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...