Jumat, 20 Desember 2019

D I A N D R A

D i a n d r a
Oleh Lily N. D. Madjid


Diandra berlari secepat kaki kecilnya mampu membawanya menjauh. Tetapi luka dikaki menghambatnya untuk bergerak cepat. Sementara paman mata satu yang mengejarnya semakin mendekat.

Diandra menyesal, tadi kakek dan nenek sudah melarangnya bermain jauh dari rumah. Tetapi suasana desa ini terlalu menarik untuk dilewatkan. Jiwa petualang dalam diri Diandra memberontak tak ingin dikekang.

Di mata Diandra,desa ini begitu menarik. Bukan hanya keindahan yang memukau. Menemukan kenyataan bahwa tak dilihatnya anak seusia dirinya di sana membuatnya bertanya-tanya. Gadis kecil sembilan tahun itu penasaran. Ke mana mereka? Dalam keasyikannya, ia lupa pada larangan kakek dan neneknya.

*****

Saat ini Diandra masih berusaha berlari walau kakinya sudah sangat letih. Nafasnya tersengal. Ia tak kuat lagi, tetapi paman berwajah menakutkan itu masih mengejar di belakangnya. Dia tertawa-tawa gembira. Berteriak-teriak pada Diandra.

"Jangan lari cicak kecilku. Kemarilah... Hahahahaha... "

Diandra mempercepat ayunan langkahnya sambil menggigit bibirnya kuat-kuat menahan nyeri di kakinya.

"Kakeeek... Neneeek... Tolong Andra. Tuhaaan, jauhkan orang itu dari Andra." Mulut Diandra komat-kamit di antara deru nafas paniknya.

****

Awalnya, saat sedang berjalan menyusuri jalan desa yang mengarah ke hutan kecil tadi, Diandra melihat sebuah rumah kecil. Dari dalamnya terdengar suara seseorang bernyanyi riang.

Cicak-cicak di dinding
Diam diam merayap
Datang seekor nyamuk
Hap ... lalu ditangkap

Diandra mendekat karena penasaran. Pintu rumah kayu itu tertutup rapat. Jendela-jendelanya berteralis kayu. Ia semakin mendekat, melongokkan kepalanya di ambang jendela. Mata Diandra terbelalak melihat pemandangan di depannya. Di sana berjajar tubuh anak-anak seusia dirinya, telah menjelma mummi  tanpa kain membalut. Wajah mereka yang sudah mengkerut seperti menampakkan ketakutan yang teramat sangat. Bertolak belakang dengan wajah paman bermata satu di dekatnya yang terus saja bernyanyi dengan keriangan yang berlebihan.

Saking terkejutnya, Diandra lupa. Ia berteriak ngeri, membuat paman itu mengethui keberadaan Diandra. Ia marah. Mengejar Diandra yang berlari menghindar. Kepanikan dikejar oleh lelaki bertampang mengerikan  membuat Diandra tak memperhatikan langkahnya. Kakinya luka entah terkena apa. Diandra tak menghiraukan. Ia hanya ingin menyelamatkan diri. Tetapi langkahnya malah membawanya masuk ke dalam hutan.

****

Diandra diam menahan nafasnya, juga menahan sakit di kakinya. Ia menyurukkan diri ke sebuah lubang di tengah pohon besar. Hanya itu persembunyian yang dapat ia temukan. Suara paman bermata satu masih terdengar. Bersenandung dengan riang.

Cicak-cicak di dinding
Diam diam merayap
Datang seekor nyamuk
….

Lalu sunyi.

Diandra menajamkan telinganya. Tak ada lagi suara. Apakah Paman mata satu itu telah pergi? Diandra ingin memeriksa, tetapi ketakutan masih menyekapnya.

Entah berapa lama dia meringkuk di sana. Hingga kesunyian melingkupinya. Diandra mengangkat wajah. Ia mencoba melangkah dari dalam lubang persembunyiannya.

“Hap! Kamu kutangkap, Cicak Kecil!” Suara serak menyeramkan terdengar di sisi telinga Diandra. Ia masih sempat berteriak, sebelum sebuah pukulan membuat dunianya gelap.

**** **** ****

Di rumah, kakek dan nenek panik kehilangan Diandra. Hingga beberapa  waktu kemudian, seorang lelaki  melintas di depan rumah mereka.

“Ada apa, Pak Ramdan?”

“Cucuku menghilang, Pak lurah.”

Pak lurah memberikan simpatinya. Menenangkan kakek dan berjanji akan mengerahkan warga untuk mencari Diandra. Setelah itu ia melangkah pergi. Sebuah senyum simpul terukir di bibirnya. Matanya yang hanya sebelah memancarkan gairah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...