Kita Berteman ‘kan, Alien?
Cerpen Lily N.D. Madjid
BUMMMMM!
Suara
dentuman hebat terdengar. Terasa getaran yang begitu kuat di dalam kabin
pesawat kecil itu. Satu sosok kecil berteriak tertahan sambil berpegangan erat
pada apapun yang mampu dijangkaunya. Sebenarnya dia tak perlu khawatir, sabuk
pengaman yang kokoh masih mengikatnya erat. Ia aman di kursinya.
Tetapi
tetap saja aura kepanikan terasa begitu kental. Sosok kecil itu menatap dari
balik punggung ayah dan ibunya. yang terlihat sedang berkonsentrasi menghadapi
panel yang ada di meja kokpit pesawat mereka.
“Kurasa
kita tidak akan dapat bertahan.” Desis ibunya.
“Omong
kosong! Aku yang merancang pesawat ini. Aku mendisainnya untuk perjalanan
panjang dan jauh. Sistem pertahanannya sangat kuat. Benturan asteroid tidak
akan menghancurkannya.” Gerutu ayahnya. Keempat tangan hijaunya menekan
berbagai tombol di panel yang menyala.
“Hmmm…”
si ibu mendengus, “Benturan asteroid memang tidak akan merusak pesawat ini.
Tetapi ini bukan sekedar benturan. Ini badai asteroid, Bjyrozx.” Terasa ada
getaran dalam suara si ibu. Membuat Bjyrox, si ayah sesaat mengalihkan
pandangannya dari panel.
“Axcytrach,
tolong jangan berputus asa. Jangan membuat Bjyrorazx takut.” Bisiknya sambil
melirik Bjyrorazx, sosok kecil di kursi belakang. “Aku sedang berusaha. Aku sudah
melakukan pengecekan. Memang keempat mesin penunjang kita nyaris mati. Tapi kita
masih bisa bertahan. Aku juga sudah
mengaktifkan mesin cadangan. Lagi pula, tujuan kita sudah cukup dekat. Kurasa
kita….”
“Ayah,
apa itu?” Suara bergetar Bjyrorazx menyela percakapan ayah dan ibunya. Raut
wajahnya tampak ketakutan. Satu dari empat tangannya menunjuk ke depan. Bjyrozx
dan Axcytrach menoleh sesaat ke arah anak mereka sebelum berbalik dan berteriak
ngeri. Satu gugus asteroid raksasa yang besarnya hampir lima kali besar pesawat
mereka tampak meluncur dengan kecepatan tinggi. Tepat pada jalur pesawat
mereka.
“Ya
Tuhan! BERTAHAN!” Teriak Bjyrozx. Tangan-tangannya bergerak sangat cepat di
atas panel pengendali pesawat. Tetapi suaranya segera tertelan oleh suara
benturan keras yang disusul oleh suara dentuman lain. Kapal kecil itu
berputar-putar cepat lalu meluncur tanpa
kendali. Sebagian besar tubuh pesawat hancur dan terbakar.
***** ***** *****
Afif berguling bosan di atas tempat
tidurnya. Dia belum mengantuk. Padahal jam dinding sudah menunjuk ke angka sembilan
lewat tiga puluh menit. Di malam-malam yang lain, biasanya dia sudah tidur.
Tetapi malam ini, bagaimana dia bisa tidur? Abang dan dua kakaknya baru pulang
dari lain kota tempat mereka menuntut ilmu. Dan Afif ingin tetap di bawah
bersama mereka. Mendengarkan cerita-cerita mereka. Tapi tentu saja bunda tidak
mengizinkan. Bunda tidak pernah membiarkan Afif tidur lewat dari pukul sembilan
malam.
“Bunda nyebelin!” gerutu Afif.
“Aaaa... ah! Aku kan masih masih mau dengar abang cerita.” Katanya. Lalu
menutup rapat wajahnya dengan bantal dan berteriak sekuat tenaga. Tentu saja
tidak ada yang mendengar.
Setelah itu dia mematung. Benar-benar
membosankan diam seperti itu sambil tidak melakukan apa-apa. Sekali lagi dia berteriak.
Lalu tak lama bantal yang menutup wajahnya melayang cepat dan berhenti saat
menabrak daun pintu yang menutup rapat. Bocah sebelas tahun itu bangkit, lalu
bergeser ke arah jendela yang berada di sisi lain tempat tidurnya. Dibukanya
daun jendela lebar-lebar. Udara dingin membelai wajahnya.
Dia
memandang ke sekeliling. Belum terlalu sepi. Ini belum pukul sepuluh, ‘kan?
Kamarnya ada di lantai dua. Dari sana dia bisa melihat rumah teman-temannya. Di
rumah Kean, temannya, masih terlihat terang benderang. Di rumah Key juga masih
terlihat ramai. Kakak Key masih terlihat duduk-duduk di teras rumah. Sesekali
Afif juga masih mendengar suara Key tertawa terbahak-bahak. Afif mendengus
sebal. Kenapa hanya dia yang punya ibu seperti bunda?
Mmmm… bukannya Afif benci bunda.
Tidak. Sebaliknyanya, Afif sangat sayang
pada bunda. Tetapi… bunda punya aturan-aturan yang sangat ketat di rumah. Tidak
boleh tidur lewat dari pukul sembilan malam. Tidak boleh pinjam HP lebih dari
satu jam. Tidak boleh nonton TV lama-lama. Tidak boleh bernyanyi di kamar
mandi. Harus ngaji. Harus belajar. Harus… harus… harus…
Dan malam ini, saat Bang Adri dan Kakak
Aqila datang dari Jakarta—mereka kuliah di sana—dan Kakak Azkiya baru pulang dari pesantren, karena
jatahnya untuk pulang, Afif tetap tidak boleh tidur melewati pukul sembilan.
Padahal di bawah sana, bunda masih ngobrol
seru dengan mereka. Itu kan tidak
adil!
Afif mengalihkan pandangannya ke
langit. Cerah sekali langit malam ini. Walau pun bulan hanya separuh bersinar,
tetapi bintang-bintang bertaburan. Berkelap-kelip seperti intan yang bersinar.
Kekesalan Afif berangsur mereda. Dia takjub melihat langit dengan gugusan
bintangnya.
Tiba-tiba matanya menangkap selarik
sinar di langit. Seperti api berekor yang menukik jatuh. Meluncur dengan sangat
cepat.
“Bintang jatuh…” bisik Afif. Dia
terus memandangi cahaya yang meluncur itu. Matanya tak berkedip. “Kok…
sepertinya makin dekat, ya?”
Cahaya
itu memang semakin menukik di kejauhan. Terus meluncur dengan kecepatan tinggi.
Lalu menghilang dari pandangan Afif karena terhalang bukit. Belum sempat Afif
menghembuskan nafas yang sejak tadi tertahan, seberkas cahaya hijau berpendar
beberapa saat dari balik bukit tempat bintang jatuh tadi menghilang. Afif
memandang lekat-lekat ke arah bukit. Tetapi cahaya itu sudah menghilang. Hanya
menyisakan kegelapan di sekelilingnya.
***** ***** *****
Hari
ini hari Sabtu dan sekolah libur, karena kegiatan belajar di sekolah Afif hanya
berlangsung lima hari dalam seminggu. Ia sedang asyik membaca buku tua milik
bunda. Seri petualangan Tom Swift dengan kapal ruang angkasanya. Bunda punya
banyak koleksi seperti ini di lemari bukunya. Dan Afif suka sekali membacanya.
Walaupun buku tua, tetapi ceritanya tidak kalah menarik dengan buku-buku baru
Afif yang lain.
Tiba-tiba
Afif mendengar suara-suara. Seperti suara langkah kaki dan kelotak
barang-barang berjatuhan. Dia menyingkirkan bacaannya, kemudian memasang
telinga baik-baik.
“Sepertinya
dari gudang di samping…” gumam Afif. Dia kembali memandang berkeliling. Di
ruang tengah ini sepi. Televisi tidak menyala. Hanya dengung pompa aquarium
milik ayah saja yang terdengar. Abang dan kakak-kakaknya pergi sejak tadi.
Jalan-jalan, katanya. Afif memilih tidak ikut. Ia lebih suka menghabiskan waktu
di rumah untuk membaca. Ayah juga pergi pagi-pagi sekali. Sementara bunda
sedang khusyuk di depan laptopnya di kamar.
Lalu
suara apa di samping rumah itu?
“Buun.”
Panggil Afif. Tak ada sahutan. Afif turun dari sofa. Ia menuju kamar bunda.
Dilihatnya bunda sedang sibuk dengan kertas-kertas dan laptopnya. Bunda menoleh
saat Afif menjulurkan kepala di ambang pintu kamar.
“Ya,
Fif?”
“Bunda
belum selesai? Tanya Afif. Bunda menggeleng dan melanjutkan kembali pekerjaannya.
“Kayaknya ada orang deh, Bun, di gudang. Aku dengar suara-suara.”
“Gudang
kan dikunci, Fif. Apa mungkin ayah?”
bunda balik bertanya tanpa melepaskan pandangan dari laptopnya.
“Coba
Afif periksa dulu sebentar, Bun.” Kata Afif sambil bergegas meninggalkan kamar
bunda menuju gudang di samping rumah.
Di
luar lengang. Afif berjalan perlahan ke arah gudang sambil memeriksa
sekelilingnya. Tidak ada yang aneh. Hanya saja… pot-pot tanaman bunda terlihat agak
berantakan. Seperti ada yang sudah mengaduk-aduk tanahnya. Apa tadi bunda habis berkebun lagi? Tapi rasanya sejak
tadi bunda sibuk dengan laptopnya di kamar?
Afif
menggeleng-geleng sendiri. Ditinggalkannya pot-pot tanaman bunda. Dia kembali
menuju ke gudang samping. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut. Pintu
gudang terbuka setengahnya. Bukankah tadi bunda bilang kalau pintu gudang
dikunci? Atau bunda lupa?
Perlahan
Afif mendekati pintu gudang. Dia mengintip diam-diam. Kotak-kotak tempat
menyimpan kompos dan pupuk kandang yang sudah kosong berserak di lantai.
Pencuri? Afif bertanya-tanya dalam hati. Tidak lama matanya menangkap sesosok
tubuh yang menggeletak di lantai gudang.
Afif mendekat dengan mengendap-endap, takut mengejutkan sosok itu. Ini pasti
pencuri. Pikirnya dalam hati. Dia sudah bersiap-siap akan meraih apa saja jika
pencuri itu menyadari kehadirannya. Ketika sudah berada cukup dekat dengan sosok
tersebut Afif malah terbelalak dan secara refleks dia menjerit sekuat-kuatnya.
***** ***** *****
Sudah
beberapa hari ini banyak orang berkunjung ke rumah Afif. Ada Pak RT, Pak RW
orang-orang dari kantor desa dan entah dari mana lagi mendatangi rumah Afif. Tidak
ketinggalan ibu-ibu dari dinas sosial dan dinas entah apa namanya itu—Afif
kurang jelas mendengarnya—juga datang ke sini.
Semua
tentu saja karena kehadiran si Pucat itu. Si Pucat? Yeah, sebenarnya anak itu mengaku bernama Roraz. (Huh! Nama macam apa itu?). Itu lho, anak yang ditemukan Afif tergeletak
pingsan di dalam gudangnya minggu lalu. Nah, sejak ditemukan tempo hari, ayah
dan bunda memutuskan untuk menampung si Pucat—maksudnya Roraz—di rumah, sampai
dia mampu menceritakan lebih banyak lagi tentang siapa dirinya.
Itulah
sebabnya kenapa banyak orang-orang berdatangan ke rumah Afif. Setelah ayah
melaporkan keberadaan Roraz ke Pak RT, pak RT melaporkan ke Pak RW, lalu ke
kantor desa, dan seterusnya, orang-orang pun berdatangan. Ingin tahu tentang—ayah
bilang ingin membantu—si anak pucat itu. Tetapi sampai hari ini, tidak banyak
yang bisa diketahui dari Roraz.
Di
rumah dia tidak banyak bicara. Jika diajak bicara dia lebih sering hanya
memandangi saja orang yang mengajaknya bicara. Dia seperti sedang berpikir
keras mencerna setiap kata. Kalau ditanya tentang asal-usulnya pun dia
seringkali malah melamun. Kadang Afif sering memergokinya menangis atau
menggigil ketakutan. Dia juga jarang menyentuh makanannya. Makanya bunda sangat cemas di buatnya. Si
Pucat itu jadi bertambah pucat dari hari ke hari.
Sering
bunda menyuruh Afif untuk mengajak Roraz mengobrol. Kata bunda, mungkin Roraz
mau lebih banyak bicara jika dengan Afif, karena mereka sebaya. Tapi Afif
enggan kalau harus berdua saja dengan Roraz. Bukan karena Afif sombong atau apa
kalau harus berteman dengan Roraz. Tidak. Tapi Afif agak takut. Ada satu hal
yang hanya dia yang mengetahuinya. Tidak ada orang lain yang tahu, tidak juga
bunda atau pun ayah. Fakta bahwa saat pertama kali ditemukan di gudang samping
rumah dalam keadaan pingsan, kulit Roraz berwarna sangat hijau, dan tangan Roraz…
ada dua pasang.
***** ***** *****
Hari
berganti hari. Sudah dua minggu Roraz tinggal di rumah Afif. Ayah dan bunda
tidak tega jika Roraz harus tinggal di panti sosial. Lebih baik Roraz di sini,
kata mereka. Lagi pula, Roraz bisa menemani Afif yang sudah ditinggal lagi oleh
abang dan kakak-kakaknya ke luar kota. Pak RT dan Pak RW menyetujui keputusan
ayah dan bunda. Jadilah Roraz tinggal bersama keluarga Afif.
Tetapi
sejauh ini belum ada informasi yang lebih banyak diketahui tentang Roraz. Anak
itu masih saja tidak banyak bicara. Hanya saja sekarang sudah mulai mau makan.
walaupun dari ekspresinya, Roraz seperti kurang suka dengan makanan yang ada di
rumah Afif. Karena sudah mau makan, tubuh Roraz sudah terlihat lebih segar
walau pun masih tetap pucat.
Afif
juga sudah tidak terlalu takut lagi. Selama dua minggu ini, Afif benar-benar
mengawasi Roraz walau hanya dari kejauhan. Tidak ada yang mencurigakan. Afif
mulai berpikir bahwa saat pertama kali menemukan Roraz, mungkin ia hanya
berhalusinasi saja saat melihat tangan Roraz berjumlah empat.
“Hmmm…
tapi asyik juga ya, kalau kita punya empat tangan.” Gumam Afif sambil
senyum-senyum sendiri. Saat itu dia sedang berjalan sendirian pulang dari
sekolah. Teman-temannya yang searah sudah tiba lebih dulu di rumah mereka.
Rumah Afif memang yang paling jauh di antara temannya yang lain. “Aku bisa
begini, begini… chiaaattt!” Afif bergerak menirukan orang bersilat seperti yang
pernah dia lihat di televisi, “Sambil tangan aku yang dua lagi begini… hap,
hap, hap!” Afif memungut batu di dekatnya dan dengan cepat melempar batu
tersebut!
BLETAKKKK!
GRRRRRRR…
GUK!
GUK! GUK!
Seekor
anjing menggeram marah dan melesat ke arah Afif setelah batu yang Afif lempar
tadi mengenai punggungnya dengan keras. Afif tersentak kaget. Wajahnya berubah
pucat melihat anjing bertampang galak itu berlari cepat ke arahnya.
“Bundaaaaaaa….
Toloooooooooooonggg!”
Afif
berlari sekuat tenaga. Mulutnya terus berteriak meminta tolong. Tetapi jalanan
begitu lengang. Tidak ada seorang pun terlihat di sana.
“Hooooiiii….
Orang-oraaaaaang! Tolooooooonggg!” teriak Afif kalang kabut. Anjing itu semakin
mendekat. “Ayaaaahhhhh! Bundaaaaaa! Roraaaaazzzz!” Entah mengapa tiba-tiba saja
Afif teringat pada Roraz yang dalam bayangan di kepalanya sedang duduk dengan
nyaman di rumahnya yang tenang. Tidak seperti dirinya yang bagaikan telur di
ujung tanduk dalam kejaran anjing galak.
Tiba-tiba
secercah sinar biru menyilaukan melesat entah dari mana. Suara anjing yang tadi
menggonggong dengan ributnya seketika hilang. Sekelilingnya menjadi sepi.
Langkah Afif terhenti perlahan. Selain karena dia sudah tidak mampu lagi
berlari, Afif juga ingin tahu apa yang terjadi dengan si anjing yang tadi ada
di belakangnya.
Bukan
main terkejutnya Afif melihat apa yang terjadi. Saking kagetnya dia sampai terjengkang ke belakang.
“Alamak!
Kenapa itu si anjing galak?” katanya nyaris berteriak. Matanya memandang kaget ke
arah anjing yang sekarang diam membeku di depannya. Ya, membeku. Benar-benar
membeku tidak bergerak lagi.
“Kamu
sudah aman sekarang.” Kata satu suara dari belakang. Afif yang baru saja mulai berdiri,
kembali terduduk ke tanah saking kagetnya. Dia lebih terkejut lagi saat menoleh
dan mendapatkan Roraz sudah berdiri di dekatnya.
“Kok
kamu ada di sini?” Afif melotot, nafasnya masih tersengal-sengal karena berlari
tadi. Ditambah lagi dengan kemunculan Roraz yang tiba-tiba.
“Aku?
Errr… aku mendengar kamu minta tolong tadi.” Kata Roraz ragu.
“Memangnya
tadi kamu ada di mana?” Afif mendelik memandang Roraz. Seingatnya tadi dia
tidak melihat Roraz di sekitar sini.
“Di
rumahmu. Memangnya di mana lagi?” sahut Roraz cepat. Tetapi wajahnya segera
memucat saat dia melihat Afif menyipitkan mata sambil memandangnya dengan
pandangan aneh.
“Kamu
di rumah?” bisik Afif sambil mendekat. “Mana mungkin kamu bisa mendengar
teriakanku dari sana?” Mata Afif tidak
lepas dari mata Roraz yang terlihat salah tingkah. “Kamu…” Afif tidak
meneruskan kalimatnya. Dia tertegun saat menatap pupil mata Roraz. Afif melihat
ada yang aneh dengan pupil mata itu. Pupil mata Roraz tidak berbentuk lingkaran
seperti pupil mata pada umumnya. Pupil mata Roraz menyerupai garis vertical seperti…
pupil mata kucing.
Afif
yang tadi maju mendekat segera menghentikan langkahnya. Teringat lagi
pemandangan saat pertama kali dia menemukan Roraz di gudang rumahnya. Tubuh hijau
Roraz dan tangannya yang berjumlah dua pasang. Afif bergidig.
“Kamu
itu apa?” bisik Afif menatap tak berkedip ke arah Roraz. Roraz menatap tajam
mata Afif. Dia maju selangkah, kemudian memejamkan matanya. Afif mundur dua
langkah. Dilihatnya pelipis Roraz berdenyut-denyut. Kulitnya semakin memucat
nyaris kehijauan. Beberapa titik keringat keluar di pori-pori kulitnya.
Tidak
lama mata Roraz membuka. Dia menatap Afif tidak setajam tadi. Ada senyum di
sudut bibirnya. Senyum samar yang baru kali ini Afif lihat.
“Memangnya
menurutmu aku ini apa?” tanyanya.
“Kamu…,
eh, bukan manusia ‘kan?”
“Kalau
aku bukan manusia lalu apa?” senyum Roraz semakin lebar. Dia berjalan ke arah
sebatang pohon besar yang berada tidak jauh dari sana lalu duduk di bawahnya.
Afif
mengikuti Roraz. Rasa takutnya sudah hilang, berganti keingintahuan yang sangat
besar. Ragu-ragu Afif duduk di sebelah Roraz. Masih ditatapnya Roraz.
Diperhatikannya setiap inci tubuh Roraz.
“Mungkin…”
kata Afif sambil menatap mata Roraz. “Kamu mahluk dari luar bumi… Alien?” Bisik
Afif. Pupil mata Roraz membentuk satu garis lurus. Menatap Afif sejenak lalu
membuang pandangannya ke hamparan sawah di depan mereka. Roraz menarik nafas
dalam.
“Aku
memang tidak dari sini…” gumamnya setelah lama berdiam diri. Suaranya serupa
bisikan. Afif menahan nafas, menunggu kata-kata kembali keluar dari mulut
Roraz.
Tetapi
Roraz kembali terdiam. Wajahnya bersemu kehijauan. Air mata menetes dari sudut
matanya. Dia menggumamkan kata-kata yang tidak Afif mengerti. Bunyinya serupa
keluhan. Lalu lagi-lagi Roraz memejamkan matanya. “Aku sendirian di sini…”
katanya bergetar. Begitu menyedihkan. Sampai-sampai Afif merasa ingin menangis
juga.
“Kamu
kan dengan kami sekarang.” Kata Afif. Dia sendiri bingung kenapa dia berbicara
seperti itu. Tapi mulutnya terus berkata, “Ada aku, ayah, bunda, abang Ad…”
“Kamu?”
Roraz menoleh cepat. “Bukannya kamu takut padaku?” katanya. Afif kehilangan
kata-kata. Dia tergagap.
“Aku…”
“Selama
ini kamu selalu menghindar dariku, Afif.” Roraz tersenyum pahit. “Aku tahu,
sejak awal kamu sudah tahu siapa aku.” Roraz menatap Afif.
“Aku…”
“Tapi
aku berterimakasih padamu,” Roraz memotong kalimat Afif. “Aku berterimakasih
karena kamu tidak menceritakan pada orang-orang. Pada saudara-saudaramu, pada
ayahmu, bahkan tidak juga pada ibumu…”
“Eeuuu…
aku…”
“Kamu
ingin tahu siapa aku sebenarnya ‘kan, Afif?” lagi-lagi Roraz memotong kalimat
Afif.
Afif
mengangguk cepat. Dia memang penasaran sekali dengan Roraz. Roraz tersenyum.
Dia mengulurkan tangannya ke arah Afif. memberi isyarat agar Afif memegang
tangannya. Afif menatap tangan itu. Beberapa kali tatapannya beralih ke wajah
Roraz. Menatap mata Roraz yang kehijauan. Kemudian setelah menguatkan hati,
Afif menggenggam tangan Roraz yang panas.
Afif
berteriak kaget. Ia seperti tersengat listrik. Belum lagi habis kekagetannya,
Afif kembali menjerit ngeri saat dia merasa seperti dihempaskan ke dalam sebuah
pusaran yang berputar sangat cepat. Belum habis teriakannya, pusaran yang
berputar itu berhenti secepat munculnya. Afif terhuyung ke depan. Dia merasa
sangat mual.
“Roraz!
Apa itu tad…” Afif tidak meneruskan kalimatnya. Mulutnya menganga. Matanya
memandang ke depan, lalu ke kiri dan kanan. Kemudian Afif berputar sambil ribut
berteriak. “Roraz, di mana ini?” Afif masih memandang ke sekelilingnya dengan
ngeri. Ini bukan di tepi jalan tempatnya tadi duduk dengan Roraz. Ini di…
hutan.
***** ***** *****
Afif
masih termangu-mangu memandangi puing-puing suatu objek yang hangus terbakar.
Akar gantung pohon dan sulur-sulur panjang menutupi sebagian besar objek
tersebut. Afif memandang Roraz. Tatapannya penuh pertanyaan.
“Ini
pesawat kami.” Kata Roraz menjelaskan. Afif mengernyit.
“Tapi
sulur-sulur dan dan akar ini? Kau bilang dua minggu lalu kau tiba di sini.
Tidak mungkin akar dan sulur-sulur ini sudah begitu rimbun menutupi puing…
euuu.. pesawatmu.” Afif terlihat bingung. Roraz tersenyum. Ini mekanisme
kamuflase kami, Afif. aku sengaja membuat akar dan sulur-sulur ini menutupi
puing-puing pesawat kami. Aku tidak mau ada manusia bumi yang menemukannya.”
Afif
memandang ke sekeliling puing. Memang kerapatan akar dan rimbun sulur-sulur itu
telah menyembunyikan pesawat Roraz dengan sempurna. Tidak akan ada yang
menyangka, di balik gerumbul daun yang lebat di sulur-sulur itu, ada pesawat
luar angkasa yang sudah hangus.
“Hebat. Apalagi yang kamu bisa?”
“Aku
tidak hebat. Memang begitulah kami diciptakan. Seperti system imun yang ada
dalam tubuh kalian saat melawan kuman penyakit. Kami juga memiliki mekanisme
kamuflase dan kemampuan beradaptasi secara cepat. Semua itu untuk bertahan
hidup.”
“Sejak
diciptakan? Memangnya siapa yang menciptakan kalian?” Tanya Afif. Dahi Roraz
mengernyit. Menatap Afif dengan heran.
“Kenapa
kau bertanya? Bukankah kalian juga mahluk yang diciptakan?” Roraz balik
bertanya. Afif menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
“Tentu
saja manusia juga mahluk ciptaan. Allah yang menciptakan kami. Dialah Tuhan
yang kami sembah.” Kata Afif. “Mmmm… kupikir ada teknologi tertentu yang
menciptakan kalian, para alien…” gumam Afif. Roraz terbahak. Baru kali ini Afif
mendengarnya tertawa.
“Kami
bukan robot, Afif. kami makhluk hidup. Sebagai makhluk, kami juga diciptakan
oleh Tuhan. Tuhan yang juga kami sembah. Yeah..
walau pun, di antara kami ada yang mengingkariNya, tetapi keluargaku bukan
bagian dari orang-orang yang seperti itu. Ayah dan ibuku bahkan selalu
mengingatkan aku untuk selalu mengingatNya dalam situasi apapun…” kata Roraz.
Pandangannya menjadi sayu saat berbicara tentang orangtuanya. Afif termenung.
Tiba-tiba Roraz kembali mengulurkan tangannya.
“Berikan
tanganmu, Afif.” katanya. Ragu-ragu Afif mengulurkan ke dua tangannya. Dia
masih ingat saat tiba-tiba saja tersedot ke dalam pusaran yang memusingkan
setelah memegang tangan Roraz di tepi jalan tadi. “Jangan takut.” Bisik Roraz.
Afif pun menyentuh tangan Roraz dan menggenggamnya.
Sekejap
sengatan listrik itu kembali dirasakan oleh Afif. Gambar-gambar melintas dalam
pandangan Afif. seperti slide yang diputar cepat. Gambaran sebuah planet kecil
dengan penduduknya yang padat. Peperangan yang mengerikan. Orang-orang yang
membantai orang-orang yang lainnya. Pesawat kecil yang melesat di kelamnya
angkasa. Badai meteor. Ledakan keras. Berputar-putar. Berputar-putar. Gelap.
Guncangan. Gelap. Lalu ada dua sosok hijau bertangan empat yang berbicara
kepadanya sampai kemudian mereka terkulai tak bergerak lagi. Setelah itu
gambar-gambar tersebut lenyap. Afif kembali pada keadaan sebelumnya. Di
depannya, Roraz dibanjiri peluh di sekujur tubuhnya. Terkulai pingsan.
***** ***** *****
“Roraz!
Syukurlah kau sudah sadar.”
“Aku
tidak apa-apa, Afif.”
“Tapi
kamu pingsan.”
“Tidak.
Memang begitulah mekanisme tubuh kami setelah melakukan transfer memory.”
“Jadi,
gambaran-gambaran yang aku lihat tadi sebenarnya ingatan dalam kepalamu?”
“Ya.
Apa kau mengerti?”
Afif
mengangguk. Menatap sedih ke arah Roraz. Berat sekali hal yang sudah Roraz
alami.
“Aku…
ikut beduka untuk ayah dan ibumu.” Kata Afif. Air matanya menetes tanpa
diminta. Dia teringat pada ayah dan bundanya sendiri. Apa jadinya jika dia yang
kehilangan orangtua seperti Roraz? Terdampar di planet asing yang tidak di
kenalnya pula.
Roraz
lagi-lagi mengeluarkan suara keluhan dengan bahasa yang tidak dimengerti Afif.
Mungkin itu cara Roraz menangis. Sebutir air mata memang menetes di pipinya
yang agak menghijau. Setelah itu Roraz menggeleng keras.
“Terimakasih.
Aku… aku tidak tahu apakah setelah ini aku masih akan mampu bertahan.” Katanya.
Afif memegang tangan Roraz. Tidak memedulikan sengatan listrik yang sekejap
dirasakan mengalir dari tangan Roraz.
“Sejauh
ini kau bisa bertahan, ‘kan?” kata Afif.
“Aku…
Sebenarnya aku sangat takut.”
“Jangan
takut.”
“Aku
sendirian sekarang,”
“Kan
sudah kubilang, ada aku.” Afif ngotot meyakinkan. “Bagaimana kalau…” Afif
berpikir sebentar, “Bagaimana kalau aku bilang ke bunda untuk mengadopsi kamu?”
Afif tersenyum lebar. Mata Roraz membuka lebar. Afif bisa melihat pupil matanya
melebar, sebelum kembali membentuk garis vertical. “Itu ide bagus ‘kan?” Senyum
Afif semakin lebar.
“Apa…
apa orangtuamu mau?” Roraz ragu. Afif terlihat berpikir keras.
“Mmmm…
kupikir, kalau kamu menceritakan yang sebenarnya… bunda bisa mengerti.”
“Kamu
gila! Bagaimana kalau bundamu malah ketakutan dan menyuruh manusia bumi lain
menangkapku?” Roraz bergeser menjauhi Afif. Matanya menerawang. Ia ingat pesan
ayahnya sebelum meninggal. Ia harus berhati-hati terhadap penduduk planet yang
belum dikenalnya ini. Ibunya juga berpesan agar mekanisme kamuflase dan
adaptasinya selalu diaktifkan agar penduduk planet ini tidak melihat bahwa dia
berbeda. Tetapi di depannya Afif malah memintanya untuk membongkar jati
dirinya. Roraz menggeleng.
“Roraz,
dengar. Kalau kau tidak menceritakan
siapa dirimu yang sebenarnya, mungkin ayah dan bundaku akan terus mencari
keberadaan orangtuamu. Bagaimana jika ibu-ibu dari dinas social itu akhirnya memaksamu
untuk tinggal di panti sosial?” kata Afif mencoba meyakinkan. “Kalau kau
menceritakan yang sebenarnya, bundaku pasti bisa mengerti…”
“Atau
dia akan berbalik membenci…” potong Roraz.
“Tidak
akan.” Tegas Afif. “Aku tahu seperti apa bunda. Yeah.. walau pun dia punya banyak aturan di rumah, tapi sebenarnya bunda
itu penyayang. Dia pasti mau menerima kamu di rumah kami.”
“Bagaimana
kalau…”
“Aku
akan membujuknya sampai berhasil, Roraz.” Afif seperti ingin berteriak demi
meyainkan Roraz. Roraz memandang Afif lama. Akhirnya dia mengangguk.
“Baiklah.
Aku setuju. Tapi kalau…”
“Bunda
akan setuju. Tenang saja.” Afif tersenyum. Dia teringat koleksi buku-buku tua
milik bunda. Hampir sebagian besar bercerita tentang petualangan ruang angkasa.
Bagaimana mungkin jika ada entitas ruang angkasa ada di depan matanya, bunda
akan menolak dan mengusirnya? Itu tidak akan terjadi. Tidak. Afif yakin sekali.
***** ***** *****
Ayah
dan Bunda terbelalak menatap ke arah Roraz. Dia sedang menunjukkan wujud
aslinya yang tanpa kamuflase. Sesosok tubuh kecil berkulit hijau dengan empat
buah tangan di sisi tubuhnya. Telinga runcingnya menempel di sisi kepala yang
berdahi lebar. Wajahnya tidak terlalu asing. Hampir mirip seperti manusia,
hanya saja berwarna hijau seluruhnya. Membuat Roraz terlihat seperti… alien.
“MaasyaaAllah…
Subhanallah… Allahu Akbar…” bunda tidak berhenti bertasbih sejak tadi. Ayah
terbengong-bengong tidak percaya. Sementara Afif cekikikan melihat ekspresi
kedua orangtuanya. Roraz sendiri segera mengubah wujud ke dalam bentuk
kamuflasenya. Dia tersipu-sipu.
“Jadi,
boleh ‘kan Roraz tetap di sini bersama kita?” Tanya Afif. Ayah dan bunda saling
pandang. Kemudian bunda tersenyum.
“Tentu
saja. Tapi… apakah Roraz memang benar ingin tinggal di sini bersama kita?”
Tanya Bunda.
“Aku
sudah tidak punya siap-siapa lagi.” Jawab Roraz.
“Kalau
begitu… Mulai sekarang Roraz adalah bagian keluarga kita.” Kata ayah. Afif
berteriak kegirangan. Mata Roraz berbinar senang.
***** ***** *****
“Ayo
cepat isi formulirnya.”
“Untuk
apa?”
“Kan
kamu mau sekolah sepertiku. Ini formulir yang harus kau isi, Roraz. Ayo tulis
namamu.” Afif tidak sabaran menyodorkan selembar kertas dan sebatang pena ke
arah Roraz. Roraz mengangguk-angguk mengerti. Lalu mengisi formulir tersebut.
Setelah selesai, Roraz menyerahkannya pada Afif. Senyum lebar Afif seketika
menghilang saat membaca tulisan Roraz.
“Apa
ini? Kenapa namamu jadi Bjyrorazx Bjyroxz?” susah payah Afif mengeja.
“Itu
memang namaku, Bjyrorazx. Sementara Bjyrozx, itu nama ayahku.” Jawab Roraz.
Afif menggeleng-geleng.
“Hah? Kau lahir tahun Bintang Merah? Usia
seribu dua ratus tahun? Apa-apaan itu? Kau ini apa sih?” Afif terus saja menggerutu. Roraz sendiri tertawa-tawa
melihat tampang Afif. “Dasar Alien!” maki Afif. Roraz makin keras terbahak.
“Memang
aku alien, ‘kan? Seperti yang selalu
kau bilang.”
“Iya.
Tapi ini…” Afif melambai-lambaikan kertas formulir itu sambil cemberut sebal.
“Percuma saja kau gunakan mekanisme kamuflasemu yang camggih itu, kalau kau
malah membeberkannya di formulir ini.”
“Jadi,
apa yang harus kutulis di sana?”
“Sini.
Biar aku yang urus.” Afif merebut ballpoint dari tangan Roraz. Dia menghapus
tulisan Roraz yang berantakan dengan tipe-ex. Lalu menulis ulang di atas
formulir itu.
“Nah,
ini baru beres.” Kata Afif tak lama kemudian. Sesaat dia memeriksa kembali
formulir itu. Lalu tiba-tiba dahinya berkerut. “Ada poin yang belum terisi. Ini
pertanyaan tentang makanan kesukaanmu.” Afif menggaruk-garuk kepala. Kenapa
formulir pendaftaran menanyakan makanan
kesukaan juga?
“Spjryksozixs.”
Kata Roraz.
“Hah?
Apa?”
“Spjrysozixs.
Eeeu… itu sejenis makanan di tempat asalku. Lezat sekali, juga sangat bernutrisi.
Semua orang di tempat asalku sangat menyukainya.”
“Oh
ya? Sulit sekali namanya. Apa rasanya benar-benar lezat? Seperti apa
kira-kira?”
“O,
tentu saja. Mmmm… rasanya seperti….” Roraz berpikir sejenak. “Oh ya! Aku pernah
menemukan yang aroma dan rasanya mirip dengan spjrysozixs. Kau ingat saat
pertama kali menemukanku di gudangmu? Waktu itu aku sangat lapar dan lemah.
Lalu tiba-tiba aku mencium aroma lezatnya. Aku heran kenapa ada Spjrysozixs
dihambur-hamburkan dalam pot tanaman. Di dalam gudang juga aku menemukannya
dalam kotak-kotak karton. Tapi sayang isinya tinggal sedikit. Tidak cukup
mengenyangkan dan mengembalikan energiku saat itu…
”
“Tunggu
dulu! Apa kotak itu bertuliskan ‘PUPUK’?”
“Ya.
Ada gambar binatang berkaki empat. Apa makanan itu terbuat dari daging binatang
itu?” Tanya Roraz polos. “Oiya, kotak satunya bertuliskan ‘KOMPOS’ bentuknya
mirip. Tapi rasanya tidak terlalu enak.” Kata Roraz. Tapi dia bingung melihat
wajah Afif yang terlihat aneh.
“Dasar
bodoh!” maki Afif. Setengah mati dia menahan tawanya membayangkan Roraz
menyantap pupuk tanaman milik bunda. “Itu memang makanan, tapi untuk tanaman,
bukan untuk kita. Gunanya untuk menyuburkan tanaman.” Kata Afif. Roraz terbengong-bengong. Padahal
rasanya lezat sekali menurutnya.
“Sudahlah.
Banyak yang harus kau ketahui tentang lingkungan di sekitar kita.” Kata Afif.
“Yuk aku tunjukkan.” Afif mengajak Roraz keluar dari kamar. Roraz mengikuti
Afif tanpa membantah.
“Euu…
Afif. Apa menurutmu aku ini aneh?” Tanya Roraz tiba-tiba. Afif berhenti melangkah.
Lalu menatap Roraz lama.
“Tentu
saja kau aneh.” Kata Afif sambil tersenyum jail. “Kau ‘kan alien.” Sambung Afif
sambil menepuk bahu Roraz. Roraz melotot ke arah Afif yang segera berlari ke
halaman meninggalkan Roraz. Di sana dia berhenti lalu berbalik. “Tapi kau juga
hebat. Kita akan selalu berteman ‘kan, Alien?” seru Afif sambil tersenyum
lebar. Roraz ikut tersenyum. Tentu saja. Katanya dalam hati. Lalu dia berlari
mengejar Afif. Sahabat sekaligus saudaranya di planet asing ini. Satu-satunya
yang dia punya.
*Belum Selesai*
(Semoga bisa dilanjutkan ke seri Afif --Roraz lainnya ;) )