Rabu, 17 Juni 2020

SECRET PROJECT 2: TELETRANS


TELETRANS




"Zach! Lihatlah!"

Aku membentangkan tangan sedramatis mungkin saat Doktor Zacharry Raymond memasuki blok kerja kami di Laboratorium Workshop M031. LW M031 ini merupakan salah satu laboratorium workshop yang ada di SkyTech Enterprise, perusahaan tempatku bekerja. Kusebut salah satu, karena memang ada ratusan laboratorium workshop yang dimiliki SkyTech Enterprise sebagai raksasa bisnis yang usahanya mencakup seluruh dunia.

Aku dan Zach bekerja di unit pusat perusahaan yang berada di London. Kami sedang mengembangkan sebuah projek bersama. Pembuatan mesin teleportasi, yang kurancang sejak bertahun-tahun lalu. Mesin ini kami beri nama Teletrans. Progressnya sudah 90% saat ini.

"Apa?" Zach melangkah santai ke arahku yang berdiri di depan Teletrans.

"Kita harus melakukan uji coba lagi. Uji coba terakhir. Kapan kau ada waktu?"

"Kapan saja kau siap, Laiyla."

"Yah." Aku menggosok-gosok telapak tangan dengan penuh semangat. "Aku sudah tidak sabar."

"Jadwalkan saja waktunya. Nanti aku bersiap-siap, Nak."

"Baik. Aku segera berkoordinasi dengan tim. Kau akan kukabari."

***     ***   ***

Aku baru saja membubarkan briefing timku dan sedang menyusuri koridor LW M031 saat kulihat satu sosok berdiri di ujung lorong.

Arrgh! Jared Witheart. Mau apa dia?

Sambil berjalan aku memindai setiap blok yang berada di kiri dan kanan koridor. Mencari celah untuk menghindari Jared. Sial! Tak ada kesempatan.

"Laiyla!"

Pintu blok di sebelah kananku terbuka tiba-tiba. Zach berdiri di sana dengan senyum lebarnya.

"Hai, Zach!" Aku segera mendekat ke arahnya. Melangkah cepat sambil melirik ke ujung lorong. Sosok Jared sudah tak ada lagi di sana. Ke mana dia?

"Sudah kau putuskan kapan uji cobanya?" Zach bertanya sambil memberi isyarat agar aku mengikutinya.

"Lusa. Kami sudah sepakat. Besok kita lakukan penyempurnaan-penyempurnaan sambil mengecek ulang segala sesuatu."

***     ***    ***

"Semua bersiap dalam posisi masing-masing." Zach memberi komando. Ia berdiri di depan layar monitor sambil memasukkan kode akses.

Dari balik panel kontrol ruang kemudi Teletrans, sekuat tenaga kuredam debaran jantungku. Berusaha keras menampakkan wajah tenang sambil mengecek semua persiapan satu demi satu. Tenang, Laiyl, tenang.

"Laiyl, kau siap?" tanya Zach. Aku mengacungkan ibu jari. "Baiklah. Hitungan ke tiga kau tekan tombol power Teletrans. Mesin akan menghitung mundur sebelum mengantarmu ke LW A001, SkyTech unit Jakarta. Sudah ada tim yang menunggumu di sana. Jika perhitungan kita tepat, kau akan tiba di sana dalam tiga puluh detik. Enam puluh paling lambat."

"Diterima, Zach!" sahutku melalui alat komunikasi. Kulihat Zach tersenyum. Tidak jauh dari sana kulihat Mr. Salvatore Borsellino duduk diiringi pengawalnya. Beberapa penanggung jawab projek dari blok lain LW M031 juga ada di sana. Termasuk Jared Witheart.

Ck! Kenapa dia harus ada di sini?

"Oke. Aku akan mulai menghitung. Kau tahu apa yang harus dilakukan. Pada hitungan mundur ke lima, kubah kaca Teletrans akan menutup dan mengunci rapat."

"Diterima, Zach!"

Zach mulai menghitung. Tepat di hitungan ke tiga, kutekan power Teletrans. Mesinnya berdengung halus. Teletrans mulai bergetar.

"Sepuluh!" Suara komputer terdengar di seluruh ruangan.

"Sembilan!"

"Delapan!"

"Tujuh!"

"Enam!"

"Lima!"

Aku menunggu kubah kaca menutup, tetapi tak ada yang terjadi.

"Empat!"

"Zach, ada kesulitan.  Kubah tak mau menutup."

"Tekan tombol pembatalan." kata Zach.

"Pembatalan ditolak!"

"Tidak bisa, Zach!" Seruku. Suaraku bergetar. Ada apa ini? Percobaan-percobaan sebelumnya selalu lancar. Teletrans bekerja dengan semestinya. Memindahkanku dari ruangan blok ini ke blok lain yang sudah disiapkan.

Getaran Teletrans semakin menggila. Sebentar lagi benda ini akan melesat memangkas jarak. Apa jadinya jika kubah pelindungnya tidak ditutup.

"Tiga!"

"Keluar dari sana, Laiyl." Suara Zach terdengar panik. Aku masih mencoba menekan tombol di papan kontrol.

"Dua!"

Kulihat orang-orang semakin panik. Lalu  sosok Jared berlari. Ia melesat cepat ke arahku.

"Cepat keluar Laiyla!" teriaknya. Ia menarik tanganku.

""Satu!"

Kurasakan dorongan kuat pada Teletrans disertai suara memekakkan. Teletrans seperti memasuki sebuah lorong spiral. Begitu cepat. Aku berteriak ngeri. Seseorang juga berteriak di dekatku. Baru kusadari, Jared masih memegangi tanganku. Dia terbanting-banting di luar Teletrans.

***      ***     ***

Enam puluh detik yang terasa begitu lama. Kemudian, guncangan berhenti. Dengungnya pun menghilang. Kami berada di sebuah ruangan gelap sekarang. Dalam hatiku bertanya-tanya, apakah kami tiba malam hari di Jakarta?

Suara keras batuk membuatku terlonjak. Aku segera melompat keluar. Menabrak sesuatu. Sesuatu yang bisa menjerit keras.

"Argh! What the--"

"Jared?"

"Laiyla?" Ya, itu suara Jared. Aku menarik napas dalam. Kekesalanku pada Jared belum tuntas sebenarnya, tetapi di situasi semacam ini tidak mungkin aku menunjukkannya pada Jared bukan? "Di mana kita?"

"Mungkin ini LW A001 unit Jakarta. Tapi entahlah. Aku tidak yakin."

Kemudian satu garis cahaya menyorot. Memberi sedikit penerangan di sekitar kami. Kulihat siluet Jared yang memegang senter di tangan.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Jared sambil menyorotkan senter ke penjuru ruang.

Ruangan ini tidak terlalu luas dengan atap yang melengkung hingga ke lantai. Aku mengernyitkan kening. Ini jelas bukan ruang LW. Ini ... astaga!

"Jared? Apakah menurutmu ini--"

"Sebuah gua? Ya ini memang gua, Laiyla. Kenapa mesinmu membawa kita ke gua?"

"Aku, aku tidak tahu." sahutku menahan dongkol. "Ini kekeliruan."

Jared menoleh. Dalam keremangan cahaya senter, kulihat Jared mengangguk.

"Sebaiknya kita cari tahu saja dulu di mana posisi kita sekarang." Jared memberi isyarat agar aku mengikutinya.

"Jangan cepat-cepat. Di sini gelap!"

Jared berhenti dan membalik. Ia mengulurkan tangannya.

"Ayo."

"Kau hanya perlu memperlambat langkahmu." Aku menjawab dengan ketus.

"Laiyla. Seperti katamu, di sini gelap. Aku tidak mau punya resiko kehilanganmu sementara kita tidak tahu ada di mana saat ini."

Betul juga.

Maka kusambut uluran tangan Jared. Ia menggenggam tanganku. Hangat. Mendadak debaran di dadaku kembali lagi seperti biasa saat aku berada di dekatnya. Tuhan, padahal aku sudah bertekad untuk membencinya setelah dia mengabaikan aku di pesta tempo hari.

"Laiyla, lihat!" Jared berbisik. Ia menarikku bersembunyi di balik tonjolan batu di tepi gua. Ia menunjuk ke depan. Di mana kulihat sekelomppk orang berpakaian kulit binatang--atau kulit kayu?--mengelilingi api unggun yang berkobar. Mereka membawa tombak-tombak kayu dengan mata tombak terbuat dari serpihan batu tajam. Kulit mereka kecoklatan dengan mata berkilat kebiruan.

"Ya Tuhan," desisku, "siapa mereka?"

"Dilihat dari ciri-cirinya, kurasa, mereka ini Cheddar Man." Jared ikut berbisik. "Laiyla?"

"Huh?"

"Selamat! Mesinmu tidak membawa kita berteleportasi ke tempat lain."

"Maksudmu? Kita tetap di London?"

"Ya. Hanya saja, ini London puluhan ribu tahun yang lalu. Dan mereka itu nenek moyang kita."

BandungBarat, 16 Juni 2020

SECRET PROJECT

SECRET PROJECT
#cerpen Lily N. D. Madjid



BRAKKK!

Pintu ruang penghubung itu terbanting dengan keras. Dengan penuh rasa marah aku bergegas. Apa-apaan itu tadi? Jared bodoh! S*alan! Bisa-bisanya dia berbuat seperti itu? Mengabaikanku seolah-olah aku manusia tak kasat mata. Alih-alih menyapa dia malah asyik bercengkrama dengan yang lainnya. Dasar bodoh! Aku benci Jared.

Oke, oke! Itu memang hak dia untuk bergaul dengan siapa saja dalam pesta itu. Itu memang hak dia untuk melakukan apa pun yang dia suka. Terserah! Aku toh bukan siapa-siapanya. Dan aku memang tidak pernah berarti apa-apa bagi dirinya, 'kan?

Ya Tuhan, kenapa kenyataan itu bisa terasa begitu pahit?

Kuhempaskan tubuhku di bangku taman. Menarik napas dalam-dalam mencoba mengusir sesak yang menyeruak di dada. Ingar bingar suara musik dan canda tawa dari ruangan yang kutinggalkan menembus masuk hingga ambang pendengaranku. Samar, tetapi tetap terdengar.

Demi apa aku ada di sini?

Teringat percakapanku dengan Jared lewat telpon beberapa hari lalu.

"Kamu hadir ke acara launching lusa?" tanyanya waktu itu.

"Well, Bos Besar mengharapkan kita semua hadir bukan?" Aku menjawab sambil sibuk meredakan gemuruh di dada.

Begitulah bodohnya aku. Selalu seperti itu setiap kali berbicara dengan Jared. Padahal hanya bicara lewat telepon. Jangankan telepon, saat kami mengobrol lewat teks melalui aplikasi perpesanan pun hatiku seringkali bergetar dan seolah berdenyar. Ya, aku rasa aku memang gila, untuk semua yang berhubungan dengan Jared.

"Jadi, kau datang?"

"Ya. Kau?"

"Seperti yang tadi kau katakan, Bos Besar mengharapkan kita semua hadir di sana. Ini acara besar Laiyla. Dengan pesta yang juga besar. Kudengar media-media akan meliputnya."

"Ya. Project ini sudah lama digembar-gemborkan pada khalayak. Siapa yang tak ingin menyaksikan peluncurannya? Mereka pasti tak sabar ingin melihat bagaimana sebuah mobil terbang berbahan bakar air bekerja."

"Aku pun tak sabar."

"Tentu saja. Kau tim perancangnya, Jared. Tentu ingin menyaksikan bagaimana karyamu mendapat sambutan semua orang."

"No, Laiyl. Bukan itu."

"Lalu apa?"

"Aku tak sabar ... melihatmu berdiri anggun di pesta itu nanti."

Ya Tuhan! Bagaimana mungkin dia bisa berkata seperti itu tempo hari. Membuatku tak bisa tidur, dan gelisah menunggu datangnya malam ini, hanya untuk membuktikan ucapannya. Lalu menyaksikan kenyataan yang ada berbeda 180° dari bayanganku.

 Jared pembohong!

Jangankan melihatku. Melirik saja tidak. Padahal beberapa kali aku berdiri di dekatnya. Beberapa kali ia berjalan melewatiku dengan senyum cerahnya. Namun, matanya terus menghindariku dengan menatap entah ke mana. Senyum yang yang nyaris terkembang di bibirku otomatis menguap, dan kubatalkan niat untuk menyapanya.

Aku benci Jared!

*** *** ***

"Laiyla?"

Satu suara mengejutkanku yang sedang berjalan melintasi koridor panjang menuju ruanganku. Aku berhenti. Di depan laboratorium workshop M031 terlihat siluet seseorang berdiri di bawah bayangan tiang penyangga bangunan.

Aku mendekat, siluet itu semakin jelas.

"Dr. Raymond?" tanyaku.

"Ck! Sudah kubilang panggil aku Zach." sosok itu berdecak sebal. Aku tersenyum.

"Sorry, Dr. Ray, eum ... Zach. Sedang apa di sini? Kenapa tidak bergabung di aula?"

"Kamu sendiri sedang apa di sini? Mengendap-endap sendiri dalam gelap?"

"No, Sir! Saya tidak mengendap-endap. Saya sedang menuju ruangan saya ta--"

"Ah, menghindari seseorang, kurasa. No, jangan menyangkal. Dengar, tak ada seorang gadis muda yang akan menyelinap keluar dari meriahnya pesta jika tidak sedang menghindar dari seseorang yang membuatnya patah hati. Hahaha ....!"

S*al! Kenapa Dr. zach Raymond bisa menebak dengan jitu?

"Anda sendiri sedang apa di sini? Mengapa tidak bergabung dalam pesta itu? Dan, hei--" aku terbelalak ketika menyadari kami ada di mana. "Laboratorium Workshop M031 tempat terlarang, bukan?" kataku sambil memelankan suara.

"Memang, tetapi tidak untukku. Aku sedang menyelesaikan sebuah projek. Mmm ... kebetulan sekali kita bertemu. Aku ... ah, masuklah dulu. Kita bicara di dalam." katanya.

Ia menggesekkan kartu pass di tangannya. Seketika pintu lab membuka. Dr. Raymond berbalik dan mengangguk padaku yang masih berdiri ragu.

"Jangan takut. Aku tak akan mencelakakanmu," katanya lalu melangkah masuk. Dengan antusias aku mengikutinya. Padahal tadinya aku hanya ingin menuju ruanganku dan menenangkan diri dari rasa marahku pada Jared. Tapi, ah, masa bodoh dengan Jared Witheart itu. LW M031 lebih menarik untukku. Sudah sejak lama aku penasaran, projek-projek besar apa lagi yang sedang disiapkan di dalamnya.

Jangan bayangkan LW M031 seperti Laboratorium workshop di kampus-kampus teknik atau apa. Tidak, ini jauh lebih hebat. Di dalamnya terdapat beberapa blok dan setiap blok berisi projek-projek berbeda. Projek-projek rahasia.

Zach membawaku ke salah satu blok. Di sana kami melewati satu pintu berpengaman ganda. Zach mendekati alat pemindai mata sebelum kembali menempelkan kartu passnya.

"Akses diterima."

Suara komputer bergema tepat sebelum pintu berdengung membuka. Aku memasuki ruangan luas di depanku dengan penuh rasa takjub. Berbagai perkakas modern dan mutakhir kulihat tersedia dalam ruangan ini. Aku menyentuhnya satu persatu. Norak sekali. Itu kusadari setelah melihat tatapan Zach yang setengah tersenyum melihat tingkahku.

"Hei, Zach! Ini hebat!"

"Memang. Tidak ada yang tidak hebat di LW M031, Laiyla. Ini laboratorium workshop tercanggih yang pernah ada di negeri ini. Tepatnya sih, tidak ada yang tidak hebat di SkyTech Enterprise." Zach berkata dengan bangga.

Ada. Jared Whitheart. Dia tidak hebat.

"Wah! Benarkah? Lalu ... mengapa kau membawaku ke sini?"

"Ah, ya. Itu hal penting yang akan kubicarakan denganmu."

Zach membuka sebuah kotak besi yang juga berpengaman ganda. Mengeluarkan sebuah berkas dari sana dan meletakannya di atas meja di hadapanku. Lagi-lagi aku terbelalak saat mengenali berkas itu.

"Zach! Ini cetak biru mesin teleportasi yang kubuat beberapa tahun lalu!" seruku heran.

Ya, jadi begini, aku merancang sebuah mesin teleportasi beberapa tahun lalu. Saat itu setiap pegawai baru di Skytech Enterprise diminta mengajukan sebuah rancangan inovatif. Aku sudah meneliti tentang kemungkinan-kemungkinan pembuatan mesin teleportasi sejak masih menjadi mahasiswa di kampusku dulu.

Rancanganku dinilai baik oleh Bos Besar. Aku ingat, ia memujiku sebagai seorang yang cerdas. Tetapi itu saja tidak cukup. Katanya masih jauh hingga kita dapat mewujudkan sebuah mesin teleportasi menjadi nyata.

Ah, aku benci dengan segala basa-basi itu. Dengan kata lain ia menganggap karyaku sebagai khayalan semata 'kan? Padahal aku sudah menjelaskannya dengan rinci, menyertakan perhitungan-perhitungan fisikanya dengan lengkap dan gamblang. Tidak mustahil untuk merealisasikannya.

Ia tetap tidak menerima saat kukemukakan semua pemaparan tentang projek itu. Alih-alih menerima, ia malah menyanggahnya dan mematahkan semua argumenku.

"Kita hidup dalam realita, Miss Soeninta. Bukan sains fiksi semata. Dan realita bagi kita adalah bisnis. Nah, cobalah rancang sesuatu yang inovatif dan layak jual."

Layak jual katanya? Apa dia tidak tahu jika mesin teleportasi bisa menjadi tambang emas jika kami merealisasikannya. Dan INI bukan hanya sekedar sains fiksi semata seperti yang ia katakan.

"Sedang mengenang masa lalu, Laiyl?" Suara Zach Raymond membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum pahit.

"Semacam itulah," kataku. Apakah lelaki paruh baya di depanku ini seorang pembaca pikiran atau apa? Sudah dua kali dia menebak isi kepalaku dengan jitu.

"Fokuslah. Karena aku membawa kabar gembira untukmu." Zach tersenyum lebar.

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu menarik sebuah kursi di seberangku. Ia duduk, lalu mulai membentangkan berkas-berkas itu di hadapanku. Aku rasa dia akan memberi kabar yang benar-benar hebat. Jadi, aku berdiam diri, siap-siap menerima kabar besar itu.

"Dengar," katanya dengan suara yang sengaja dibuat sedramatis mungkin. Aku sudah mempelajari cetak biru yang kau buat. Bahkan sudah melakukan riset ulang sebenarnya. Kupikir ...." Zach sengaja memenggal kalimatnya. Menatapku sambil tersenyum.

"Apa? Cepat katakan!" kataku. Zach masih tersenyum. "Dr. Raymond, please, jangan membuatku penasaran."

"Hahaha! Tidak sabaran.” Ia terkekeh. Tawanya bahkan semakin keras saat melihatku memutar mata. “Sabar, Nak. Jadi,  kupikir tidak mustahil untuk merealisasikan projek ini,” katanya. Aku nyaris melompat kegiranagan. Untung saja aku bisa menahan diri. Namun, tak urung Zach terbahak menertawakanku.

“Zach? Benarkah? Jadi kau akan membuat sebuah mesin teleportasi?”

“Aku? Tentu tidak.”

“Ah! Tapi kau bilang—“

“Kau, Miss. Kau yang akan membuatnya. Aku sudah membicarakan ini dengan Salvatore.”

“Apa? Benarkah?”

"Kenapa? Kau tidak mau? Kalau begitu biar kuserahkan projek ini pada Jared Witheart. Dia ppemuda yang sangat berbakat.”

“Tidak.” Aku menggeram. “Aku mau, tentu saja, tapi, benarkah kau sudah membicarakannya dengan Bos Besar? Maksudku, Mr. Borsellino?”

“Tentu saja.”

“Apa katanya? Bukankah dulu dia menolak gagasan ini mentah-memntah?”

"Tentu saja Salvatore setuju. Aku sudah membujuknya. Aku tahu Laiyla, projek ini projek besar. Pasti akan sukses besar. Dan kamu, Laiyl, kamu yang akan membawakan kesuksesan itu untuk SkyTech Enterprise.”

(bersambung hingga part 2 saja)

BandungBarat, 16 Juni 2020


INTO THE WILD: MEMAKNAI HIDUP DARI SUDUT PANDANG BERBEDA



INTO THE WILD: MEMAKNAI HIDUP DARI SUDUT PANDANG BERBEDA
#SebuahReviuFilm
#SpoilerAlert




Judul Film: Into the Wild
Tahun rilis: 2007
Sutradara: Sean Penn
Pemain: Emile Hirsch, Marcia Gay Harden, William Hurt, Jena Malone, Catherine Keener, Brian Dierker, Vince Vaughn, Zach Galifianakis, Kristen Stewart, Hal Holbrook.


Pertama kali saya menonton film Into the Wild sekitar tahun 2009 atau 2010 di chanel HBO. Kemudian kembali menontonnya beberapa waktu lalu saat link film ini tanpa sengaja melintas kembali di linimasa media sosial saya. Film yang dibuat berdasarkan kisah nyata Christopher Johnson McCandless (diperankan dengan baik oleh Emile Hirsch) ini bercerita tentang seorang mahasiswa cerdas yang berasal dari keluarga kaya di Washington DC, yang meninggalkan rumah, karena ingin bertualang menuju Alaska.

Ketidakharmonisan hubungan kedua orangtua membuatnya menyimpan kemarahan dan memiliki keinginan untuk memberontak. Ditambah lagi dengan pemikiran idealisnya dalam memandang kehidupan membuat ia cenderung menjauhkan diri dari kehidupan modern. Memiliki impian untuk hidup di alam bebas, tanpa orang lain.

McCandless kemudian diceritakan betul-betul pergi setelah mendonasikan seluruh uang tabungannya, membakar uang tunai yang dimilikinya dan bergantung pada alam sepenuhnya. Sekuat tenaga bertahan di tengah kebekuan dan kesunyian pegunungan, di kawasan dengan cuaca dan kondisi yang berat untuk tinggal. Lalu hidup di sebuah bus, Fairbanks 142 peninggalan International Harvester tahun 1940-an.

Walau pada awalnya perjalanan itu bertujuan untuk menggapai kebebasan dan menghindari orang lain, tapi pada kenyataannya justru membawanya bertemu dengan orang-orang yang pada akhirnya membuat ia menyadari, bahwa kebahagiaan hanya dapat dirasakan saat kita membaginya dengan orang lain.

Adegan pembuka film ini dimulai dengan menampilkan petikan puisi dari Lord Byron yang menggambarkan pemikiran McCandles. Kemudian mata kita dimanjakan dengan suguhan keindahan alam yang luar biasa saat McCandle memulai perjalanannya menuju alam bebas. Ini menjadi salah satu kelebihan dari film Into the Wild. Sejak awal hingga akhir, tak putus-putusnya menampilkan pemandangan indah yang mengesankan.

Tidak hanya itu, selain pemandangan indah, theme song pengiring film ini juga memperkuat penggambaran cerita. Deretan lagu-lagu yang dibawakan oleh Eddie Vedder, begitu memanjakan telinga dan membuat kita ingin ikut bersenandung. Sebut saja Long Night yang menjadi lagu latar pada opening scene, Hard Sun, Society, No Ceiling, Guaranteed, Far Behind, Rise, Tuolumne, dan End of The Road. Semuanya hadir untuk memperkuat jalan cerita yang disuguhkan.

Selain itu, film ini juga begitu banyak menyuguhkan pemikiran-pemikiran  McCandless yang membawa kita untuk turut berpikir, dan merenungi hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Misalnya saja, pada adegan-adegan awal saat McCandless menjalani acara wisuda di kampusnya. McCandless mengajak kita merenung dengan pandangannnya yang mengatakan bahwa orang-orang yang dilihatnya itu adalah orang-orang belum dewasa yang bodoh, dan akan segera tamat.

Ada juga pemikirannya yang menyatakan bahwa 'kebebasan yang hakiki adalah ketika kita bebas pergi ke mana saja yang kita inginkan, menjauhkan diri bahkan dari sejarah, tekanan hukum dan kewajiban yang menjengkelkan' dan 'bahwa benda-benda hanyalah benda, yang tidak dapat mengikat kita'.

Pemikiran-pemikiran tersebut pada akhirnya juga membuat kita dapat memahami, mengapa seorang McCandless melakukan perjalanan itu. Ia ingin melepaskan semua yang bersifat materiil dari dirinya, bahkan ia juga melepaskan namanya dan menggantinya menjadi Alexander Supertramp.

Dari segi jalan cerita, Into the Wild memang agak sedikit membuat kita mengerutkan kening karena menggunakan alur flashback berkali-kali yang memaksa kita untuk tetap fokus agar dapat mengikuti jalan cerita. Disuguhkan dalam dua sudut pandang yaitu sudut pandang Carine McCandless (Jane Malone) sang adik, dan sudut pandang Christopher sendiri berdasarkan catatan hariannya. Namun, film ini tetap berhasil meraih sukses besar. Meraih 2 kategori Oscar, 7 penghargaan lainnya, dan masuk dalam 24 nominasi lain.

Ada banyak pesan moral yang dapat kita petik dari film ini. Misalnya saja, tentang peranan penting orang tua dalam kehidupan anak. Bahwa setiap laku orang tua (baik positif atau negatif) secara signifikan akan mempengaruhi langkah anak-anaknya dalam menjalani hidup mereka ke depan.

Juga tentang betapa berartinya keluarga bagi setiap orang. Walaupun seringkali hal itu baru disadari saat orang tersebut sudah tidak ada lagi di dekat kita. Ini digambarkan saat orang tua Christoper McCandless yang selama ini begitu mementingkan karier mereka, menyadari dan merasakan kehilangan yang memdalam setelah Chris memutuskan pergi meninggalkan rumah. Atau, ketika Jan Burres (Catherine Keener) yang ditemui Chris dalam perjalanan, berkisah tentang Reno, anaknya yang menghilang sejak lama. Atau cerita Ron Franz (Hal Holbrook) yang kehilangan anak dan istrinya di masa lalu, dan berniat mengadopsi Christopher McCandless.

Secara keseluruhan, Into the Wild adalah film yang sangat menarik. Walau selalu mengajak kita untuk berpikir dan merenung, namun dapat memberikan kita pencerahan. Film ini juga mengajak kita untuk sesekali memandang hidup dari sudut pandang yang berbeda.

BandungBarat, 14 Juni 2020

MENUMBUHKAN KEBIASAAN MEMBACA PADA ANAK



MENUMBUHKAN KEBIASAAN MEMBACA PADA ANAK




Sering kita menemukan informasi, baik di media cetak maupun elektronik, yang menyatakan bahwa kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia jauh tertinggal. Salah satu informasi tersebut dapat ditemukan pada situs resmi Kantor Bahasa Bengkulu (kantorbahasabengkulu.kemdikbud.go[.]id), yang menyatakan bahwa kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia berada pada urutan 60 dari 61 negara.

Informasi itu bukanlah sekedar informasi tanpa data, sebab diperoleh berdasarkan penelitian pemeringkatan literasi internasional Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University, Maret 2016 dan dilansir oleh jpnn[.]com pada 13 April 2016.

Setelah mengetahui data tersebut tentu kita merasa miris, bukan? Bagaimana tidak, karena berdasarkan hasil penelitian itu, kemampuan membaca dan menulis negara kita dinilai nyaris berada pada posisi juru kunci. Dalam tulisan ini, saya tidak akan menyoroti keduanya melainkan salah satunya saja, yaitu kemampuan membaca.

Kemampuan membaca di sini tentu saja bukan sekedar mengenali simbol-simbol huruf yang terdapat dalam sebuah teks. Melainkan juga sebagai suatu proses mental atau proses kognitif, yang dalam proses tersebut seorang pembaca diharapkan bisa mengikuti dan merespon pesan penulis (Davies, 1997 dalam Nurlaela, 2013).

Bagaimana seorang anak dapat memiliki kemampuan membaca yang baik? Jawabannya tidak lain adalah dengan melakukan pembiasaan-pembiasaan sedari kecil. Repetition is mother of knowledge, demikian ungkapan Barat yang dikutip oleh situs m.hidayatullah[.]com, yang memiliki arti, pengulangan atau pembiasaan adalah induk dari ilmu atau pun pengetahuan dan ketrampilan.

Dari sana, dapat kita jadikan pijakan bahwa jika menginginkan anak-anak kita memiliki kemampuan atau keterampilan membaca yang baik, maka biasakanlah sejak dini. Apakah sulit membiasakan anak-anak untuk membaca? Berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan-pengamatan, ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk memudahkan pembiasaan membaca pada anak.

1. Pemberian contoh atau teladan

   Segala sesuatu dimulai dari orang tua. Jika menginginkan anak yang biasa membaca, maka berilah teladan. Sangat tidak masuk akal jika kita mengharapkan anak memiliki hobi membaca, sementara mereka tidak pernah melihat kita, orang tuanya, membaca. Jika di lingkup sekolah, tentu bapak dan ibu guru yang berperan sebagai pemberi teladan.

2. Sediakan fasilitas membaca yang memadai

   Sediakanlah buku-buku di rumah, tentu yang sesuai dengan usia anak kita. Setelahnya, letakkan buku di tempat-tempat yang mudah dilihat dan dijangkau oleh mereka. Percayalah, dengan melihat contoh dari orang tua yang gemar membaca, lalu tersedianya buku-buku di dekat mereka, niscaya minat mereka untuk mengetahui isi buku akan muncul.

  Jika kondisi tidak memungkinkan untuk membeli buku, mengajak mereka secara berkala ke perpustakaan atau taman bacaan adalah pilihan pengganti yang baik. Apalagi perpustakaan biasanya memiliki koleksi buku yang lebih beragam, sehingga lebih banyak jenis yang bisa dipilih oleh anak bergantung pada minat mereka.

3. Ceritakan bagian menarik buku yang kita baca

   Trik lain yang bisa dilakukan untuk memancing minat anak untuk membaca adalah dengan menceritakan bagian menarik dari isi buku. Tentu tidak semua kita ceritakan pada mereka. Sebagian saja, sekedar membangkitkan rasa ingin tahu dalam diri mereka.

4. Jauhkan gawai dari anak

   Terakhir, mungkin yang paling signifikan untuk membantu menumbuhkan minat baca pada anak adalah dengan menjauhkan gawai dari mereka. Paling tidak membatasi penggunaannya. Gawai di sini beragam jenisnya, mulai dari televisi, komputer, tablet hingga ponsel. Semakin sedikit mereka beraktivitas dengan gawai, semakin besar kemungkinan mereka untuk beralih pada buku, sebagai alternatif mengisi waktu mereka.

Keempat hal di atas mungkin hanya sebagian kecil cara yang dapat dicoba oleh para orang tua atau guru, yang menginginkan anak-anak atau anak didiknya lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan membaca buku.

Sumber referensi:
https://kantorbahasabengkulu.kemdikbud.go.id/2018/01/23/menyoal-geliat-literasi-di-indonesia/

https://m.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2017/12/05/129681/pembiasaan-bagian-penting-pendidikan-anak.html

https://www.paud.id/2015/11/contoh-penanaman-sikap-anak-paud.html

http://www.luthfiyah.com/2013/04/tentang-kemampuan-membaca.html?m=1

BandungBarat, 13 Juni 2020
.

SISI LAIN PANDEMI

SISI LAIN PANDEMI
~Sebuah Opini Lilynd Madjid~




Hari ini, tema 30HM adalah membuat opini terhadap berita yang sedang aktual. Setelah selesai mengecek tema harian, segera saja saya membuka aplikasi pencari yang ada di ponsel dan mulai meramban di sana.

Tema yang sedang aktual tentu saja tema seputar pandemi covid 19 dan segala permasalahannya. Sebagian besar laman media daring yang saya buka membahas tentang hal tersebut. Dari mulai informasi mengenai naik atau turunnya kasus corona, klaim penemuan vaksin corona, informasi tentang orang yang melakukan hal-hal yang kurang masuk akal karena menghindari rapid tes, dan banyak lagi informasi lain terkait topik pandemi tersebut.

Ketika sedang memindai halaman pencarian itulah mata saya berhenti di salah satu judul yang terdapat di halaman berita sepakbola Republika. Berita tersebut bertajuk 'Rashford Targetkan Tak Ada Lagi Anak Kelaparan di Inggris'.

Wow! Itulah kata yang pertama terlintas dalam benak saya saat membaca judul tersebut. Mulia sekali hati si Rashford ini, pikir saya. Sambil bertanya-tanya, siapakah dia.

Sejujurnya, saya bukan penyuka sepak bola. Hingga tidak pernah mengamati, apalagi mengikuti hingga mendetil, informasi-informasi di sekitar dunia persepakbolaan. Jadi, semoga saja bisa dimaafkan jika saya benar-benar tidak tahu siapa Rashford sebelumnya.

Setelah membaca isi berita, barulah saya tahu jika yang dimaksud adalah striker Manchester United, Marcus Rashford. Dalam berita tersebut dikatakan bahwa selama terjadi lockdown, Rashford telah membantu mengumpulkan dana amal sebesar 358 miliar rupiah, atau setara 20 juta poundsterling

Jumlah yang cukup fantastis bukan? Masih dalam halaman berita sepak bola Republika itu, disebutkan juga jika Rashford bahkan berniat untuk terus melakukan aksi pengumpulan dana tersebut, dan bekerja sama dengan sebuah organisasi pendistribusian bahan makanan FareShare untuk memasok makanan kepada orang-orang yang rentan terkena dampak pandemi.

Pikiran saya segera saja mengingat beberapa pemberitaan tentang pengumpulan dana yang dilakukan oleh sederet selebritas negeri ini. Sebut saja beberapa nama seperti Chicco Jerikho, Dian Sastro, Atta Halilintar, Maia Estianty, Afgan dan beberapa influencer lain. Mereka semua, seperti halnya Marcus Rashford--bekerja sama dengan platform atau situs pengumpulan dana--telah berupaya membantu orang-orang yang terdampak secara langsung adanya pandemi ini.

Di tengah segala macam permasalahan yang muncul akibat covid19, berita-berita penggalangan dana yang dilakukan oleh para pesohor baik dalam negeri maupun manca negara, sedikitnya telah menunjukkan, bahwa ada sisi baik juga yang bisa muncul dan dapat dijadikan contoh, dari keberadaan pandemi, yaitu adanya rasa empati terhadap sesama manusia.

Ya, selain pemberitaan tentang munculnya stigma negatif terhadap orang-orang yang terpapar virus corona--yang menyebabkan mereka mengalami pengucilan dan perlakuan diskriminatif lainnya--ternyata masih ada hal positif yang bisa tumbuh dari keadaan ini.

Seharusnyalah jika sikap-sikap positif seperti ini yang terus dikembangkan sebagai langkah menyikapi berlangsungnya pandemi, dan bukan hal-hal buruk seperti melekatnya stigma negatif, yang harus ditumbuhkan dalam pola pikir masyarakat.

.
Link berita:
https://m.republika.co.id/berita/qbtc6a438/rashford-targetkan-tak-ada-lagi-anak-kelaparan-di-inggris

.
Referensi:
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/hype/read/2020/04/08/075511766/sederet-artis-yang-galang-dana-untuk-pekerja-informal-terdampak-covid-19?espv=1

https://m.detik.com/wolipop/foto-entertainment/d-4945804/7-artis--selebgram-indonesia-yang-galang-dana-untuk-lawan-virus-corona/2

https://www.google.com/amp/s/m.liputan6.com/amp/4275210/nasib-tenaga-kesehatan-berjuang-lawan-covid-19-malah-dapat-stigma-negatif?espv=1

https://m.liputan6.com/surabaya/read/4246366/awas-stigma-negatif-pada-pasien-corona-covid-19-bisa-bikin-depresi

https://amp.kompas.com/tren/read/2020/04/13/164454765/salah-kaprah-stigmatisasi-dan-diskriminasi-terhadap-pasien-covid-19

BandungBarat, 12 Juni 2020

PAHLAWAN DI SEKITAR KITA

PAHLAWAN DI SEKITAR KITA
~Lilynd Madjid~




Awal pagi, matahari mulai merangkak naik. Cahayanya memancar tanpa penghalang. Langit pun biru cerah, dihiasi awan putih yang menggantung di angkasa. Sesekali kokok ayam jantan terdengar dari kejauhan ditingkahi suara-suara lainnya. Menandakan aktivitas manusia telah dimulai pagi itu.

Di sudut salah satu jalan yang berada di sebuah perumahan di Desa Cilame kecamatan Ngamprah, Mang Nana (40), penjaja sayur yang biasa berjualan di sana sedang merapikan dagangannya. Biasanya, dia sudah tiba di sudut jalan itu sejak pukul lima. Menggelar dagangannya di emperan fasum komplek dalam keremangan suasana dini hari. Kadang ia melakukannya sendiri, kadang sang istri turut menemani. "Kalau ada yang diperlukan, saya sudah ada di ujung jalan ini sejak subuh," katanya saat ditanya.

Selesai mengemas dan merapikan dagangan, biasanya istrinya akan kembali ke rumah. Mang Nanalah yang akan menunggui dagangan mereka menanti pembeli hingga kurang lebih pukul delapan atau sembilan pagi. Setelahnya, sayur mayur dan barang dagangan lain akan kembali dikemas, lalu disusun dalam keranjang-keranjang sayur yang ada di bagian belakang motornya. Mang Nana akan berkeliling menjajakan dagangannya dengan teriakan khasnya.

Warga komplek sudah hafal ritme berjualan sang penjaja sayur itu. Jika ingin memperoleh sayuran dalam kondisi segar, biasanya pelanggan akan segera mendatangi lapak Mang Nana di sudut jalan.  Sementara untuk mereka yang memiliki kesibukan lebih padat di pagi hari, tentu akan memilih menunggu kedatangan Mang Nana di depan rumah mereka.

Kehadiran Mang Nana, sebagai satu-satunya penjaja sayur di komplek tersebut tentu saja ditunggu-tunggu oleh warga. Terutama oleh para ibu yang tinggal di perumahan itu. Lokasi perumahan yang cukup jauh dari pasar, semakin menambah arti penting kehadiran penjaja sayur tersebut.

Hampir sebagian besar dari warga perumahan menyadari hal tersebut. Dibuktikan ketika beberapa waktu lalu sang penjaja bahan pangan tersebut tidak hadir selama beberapa hari karena sakit, banyak ibu di sana yang mengeluh dan bingung. Hingga ketika ia kembali berjualan, pelanggannya menyambut dengan penuh suka cita.

Ibarat kata, Mang Nana adalah salah satu pahlawan--dari sekian banyak pahlawan yang ada di sekitar kita--bagi sebagian besar ibu rumah tangga di perumahan ini. Orang yang secara tidak langsung telah menjaga stabilitas dan keamanan perut setiap warga dengan bahan-bahan makanan yang dijajakannya. Apalagi saat diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) oleh pemerintah daerah seperti sekarang ini, keberadaan para penjaja sayuran seperti Mang Nana tentu sangat ditunggu-tunggu.

"Tetap jualan, Bu," katanya ketika saat awal masa PSBB lalu ia ditanya, apakah akan tetap berjualan atau tidak. "Takut mah takut juga, lihat berita banyak yang meninggal. Makanya harus pakai masker," katanya seraya menunjuk masker yang dikenakannnya.

Mengenai harga jual tentu saja ada beberapa item yang memiliki harga berbeda dari harga yang bisa kita dapat jika membeli langsung di pasar. Misalnya saja harga ikan--apalagi ikan laut juga hasil laut lain--atau sumber protein hewani lainnya, harganya akan lebih tinggi dibanding dengan harga yang dapat kita peroleh jika berbelanja di pasar. Sementara untuk harga sayur mayur dan produk sejenisnya bisa dikatakan sama dengan harga jual di pasar.

Namun, dibandingkan dengan resiko yang bisa kita dapat saat berada di kerumunan (di pasar), tentu selisih harga yang tidak banyak itu tidak perlu dipermasalahkan. Justru seharusnya kita berterima kasih kepada orang-orang seperti Mang Nana, yang telah memudahkan kita di masa social/ phisycal distancing seperti sekarang ini.

Sumber: Pengamatan dan wawancara nonformal dengan penjaja sayur langganan.

BandungBarat, 11 Juni 2020

Rabu, 10 Juni 2020

RENDEZVOUS

R     E     N     D     E     Z     V     O     U     S
~Cerpen Lilynd Madjid~




"Jadi?" Mary tersipu. Ia tak menyadari jika pipinya kini merona. "Pukul berapa kita bertemu?" tanyanya gugup.

Lelaki yang berbicara dengannya di line telpon seberang pun sama gugup dengan dirinya. Terdengar dari suaranya yang bergetar dan selalu tersendat.

"Ba-bagaiman jika pukul 10 pagi. Di kantin sekolah?

Mary tersenyum membayangkan wajah Andra yang berkelebat dalam lorong memori di kepalanya. Wajah itu pasti memerah kini, dengan keringat mengembun di dahinya. Seperti sosok Andra yang diingatnya saat mereka masih satu sekolah dulu.

"Kantin sekolah?"

"Ya." Suara Andra di seberang sana terdengar mulai santai. "Aku, ingin mengenang saat kita bersama dulu."

Hening sejenak. Dada Mary berdegup kuat. Ingin mengenang saat barsama, kata Andra? Apakah, termasuk juga tentang 'rasa' yang pernah mereka miliki di masa itu, namun kandas?

Ingatan Mary melayang. Saat ia dan Andra masih satu sekolah. Entah siapa yang memulai, hingga tumbuh bunga-bunga di antara mereka. Bunga-bunga indah yang bermekaran mahkotanya. Menebarkan harum aroma cinta. Cinta. Ya, cinta, dan mereka adalah sepasang kepik muda yang bermain di antara semerbaknya.

"Baik." kata Mary akhirnya.

"Kamu bisa, 'kan?"

"Aku? Tidak masalah."

"Aku juga!" Suara Andra terdengar antusias.

"Jadi, besok pukul sepuluh di kantin sekolah?"

"Ok."

"Bagaimana kalau, kita pakai seragam sekolah?"

"Hah? Serius kamu?" Ada nada terkejut dalam suara Andra di seberang sana. Mary tertawa kecil.

"Katamu ingin mengenang saat-saat kita bersama, dulu," ujar Mary sambil tertawa.

"Iya, tapi--"

"Kamu tidak mau?" Mary mendesak. Namun, di bibirnya terbentuk segurat senyum. Ia membayangkan raut wajah Andra yang bimbang.

"Baik."

"Hei!" seru Mary. "Aku tidak serius. Kita bisa memakai baju apa saja."

"Tidak, tidak. Kupikir tidak apa-apa. Supaya kita ... benar-benar merasa kembali ke masa itu." Suara Andra berakhir lirih.

Senyum Mary mengembang semakin lebar. Entah mengapa dadanya terasa bergetar. Ia benar-benar rindu pada Andra, rupanya. Ingin segera berjumpa kembali dengan lelaki itu.

"Ok, Andra. Sampai berjumpa besok?"

"Sampai berjumpa besok, Mary."

***

Mary merapikan seragam putih abu-abu yang dikenakannya sebelum memutuskan ke luar dari mobil yang dikemudikannya sendiri. Ia juga memeriksa riasan di wajahnya sesaat. Cukup mengesankan, pikirnya. Lalu dia menarik napas sejenak sebelum melangkah turun.

Dada Mary berdegup kencang. Perasaannya pun tak karuan. Ini pertama kalinya ia berjumpa kembali dengan Andra, setelah perpisahan yang sama-sama tak mereka inginkan dulu. Dulu ayahnya mendadak saja terkena mutasi ke pulau seberang. Itu membuat Mary harus pindah dari sekolah, dan berpisah dengan Andra secara tiba-tiba.

Sekian waktu mereka kehilangan kontak. Tak dapat saling meberikan kabar. Hingga mereka berdua harus menerima perpisahan itu dengan hati yang lapang. Sampai akhirnya, ia kembali ke kota ini dan media sosial kembali mempertemukan mereka.

Mary berjalan perlahan. Menatap sekelilingnya sambil menumpahkan lagi semua kenangan. Ia seperti melihat dirinya dan Andra di setiap sudut sekolah yang dilihatnya. Ya, banyak kenangan mereka di sini.

Mary berjalan melintasi halaman. Sekuriti yang berada di sana mengernyitkan dahi saat melihatnya.  Mary tersenyum.

"Reuni kecil," katanya mencoba menjelaskan. Pak  sekuriti ikut tersenyum.

Untungnya kegiatan belajar sedang berlangsung, hingga tak banyak orang yang berpapasan dengan Mary. Mary segera saja menuju kantin yang terletak di bangunan paling belakang. Dadanya kembali bergetar.  Ia bertanya-tanya, seperti apa Andra sekarang.

***     ***     ***

Kantin terlihat cukup berbeda. Lebih modern dibanding saat ia masih bersekolah di sini dulu. Mary bertanya-tanya, apakah stand bakso milik Mang Sapri yang menjadi pavorit para siswa kini masih ada?

Beberapa siswa tampak berkumpul di salah satu meja. Mereka menatap Mary dengan segurat  tanya di mata. Mary tersenyum. Mereka pasti anak-anak yang sedang ada jam kosong di kelasnya.

Lalu mata Mary memindai seluruh penjuru kantin. Seorang lelaki yang duduk di meja sudut berdiri dari duduknya. Ia melambai pada Mary. Sesaat Mary terpana. Kemudian gemuruh di dadanya kembali bergelora.

"Andra," bisiknya sambil berjalan mendekat.

Andra tersenyum. Gaya canggungnya masih tersisa. Mary tersenyum lagi dibuatnya.

"Mary, akhirnya kamu datang juga." Andra menjabat tangan Mary sambil menatap lekat pada matanya. "Kamu masih ... cantik seperti dulu."

"Ah, Andra. Jangan membuatku malu. Bagaimana kabarmu?"

"Aku? Seperti yang kau lihat." Andra menunjuk dirinya sendiri. "Duduklah."

Akhirnya mereka duduk berhadapan di sebuah meja. Saling menatap. Saling tersenyum. Saling berkabar dan menceritakan kisah hidup masing-masing setelah mereka berpisah dulu. Satu yang sama-sama mereka sadari, waktu yang terentang memisahkan ternyata telah membekukan sekian banyak kerinduan di antara keduanya. Kerinduan yang kini mencair seiring tatap mata dan untaian kata yang mengalir. Juga debaran dalam dada keduanya.

Kerinduan yang begitu kuat, membuat tatap mata mereka begitu lekat satu sama lain. Membuat senyum mereka rekah begitu cerah. Membuat debaran di dada mereka seumpama musik yang mengalun indah.

"Permisi, Mau pesan apa?" Seorang pelayan menyela percakapan keduanya. Andra menoleh pada Mary yang lalu mengedikkan bahunya.

"Apa bakso Mang Sapri masih ada?"

"Oh, ada, Kek. Kebetulan saya cucunya. Saya yang meneruskan Bakso Mang Sapri. Selain bakso, mie ayam, seblak, dan ramen juga ada."

"Kami pesan bakso saja."

Andra kembali menatap Mary yang masih tersenyum di hadapannya.

"Bukankah ini pertemuan yang sempurna?"

"Yah, setelah empat puluh tahun lamanya, semua nyaris masih seperti dulu. Bahkan makanan pavorit kita."

Lalu keduanya tertawa bersama. Kerut-kerut di wajah tua keduanya tercetak semakin jelas.

*Tamat*

Bandung Barat, 10 Juni 2020

Selasa, 09 Juni 2020

RETAK

R  E  T  A  K
~cerpen Lilynd Madjid~




TRIIING!

Suara notifikasi pada telepon selularku berdenting nyaring. Kuhentikan tekanan kaki pada pedal dinamo. Kusisihkan potongan-potongan kain yang sedang kujahit. Sambil sedikit membungkukkan badan, kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.

[Assalamualaikum, Ayah dan Bunda. Kami ingin mengingatkan lagi tentang kegiatan 'Ayahku Pahlawanku' di kelas, dua hari mendatang. Besar harapan kami, orang tua turut mendukung kegiatan ini. Kami tunggu kesediaan dan partisipasi Ayahanda semua.]

Itu pesan yang masuk dari wali kelas putra semata wayangku di grup TKnya. Kulihat beberapa orang tua membalas pesan itu dengan penuh antusias. Berbagai tanggapan, pernyataan setuju, hingga pertanyaan-pertanyaan ramai memenuhi ruang obrolan.

Beberapa hari yang lalu Bima, putraku, sempat juga bercerita. Katanya, untuk menyambut hari pahlawan yang akan datang, kelasnya akan mengadakan acara 'Ayahku Pahlawanku'. Pada hari itu, para ayah akan hadir di kelas. Bersama-sama dengan putra-putrinya, mereka akan menceritakan kesan dan pengalaman terbaik yang pernah mereka lalui bersama, juga melakukan berbagai aktivitas bersama.

Sesungguhnya ini berat bagiku. Seperti dihadapkan pada buah simalakama rasanya. Di satu sisi, aku tahu kerinduan Bima pada ayahnya. Namun, di sisi lain ... ah, entah bagaimana caranya agar aku bisa menghadapi Mahendra tanpa membuka lagi luka lama.

Aku dan Mahendra, ayah Bima, telah dua tahun berpisah, setelah kami mengarungi samudera rumah tangga sekian tahun lamanya. Keputusan itu kami ambil setelah beragam prahara melanda biduk kecil kami. Membuatnya terguncang. Oleng. Lalu tak terelakkan lagi, karam saat badai terakhir datang dengan dahsyatnya. Memporakporandakan semua mimpi juga harapan yang pernah kumiliki..

Aku kesakitan. Tak mampu lagi bertahan. Pengkhianatan seringkali menjadi pukulan telak yang melumpuhkan seorang perempuan. Termasuk aku. Hingga perceraianlah yang kupilih sebagai jalan keluar. Banyak orang--orang tua, keluargaku, keluarga Mahendra--yang memintaku untuk bertahan. Memaafkan. Memberi Mahendra satu kali lagi kesempatan.  Namun, sekuat apa pun kucoba, ternyata aku memang tak bisa. Luka-lukaku tak pernah bisa terpulihkan.

Mungkin bisa, tetapi jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Lagi pula nyata sudah, kami berdua merasa tak lagi sejalan. Aku tepatnya, yang merasa tak lagi bisa kembali padanya. Tak bisa lagi mengiringi langkah-langkahnya. Juga banyak hal yang sifatnya prinsip, yang tak lagi bisa kami sepakati. Banyak pemikiran-pemikiran kami yang semakin hari, semakin bertolak belakang. Kami lebih sering bersilangan jalan, ketimbang bergandeng tangan beriringan.

***

"Mama!" Mata Bima mengerjap saat aku tersentak dari lamunanku.

"Ya, Bim?"

"Tadi, Bu Guru ingatkan lagi sebelum pulang. Soal acara besok."

Aku menelan ludah. Bagaimana cara menjelaskan pada bocah sekecil Bima?

"Bim," kataku mencoba menjelaskan. Namun, seperti ada yang menyumbat tenggorokanku. Tak mau hilang walau berkali-kali kucoba menelan ludah.

"Papa sudah diberi tahu 'kan? Papa bisa datang 'kan, Mama?" tanyanya. Ada sebongkah besar harap tersirat dalam sinar mata Bima. Ah, bocah kecilku yang malang. Anakku tersayang. Buah hati. Sebesar itukah kerinduanmu pada sosok ayah?

"Nanti Mama telepon Papa lagi ya, Nak," kataku serak. Kepala Bima mengangguk kuat. Senyumnya terkuak lebar. Ah, Sayang. Demi binar di matamu yang cemerlang itu, akan kutahan pedih luka yang kini, lagi-lagi menganga. Akan kutahankan. Demi kamu, Sayang.

***

Tuuut! Tuuut! Tuuut!

Aku masih menempelkan layar ponselku ke telinga. Sudah berkali-kali kutekan nomor Mahendra, tetapi tak pernah terhubung. Kadang nada tunggu akan berbunyi lama, tetapi lebih sering panggilanku ditolak. Berpuluh pesan pun sudah kukirimkan. Hanya menyisakan centang biru tanpa balasan.

Aku geram. Haruskah kudatangi rumah mereka? Memohon dan mengiba agar Mahendra mau datang untuk Bima? Haruskah?

Ada yang berdenyut ngilu di sini. Di dadaku ini. Aku tak sudi meminta-minta pada Mahendra. Apalagi harus mendatangi rumahnya. Berhadapan dengan Angela, sekretaris yang kini berubah status menjadi istrinya. Sungguh aku tak sudi!

Namun, aku tahu, akan lebih sakit hati jika melihat sendu itu bergelayut di wajah murung Bima. Jika mata lelaki kecilku itu tak lagi bercahaya. Ya Tuhan, sungguh aku tak rela. Biarlah, biar. Akan kulakukan apa pun untuk Bima. Apa pun. Walau harus merendahkan diri di hadapan Mahendra dan Angela.

***

"Bima! Bima!"

Kuketuk pintu kamar Bima. Tak ada sahutan. Kuputar gagang pintu. Daun pintu terdorong ke dalam. Kulongokkan kepala mencari sosok putraku. Dia ada di sana. Meringkuk di atas tempat tidurnya seperti bayi. Bahunya bergetar.

Aku bergegas mendekat. Berjongkok di tepi ranjang kecilnya. Samar kudengar suara isak yang teredam.

"Bima? Bima kenapa?"

Isak tertahan Bima menjelma sedu sedan. Hatiku bergetar. Seperti rontok berjatuhan. Kusentuh bahu Bima perlahan.

"Hei? Kenapa, Sayang? Soal Papa?" bisikku di telinganya. Bima menyingkirkan bantal dari wajahnya. Ia duduk lalu memelukku.

"Mama ...." Tangis Bima pecah. Segera kupeluk ia erat-erat.

"Bima jangan nangis. Tenang saja. Papa pasti datang ke sekolah besok," bujukku. Tangis Bima semakin menjadi. "Eh, Bima nggak percaya? Kalau begitu, yuk siap-siap. Kita ke rumah Papa sekarang."

"Bima nggak mau!" Bima melepaskan pelukannya. Ia menatapku. Ada amarah di sana.

"Nggak mau?"

"Bima nggak mau ke rumah Papa!"

"Loh? Kenapa?" tanyaku. Sungguh aku tak mengerti.

"Ta-tadi.... " Kalimat Bima terputus sedu sedannya.

"Ya?"

"Ta-tadi, Bima telepon Papa. Tan-tante Angela yang angkat. Katanya, katanya aku nggak boleh lagi telepon-telepon Papa. Ka-katanya Papa sudah gak sayang lagi sama aku. Papa sudah punya pengganti aku."

"Bi-Bima?"

"Aku benci Tante Angela. Aku benci Papa!"

"Bim? Jangan begitu... " kataku mencoba menenangkan Bima. Walau dalam hati amarahku berkobar.

"Pokoknya aku benci Papa. Aku benci!"

"Bim, jangan dengarkan omongan Tante Angela. Papa sayang sama Bima, kok."

"Kalau sayang kenapa Papa nggak pernah pulang? Memang Papa nggak kangen Bima? Nggak ingin main sama Bima seperti Bayu dan papanya? Seperti Aldo dan papanya? Seperti Dean dan papanya?"

Aku tergugu mendengar ucapan Bima. Anak sekecil itu. Ah, maafkan Mama, Bima. Maafkan Mama. Kupeluk Bima erat. Ia menumpahkan tangis dan kekesalannya dalam dekapanku.

"Mama ...."

"Ya, Sayang."

"Besok Mama saja yang datang ke sekolah, ya?" kata Bima di sela isaknya yang mulai mereda.

"Mama?"

"Iya. Besok, aku bilang sama Bu Guru. Pahlawanku adalah Mama, yang setiap hari peluk aku, menemani aku, menjaga aku ...."

"Bim?"

"Mama ...."

"Ya, Nak?"

"Jangan pernah tinggalin aku."

*Tamat*

Bandung Barat, 9 Juni 2020

Senin, 08 Juni 2020

SHURA DAN DIMA

SHURA dan DIMA
~cerpen Lilynd Madjid~




"Shura!"

Suara seruan di kejauhan menyentakkanku dari keasyikan mengintai ikan di tepian anak Sungai Kolyma yang nyaris membeku. Aku melompati batu-batu besar yang menyembul dari permukaan sungai. Mendaki batu terbesar dengan hati-hati.

Dari puncak batu aku berteriak membalas seruan Oтец yang tadi ditujukan kepadaku.

"Sebentar, Oтец! Aku akan segera kembali!" teriakku sekuat tenaga.

Kemudian dengan kehati-hatian yang sama seperti saat memanjatnya, kuturuni batu besar itu. Kurapikan peralatan berburuku, harpun kecil dan sebuah beliung pemberian kakek, juga ikan-ikan hasil tangkapan yang sudah kuikat. Aku bergegas menuju gua kami.

Di mulut gua kulihat Oтец dan beberapa laki-laki--ada sekitar 25 hingga 30 orang--tengah menyiapkan perlengkapan seperti obor, batu api, tombak, beliung, dan harpun besar. Oтецmemberi isyarat agar aku bergegas.

"Sebentar Oтец, aku akan memberikan dulu ikan-ikan ini pada Мать."

"Segera! Kau tahu hari ini kita mulai berburu." Oтец berkata galak. Ya, ayahku itu memang orang yang sangat tegas. Tidak heran jika kelompok kami mengangkatnya menjadi pemimpin.

Aku mengangguk, lalu setengah berlari memasuki mulut gua. Udara hangat menyambutku saat berada di dalam gua. Gua kami berada di kaki sebuah gunung berapi. Jika ditelusuri, akan ada lorong yang mengarah ke perut bumi. Dari lorong-lorong semacam itulah, mengalir uap-uap hangat ke lorong-lorong gua lainnya. Membuat kami terhindar dari udara dingin Siberia yang membekukan. Perlu beberapa lama menyusuri lorong-lorong gua yang berliku sebelum tiba di lorong tempat keluargaku tinggal.

"Shura! Tadi ayahmu mencari." Мать, ibuku menyambut saat aku tiba.

"Ya, Мать. Ia menungguku berburu." Kuserahkan ikan-ikan itu ke tangannya lalu bersiap-siap pergi.

"Shura!" Мать menahan tanganku. "Berhati-hatilah. Perhatikan saja dari jauh bagaimana orang-orang dewasa menangkap mammoth itu." Aku mengangguk kemudian bergegas keluar.

Di luar gua, persiapan sudah selesai dilakukan. Rombongan kami mulai berangkat. Aku berjalan di samping Oтец. Ada pemuda-pemuda lain seusiaku yang juga ikut dalam perburuan kali ini. Seperti aku, mereka juga sedang disiapkan untuk bisa berburu. Perburuan kali adalah cara kami belajar, dengan melihat secara langsung bagaimana orang dewasa berburu.

Kami tiba di sebuah padang luas di tepi sebuah danau pada siang hari. Udaranya cukup hangat. Oтец bilang itu karena adanya semburan uap dan air panas secara periodik di suatu tempat di sekitar sini. Kami memilih satu area yang cukup tersembunyi sebagai tempat berkemah. Di kejauhan, di tepi danau yang berseberangan dengan tepian tempat kami berada, samar kulihat kawanan mammoth bergerombol.

Setelah menyiapkan perlengkapan, rombongan kami mulai bekerja. Membuat lubang perangkap beberapa ratus meter dari tepi danau. Kamu semua, termasuk aku dan kawan-kawanku menggali lubang besar dengan beliung. Menjelang malam, lubang galian siap.

Setelah itu orang dewasa mengendap-endap dalam gelap menuju kawanan mammoth di seberang danau. Mereka memilih satu mammoth sebagai sasaran dan mulai bergerak mendekat. Obor-obor dinyalakan dengan batu api. Para mammoth mulai menyadari kehadiran kami, mereka kalang kabut menghindar.

Oтец dan teman-temannya menggiring mammoth sasaran menggunakan obor. Mengarahkan binatang besar itu ke lubang perangkap yang sudah kami siapkan. Tidak mudah. Binatang itu selalu mencoba melarikan diri dan mengamuk brutal. Akan tetapi Oтец dan teman-temannya adalah para pemburu andal.  Beberapa waktu kemudian mammoth itu sudah dapat dilumpuhkan di dalam lubang perangkap. Aku bergidig ngeri saat satu harpun besar dihantamkan menembus tengkorak kepalanya.

Setelah si Mammoth roboh, kami mulai menguliti mahluk raksasa malang itu. Perutku mendadak mual mencium amis darah yang menguar. Diam-diam aku menyingkir, berjalan menjauhi lubang. Aku butuh udara segar.

Satu suara dengusan mengagetkanku saat sedang berdiri menatap tepian danau di kejauhan. Aku mengendap-endap mencari sumber suara. Di balik sebatang pohon tidak jauh dari lubang perangkap, sebuah bayangan gelap terlihat. Saat aku mendekat, bayangan itu mendengus.

Aku segera menyadari mahluk apa itu. Masih mengendap-endap, kudekati Oтец. Aku memberitahukan keberadaan tamu kami. Oтец dan beberapa orang perlahan mengepung, lalu menyergap bayangan itu dengan tali serat kayu yang kami punya. Mahluk itu meronta. Mendengus-dengus dan sesekali mengeluarkan suara menguik yang menurutku sangat menyedihkan. Seseorang kulihat mengacungkan harpun ke arah kepalanya.

"Jangan!" Tanpa sadar aku berteriak. Semua menoleh ke arahku. "Ja-jangan bunuh dia, kumohon. Oтец, tolong biarkan bayi mammoth itu hidup," kataku mengiba.

***

Aku memberi nama bayi mammoth itu Dima.

Jadi, malam itu Oтец mengabulkan permohonanku. Kami membawa pulang Dima dan berton-ton daging mammoth yang menurutku adalah induk Dima. Agak menyedihkan memang.

Awalnya Oтец melarangku memelihara Dima. Namun, aku berkeras. Kasihan dia, ibunya sudah mati, sementara kawanannya telah meninggalkan tepian danau entah kemana. Jika ditinggalkan, bisa saja dia menjadi mangsa empuk binatang buas.

Maka di sinilah Dima sekarang. Tinggal di dalam satu lorong gua yang tak dihuni. Kupelihara dan kurawat dia dengan kasih sayang. Ternyata mammoth kecil ini binatang yang cerdas. Dia bisa mengenali aku, yang setiap hari datang memberinya makan. Kini dia tidak takut lagi padaku. Ia juga membiarkan, saat aku membelai bulu lebatnya, atau mengusap puncak kepalanya.

Kadang-kadang aku mengajaknya berjalan-jalan ke luar dari dalam gua. Jika sudah begitu ia akan berjalan di sampingku atau mengikutiku di belakang. Akhir-akhir ini Dima bahkan mengikutiku saat aku pergi menombak ikan.

***

Aku sedang menuju anak Sungai Kolyma pagi ini. Sebenarnya, Oтец dan Мать melarangku untuk menombak ikan. Cuaca agak tidak bagus. Kemungkinan badai salju akan datang. Namun, persediaan ikan kami sudah habis. Adik bungsuku, Makari, tak bisa makan jika tak ada ikan. Maka aku memaksa Oтец untuk mengizinkanku menangkap satu dua ekor ikan. Oтец akhirnya mengijinkan, dengan syarat, aku pulang sebelum tengah hari.

Ternyata cuaca memburuk begitu cepat. Badai datang menggulung saat aku masih mengemasi ikan yang kuperoleh. Segera kucari perlindungan di balik bebatuan. Namun, badai begitu dahsyat. Salju berhamburan menyerbu tubuhku.

Badai belum juga mereda saat aku mulai menggigil hebat. Mantel kulit mammoth yang kukenakan tak mampu menahan dingin yang menggigit. Gigiku gemeletuk. Tanganku tremor dan sudah mati rasa. Sedikit penyesalan menyusup dalam hati. Mengapa tak kuhiraukan larangan Oтец dan Мать tadi?

Kurasa kesadaranku mulai menghilang, saat kudengar suara dengusan. Lapisan salju yang kupijak terasa bergetar. Lalu seonggok bulu tebal menyentuhku. Bukan, bukan menyentuh, tetapi melilit dan menarikku. Menyurukkanku pada gumpalan bulu yang lebih tebal. Hangat mengalir melingkupiku. Sempat kubuka mata sejenak sebelum kembali menutupnya. Aku mengenali sosok besar itu.

"Dima ... kamu datang?"

*Tamat*

Catatan:
отец = ayah
Мать = ibu

Minggu, 07 Juni 2020

GADIS DALAM GELEMBUNG

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_7
#NomorAbsen_222
Jumlah kata : 992 kata (hanya isi)

GADIS DALAM GELEMBUNG



"Bagaimana perasaanmu saat ini?"

Dokter Laiyla memandang sosok di depannya lekat. Gadis remaja itu masih terdiam dengan pandangan yang nyaris kosong.

"Anna? Kamu mendengarku?"

Mata Anna mengerjap. Sesaat ia melirik ke arah Dokter Laiyla, psikiaternya. Namun, tak ada suara yang keluar. Ia malah menunduk. Jari-jari tangan kanan menyentuh perlahan perban yang melintang di pergelangan tangan kirinya.

Anna dilarikan ke rumah sakit oleh ibunya setelah ditemukan terkapar dalam kubangan darahnya sendiri di kamar mandi rumahnya. Dokter Laiyla, psikiater rumah sakit yang menangani Anna masih harus terus menggali, motif gadis itu sampai menyayat urat nadi lengan kirinya sendiri.

"Anna?"

"Aku lelah, Dok. Boleh beristirahat?" kata gadis itu. Pelan, nyaris serupa bisikan.

Dokter Laiyla menarik napas. Ia mengangguk. Percuma memaksa Anna bicara. Sudah beberapa sesi ia jalani setelah Anna cukup pulih dari lukanya, tetapi ia belum berhasil mengorek informasi terkait penyebab utama depresi berat yang dialami gadis itu.

Informasi yang didapat dari orang tua pada sesi sebelumnya, hanya dapat menyimpulkan bahwa selama ini Anna adalah seorang anak yang introvert. Hal yang sudah ia duga berdasarkan pengamatannya selama menangani Anna. Sementara informasi lain terkait percobaan bunuh diri itu belum berhasil ia peroleh. Bahkan orang tua Anna pun masih bertanya-tanya mengapa. Dokter Laiyla mulai berpikir untuk mencari cara lain mengorek informasi pada sesi-sesi Anna berikutnya.

***

Anna menjerit histeris pada pertemuan di sesi berikutnya. Ia mengamuk dan mengancam menyakiti diri sendiri jika dokter Laiyla mendekat. Hingga dengan terpaksa, dokter meminta dua perawat yang mendampinginya untuk menyuntikkan obat penenang.

Di ruangannya Dokter Laiyla termenung. Anna seperti sedang membangun benteng perlindungan tak kasat mata bagi dirinya. Ia tak ingin orang lain memasuki zona pribadinya. Mungkinkah ada trauma yang menyebabkan gadis itu berperilaku demikian? Dokter Laiyla membuka buku catatannya, menuliskan sesuatu di sana sambil sesekali membolak-balik catatannya tentang Anna.

Tak lama ia terlihat mengambil gagang pesawat telepon di sisi mejanya. Melakukan panggilan dan berbicara sangat serius dengan lawan bicaranya di seberang sana. Berkali-kali ia membuka bukunya, mencatat, membolak-balik lagi catatannya seperti mengkonfirmasikan sesuatu. Ada sebuah dugaan yang harus ia buktikan.

***

"Anna! Aku harus melakukan sesuatu selama beberapa waktu. Bisakah kamu menungguku?" Dokter Laiyla menatap Anna yang duduk di depannya. Anna hanya mengangguk.

Itu adalah sesi yang ke sekian Dokter Laiyla bersama Anna. Anna sendiri sudah lama keluar dari rumah sakit. Hanya saja, secara kejiwaan, gadis itu masih harus berada dalam pengawasan. Ia melanjutkan sesi terapi bersama Dokter Laiyla dua minggu sekali di klinik pribadi milik sang dokter.

Berbagai pendekatan dilakukan Dokter Laiyla untuk dapat sekedar 'menjangkau' Anna dan masuk ke dalam zona pribadi gadis itu. Sulit pada awalnya, sebab di mata Anna, semua orang adalah musuh yang perlu diwaspadai. Namun kerja keras Dokter Laiyla membuahkan hasil. Kini Anna sudah cukup membuka diri padanya. Hanya sedikit. Namun celah kecil itu tak ingin disia-siakan oleh Dokter Laiyla.

Dokter paruh baya itu akhirnya menemukan adanya riwayat perundungan yang dialami oleh Anna. Tidak hanya sekali. Puncaknya perundungan yang dilakukan teman-temannya secara verbal di sekolah maupun di dunia maya. Dokter Laiyla berhasil menemukan jejak digital perundungan itu.

"Baik. Kalau begitu, kamu tunggu di sini. Sambil menunggu, kamu boleh menggambar. Aku punya setumpuk kertas gambar dan krayon di sini. Boleh kamu gunakan."

Dokter Laiyla berdiri, kemudian berjalan meninggalkan Anna. Ia menoleh sebentar sebelum membuka pintu. Mendapati Anna sedang memperhatikannya. Dokter Laiyla tersenyum lalu bergegas ke luar.

Dokter Laiyla masuk ke ruang lain di kliniknya. Beberapa orang menunggu di depan layar monitor. Ia segera menghampiri mereka.

"Sudah siap?" tanyanya.

"Pengamatan sudah dimulai," jawab salah seorang dari mereka sambil menunjuk layar monitor. Dokter Laiyla mendekat. Ia menatap layar sambil tersenyum lebar. Di sana terlihat Anna yang sedang menunduk di atas kertas gambar di meja kerja Dokter Laiyla. Tangannya bergerak mengguratkan crayon dengan lincah di atas permukaan kertas.

***

"Jadi, siapa dia?"

Dokter Laiyla menunjuk ke arah kertas gambar di tangannya. Itu gambar yang tadi dibuat Anna saat ia tinggalkan. Menggambar adalah hobby Anna yang berhasil diketahui Dokter Laiyla pada akhirnya. Boleh dibilang, itulah keahlian gadis itu. Dokter Laiyla mengagumi kehalusan gambar yang kini ada di tangannya.

Anna terlihat gelisah. Bibirnya terbuka, sepertinya dia masih ragu untuk menjawab. Dokter Laiyla mengalihkan pandangannya dari gambar. Ia menatap Anna lembut.

"Apakah itu kamu?" tanya Dokter Laiyla. Mata Anna mengerjap. Ia menatap Dokter Laiyla dengan pandangan penuh tanya.

"Bagaimana Dokter tahu?"

"Jadi benar itu kamu?" Dokter Laiyla kembali tersenyum. Ia melihat lagi gambar di tangannya. Seorang gadis sedang duduk dalam sebuah gelembung besar sambil menopangkan dagu pada lututnya. Gelembung itu melayang rendah, sementara di luar gelembung, banyak sekali orang mengelilinginya. Anna mengangguk.

"Itu aku," katanya lirih.

"Mengapa dalam gelembung? Apa kamu membayangkan berkeliling dunia dengan gelembung ini?" Pancing Dokter Laiyla. Anna menggeleng.

"Itu aku, Dok. Aku yang hidup dalam gelembung."

"Kamu apa?"

"Sejak dulu--" Anna terlihat ragu. Lama ia menatap Dokter Laiyla. Sang dokter memberi isyarat agar gadis itu tidak ragu-ragu untuk melanjutkan ceritanya. "Sejak dulu aku selalu merasa hidup dalam gelembung. Aku hidup bersama orang-orang, banyak orang, tetapi tak pernah benar-benar bersama. Aku ... ada gelembung transparan yang memisahkanku dengan mereka. Sekuat apa pun aku berusaha keluar, gelembung itu kembali memerangkapku." Anna terdiam sesaat. Sedikit terengah-engah. Berbicara cukup banyak rupa-rupanya menguras energi Anna.

"Aku tahu, sebagian orang menganggapku aneh. Pada akhirnya mereka membullyku karena itu. Mereka tidak tahu sekuat apa aku berusaha. Mereka tidak pernah mengerti. Akhirnya, aku merasa lebih nyaman berada dalam gelembungku. Aku membangun gelembung yang lebih kuat. Duduk memandang ke luar dari dalamnya. Tetapi mereka terus saja mengusikku. Menggangguku. Bahkan di dunia maya, tempat aku bisa sejenak keluar dari dalam gelembungku. Rasanya aku mau mati saja. Itulah yang sedang kulakukan sebelum mama menemukanku malam itu. Membawaku ke rumah sakit, dan akhirnya bertemu denganmu." Air mata Anna berderai.

Dokter Laiyla termenung. Jadi, itulah penyebabnya. Kalau begitu dugaannya tidak meleset. Perundungan selalu berdampak buruk bagi yang mengalaminya. Amat buruk. Sesaat ingatannya melayang ke waktu-waktu yang lampau. Kenangan pahit yang pernah ia alami sendiri. Dipandanginya wajah penuh air mata Anna. Kini ia dapat mengerti perasaan gadis yang ada di hadapannya.

"Anna. Tenanglah, kita akan menghadapi ini bersama-sama. Aku akan membantumu."

*Tamat*

Sabtu, 06 Juni 2020

SEKEPING HATI UNTUK LZYLZY NOURAZ

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_6
#NomorAbsen_222
Jumlah kata :  911 kata (hanya isi)

SEKEPING HATI UNTUK LZYLZY NOURAZ


Bzimza Noorzofz berjalan perlahan. Ia tahu, di belakangnya ada Lzylzy Nouraz yang juga sedang bergegas menuju Bellazar D01, satu-satunya sekolah menengah yang berada di distrik mereka. Distrik 01. Bzimza sengaja berjalan pelan-pelan, agar ia dapat  membersamai Lzylzy, gadis yang diam-diam disukainya. Padahal suara sirine tanda sekolah di mulai sudah terdengar. Meraung keras, membuat semua siswa Bellazar D01 yang masih berada di jalan kalang kabut berlarian.

Bangunan sekolah sudah terlihat di depan sana. Suara tak, tik, tuk di belakang Bzimza terdengar semakin cepat. Bzimza tersenyum. Itu pasti suara sepatu Lzylzy yang beradu dengan batu hitam penyusun jalan yang mereka lalui. Nanti, saat Lzylzy sudah melewatinya, barulah Bzimza berniat berlari juga. Menjajari langkah Lzylzy.

Suara tak, tik, tuk semakin dekat. Bzimza melirik dengan ekor matanya. Satu sosok mulai menjajari langkah kakinya. Senyum Bzimza semakin lebar.

"Bzimza, ayo bergegas. Sirine tanda sekolah dimulai sudah terdengar. Apa kau tidak menyadarinya?"

Bzimza menoleh. Senyumnya memudar seketika. Oh, tidak! Itu bukan Lzylzy, tetapi Dyazz Azryayz tetangganya yang juga bersekolah di Belazzar D01. Lalu di mana Lzylzy? Sepertinya, tadi gadis itu juga ada di belakangnya?

"Bzimza? Kau menunggu siapa?" Dyazz ikut menoleh ke belakang mengikuti arah pandang Bzimza.

"Eh? Tidak. Aku tidak menunggu siapa-siapa." Bzimza menyahut. Menyembunyikan kekecewaannya karena ternyata Lzylzy tidak ada di belakang sana.

Sesampainya di depan bangunan Belazzar D01, Bzimza dan semua anak yang baru tiba serentak mengeluh pelan. Gerbang besar telah ditutup. Menyisakan pintu besi kecil yang setengah terbuka, dan dijaga oleh seorang pengawal gerbang berwajah sangar.

"Berbaris!" perintah pengawal pada sedikitnya dua puluh anak, termasuk Bzimza dan Dyazz  yang terlambat. Mata hijau si pengawal menatap tajam, memperhatikan kedua puluh anak itu berbaris. "Berjalan masuk dalam satu barisan! Langsung menuju Tanah Penghukuman!" Si pengawal berteriak lagi. Suara seraknya terdengar berat dan menakutkan.

Tidak ada yang menunggu perintah diulangi, semua bergegas dalam satu barisan, menuju Tanah Penghukuman. Tempat di mana anak-anak yang melanggar disiplin mendapatkan sanksi. Wajah Bzimza bersemu hijau. Ini pertama kalinya ia berada di Tanah Penghukuman. Tempat di mana ia akan mendapati tatap-tatap mata semua siswa di seluruh Belazzar D01 tertuju pada dirinya sebagai si pelanggar tata tertib.

Bzimza menundukkan kepalanya. Tak berani memandang ke sekeliling. Bagaimana jika di antara ratusan mata yang sedang menatapnya ada Lzylzy Nouraz yang juga sedang melihat ia menerima sanksi karena terlambat datang? Hih! Itu akan sangat memalukan.

"Perhatian, untuk semua siswa Belazzar D01. Berbaris di depan kelas kalian masing-masing. Sebelum masuk, seperti biasa kita akan menyaksikan pemberian sanksi terhadap kawan-kawan kalian yang telah melanggar tata tertib Belazzar D01. Kesalahan mereka adalah tidak berdisiplin, tiba di sekolah sesudah sirine dikumandangkan.

"ketidakdisiplinan adalah awal kehancuran yang tentu saja akan merugikan kalian sendiri, juga kita, seluruh Bangsa Azzura. Sejarah pernah mencatat, bangsa kita nyaris lenyap dari Planet Zarrazanz ini. Namun, berkat kegigihan dan kedisiplinan yang selalu kita bangun, kita dapat melewati masa-masa suram. Kini, di hadapan kalian, dua puluh, oh tidak, dua puluh satu siswa telah melakukan pelanggaran kedisiplinan. Apakah kalian ingin mengulang sejarah kelam untuk Bangsa Azzura?"

Kedua puluh satu anak yamg berbaris di Tanah Penghukuman serentak meneriakkan kata tidak.

"Jika demikian, untuk melatih kembali disiplin pada diri kalian, kami akan memberikan sanksi. Kesalahan kalian adalah terlambat datang, itu menandakan kalian tak mampu bergerak lebih cepat. Untuk itu, sekarang berlarilah mengelilingi Tanah Penghukuman sebanyak dua puluh putaran dalam waktu 2400 kedipan mata. Laksanakan!"

Semua anak yang berdiri di tanah penghukuman mulai berlari. Bzimza mengeluh dalam hati. Dua puluh putaran dalam waktu 2400 kedipan mata? Hmm ini berat. Bzimza mulai mengatur napasnya agar bisa dihemat hingga putaran terakhir. Syukurlah dia mampu.

Tepat di kedipan ke-2400, Bzimza menyelesaikan putaran kedua puluhnya. Bzimza menepi. Napasnya masih tersengal ketika seseorang menabraknya dari belakang kemudian roboh terkulai. Pingsan.

"Lzylzy!" seru Bzimza panik begitu menyadari siapa yang  baru saja ambruk di atas lantai batu hitam.

***     ***     ***

Bzimza tersenyum pahit jika kini mengingat hal itu. Betapa konyolnya dia saat itu. Sebab setelah melihat Lzylzy terbaring pingsan, dengan panik ia langsung membopongnya ke ruang penyembuhan. Semua siswa Belazzar D01 gempar. Bisik-bisik pun mulai terdengar. Menggunjingkan Bzimza dan aksi nekatnya menyentuh anak perempuan.

Setelah pulih, Lzylzy selalu menghindari Bzimza. Ia malu mendengar segala gunjingan itu. Di Planet kecil Zarrazanz, ada sebuah peraturan tak tertulis yang telah mengakar: tidak diperbolehkan menyentuh lawan jenis, jika bukan keluarga. Itu tabu. Dan Bzimza telah melanggarnya di depan banyak orang.

Hingga mereka sama-sama beranjak dewasa, Lzylzy masih saja menghindari Bzimza. Itu membuat Bzimza begitu tersiksa. Bagaimana tidak? Padahal Lzylzy telah mencuri sekeping hati milik Bzimza. Ini membuat Bzimza tak pernah lagi bisa mencintai gadis mana pun.

Orang bilang, cinta masa remaja bukanlah cinta yang sebenarnya. Mereka bilang itu hanyalah cinta monyet belaka. Akan tetapi, Bzimza tak pernah bisa percaya. Adakah cinta monyet sedalam yang ia rasakan pada Lzylzy?

"Lupakan Lzylzy Nouraz, Bzimza."

Itu yang selalu Momma katakan pada Bzimza sejak bertahun-tahun lalu. Ibunya itu tahu bagaimana perasaan Bzimza pada Lzylzy. Namun, sejak hari Momma menerima selembar kartu undangan dari keluarga Nouraz yang mengabarkan hari pernikahan Lzylzy dengan seseorang dari Distrik 13, Momma selalu menyuruh Bzimza untuk realistis.

Bzimza tak pernah bisa.

Sejak dulu, Bzimza telah memberikan sekeping hatinya untuk Lzylzy Nouraz, dan gadis itu tak pernah mengembalikannya.

"Jangan salahkan aku jika tak lagi bisa mencinta gadis mana pun, Momma. Sungguh aku tidak pernah lagi bisa."

Hingga akhirnya Nyonya Noorzofz, Momma Bzimza, menyerah. Ia tak lagi memaksa putranya untuk mencari gadis lain. Meski di dalam hati  Nyonya Noorzofz masih tersimpan pertanyaan: bagaimana mungkin cinta monyet bisa sedemikian lama bertahan? Atau apakah sebenarnya Bzimza hanyalah seorang pemuja cinta platonis yang mendamba dengan sia?

*Temet*

.

Jumat, 05 Juni 2020

CERITA PENGANTAR TIDUR AYLA

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_5
#NomorAbsen_222
Jumlah kata : 953 kata (hanya isi)

CERITA PENGANTAR TIDUR AYLA




"Pada zaman dahulu kala--"

"Mama, Ayla bosan!" Tiba-tiba saja Ayla menyela kalimatku.

"Eh?" Aku mengernyit heran.

"Pasti mama mau cerita kancil lagi, 'kan?"

"Bagaimana kamu tahu?" Aku mengubah posisiku menghadap ke arah Ayla.

"Itu tadi." Bibir mungi Ayla mengerucut.

"Itu apa?"

"Mama mengawali ceritanya dengan 'pada jaman dahulu kala,' itu pasti cerita kancil. Seperti cerita Mama kemarin-kemarin," protes gadis kecil itu. Aku terbahak.

"Jadi, kamu tidak mau kalau mama cerita kancil?" Kucubit ujung hidungnya dengan gemas.

"Tidak. Ayla bosan!" Ayla mengelak dari cubitanku yang berikutnya.

"Lalu kamu mau Mama cerita apa?"

"Mmm ... sebentar, Ayla pikir dulu." Mata Ayla mengerjap. Ia tampak berpikir keras.

"Apa?" Aku tak sabar.

"Mmm ... Ayla nggak tahu, Mama. Pokoknya Ayla mau Mama cerita yang seru. Jangan kancil melulu.

Lagi-lagi aku tergelak sambil mengacak rambut ikalnya. Bocah enam tahun itu ikut tertawa.

"Oke. Dengar ya, pada suatu hari--"

"Aaah, Mama jangan cerita itu." Lagi-lagi Ayla menyela kalimatku.

"Kenapa? Ini bukan cerita kancil," kataku.

"Iya, tahu, itu cerita kelinci lomba lari dengan kura-kura. Cerita itu juga sudah bosan Mama. Ayo cerita yang lain lagi." Ayla mulai merengek.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mulai lagi mencoba menceritakan sebuah dongeng pada Ayla.

"Pada suatu hari di sebuah hutan ... "

"Itu cerita keluarga beruang! Ayla nggak mau!" Rengekan Ayla semakin menjadi. Fyuh, baiklah, aku menyerah.

"Mas! Mas Arshaka! Sini! Ini Ayla minta didongengi!"

Itu jurus terakhirku jika kewalahan menghadapi permintaan Ayla. Panggil saja papanya. Hahaha.

Mas Arsaka melongok dari ambang pintu. Ayla melonjak-lonjak senang menyambut kedatangannya. Aku segera saja menyingkir. Jika sudah begini, biarkan saja mereka menghabiskan waktu berdua. Aku? Ooo, aku bisa memanfaatkan waktu yang ada untuk merawat wajah atau apa di kamar sebelah. Me time. Haha.

***     ***     ***

Aku baru saja akan membersihkan sisa-sisa masker di wajah saat Mas Arshaka masuk.

"Ayla sudah tidur?" tanyaku. Mas Arshaka mengangguk. "Kok lama?" Aku melirik jam yang menempel di dinding kamar. "Memang tadi cerita apa?"

"Kisah-kisah sahabat nabi."

"Waaah, untung ada kamu, Mas. Ayla sekarang nggak mau lagi diceritai dongeng-dongeng anak."

"Iya. Dia sudah mulai kritis. Tadi waktu aku sedang cerita pun banyak disela oleh Ayla. Bertanya itu ini, ini itu. Cerewetnya persis kamu." Aku tergelak mendengar ucapan Mas Arshaka.

"Makanya aku kewalahan akhir-akhir ini menghadapi Ayla menjelang waktu tidurnya," keluhku.

"Kenapa?" Mas Arshaka membaringkan tubuhnya di atas kasur. "Tinggal baca saja banyak buku--yang sesuai dengan usia Ayla tentu--lalu nanti kamu ceritakan ulang."

"Itu yang agak sulit, Mas. Aku nggak punya waktu untuk bisa membaca banyak buku."

"Nggak punya waktu atau nggak mau menyisihkan waktu?" Ejek Mas Arshaka sambil tersenyum lebar.  Kulempar bantal ke arahnya. Dia mengelak sambil tertawa-tawa.

***     ***     ***

"Yakin, nih, Ayla mau nginap di rumah Bimby seminggu?" Aku kembali bertanya pada Ayla saat mengantarnya ke teras rumah. Ayla mengangguk kuat.

Di halaman, adikku Kenanga dan anaknya Bimby menyambut Ayla.

"Udah, sih, Kak. Kayak mau melepas Ayla kemana aja. Dia kan cuma ke rumahku. Lagi pula hanya seminggu." katanya.

"Iya, iya, tapi nanti kalau dia rewel atau apa, telpon aku."

"Aman. Tapi kayaknya nggak deh. Lihat itu, malah sepertinya Ayla sudah nggak sabar."

"Yah, pokoknya, aku titip Ayla. Kalau ada apa-apa, kamu telepon aku."

"Siap! Aku pergi dulu, Kak. Eh, Ayla, salam dulu sama Mama ya." Kenanga mengingatkan Alya.

"Mama, Alya pergi ke rumah Bimby dulu ya. Daah, Mama!"

"Daah, Ayla. Baik-baik ya, di rumah Bimby. Nurut sama Tante!" seruku.

Aku masih melambaikan tangan saat mobil yang dikemudikan Kenanga menghilang di tikungan jalan. Setelahnya aku berbalik. Baru saja Ayla pergi, tapi rasa rindu sudah menyergap. Apalagi saat melihat rumah yang lengang, dengan mainan-mainan Ayla yang bertebaran di mana-mana.

Fyuh!

Ini pertama kali aku melepas Ayla jauh dariku. Untung ada Mas Arshaka yang selalu menenangkan.

"Sudahlah, biar. Sesekali Ayla jauh dari kita tidak apa-apa," katanya, "lagi pula, dia hanya di tempat adikmu. Bukan ke mana-mana. Lihat sisi positifnya saja."

"Apa?"

"Kamu  jadi tidak perlu bingung-bingung lagi 'kan, mau bercerita apa pada Ayla sebagai pengantar tidurnya. Satu minggu bebas tugas loh." Mas Arshaka terbahak. Aku diam, tetapi dalam hati bersorak senang. Betul juga yang Mas Arshaka katakan.

Ternyata memang benar, aku tidak perlu merisaukan Ayla yang menginap di rumah adikku. Setiap hari Kenanga menelpon, melaporkan bahwa Ayla baik-baik saja. Saat kami melakukan video call, kulihat Ayla juga sangat ceria. Jadi ya, kuakui, kekhawatiranku memang berlebihan.

Satu minggu berlalu tanpa terasa. Mas Arshaka menjemput kembali Ayla. Bocah itu berlari sambil berteriak memanggilku saat ia tiba di rumah. Kami berpelukan erat seperti sudah seabad tak berjumpa.

Selama satu minggu ini, aku sudah membaca banyak kisah. Persediaan jika nanti Ayla memintaku bercerita menjelang dia tidur.

Waktunya tiba. Ayla sudah siap di pembaringannya. Selimut bergambar little pony sudah menyelubungi tubuh mungilnya.

"Mama, cerita dulu!"

Aha! Ini dia. Aku tersenyum lebar penuh percaya diri.

"Oke!" kataku. "Mama punya kisah yang bagus untuk Ayla."

"Oh ya?"

"Iya dong!"

"Mana?"

"Dengarkan ya. Alkisah, di suatu negeri di timur tengah sana--"

"Mama mau cerita tentang Aladin dan lampu wasiat?"

"Hah? Kok Ayla tahu?"

"Papa sudah pernah cerita itu," celetuk Ayla.

"Kalau kisah sahabat nabi?" tanyaku.

"Sahabat yang mana? Bilal sudah, Abbas ibnu firnas, Zaid bin Haritsah, Ham--"

"Semua sudah Ayla dengar?"

"Iya. Papa yang cerita. Mama cerita yang lain aja. Atau cerita-cerita kayak yang diceritakan Tante kemarin. Iya, Ma yang itu aja."

"Cerita apa?"

"Cerita seru, Ma. Ayla suka."

"Memangnya kemarin Tante Kenanga cerita apa?" Aku semakin penasaran.

"Ada banyak, Ma. Perebut Tanah Wakaf Mati Tersengat Listrik, Jenazahnya Hanyut; Penyiksa Anak Yatim Mati dengan Perut Membengkak Disengat Ribuan Tawon, Kerandanya Terkena Badai--"

"Stop, stop Ayla!" kataku. Ayla berhenti bicara. Aku memberi isyarat agar dia tetap di tempat. Kusambar ponsel lalu bergegas ke luar sambil menekan nomor Kenanga.

"Assalamualaikum! Halo, Ka--"

"Kenapa anakku kamu cekokin cerita-cerita azab ala sinetron ikan terbang?"

Tuuut, tuut, tuuut

Apa dimatikan?

"Awas kamu, Kenangaaaa!"

*Tumit*

Kamis, 04 Juni 2020

RUMAH SEBERANG JALAN

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_4
#NomorAbsen_222
Jumlah kata : 989 kata (hanya isi)

MEREKA TETANGGAKU:
RUMAH SEBERANG JALAN
.

Awal pagi yang selalu sibuk. Sejak pindah ke rumah ini seminggu lalu, kesibukan dan kericuhan di pagi hari memang meningkat di keluargaku. Jarak rumah yang jauh dari mana-mana membuat kami membutuhkan waktu tempuh yang lebih lama ke tempat aktivitas masing-masing, dibandingkan jarak yang kami tempuh saat masih di rumah lama.

Setiap pagi, semua orang akan bergegas ke sana, ke mari, sambil melakukan ini dan itu. Papa misalnya, sepagi ini sudah sibuk menelpon memberi berbagai intruksi pada lawan bicaranya di seberang sana.

Mama terlihat sedang panik saat aku melintasi pintu kamarnya yang terbuka. Satu tangannya mencari entah apa di laci nakas. Sementara tangan satunya memegangi pengering rambut yang berdesing di sisi kepala. Aku menggeleng takjub.

Turun ke lantai bawah, hiruk pikuk lain menyambutku. Kesibukan yang sama sudah berlangsung. Kakakku Shila ribut menanyakan di mana disimpannya entah apa pada Bi Darmi, yang juga sedang sibuk memasak sarapan. Sementara Mang Aep tampak sedang memanaskan mesin mobil yang akan digunakan untuk mengantar Mama ke kantor. Lagi-lagi aku menggeleng. Sepagi ini? Bahkan ayam jantan di kejauhan belum berhenti berkokok.

Sepertinya hanya aku yang agak santai di rumah ini. Tidak sepenuhnya santai sih. Hari ini aku ada kuliah pagi, tapi biar saja, aku tak suka tergesa-gesa. Ketergesaan membuat orang-orang tak bisa menikmati setiap detik waktu yang hadir dalam hidupnya. Itu pandanganku, ya.

"Dean! Kenapa belum bersiap-siap?" Suara Mama terdengar lantang. Kulihat ia sudah berdiri di ujung tangga dengan rambut yang sudah rapi. Bagaimana mungkin? Tadi kan Mama masih berkutat dengan rambutnya di atas?

"Matahari saja belum muncul, Mam. Kenapa harus terburu-buru?"

"Seperti tidak tahu saja bagaimana kemacetan di luar sana." Mama berjalan ke meja makan sambil menggerutu. "Cepat bersiap-siap, atau nanti Mama tinggal!" ancamnya padaku. Aku mendengkus sebal.

Argh!

Lagi-lagi harus mengalami ketergesaan yang kubenci. Lihat itu tetangga kami di seberang jalan, rumah mereka masih tenang. Mungkin penghuninya masih lelap di balik selimut tebal. Eh, tapi mungkin juga tidak. Itu, ada yang sudah bangun dan berdiri di dekat bingkai jendela besar ruang depan. Aku berjalan ke ujung teras agar dapat melihat lebih jelas. Seorang gadis.

Wah!

Kulambaikan tangan. Kulihat gadis di jendela tersenyum dan balas melambai.

Wah!

"Dean! Cepat bersiap-siap!"

"Iya, Mam. Iya."

Ah, Mama. Merusak suasana saja. Padahal gadis itu manis sekali. Kulangkahkan kaki dengan malas, kembali ke dalam. Sebelum masuk, sekali lagi kulepaskan pandang ke arah rumah seberang. Gadis itu sudah tak ada di sana.

***     ***     ***

Aku sedang duduk di tepi jendela kamar saat kudengar alunan musik dari rumah seberang jalan. Aku mengintip dari balik gorden. Dari luar, suasana rumah itu terlihat tenang. Semua pintu dan jendelanya tertutup rapat. Lampu penerangan di luar rumahnya pun begitu muram. Mungkin mereka sedang berhemat listrik.

Suara musik masih terdengar. Terkadang diselingi gelak tawa dari dalam rumah. Aku jadi penasaran, sedang apa mereka? Kubayangkan gadis manis itu sedang bercengkrama dengan keluarganya. Menikmati waktu istirahat bersama sambil mendengarkan lagu-lagu yang mereka sukai. Saling melempar joke dan tertawa bersama setelahnya.

Keluarga yang harmonis.

Di rumah ini, mana bisa hal-hal seperti itu kualami. Papaku si workaholic, tentu saja super sibuk. Mama pun demikian. Entah apa yang mereka cari. Shila jangan ditanya, temannya di mana-mana. Sepertinya setiap hari dia dan teman-temannya memiliki segudang rencana untuk dilakukan bersama.

Maka makan malam bersama keluarga adalah mimpi yang selalu melintas dalam angan, bagiku. Tak pernah terealisasi, walau berkali-kali janji kami sepakati. Baik di rumah lama kami dulu, maupun di sini. Selalu hanya aku yang ada di rumah saat makan malam tiba. Akhirnya, makan malamku seringkali hanya ditemani Mang Aep dan Bi Darmi.

Saat sarapan--yang seringnya terlalu pagi--kami memang sering bersama. Akan tetapi, sarapan macam apa itu, jika semua orang makan seperti dikejar hantu. Selalu terburu-buru.

Suara musik masih mengalun dari rumah tetangga kami. Aku jadi penasaran. Kusingkap lagi gorden dan mengintip. Di balkon, kulihat gadis manis itu berdiri. Menatap ke kejauhan. Rambutnya bergerak-gerak dipermainkan angin malam.

Segera aku beranjak dari jendela kamar. Setengah berlari ke luar dari dari sana dan menuju pintu samping yang mengarah ke balkon kami. Masih kulihat gadis itu di sana. Berdiri di sisi dinding pembatas, dengan mata yang masih menerawang menatap ke kejauhan.

"Hei!" Tanpa rencana, tiba-tiba saja sapaan itu terlontar dari mulutku. Si Gadis bergeming. Diam-diam aku menarik napas lega. Untung saja. Kalau tadi dia mendengarku, entah apa yang harus kukatakan. Lebih baik begini, berdiri di sini sambil memandanginya. Diam-diam.

***     ***     ***

Kudapati diriku semakin sering mengamati rumah itu. Jika ada waktu, aku sering berlama-lama duduk di teras. Pura-pura menghabiskan waktu sambil memetik gitar tua. Jika malam tiba, aku akan duduk diam-diam di balkon depan kamar, berharap gadis itu muncul lagi. Berdiri anggun di sisi balkon rumahnya.

Berhari-hari itu kulakukan, tetapi yang kutunggu tak juga menampakkan diri. Ke mana dia?

Siang ini, aku sudah duduk di pos pengamatanku: bangku teras. Baru saja akan memetik gitar saat seorang lelaki dengan persenjataan lengkap--untuk membersihkan rumput taman. Haha--turun dari motornya dan berdiri di depan pagar rumah seberang jalan.

Aku masih mengamati ke arah seberang. Lelaki itu masuk setelah membuka gembok pagar. Membuka gembok pagar? Apakah gadis itu dan keluarganya sedang tidak ada di rumah? Kalau begitu pantas saja, akhir-akhir ini dia tak pernah kelihatan.

Kuletakkan gitar, berjalan melintasi halaman. Kemudian kubuka pagar, menyeberangi jalan dan berdiri di depan pagar rumah seberang.

"Ehm! Pak!" Kusapa lelaki yang sedang bersiap-siap dengan alat pemotong rumputnya.

"Eh? Ya, Den?" Lelaki itu mendekat.

"Pemilik rumah ini," kutunjuk rumah besar itu, "sedang pergi ya?"

Si Bapak mengernyitkan alisnya.

"Rumah ini?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Iya. Rumahnya sepi. Gadis itu juga nggak pernah terlihat, apa dia--"

"Maksud Aden?"

"Gadis yang tinggal di rumah ini, Pak. Dia, anak pemilik rumah ini 'kan?" Aku tersenyum. Sudah kuniatkan mengorek informasi dari bapak ini.

"Ta-tapi," Si bapak mendadak tercekat. Dia melirik ke arah rumah. Lalu menatapku ragu. "Benar Aden melihat ada gadis di rumah ini? Rumah ini sudah bertahun-tahun ditinggal pemiliknya, Den, sejak Neng Dinda, putri mereka meninggal. Saya yang diberi amanah untuk merawat rumah ini." Si bapak bicara sambil menunjukkan serenceng kunci.

Kurasa aku mendadak blank. Apa katanya tadi? Coba diulangi?

*Tomat*

Cilame, Juni 2020

ALINA

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_3
#NomorAbsen_222
Jumlah kata :  979 kata (hanya isi)

A    L     I     N     A

.

"Andai aku menjadi--"

Gumaman di bibir pucat Alina yang tengah terbaring di atas kasur tipis terputus saat pintu kamarnya terbuka secara kasar. Nyaris saja engsel-engsel pintu itu berlompatan karena dorongan kuat dari arah luar. Di balik daun pintu yang menguak, Emak  berdiri sambil bertolak pinggang. Matanya yang selalu terlihat galak memelototi Alina.

"Lagi-lagi melamun! Cepat buatkan Emak sarapan!"

Alina segera bangkit. Ia mengabaikan rasa sakit di kepalanya yang berdenyut hebat. Emak tak pernah mengenal kata menunggu. Ia pun tak ingin tangan kurus Emak mendarat di tubuh ringkihnya hanya karena ia lalai mengerjakan tugas harian.

Tidak seperti emak-emak lainnya yang penuh kasih sayang, Alina merasa emaknya begitu ringan tangan. Entahlah, mungkin ini merupakan pelampiasan rasa frustrasinya menghadapi kehidupan. Mungkin juga karena Emak sudah terlalu muak menjalani hari-hari mereka yang payah.

Bapak pergi entah ke mana saat Alina belum mampu mengingat wajahnya. Meninggalkan Emak dan dirinya dalam lubang kemiskinan. Emak harus berjibaku, berjuang, demi bertahan hidup juga membesarkan Alina yang sakit-sakitan. Kondisi inilah yang membuat Emak selalu terlihat garang. Ia bahkan membenci Alina dan mungkin menganggap kehadirannya hanya sebaga penambah beban.

Alina meletakkan sepiring nasi goreng yang masih mengepul di atas meja. Emak baru saja selesai menyusun barang dagangan ke dalam keranjang di bagian belakang sepedanya. Dia melangkah masuk, lalu duduk di satu-satunya bangku yang ada di depan meja makan kecil. Mulai menghabiskan sarapan dalam diam yang berkepanjangan.

"Bereskan semua pekerjaan rumah. Siangi sabut kelapa dalam karung di samping sana." Emak berkata datar saat sudah selesai. Alina hanya mengangguk. Dia sudah terbiasa seperti itu. Tak pernah membantah, dan tak pernah bersusah payah membuka mulutnya. Emak tidak suka. Katanya ia muak mendengar suara Alina.

Setelah Emak pergi, Alina menarik napas lega. Lebih baik bagi dirinya jika Emak berada di luar sana. Namun, bukan berarti Alina bisa bersantai. Tidak. Ia tetap harus mengerjakan semua tugas-tugasnya meski sekuat tenaga menahan sakit di kepala.

Alina menyiangi sabut-sabut kelapa di samping rumah setelah selesai dengan semua urusan rumah tangga. Ia menguraikan sabut-sabut dari kulit luarnya yang keras. Sabut-sabut itu nanti akan dianyam oleh Emak. Menjadi tambang atau keset-keset yang kemudian di jualnya di pasar kota. Jari-jari Alina mengeras dan kapalan karena pekerjaan ini, tetapi ia tidak pernah peduli.

"Alina!"

Satu suara membuat Alina sontak mendongak. Wajahnya seketika cerah. Senyum tipis tersungging dari bibir keringnya.

"Sukab!"

Alina berseru menyapa pemuda yang tadi memanggilnya. Si pemuda berjalan mendekat. Sebuah tas punggung tersandang di pundaknya. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Tampan.

Sukab adalah teman sepermainan Alina sejak kecil. Mereka juga pernah belajar bersama di sekolah, sebelum Emak memutuskan agar Alina tinggal di rumah saja setamat sekolah menengah pertama. Sukab lain lagi, ia melanjutkan sekolahnya. Dia bahkan mulai kuliah tahun ini.

"Ini! Kubawakan pesananmu." Pemuda itu mengulurkan sebuah buku ke arah Alina. Mata Alina berbinar. Sakit di kepalanya tiba-tiba seperti terlupakan. Bibir Alina mengeja judul buku yang baru saja ia terima.

"Sepotong Senja untuk Pacarku."* Alina bergumam. Kemudian pandangannya beralih pada Sukab yang masih berdiri di depannya. "Apakah ada ...." Alina menunjuk dirinya sendiri. Sukab mengerti. Pemuda itu mengangguk.

"Seperti dalam buku-bukunya yang lain, ada nama kita di sana." Sukab menjelaskan dengan penuh antusias. Ia meminta Alina membuka satu halaman dan menyuruh Alina membacanya.

"Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain." ** Alina membaca paragraf itu dengan suara cukup kuat. Di akhir bacaannya dia menatap Sukab dengan penuh rasa takjub. "Pengarang buku ini, dia selalu menuliskan apa yang selalu kupikirkan, Sukab. Bagaimana bisa?"

Sukab hanya mengedikkan bahunya. Namun wajahnya menampilkan satu senyuman lebar.

Ini adalah buku yang ke sekian dari pengarang yang sama, yang dipinjamkan Sukab pada Alina. Ia menyukai semua karya pengarang itu. Alasan pertama, karena pengarang itu sering menggunakan nama Alina juga Sukab sebagai tokoh pada cerita-ceritanya. Tidak selalu, tetapi cukup sering. Alasan ke dua, Alina merasa buku karya pengarang itu menakjubkan, karena  menuliskan apa yang sering muncul dalam pikirannya. Selain itu, Alina memang menganggap cerita-cerita yang ditulis oleh si pengarang memang selalu menarik.

"Sukab! Bolehkah aku bertemu dengan pengarang buku ini?"

"Hah? Untuk apa?"

"Ingin bertemu saja." Mata Alina terlihat berbinar saat mengucapkannya.

"Dia mungkin orang yang sangat sibuk."

"Jadi, aku tidak bisa menemuinya?"

"Mmm ... aku tidak tahu, tapi, akan kucari informasinya," kata Sukab akhirnya. Ia tak ingin mengecewakan sahabatnya.

***     ***     ***

Emak murka saat suatu hari ditemukannya Alina sedang khusyuk dengan bukunya. Direbutnya buku itu, dilemparkan ke luar jendela. Ketika Alina berteriak tertahan menyaksikan buku kesayangannya melayang, Emak malah menjambak rambutnya.

"Kau habiskan waktumu dengan benda itu? Anak tak tahu diuntung, tak berguna! Kau lihat rumah masih berserak, makanan tak ada, pakaian kotor menumpuk dan sabut-sabut itu belum kau sentuh! Kau malah asyik membaca! Siapa yang memberimu benda itu?" Tangan Emak berulang mendarat di tubuh ringkih Alina.

Kini Alina memutuskan untuk diam. Ditahannya rasa sakit yang timbul akibat hantaman tangan Emak ditubuhnya. Ya, dia menyadari, kali ini adalah kesalahannya. Tadi ia lupa waktu saat membaca buku itu.

Alina mengatupkan mulutnya kuat-kuat. Emak semakin geram. Ia teramat kesal. Apalagi melihat Alina yang bungkam. Akhirnya Emak menghentakkan kaki kemudian pergi setelah menyorongkan tubuh Alina.

Esoknya Sukab mendapati banyak memar di tubuh Alina. Ada juga lebam di wajahnya.

"Alina--"

"Sukab, aku betul-betul ingin bertemu dengan si pengarang." Alina menyela kalimat Sukab. "Aku benar-benar ingin menjadi ... tokoh dalam ceritanya." Air mata Alina mengalir deras. Sukab mengernyitkan dahi tak mengerti.

"Alina?"

"Aku benci hidupku, Sukab. Aku benci penyakitku. Aku benci kemiskinan ini. Aku benci kemarahan Emak yang harus kutampung setiap hari." Tubuh Alina berguncang. "Biar kutemui pengarang itu. Biar dia membuatkan cerita baru untuk hidupku. Beri tahu aku, Sukab. Beritahu aku di mana dia." Tangis Alina menghiba. Semakin keras.

Sukab terpana di hadapan Alina yang kini meraung. Belum sempat Sukab menenangkan sahabatnya, raungan Alina telah berganti menjadi tawa yang getir. Alina terbahak-bahak menertawai nasibnya. Sementara Sukab diam-diam menitikkan air mata menyaksikan Alina tertawa.

**Tamat**

*) Judul cerpen dalam buku kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Adjidarma
**) Kutipan dari Sepotong Senja untuk Pacarku, SGA

Cilame, 02 Juni 2020

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...