Rabu, 21 Agustus 2019

Gapura Makam Taman Pahlawan


GAPURA TAMAN MAKAM PAHLAWAN
Lily N. D. Madjid


            “Papa, itu tempat apa?” tanyaku sambil menunjuk sebuah gapura yang nyaris tersembunyi oleh kelebatan rumpun-rumpun bambu di sekitarnya. Papa menoleh ke arah yang kutunjuk. Tak lama ia menghentikan kayuhan pedal sepedanya.
“Itu Taman Makam Pahlawan, De.” Katanya.
“Ooo…” bibirku membulat. Tanpa sadar aku bergidig.
“Kenapa?”
“Seram. Tempatnya gelap. Itu pohon bambunya juga banyak.” Kataku. Lagi-lagi aku bergidig.
“Dede takut?” Papa bertanya sambil tersenyum padaku. Aku mengangguk. Sejujurnya sejak melintas di depan gapura itu aku sudah merinding. Tempatnya sepi sekali. Juga gerumbul pohon bambu yang merimbun di sekitarnya, menambah kesan menakutkan tempat itu.
“ Lho? Itu, mereka sedang apa?” tiba-tiba kulihat serombongan ibu keluar dari dalam gapura.
“Mungkin mereka baru selesai berziarah.” Jawab Papa.
Aku diam sambil masih menatap para ibu  berpakaian putih-putih yang  satu persatu muncul dan berjalan ke arah aku dan Papa berada. Papa kembali mengayuh. Dua roda sepedanya kembali melaju seiring ayunan kaki Papa. Aku yang duduk di boncengan belakang mempererat peganganku. Sementara pandanganku masih saja tertuju ke arah para ibu di dekat gapura makam tadi.
***      ***      ***
            Kenangan akan perjalanan melewati gapura makam pahlawan itu masih sering muncul di kepalaku. Bahkan hingga kini. Apalagi sampai saat ini, aku masih sering melewati gapura itu.  Meskipun tidak lagi dengan Papa. Karena papaku telah pergi.
            Ya. Selang beberapa tahun sejak aku duduk dibonceng oleh Papa melewati gapura makam pahlawan itu, papaku berpulang setelah hampir satu bulan terbaring di rumah sakit. Aku masih dapat mengingat dengan jelas saat-saat itu.
Suatu pagi di awal Bulan Ramadhan saat usiaku belum genap 13 tahun, Papa yang selama ini kulihat selalu bugar tiba-tiba jatuh di teras rumah. Ia sudah berpakaian dinas lengkap karena akan pergi bekerja. Sementara, aku hanya bisa termangu melihat kepanikan yang terjadi setelahnya. Mama menangis. Begitu juga nenekku—ibu dari Papa—yang saat itu sedang dalam masa pemulihan dari stroke. Tetangga kiri dan kanan berdatangan, mencoba menyadarkan Papa dengan berbagai cara. Akhirnya Papa di bawa ke rumah sakit tempatnya bekerja.
Bukan, papaku bukan dokter. Beliau tentara. Hanya saja, kemudian mendapat tugas belajar di bidang medis, hingga akhirnya beliau ditugaskan di sebuah rumah sakit tentara di bilangan Jakarta Pusat. Ke sanalah ia dibawa saat itu.
Aku tidak ikut mengantar Papa. Hanya Mama dan beberapa tetangga dekat kami saja yang menemani. Sementara aku dan satu-satunya kakakku tetap tinggal di rumah menemani nenek yang terus menerus bersedih.
Aku masih ingat bagaimana nenek selalu saja menanyakan keadaan Papa dari hari ke hari. Bisa kulihat betapa sedihnya ia karena tidak dapat menemani, atau bahkan sekedar menjenguk putra sulungnya di rumah sakit. Keadaan beliau memang tidak memungkinkan saat itu. Untuk berjalan saja nenekku masih tertatih-tatih dan harus berpegangan pada dinding.
Hari demi hari berlalu. Awalnya aku sangat optimis, Papa akan segera pulang dari rumah sakit. Sebab seingatku, Papa memang tidak pernah sakit parah. Pernah memang beberapa kali beliau dirawat di rumah sakit karena penyakit malarianya kambuh—yang beliau dapat saat bertugas di wilayah yang berhutan-hutan. Tetapi biasanya tidak lama sudah bisa kembali pulang. Maka saat itu, aku pun berharap demikian. Berharap Papa segera pulang dan kembali bersama kami lagi.
Di antara dua orang anaknya, sepertinya aku yang lebih dekat dengan Papa. Biasanya sepulang bekerja, Papa akan ada di rumah. Dan aku—si Bungsu—akan menempel ke mana pun beliau melangkah. Kakakku, mungkin karena dia lelaki, lebih banyak menghabiskan wakktu bermain dengan teman-temannya di luar. Dengan kedekatanku dengan Papa yang seperti itu, terasa sekali kehilanganku akan Papa saat beliau di rumah sakit.
Sesekali aku dan kakak mendapat kesempatan menjenguk Papa. Saat itu dapat kulihat, Papa begitu pucat. Tubuhnya yang tegap berisi juga menyusut. Aku seperti tidak mengenali Papa. Apalagi, Papa juga terlihat tidak seceria sebelumnya. Sebelum Papa sakit, aku tidak pernah melihat beliau berwajah sedih.  Bahkan beliau pun nyaris tidak pernah kulihat marah. Pada kami anak-anaknya, hanya wajah jenaka dan penuh senyumlah yang ia berikan. Tapi saat di rumah sakit itu, aku melihat bayang-bayang muram tergambar di wajah Papa.
Dari mama kami akhirnya tahu, seberapa parah penyakit Papa.
“De, biar Papa istirahat dulu.” Bisik Mama suatu hari saat aku menjenguk Papa. Saat itu aku membawa buku tugas bahasa Inggrisku, berniat ingin diajari oleh Papa.
“Papa baru diambil lagi sumsum tulangnya.”Kata Mama lagi. Wajah kuyunya tak bisa disembunyikan dari kami.
“Sumsum tulang?”
“Iya. Ini sudah yang ke sekian kali. Tempo hari dari tulang dada. Tadi dari tulang panggulnya.”
“Untuk apa, Ma?”
“Untuk dites.”
“Memang Papa sakit apa?”
“Kelainan sel darah. Dokter curiga kanker darah. Leukemia.” Kata mama. Wajahnya seperti akan menangis.
Entah apa yang kupikirkan saat itu. Namun yang masih kuingat, saat itu aku tetap memiliki harapan besar bahwa Papa akan dapat pulang ke rumah kami dalam keadaan kembali sehat. Papaku yang baik, yang selalu sayang padaku. Papaku yang penyabar, tentu Allah akan memberikan kesembuhan pada beliau, bukan?
***      ***      ***
Hari itu Mama pulang. Aku menguping pembicaraan beliau dengan seorang kerabatku. Kondisi Papa semakin menurun. Papa dipindahkan ke ruang steril. Kawan-kawan beliau dan kerabat kami yang menjenguk pun tidak bisa lagi masuk ruangan. Hanya melihat dari kaca jendela saja. Papa semakin sering menjalani tranfusi, namun agak kesulitan mendapatkan donor. Di bank darah jarang sekali dapat persediaan yang cocok.
“Kenapa bisa?” aku menyela pembicaraan mama dan kerabatku.
“Rhesus darah Papa negatif, De. Sulit mencarinya.”
Saat itu aku belum terlalu mengerti. Tetapi, dari informasi yang kemudian kugali, baru aku ketahui bahwa rhesus negatif memang paling banyak ditemukan pada ras Kaukasia. Diperkirakan sekitar 15% orang dari ras tersebut memiliki rhesus negatif. Rhesus negatif paling jarang ditemukan pada ras Asia yaitu hanya sekitar 1% dari populasi ras Asia.
“Apa Paman Abby tidak bisa mendonor?” tanyaku. Paman Abby adalah satu-satunya saudara kandung Papa yang masih ada. Mereka sesungguhnya tiga bersaudara. Papa si Sulung, Paman Abby si Tengah dan satu adik perempuan mereka yang meninggal saat masih bayi.
“Paman Abby sudah mencoba. Sudah dicek, golongan darahnya AB, tetapi Rhesusnya positif. Tidak cocok untuk papamu. Tapi tadi kawan-kawan Papa sedang berusaha mencari.”
“Apa aku bisa membantu Papa, Ma? Dengan darahku?” kataku. Mama menatapku lalu menggeleng.
“Tidak bisa. Kamu masih terlalu kecil.” Kata Mama. “Kamu doakan saja Papa.” Kata mama akhirnya.
***      ***      ***
Hampir genap satu bulan sejak Papa jatuh di teras rumah dulu. Tidak terasa malam takbir tiba. Suara bedug bertalu-talu. Gemanya terdengar di seluruh penjuru tempat tinggal kami. Malam menjelang hari kemenangan, mestinya menjadi malam yang membahagiakan, bukan? Tetapi bagi kami masih ada yang menganjal; Papa yang masih terbaring di rumah sakit.
Mama menitip pesan pada kerabatku yang baru saja pulang membezuk, agar esok aku dan kakak berhari raya di rumah sakit bersama Papa. Nenekku—yang tidak memungkinkan untuk ikut—sudah dipindahkan ke rumah paman papaku yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah kami.
Pagi harinya, sesudah shalat Eid dan bersilaturrahmi dengan tetangga-tetangga kami, aku sudah siap menuju rumah sakit diantar oleh tetangga dekat kami. Kakakku bahkan sudah pergi lebih dulu beberapa jam yang lalu bersama kerabat kami yang lain. Aku menuju terminal untuk mencari bus ke arah rumah sakit.
Tetapi apa mau dikata. Suasana terminal yang biasanya selalu ramai, pagi itu begitu lengang. Bus-bus yang berlalu lalang dapat dihitung dengan jari. Beberapa jam menunggu, bus yang akan membawaku ke jurusan yang kutuju tidak juga muncul. Di masa itu  daerahku belum seperti saat ini, yang dengan mudahnya bisa mendapatkan transportasi umum dengan menggunakan aplikasi.  Apalagi hari itu hari pertama Iedul Fitri. Akhirnya dengan berat hati, tetangga dekatku itu mengajakku kembali ke rumah. Dan akan kembali lagi esok hari.
Esoknya, hari raya ke dua. Pagi-pagi sekali kami sudah siap di dekat terminal. Dan syukurlah, bus yang kami tunggu segera muncul dan masih kosong. Aku memilih duduk di bagian depan di dekat jendela, tepat di belakang pak sopir.
Jalan lengang. Sangat berbeda dengan kondisi sekarang yang  selalu macet walaupun masih dalam suasana hari raya. Bus melaju dengan lancar. Saat itu hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit dari terminal bus di daerahku menuju daerah tujuan.
Tiba di rumah sakit, aku bergegas menuju gedung bagian belakang tempat Papa di rawat. Di ruangan Papa di lantai tiga, kulihat Mama sedang menyuapi Papa. Kakakku sedang berbaring di kursi tunggu di luar ruangan. Aku ikut duduk di sana. Tak lama Mama ke luar.
“Kenapa baru datang, De?” tanyanya. Belum sempat kujawab, tetangga dekat yang mengantarku buru-buru menjelaskan kenapa kami baru datang sekarang. Mama mengangguk. “Papa terus menanyakan kamu tadi malam.” Kata Mama sambil menatapku.
“Boleh aku masuk sekarang, Ma?” tanyaku. Mama menggeleng.
“Papa baru tidur. Biar Papa istirahat dulu.” Aku menganggk lalu memandangi Papa dari balik jernihnya kaca jendela.
Cukup lama aku menunggu. Beberapa tetangga lain datang membezuk. Beberapa saudara dan kerabat kami pun berdatangan. Tetapi seperti aku, mereka juga hanya bisa menatap Papa yang tertidur di dalam ruangannya yang steril. Akhirnya setelah zuhur aku dibolehkan masuk. Papa terjaga. Tetapi beliau seperti tidak mengenali aku.
Aku menyapa Papa. Mencoba mengajaknya berbicara. Tapi Papa hanya menatapku. Aku bingung sekali saat itu. Tiba-tiba saja nafas Papa mulai telihat terengah-engah. Mama dan kakakku mendekat. Dua orang saudara kami juga masuk. Mereka mengajak kami berdoa. Mama kulihat mulai menangis. kakakku menunduk. Sepertinya ia juga berdoa. Aku menatap Papa. Antara bingung dan sedih. Tapi aku tidak bisa menangis. Di sudut hatiku saat itu masih meyakini bahwa Papa akan kembali pulih. Papa akan pulang bersama kami.
“Laa ilaaha Illallah…” Saudaraku, Paman jauh Papa membisikkan talqin di telinga Papa. Mama ikut membisikkan kalimat suci tersebut di sisi yang lain. Suaranya bergetar dan matanya  basah. Aku tertunduk, memandangi Papa yang terpatah-patah bersuara.
“Allah… allah…” bisik Papa. Nafasnya semakin terlihat satu-satu. Aku terpaku di sisi dekat lutut Papa. Mencoba meraih tangannya. Tak berani bersuara. Hanya saja dalam hati, aku masih meneriakkan kata-kata, bahwa Papa akan sembuh. Papa tidak akan apa-apa.
“Ikhlaskan, ikhlaskan…” kudengar saudara kami berkata. Mama menangis. membisikkan kata-kata di telinga Papa. Setelah itu, tarikan nafas Papa semakin melemah. Bibirnya masih menggumamkan kata-kata itu dengan lirih.
“Allah… Allah…”
***      ***      ***
            Hingga jenazah Papa di baringkan di ruang tamu kami, aku masih belum percaya kalau Papaku telah pergi. Saat beliau dimandikan baru air mataku mengalir deras.  Ketika   beliau akan dishalatkan, kulihat shaf demi shaf rapat diisi oleh mereka yang akan ikut shalat jenazah.
Begitu juga saat akan mengantar Papa ke peristirahatan terakhir. Begitu ramai orang yang ikut mengantarnya. Truk-truk militer dan bus-bus milik kesatuan Papa berbaris di sepanjang jalan di dekat masjid. Truk-truk dan bus itu melaju beriring-iringan di belakang mobil jenazah yang membawa Papa. Dan aku masih bisa mengingat ratusan orang yang memenuhi kendaraan-kendaraan tersebut, kemudian berkumpul di area pemakaman. Wajah-wajah yang kukenal, wajah-wajah yang tak kukenal, semua khusyuk mengikuti prosesi pemakaman Papa.
Tembakan salvo terakhir mengantarkan Papa ke tempat peristirahatannya. Aku, kakak, Mama, saudara dan kerabat jauh juga dekat kami berdiri mengelilingi liang lahat yang akan segera ditutup. Gerimis kecil turun. Tetesan halusnya menyentuh wajahku. Sesak rasanya di dadaku, tetapi tangis tak bisa tertumpah. Aku hanya bisa memandangi saat sedikit demi sedikit tanah merah ditimbun kembali. Menutupi jasad Papaku.
Dan yang masih kuingat, saat iring-iringan kami kembali pulang, aku menatap lekat gapura makam dan rerimbun rumpun-rumpun bambu di dekatnya. Gapura yang sama dengan yang kulihat beberapa tahun lalu saat bersepeda bersama Papa. Juga rumpun-rumpun bambu yang sama, yang daunnya dulu melambai menyapa aku dan Papa.
Hingga kini, gapura itu masih ada. Semakin terlihat bersih dan kokoh. Mungkin karena rerimbun rumpun-rumpun bambu itu kini tak ada lagi. Di sekeliling makam pun sudah tidak lagi sunyi dan gelap seperti dulu. Deretan ruko berjajar sebelum gapura. Beberapa sekolah internasional berdiri tidak jauh dari areal makam. Perumahan elite pun melingkupi area sekitarnya.  Tetapi walau daerah itu terus berubah digempur kemajuan zaman, kenangan tentang gapura itu masih sering melintas dalam kepalaku. Seiring abadinya kenanganku akan sosok Papa.
***      ***      ***

Kamis, 08 Agustus 2019

Kita Berteman 'kan, Alien?


Kita Berteman ‘kan, Alien?
Cerpen Lily N.D. Madjid



BUMMMMM!

Suara dentuman hebat terdengar. Terasa getaran yang begitu kuat di dalam kabin pesawat kecil itu. Satu sosok kecil berteriak tertahan sambil berpegangan erat pada apapun yang mampu dijangkaunya. Sebenarnya dia tak perlu khawatir, sabuk pengaman yang kokoh masih mengikatnya erat. Ia aman di kursinya.

Tetapi tetap saja aura kepanikan terasa begitu kental. Sosok kecil itu menatap dari balik punggung ayah dan ibunya. yang terlihat sedang berkonsentrasi menghadapi panel yang ada di meja kokpit pesawat mereka.

“Kurasa kita tidak akan dapat bertahan.” Desis ibunya.

“Omong kosong! Aku yang merancang pesawat ini. Aku mendisainnya untuk perjalanan panjang dan jauh. Sistem pertahanannya sangat kuat. Benturan asteroid tidak akan menghancurkannya.” Gerutu ayahnya. Keempat tangan hijaunya menekan berbagai tombol di panel yang menyala.

“Hmmm…” si ibu mendengus, “Benturan asteroid memang tidak akan merusak pesawat ini. Tetapi ini bukan sekedar benturan. Ini badai asteroid, Bjyrozx.” Terasa ada getaran dalam suara si ibu. Membuat Bjyrox, si ayah sesaat mengalihkan pandangannya dari panel.

“Axcytrach, tolong jangan berputus asa. Jangan membuat Bjyrorazx takut.” Bisiknya sambil melirik Bjyrorazx, sosok kecil di kursi belakang. “Aku sedang berusaha. Aku sudah melakukan pengecekan. Memang keempat mesin penunjang kita nyaris mati. Tapi kita masih bisa bertahan. Aku juga sudah mengaktifkan mesin cadangan. Lagi pula, tujuan kita sudah cukup dekat. Kurasa kita….”

“Ayah, apa itu?” Suara bergetar Bjyrorazx menyela percakapan ayah dan ibunya. Raut wajahnya tampak ketakutan. Satu dari empat tangannya menunjuk ke depan. Bjyrozx dan Axcytrach menoleh sesaat ke arah anak mereka sebelum berbalik dan berteriak ngeri. Satu gugus asteroid raksasa yang besarnya hampir lima kali besar pesawat mereka tampak meluncur dengan kecepatan tinggi. Tepat pada jalur pesawat mereka.

“Ya Tuhan! BERTAHAN!” Teriak Bjyrozx. Tangan-tangannya bergerak sangat cepat di atas panel pengendali pesawat. Tetapi suaranya segera tertelan oleh suara benturan keras yang disusul oleh suara dentuman lain. Kapal kecil itu berputar-putar  cepat lalu meluncur tanpa kendali. Sebagian besar tubuh pesawat hancur dan terbakar.

*****  *****  *****


            Afif berguling bosan di atas tempat tidurnya. Dia belum mengantuk. Padahal jam dinding sudah menunjuk ke angka sembilan lewat tiga puluh menit. Di malam-malam yang lain, biasanya dia sudah tidur. Tetapi malam ini, bagaimana dia bisa tidur? Abang dan dua kakaknya baru pulang dari lain kota tempat mereka menuntut ilmu. Dan Afif ingin tetap di bawah bersama mereka. Mendengarkan cerita-cerita mereka. Tapi tentu saja bunda tidak mengizinkan. Bunda tidak pernah membiarkan Afif tidur lewat dari pukul sembilan malam.

            “Bunda nyebelin!” gerutu Afif. “Aaaa... ah! Aku kan masih masih mau dengar abang cerita.” Katanya. Lalu menutup rapat wajahnya dengan bantal dan berteriak sekuat tenaga. Tentu saja tidak ada yang mendengar.

            Setelah itu dia mematung. Benar-benar membosankan diam seperti itu sambil tidak melakukan apa-apa. Sekali lagi dia berteriak. Lalu tak lama bantal yang menutup wajahnya melayang cepat dan berhenti saat menabrak daun pintu yang menutup rapat. Bocah sebelas tahun itu bangkit, lalu bergeser ke arah jendela yang berada di sisi lain tempat tidurnya. Dibukanya daun jendela lebar-lebar. Udara dingin membelai wajahnya.

            Dia memandang ke sekeliling. Belum terlalu sepi. Ini belum pukul sepuluh, ‘kan? Kamarnya ada di lantai dua. Dari sana dia bisa melihat rumah teman-temannya. Di rumah Kean, temannya, masih terlihat terang benderang. Di rumah Key juga masih terlihat ramai. Kakak Key masih terlihat duduk-duduk di teras rumah. Sesekali Afif juga masih mendengar suara Key tertawa terbahak-bahak. Afif mendengus sebal. Kenapa hanya dia yang punya ibu seperti bunda?

            Mmmm… bukannya Afif benci bunda. Tidak. Sebaliknyanya,  Afif sangat sayang pada bunda. Tetapi… bunda punya aturan-aturan yang sangat ketat di rumah. Tidak boleh tidur lewat dari pukul sembilan malam. Tidak boleh pinjam HP lebih dari satu jam. Tidak boleh nonton TV lama-lama. Tidak boleh bernyanyi di kamar mandi. Harus ngaji. Harus belajar. Harus… harus… harus…

            Dan malam ini, saat Bang Adri dan Kakak Aqila datang dari Jakarta—mereka kuliah di sana—dan  Kakak Azkiya baru pulang dari pesantren, karena jatahnya untuk pulang, Afif tetap tidak boleh tidur melewati pukul sembilan. Padahal di bawah sana, bunda masih ngobrol seru dengan mereka. Itu kan tidak adil!

            Afif mengalihkan pandangannya ke langit. Cerah sekali langit malam ini. Walau pun bulan hanya separuh bersinar, tetapi bintang-bintang bertaburan. Berkelap-kelip seperti intan yang bersinar. Kekesalan Afif berangsur mereda. Dia takjub melihat langit dengan gugusan bintangnya.

            Tiba-tiba matanya menangkap selarik sinar di langit. Seperti api berekor yang menukik jatuh. Meluncur dengan sangat cepat.

            “Bintang jatuh…” bisik Afif. Dia terus memandangi cahaya yang meluncur itu. Matanya tak berkedip. “Kok… sepertinya makin dekat, ya?”

Cahaya itu memang semakin menukik di kejauhan. Terus meluncur dengan kecepatan tinggi. Lalu menghilang dari pandangan Afif karena terhalang bukit. Belum sempat Afif menghembuskan nafas yang sejak tadi tertahan, seberkas cahaya hijau berpendar beberapa saat dari balik bukit tempat bintang jatuh tadi menghilang. Afif memandang lekat-lekat ke arah bukit. Tetapi cahaya itu sudah menghilang. Hanya menyisakan kegelapan di sekelilingnya.

*****  *****  *****


Hari ini hari Sabtu dan sekolah libur, karena kegiatan belajar di sekolah Afif hanya berlangsung lima hari dalam seminggu. Ia sedang asyik membaca buku tua milik bunda. Seri petualangan Tom Swift dengan kapal ruang angkasanya. Bunda punya banyak koleksi seperti ini di lemari bukunya. Dan Afif suka sekali membacanya. Walaupun buku tua, tetapi ceritanya tidak kalah menarik dengan buku-buku baru Afif yang lain.

Tiba-tiba Afif mendengar suara-suara. Seperti suara langkah kaki dan kelotak barang-barang berjatuhan. Dia menyingkirkan bacaannya, kemudian memasang telinga baik-baik.

“Sepertinya dari gudang di samping…” gumam Afif. Dia kembali memandang berkeliling. Di ruang tengah ini sepi. Televisi tidak menyala. Hanya dengung pompa aquarium milik ayah saja yang terdengar. Abang dan kakak-kakaknya pergi sejak tadi. Jalan-jalan, katanya. Afif memilih tidak ikut. Ia lebih suka menghabiskan waktu di rumah untuk membaca. Ayah juga pergi pagi-pagi sekali. Sementara bunda sedang khusyuk di depan laptopnya di kamar.

Lalu suara apa di samping rumah itu?

“Buun.” Panggil Afif. Tak ada sahutan. Afif turun dari sofa. Ia menuju kamar bunda. Dilihatnya bunda sedang sibuk dengan kertas-kertas dan laptopnya. Bunda menoleh saat Afif menjulurkan kepala di ambang pintu kamar.

“Ya, Fif?”

“Bunda belum selesai? Tanya Afif. Bunda menggeleng dan melanjutkan kembali pekerjaannya. “Kayaknya ada orang deh, Bun, di gudang. Aku dengar suara-suara.”

“Gudang kan dikunci, Fif. Apa mungkin ayah?” bunda balik bertanya tanpa melepaskan pandangan dari laptopnya.

“Coba Afif periksa dulu sebentar, Bun.” Kata Afif sambil bergegas meninggalkan kamar bunda menuju gudang di samping rumah.

Di luar lengang. Afif berjalan perlahan ke arah gudang sambil memeriksa sekelilingnya. Tidak ada yang aneh. Hanya saja… pot-pot tanaman bunda terlihat agak berantakan. Seperti ada yang sudah mengaduk-aduk tanahnya. Apa tadi bunda habis berkebun lagi? Tapi rasanya sejak tadi bunda sibuk dengan laptopnya di kamar?

Afif menggeleng-geleng sendiri. Ditinggalkannya pot-pot tanaman bunda. Dia kembali menuju ke gudang samping. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut. Pintu gudang terbuka setengahnya. Bukankah tadi bunda bilang kalau pintu gudang dikunci? Atau bunda lupa?

Perlahan Afif mendekati pintu gudang. Dia mengintip diam-diam. Kotak-kotak tempat menyimpan kompos dan pupuk kandang yang sudah kosong berserak di lantai. Pencuri? Afif bertanya-tanya dalam hati. Tidak lama matanya menangkap sesosok tubuh yang  menggeletak di lantai gudang. Afif mendekat dengan mengendap-endap, takut mengejutkan sosok itu. Ini pasti pencuri. Pikirnya dalam hati. Dia sudah bersiap-siap akan meraih apa saja jika pencuri itu menyadari kehadirannya. Ketika sudah berada cukup dekat dengan sosok tersebut Afif malah terbelalak dan secara refleks dia menjerit sekuat-kuatnya.

*****  *****  *****


Sudah beberapa hari ini banyak orang berkunjung ke rumah Afif. Ada Pak RT, Pak RW orang-orang dari kantor desa dan entah dari mana lagi mendatangi rumah Afif. Tidak ketinggalan ibu-ibu dari dinas sosial dan dinas entah apa namanya itu—Afif kurang jelas mendengarnya—juga datang ke sini.

Semua tentu saja karena kehadiran si Pucat itu. Si Pucat? Yeah, sebenarnya anak itu mengaku bernama Roraz. (Huh! Nama macam apa itu?). Itu lho, anak yang ditemukan Afif tergeletak pingsan di dalam gudangnya minggu lalu. Nah, sejak ditemukan tempo hari, ayah dan bunda memutuskan untuk menampung si Pucat—maksudnya Roraz—di rumah, sampai dia mampu menceritakan lebih banyak lagi tentang siapa dirinya.

Itulah sebabnya kenapa banyak orang-orang berdatangan ke rumah Afif. Setelah ayah melaporkan keberadaan Roraz ke Pak RT, pak RT melaporkan ke Pak RW, lalu ke kantor desa, dan seterusnya, orang-orang pun berdatangan. Ingin tahu tentang—ayah bilang ingin membantu—si anak pucat itu. Tetapi sampai hari ini, tidak banyak yang bisa diketahui dari Roraz.

Di rumah dia tidak banyak bicara. Jika diajak bicara dia lebih sering hanya memandangi saja orang yang mengajaknya bicara. Dia seperti sedang berpikir keras mencerna setiap kata. Kalau ditanya tentang asal-usulnya pun dia seringkali malah melamun. Kadang Afif sering memergokinya menangis atau menggigil ketakutan. Dia juga jarang menyentuh makanannya.  Makanya bunda sangat cemas di buatnya. Si Pucat itu jadi bertambah pucat dari hari ke hari.

Sering bunda menyuruh Afif untuk mengajak Roraz mengobrol. Kata bunda, mungkin Roraz mau lebih banyak bicara jika dengan Afif, karena mereka sebaya. Tapi Afif enggan kalau harus berdua saja dengan Roraz. Bukan karena Afif sombong atau apa kalau harus berteman dengan Roraz. Tidak. Tapi Afif agak takut. Ada satu hal yang hanya dia yang mengetahuinya. Tidak ada orang lain yang tahu, tidak juga bunda atau pun ayah. Fakta bahwa saat pertama kali ditemukan di gudang samping rumah dalam keadaan pingsan, kulit Roraz berwarna sangat hijau, dan tangan Roraz… ada dua pasang.

*****  *****  *****

Hari berganti hari. Sudah dua minggu Roraz tinggal di rumah Afif. Ayah dan bunda tidak tega jika Roraz harus tinggal di panti sosial. Lebih baik Roraz di sini, kata mereka. Lagi pula, Roraz bisa menemani Afif yang sudah ditinggal lagi oleh abang dan kakak-kakaknya ke luar kota. Pak RT dan Pak RW menyetujui keputusan ayah dan bunda. Jadilah Roraz tinggal bersama keluarga Afif.

Tetapi sejauh ini belum ada informasi yang lebih banyak diketahui tentang Roraz. Anak itu masih saja tidak banyak bicara. Hanya saja sekarang sudah mulai mau makan. walaupun dari ekspresinya, Roraz seperti kurang suka dengan makanan yang ada di rumah Afif. Karena sudah mau makan, tubuh Roraz sudah terlihat lebih segar walau pun masih tetap pucat.

Afif juga sudah tidak terlalu takut lagi. Selama dua minggu ini, Afif benar-benar mengawasi Roraz walau hanya dari kejauhan. Tidak ada yang mencurigakan. Afif mulai berpikir bahwa saat pertama kali menemukan Roraz, mungkin ia hanya berhalusinasi saja saat melihat tangan Roraz  berjumlah empat.

“Hmmm… tapi asyik juga ya, kalau kita punya empat tangan.” Gumam Afif sambil senyum-senyum sendiri. Saat itu dia sedang berjalan sendirian pulang dari sekolah. Teman-temannya yang searah sudah tiba lebih dulu di rumah mereka. Rumah Afif memang yang paling jauh di antara temannya yang lain. “Aku bisa begini, begini… chiaaattt!” Afif bergerak menirukan orang bersilat seperti yang pernah dia lihat di televisi, “Sambil tangan aku yang dua lagi begini… hap, hap, hap!” Afif memungut batu di dekatnya dan dengan cepat melempar batu tersebut!

BLETAKKKK!

GRRRRRRR…

GUK! GUK! GUK!

Seekor anjing menggeram marah dan melesat ke arah Afif setelah batu yang Afif lempar tadi mengenai punggungnya dengan keras. Afif tersentak kaget. Wajahnya berubah pucat melihat anjing bertampang galak itu berlari cepat ke arahnya.

“Bundaaaaaaa…. Toloooooooooooonggg!”

Afif berlari sekuat tenaga. Mulutnya terus berteriak meminta tolong. Tetapi jalanan begitu lengang. Tidak ada seorang pun terlihat di sana.

“Hooooiiii…. Orang-oraaaaaang! Tolooooooonggg!” teriak Afif kalang kabut. Anjing itu semakin mendekat. “Ayaaaahhhhh! Bundaaaaaa! Roraaaaazzzz!” Entah mengapa tiba-tiba saja Afif teringat pada Roraz yang dalam bayangan di kepalanya sedang duduk dengan nyaman di rumahnya yang tenang. Tidak seperti dirinya yang bagaikan telur di ujung tanduk dalam kejaran anjing galak.

Tiba-tiba secercah sinar biru menyilaukan melesat entah dari mana. Suara anjing yang tadi menggonggong dengan ributnya seketika hilang. Sekelilingnya menjadi sepi. Langkah Afif terhenti perlahan. Selain karena dia sudah tidak mampu lagi berlari, Afif juga ingin tahu apa yang terjadi dengan si anjing yang tadi ada di belakangnya.

Bukan main terkejutnya Afif melihat apa yang terjadi. Saking kagetnya dia sampai terjengkang ke belakang.

“Alamak! Kenapa itu si anjing galak?” katanya nyaris berteriak. Matanya memandang kaget ke arah anjing yang sekarang diam membeku di depannya. Ya, membeku. Benar-benar membeku tidak bergerak lagi.

“Kamu sudah aman sekarang.” Kata satu suara dari belakang. Afif yang baru saja mulai berdiri, kembali terduduk ke tanah saking kagetnya. Dia lebih terkejut lagi saat menoleh dan mendapatkan Roraz sudah berdiri di dekatnya.

“Kok kamu ada di sini?” Afif melotot, nafasnya masih tersengal-sengal karena berlari tadi. Ditambah lagi dengan kemunculan Roraz yang tiba-tiba.

“Aku? Errr… aku mendengar kamu minta tolong tadi.” Kata Roraz ragu.

“Memangnya tadi kamu ada di mana?” Afif mendelik memandang Roraz. Seingatnya tadi dia tidak melihat Roraz di sekitar sini.

“Di rumahmu. Memangnya di mana lagi?” sahut Roraz cepat. Tetapi wajahnya segera memucat saat dia melihat Afif menyipitkan mata sambil memandangnya dengan pandangan aneh.

“Kamu di rumah?” bisik Afif sambil mendekat. “Mana mungkin kamu bisa mendengar teriakanku dari sana?” Mata Afif  tidak lepas dari mata Roraz yang terlihat salah tingkah. “Kamu…” Afif tidak meneruskan kalimatnya. Dia tertegun saat menatap pupil mata Roraz. Afif melihat ada yang aneh dengan pupil mata itu. Pupil mata Roraz tidak berbentuk lingkaran seperti pupil mata pada umumnya. Pupil mata Roraz menyerupai garis vertical seperti… pupil mata kucing.

Afif yang tadi maju mendekat segera menghentikan langkahnya. Teringat lagi pemandangan saat pertama kali dia menemukan Roraz di gudang rumahnya. Tubuh hijau Roraz dan tangannya yang berjumlah dua pasang. Afif bergidig.

“Kamu itu apa?” bisik Afif menatap tak berkedip ke arah Roraz. Roraz menatap tajam mata Afif. Dia maju selangkah, kemudian memejamkan matanya. Afif mundur dua langkah. Dilihatnya pelipis Roraz berdenyut-denyut. Kulitnya semakin memucat nyaris kehijauan. Beberapa titik keringat keluar di pori-pori kulitnya.

Tidak lama mata Roraz membuka. Dia menatap Afif tidak setajam tadi. Ada senyum di sudut bibirnya. Senyum samar yang baru kali ini Afif lihat.

“Memangnya menurutmu aku ini apa?” tanyanya.

“Kamu…, eh, bukan manusia ‘kan?”

“Kalau aku bukan manusia lalu apa?” senyum Roraz semakin lebar. Dia berjalan ke arah sebatang pohon besar yang berada tidak jauh dari sana lalu duduk di bawahnya.

Afif mengikuti Roraz. Rasa takutnya sudah hilang, berganti keingintahuan yang sangat besar. Ragu-ragu Afif duduk di sebelah Roraz. Masih ditatapnya Roraz. Diperhatikannya setiap inci tubuh Roraz.
“Mungkin…” kata Afif sambil menatap mata Roraz. “Kamu mahluk dari luar bumi… Alien?” Bisik Afif. Pupil mata Roraz membentuk satu garis lurus. Menatap Afif sejenak lalu membuang pandangannya ke hamparan sawah di depan mereka. Roraz menarik nafas dalam.

“Aku memang tidak dari sini…” gumamnya setelah lama berdiam diri. Suaranya serupa bisikan. Afif menahan nafas, menunggu kata-kata kembali keluar dari mulut Roraz.

Tetapi Roraz kembali terdiam. Wajahnya bersemu kehijauan. Air mata menetes dari sudut matanya. Dia menggumamkan kata-kata yang tidak Afif mengerti. Bunyinya serupa keluhan. Lalu lagi-lagi Roraz memejamkan matanya. “Aku sendirian di sini…” katanya bergetar. Begitu menyedihkan. Sampai-sampai Afif merasa ingin menangis juga.

“Kamu kan dengan kami sekarang.” Kata Afif. Dia sendiri bingung kenapa dia berbicara seperti itu. Tapi mulutnya terus berkata, “Ada aku, ayah, bunda, abang Ad…”

“Kamu?” Roraz menoleh cepat. “Bukannya kamu takut padaku?” katanya. Afif kehilangan kata-kata. Dia tergagap.

“Aku…”

“Selama ini kamu selalu menghindar dariku, Afif.” Roraz tersenyum pahit. “Aku tahu, sejak awal kamu sudah tahu siapa aku.” Roraz menatap Afif.

“Aku…”

“Tapi aku berterimakasih padamu,” Roraz memotong kalimat Afif. “Aku berterimakasih karena kamu tidak menceritakan pada orang-orang. Pada saudara-saudaramu, pada ayahmu, bahkan tidak juga pada ibumu…”

“Eeuuu… aku…”

“Kamu ingin tahu siapa aku sebenarnya ‘kan, Afif?” lagi-lagi Roraz memotong kalimat Afif.

Afif mengangguk cepat. Dia memang penasaran sekali dengan Roraz. Roraz tersenyum. Dia mengulurkan tangannya ke arah Afif. memberi isyarat agar Afif memegang tangannya. Afif menatap tangan itu. Beberapa kali tatapannya beralih ke wajah Roraz. Menatap mata Roraz yang kehijauan. Kemudian setelah menguatkan hati, Afif menggenggam tangan Roraz yang panas.

Afif berteriak kaget. Ia seperti tersengat listrik. Belum lagi habis kekagetannya, Afif kembali menjerit ngeri saat dia merasa seperti dihempaskan ke dalam sebuah pusaran yang berputar sangat cepat. Belum habis teriakannya, pusaran yang berputar itu berhenti secepat munculnya. Afif terhuyung ke depan. Dia merasa sangat mual.

“Roraz! Apa itu tad…” Afif tidak meneruskan kalimatnya. Mulutnya menganga. Matanya memandang ke depan, lalu ke kiri dan kanan. Kemudian Afif berputar sambil ribut berteriak. “Roraz, di mana ini?” Afif masih memandang ke sekelilingnya dengan ngeri. Ini bukan di tepi jalan tempatnya tadi duduk dengan Roraz. Ini di… hutan.

*****  *****  *****

Afif masih termangu-mangu memandangi puing-puing suatu objek yang hangus terbakar. Akar gantung pohon dan sulur-sulur panjang menutupi sebagian besar objek tersebut. Afif memandang Roraz. Tatapannya penuh pertanyaan.

“Ini pesawat kami.” Kata Roraz menjelaskan. Afif mengernyit.

“Tapi sulur-sulur dan dan akar ini? Kau bilang dua minggu lalu kau tiba di sini. Tidak mungkin akar dan sulur-sulur ini sudah begitu rimbun menutupi puing… euuu.. pesawatmu.” Afif terlihat bingung. Roraz tersenyum. Ini mekanisme kamuflase kami, Afif. aku sengaja membuat akar dan sulur-sulur ini menutupi puing-puing pesawat kami. Aku tidak mau ada manusia bumi yang menemukannya.”

Afif memandang ke sekeliling puing. Memang kerapatan akar dan rimbun sulur-sulur itu telah menyembunyikan pesawat Roraz dengan sempurna. Tidak akan ada yang menyangka, di balik gerumbul daun yang lebat di sulur-sulur itu, ada pesawat luar angkasa yang sudah hangus.

            “Hebat.  Apalagi yang kamu bisa?”

“Aku tidak hebat. Memang begitulah kami diciptakan. Seperti system imun yang ada dalam tubuh kalian saat melawan kuman penyakit. Kami juga memiliki mekanisme kamuflase dan kemampuan beradaptasi secara cepat. Semua itu untuk bertahan hidup.”

“Sejak diciptakan? Memangnya siapa yang menciptakan kalian?” Tanya Afif. Dahi Roraz mengernyit. Menatap Afif dengan heran.

“Kenapa kau bertanya? Bukankah kalian juga mahluk yang diciptakan?” Roraz balik bertanya. Afif menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

“Tentu saja manusia juga mahluk ciptaan. Allah yang menciptakan kami. Dialah Tuhan yang kami sembah.” Kata Afif. “Mmmm… kupikir ada teknologi tertentu yang menciptakan kalian, para alien…” gumam Afif. Roraz terbahak. Baru kali ini Afif mendengarnya tertawa.

“Kami bukan robot, Afif. kami makhluk hidup. Sebagai makhluk, kami juga diciptakan oleh Tuhan. Tuhan yang juga kami sembah. Yeah.. walau pun, di antara kami ada yang mengingkariNya, tetapi keluargaku bukan bagian dari orang-orang yang seperti itu. Ayah dan ibuku bahkan selalu mengingatkan aku untuk selalu mengingatNya dalam situasi apapun…” kata Roraz. Pandangannya menjadi sayu saat berbicara tentang orangtuanya. Afif termenung. Tiba-tiba Roraz kembali mengulurkan tangannya.

“Berikan tanganmu, Afif.” katanya. Ragu-ragu Afif mengulurkan ke dua tangannya. Dia masih ingat saat tiba-tiba saja tersedot ke dalam pusaran yang memusingkan setelah memegang tangan Roraz di tepi jalan tadi. “Jangan takut.” Bisik Roraz. Afif pun menyentuh tangan Roraz dan menggenggamnya.

Sekejap sengatan listrik itu kembali dirasakan oleh Afif. Gambar-gambar melintas dalam pandangan Afif. seperti slide yang diputar cepat. Gambaran sebuah planet kecil dengan penduduknya yang padat. Peperangan yang mengerikan. Orang-orang yang membantai orang-orang yang lainnya. Pesawat kecil yang melesat di kelamnya angkasa. Badai meteor. Ledakan keras. Berputar-putar. Berputar-putar. Gelap. Guncangan. Gelap. Lalu ada dua sosok hijau bertangan empat yang berbicara kepadanya sampai kemudian mereka terkulai tak bergerak lagi. Setelah itu gambar-gambar tersebut lenyap. Afif kembali pada keadaan sebelumnya. Di depannya, Roraz dibanjiri peluh di sekujur tubuhnya. Terkulai pingsan.

*****  *****  *****


“Roraz! Syukurlah kau sudah sadar.”

“Aku tidak apa-apa, Afif.”

“Tapi kamu pingsan.”

“Tidak. Memang begitulah mekanisme tubuh kami setelah melakukan transfer memory.”

“Jadi, gambaran-gambaran yang aku lihat tadi sebenarnya ingatan dalam kepalamu?”

“Ya. Apa kau mengerti?”

Afif mengangguk. Menatap sedih ke arah Roraz. Berat sekali hal yang sudah Roraz alami.
“Aku… ikut beduka untuk ayah dan ibumu.” Kata Afif. Air matanya menetes tanpa diminta. Dia teringat pada ayah dan bundanya sendiri. Apa jadinya jika dia yang kehilangan orangtua seperti Roraz? Terdampar di planet asing yang tidak di kenalnya pula.

Roraz lagi-lagi mengeluarkan suara keluhan dengan bahasa yang tidak dimengerti Afif. Mungkin itu cara Roraz menangis. Sebutir air mata memang menetes di pipinya yang agak menghijau. Setelah itu Roraz menggeleng keras.

“Terimakasih. Aku… aku tidak tahu apakah setelah ini aku masih akan mampu bertahan.” Katanya. Afif memegang tangan Roraz. Tidak memedulikan sengatan listrik yang sekejap dirasakan mengalir dari tangan Roraz.

“Sejauh ini kau bisa bertahan, ‘kan?” kata Afif.

“Aku… Sebenarnya aku sangat takut.”

“Jangan takut.”

“Aku sendirian sekarang,”

“Kan sudah kubilang, ada aku.” Afif ngotot meyakinkan. “Bagaimana kalau…” Afif berpikir sebentar, “Bagaimana kalau aku bilang ke bunda untuk mengadopsi kamu?” Afif tersenyum lebar. Mata Roraz membuka lebar. Afif bisa melihat pupil matanya melebar, sebelum kembali membentuk garis vertical. “Itu ide bagus ‘kan?” Senyum Afif semakin lebar.

“Apa… apa orangtuamu mau?” Roraz ragu. Afif terlihat berpikir keras.

“Mmmm… kupikir, kalau kamu menceritakan yang sebenarnya… bunda bisa mengerti.”

“Kamu gila! Bagaimana kalau bundamu malah ketakutan dan menyuruh manusia bumi lain menangkapku?” Roraz bergeser menjauhi Afif. Matanya menerawang. Ia ingat pesan ayahnya sebelum meninggal. Ia harus berhati-hati terhadap penduduk planet yang belum dikenalnya ini. Ibunya juga berpesan agar mekanisme kamuflase dan adaptasinya selalu diaktifkan agar penduduk planet ini tidak melihat bahwa dia berbeda. Tetapi di depannya Afif malah memintanya untuk membongkar jati dirinya. Roraz menggeleng.

“Roraz, dengar. Kalau kau tidak menceritakan siapa dirimu yang sebenarnya, mungkin ayah dan bundaku akan terus mencari keberadaan orangtuamu. Bagaimana jika ibu-ibu dari dinas social itu akhirnya memaksamu untuk tinggal di panti sosial?” kata Afif mencoba meyakinkan. “Kalau kau menceritakan yang sebenarnya, bundaku pasti bisa mengerti…”

“Atau dia akan berbalik membenci…” potong Roraz.

“Tidak akan.” Tegas Afif. “Aku tahu seperti apa bunda. Yeah.. walau pun dia punya banyak aturan di rumah, tapi sebenarnya bunda itu penyayang. Dia pasti mau menerima kamu di rumah kami.”
“Bagaimana kalau…”

“Aku akan membujuknya sampai berhasil, Roraz.” Afif seperti ingin berteriak demi meyainkan Roraz. Roraz memandang Afif lama. Akhirnya dia mengangguk.

“Baiklah. Aku setuju. Tapi kalau…”

“Bunda akan setuju. Tenang saja.” Afif tersenyum. Dia teringat koleksi buku-buku tua milik bunda. Hampir sebagian besar bercerita tentang petualangan ruang angkasa. Bagaimana mungkin jika ada entitas ruang angkasa ada di depan matanya, bunda akan menolak dan mengusirnya? Itu tidak akan terjadi. Tidak. Afif yakin sekali.

*****  *****  *****


Ayah dan Bunda terbelalak menatap ke arah Roraz. Dia sedang menunjukkan wujud aslinya yang tanpa kamuflase. Sesosok tubuh kecil berkulit hijau dengan empat buah tangan di sisi tubuhnya. Telinga runcingnya menempel di sisi kepala yang berdahi lebar. Wajahnya tidak terlalu asing. Hampir mirip seperti manusia, hanya saja berwarna hijau seluruhnya. Membuat Roraz terlihat seperti… alien.

“MaasyaaAllah… Subhanallah… Allahu Akbar…” bunda tidak berhenti bertasbih sejak tadi. Ayah terbengong-bengong tidak percaya. Sementara Afif cekikikan melihat ekspresi kedua orangtuanya. Roraz sendiri segera mengubah wujud ke dalam bentuk kamuflasenya. Dia tersipu-sipu.

“Jadi, boleh ‘kan Roraz tetap di sini bersama kita?” Tanya Afif. Ayah dan bunda saling pandang. Kemudian bunda tersenyum.

“Tentu saja. Tapi… apakah Roraz memang benar ingin tinggal di sini bersama kita?” Tanya Bunda.

“Aku sudah tidak punya siap-siapa lagi.” Jawab Roraz.

“Kalau begitu… Mulai sekarang Roraz adalah bagian keluarga kita.” Kata ayah. Afif berteriak kegirangan. Mata Roraz berbinar senang.

*****  *****  *****


“Ayo cepat isi formulirnya.”

“Untuk apa?”

“Kan kamu mau sekolah sepertiku. Ini formulir yang harus kau isi, Roraz. Ayo tulis namamu.” Afif tidak sabaran menyodorkan selembar kertas dan sebatang pena ke arah Roraz. Roraz mengangguk-angguk mengerti. Lalu mengisi formulir tersebut. Setelah selesai, Roraz menyerahkannya pada Afif. Senyum lebar Afif seketika menghilang saat membaca tulisan Roraz.

“Apa ini? Kenapa namamu jadi Bjyrorazx Bjyroxz?” susah payah Afif mengeja.

“Itu memang namaku, Bjyrorazx. Sementara Bjyrozx, itu nama ayahku.” Jawab Roraz. Afif menggeleng-geleng.

Hah? Kau lahir tahun Bintang Merah? Usia seribu dua ratus tahun? Apa-apaan itu? Kau ini apa sih?” Afif terus saja menggerutu. Roraz sendiri tertawa-tawa melihat tampang Afif. “Dasar Alien!” maki Afif. Roraz makin keras terbahak.

“Memang aku alien, ‘kan? Seperti yang selalu kau bilang.”

“Iya. Tapi ini…” Afif melambai-lambaikan kertas formulir itu sambil cemberut sebal. “Percuma saja kau gunakan mekanisme kamuflasemu yang camggih itu, kalau kau malah membeberkannya di formulir ini.”

“Jadi, apa yang harus kutulis di sana?”

“Sini. Biar aku yang urus.” Afif merebut ballpoint dari tangan Roraz. Dia menghapus tulisan Roraz yang berantakan dengan tipe-ex. Lalu menulis ulang di atas formulir itu.

“Nah, ini baru beres.” Kata Afif tak lama kemudian. Sesaat dia memeriksa kembali formulir itu. Lalu tiba-tiba dahinya berkerut. “Ada poin yang belum terisi. Ini pertanyaan tentang makanan kesukaanmu.” Afif menggaruk-garuk kepala. Kenapa formulir pendaftaran  menanyakan makanan kesukaan juga?

“Spjryksozixs.” Kata Roraz.

“Hah? Apa?”

“Spjrysozixs. Eeeu… itu sejenis makanan di tempat asalku. Lezat sekali, juga sangat bernutrisi. Semua orang di tempat asalku sangat menyukainya.”

“Oh ya? Sulit sekali namanya. Apa rasanya benar-benar lezat? Seperti apa kira-kira?”

“O, tentu saja. Mmmm… rasanya seperti….” Roraz berpikir sejenak. “Oh ya! Aku pernah menemukan yang aroma dan rasanya mirip dengan spjrysozixs. Kau ingat saat pertama kali menemukanku di gudangmu? Waktu itu aku sangat lapar dan lemah. Lalu tiba-tiba aku mencium aroma lezatnya. Aku heran kenapa ada Spjrysozixs dihambur-hamburkan dalam pot tanaman. Di dalam gudang juga aku menemukannya dalam kotak-kotak karton. Tapi sayang isinya tinggal sedikit. Tidak cukup mengenyangkan dan mengembalikan energiku saat itu…
“Tunggu dulu! Apa kotak itu bertuliskan ‘PUPUK’?”

“Ya. Ada gambar binatang berkaki empat. Apa makanan itu terbuat dari daging binatang itu?” Tanya Roraz polos. “Oiya, kotak satunya bertuliskan ‘KOMPOS’ bentuknya mirip. Tapi rasanya tidak terlalu enak.” Kata Roraz. Tapi dia bingung melihat wajah Afif yang terlihat aneh.

“Dasar bodoh!” maki Afif. Setengah mati dia menahan tawanya membayangkan Roraz menyantap pupuk tanaman milik bunda. “Itu memang makanan, tapi untuk tanaman, bukan untuk kita. Gunanya untuk menyuburkan tanaman.”  Kata Afif. Roraz terbengong-bengong. Padahal rasanya lezat sekali menurutnya.

“Sudahlah. Banyak yang harus kau ketahui tentang lingkungan di sekitar kita.” Kata Afif. “Yuk aku tunjukkan.” Afif mengajak Roraz keluar dari kamar. Roraz mengikuti Afif tanpa membantah.

“Euu… Afif. Apa menurutmu aku ini aneh?” Tanya Roraz tiba-tiba. Afif berhenti melangkah. Lalu menatap Roraz lama.

“Tentu saja kau aneh.” Kata Afif sambil tersenyum jail. “Kau ‘kan alien.” Sambung Afif sambil menepuk bahu Roraz. Roraz melotot ke arah Afif yang segera berlari ke halaman meninggalkan Roraz. Di sana dia berhenti lalu berbalik. “Tapi kau juga hebat. Kita akan selalu berteman ‘kan, Alien?” seru Afif sambil tersenyum lebar. Roraz ikut tersenyum. Tentu saja. Katanya dalam hati. Lalu dia berlari mengejar Afif. Sahabat sekaligus saudaranya di planet asing ini. Satu-satunya yang dia punya.

*Belum Selesai*
(Semoga bisa dilanjutkan ke seri Afif --Roraz lainnya ;) )



PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...