Minggu, 08 Desember 2019

J A N I

J A N I
Cerpen Lily N. D. Madjid
Jumlah kata: 1521


 “Jani mau pergi aja!”

 BRAKKK!

Jani meninggalkan rumahnya setelah dia membanting pintu. Wajahnya ditekuk. Ya, Jani sedang sangat kesal. Ia kesal pada mama.

“Mama menyebalkan! Pilih kasih!” Gerutunya. Dihentakkan kakinya ke lantai sambil terus berjalan. Dia biarkan saja kaki itu membawanya tanpa tahu akan ke mana.

Akhirnya Jani tiba di tanah lapang. Sepi. Biasanya di sana ramai dengan anak-anak yang bermain. Tapi siang ini sepertinya mereka lebih memilih berada di rumah masing-masing.  Wajar saja, cuaca sangat panas. Matahari pun bersinar sangat terik.

Tapi Jani sedang tidak ingin di rumah. Di sana Mama selalu menyuruhnya ini dan itu. Menyuruh mengambilkan  popok Juna, mengambilkan botol susu Juna, menyuruhnya agar jangan mengganggu Juna, jangan berisik, Juna sedang tidur, jangan mengganggu mama, dan lain-lain. Pokoknya di rumah menyebalkan.

Sekarang, Jani duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya di bangku taman di tepi tanah lapang. Sebenarnya Jani bingung akan ke mana setelah ini. Teman-teman tak satu pun yang terlihat. Kembali ke rumah? Ih! Jani kan tadi sudah bilang mau pergi saja. Mau minggat, biar saja Mama tahu rasa. Coba, apa Mama bakal sedih kalau kehilangan Jani?

“Jani!”

Satu suara yang sangat Jani kenal memanggil. Jani menoleh. Di tepi jalan, seseorang duduk di atas jok motor sambil melambai. Jani tersenyum lebar. Kekesalannya pada mama sejenak terlupakan.

“Paman!” Serunya sambil berlari ke arah orang itu. Rupanya itu Paman Aril, adik bungsu mama. Paman Aril tersenyum, membantangkan tangannya lebar-lebar menyambut Jani.

“Wah, kesayangan paman kok di sini sendirian? Sedang apa? Pulang yuk.”

“Gak mau! Jani lagi sebal sama mama. Jani gak mau pulang!”

“Lho, kok bisa sebal sama mama?”

Jani pun menceritakan penyebab kekesalannya. Paman Aril tertawa kecil. Ia mengacak-acak rambut Jani dengan gemas.

“Kalau begitu, kita jalan-jalan, yuk,” ajak Paman. Ia membantu Jani naik ke motor. “Pegangan kuat-kuat. Peluk paman.”

Motor yang dikemudikan Paman Aril melaju. Mula-mula menyusuri jalan di tepi tanah lapang, kemudian ke luar gerbang perumahan, menyusuri jalan raya. Jani senang sekali, sudah lama Paman tidak mengajaknya jalan-jalan seperti ini.

Paman Aril adalah paman kesayangan Jani. Dia tinggal dengan nenek, di desa sebelah. Kata Mama, saat ini Paman Aril sedang kuliah. Sebentar lagi akan jadi sarjana. Jani juga ingin jadi sarjana seperti Paman Aril. Pasti keren sekali, 'kan? Lihat saja, Paman Aril juga sangat keren. Dia tidak pernah marah-marah seperti Mama. Paman Aril malah sering membelikan Jani es krim, cokelat, dan kue-kue kesukaan Jani. Paman Aril juga sering mengajak Jani jalan-jalan. Seperti sekarang ini. Ah, pokoknya Jani sayang Paman Aril.

“Kita mau ke mana, Paman?” Seru Jani, mengatasi bisingnya deru kendaraan di jalan. Diketatkannya pelukan di pinggang Paman Aril.

“Putar-putar saja.”

Cukup lama mereka menyusuri jalan raya. Jani senang melihat-lihat segala keramaian di jalan itu. Di dekat sebuah jalan layang, Paman Aril melambatkan laju motornya. Ia menuju ke kolong jembatan layang itu. Ternyata di kolong jalan layang ada sebuah taman. Di dekatnya ada satu area penjual makanan. Paman Aril mengajak Jani ke sana.

Walau berlokasi di kolong jalan layang,  tetapi tempat ini nyaman sekali. Sejuk dan bersih. Banyak orang duduk-duduk di sana sambil menikmati makanan yang mereka beli. Paman Aril dan Jani juga memesan makanan. Semangkuk mie ayam ceker pedas untuk Paman Aril, dan bakso telur jumbo tanpa mie kesukaan Jani. Tidak lupa dua gelas air jeruk peras panas untuk mereka berdua.

Saat sedang asyik menghabiskan makanannya, seorang anak lelaki seusia Jani mendekat. Dia memanggul karung besar di punggungnya. Pedagang makanan menunjuk seonggok sampah plastik di sebuah tong besar. Anak lelaki itu mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam karung yang ia bawa.

Jani terus makan sambil matanya memperhatikan aktivitas anak lelaki itu. Setelah makanannya habis, Jani mendekatinya. Paman Aril hanya mengawasi saja sambil menyesap air jeruknya pelan-pelan.

“Kamu sedang apa?” Tanya Jani. Bocah lelaki itu tersentak kaget. Menoleh lalu nyengir lebar pada Jani.

“Seperti yang kamu lihat. Mengumpulkan ini.” Anak itu menunjuk ke gundukan sampah plastik yang sebagian besar terdiri dari wadah-wadah bekas air kemasan.

“Memangnya itu untuk apa?”

“Aku jual. Nanti dapat uang.”

“Untuk apa uangnya?”

“Ya untuk apa saja. Bisa untuk beli beras, untuk beli makan. Kadang bapakku juga minta uang dari aku untuk beli rokok.”

“Hah?” Mata Jani terbelalak.

“Iya. Kenapa?”

“Kenapa bapakmu minta uang dari kamu? Kalau aku, papaku yang beri aku dan mama uang.”

“Bapakku 'kan nggak kerja.”

“Kan dia bisa minta sama ibumu. Kenapa minta sama kamu?”

“Emakku sudah meninggal. Kata bapak, emak meninggal gara-gara aku. Dia meninggal sesudah melahirkan aku.” Suara bocah itu terdengar serak. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya yang tiba-tiba saja basah.

Jani termangu. Hatinya jadi ikut sedih melihat air yang menggenang di mata bocah lelaki itu. Dalam hati dia heran dan bertanya-tanya. Apakah benar anak lelaki itu yang menyebabkan kematian emaknya sendiri? Tapi tampang anak itu tidak seperti anak yang jahat.

“Kata mamaku, merokok bisa bikin sakit paru-paru, lho. Kamu jangan mau kalau bapakmu minta uang untuk beli rokok.” Jani berusaha mengalihkan pembicaraan, berharap teman barunya itu tak lagi bersedih.

“Bapakku galak. Kalau aku nggak kasih uang, dia bisa pukul aku.” Bisik anak itu takut-takut.

“Oh?” Mata Jani membelalak. Di rumah, mama memang cukup galak. Tapi mama tidak pernah memukul. Apalagi papa. Malah semua yang Jani inginkan selalu saja dituruti oleh papa, yeah, walau kadang-kadang itu membuat mama marah juga.

“Kadang-kadang aku berpikir ingin ikut emak saja ke surga. Katanya di surga itu enak, nggak ada kesusahan, nggak ada kesedihan, nggak akan ada yang marahin kita. Tapi, setiap aku bangun tidur, masih juga aku ada di sini, di sebelah bapakku yang galak seperti macan.” Kata anak itu. Wajah kumalnya terlihat sayu. Jani memandangnya dengan iba.

Tiba-tiba, seorang lelaki, yang mungkin seusia Paman Aril, datang menghampiri. Badan tegapnya yang berkulit hitam nyaris tertutup tatto. Dia memandang galak ke arah bocah lelaki itu. Jani ketakutan. Bocah lelaki itu juga. Dia gemetaran.

"Bagus!" Sentak lelaki bertatto itu. Suaranya menggelegar. Orang-orang yang sedang makan di sana serentak menoleh. Paman Aril berdiri sambil memandang ke arah Jani. Dia terlihat siaga. "Jadi begini kerjaan Lu? Hah? Ngobrol santai saat Lu seharusnya kerja?"

Lelaki itu menarik tangan si bocah lelaki dengan kasar. Bocah itu tersungkur. Hampir saja dia menabrak gerobak mie ayam. Orang-orang menjerit tertahan. Sebagian hanya dapat memandang dengan tatapan kasihan. Paman Aril mendekat perlahan.

"Elu? Kenapa ganggu dia kerja?" Kali ini dia menuding Jani. Jani gemetar dibentak seperti itu. Dia menoleh ke arah Paman Aril yang sudah mendekat. Mengharap pertolongan.

"Pamaaan ..." rengek Jani. Paman Aril meraih tangan Jani dan berdiri di antara Jani dan lelaki bertatto itu.

"Ada apa ya, Bang?"

"Ooo...  Jadi lu bapaknya bocah itu, hah? Tolong lu ajar anak lu ya, gak usah ganggu anak gua. Dia lagi kerja! Ngarti lu?" Maki lelaki itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Paman Aril. Jani khawatir setengah mati, takut orang itu memukul Paman.

"Dia cuma mau berteman dengan anak, Abang. Bukan mau ganggu."

"Kagak perlu! Anak gua kagak pernah gua bolehin main. Dia kudu kerja. Ngarti lu? Sekali lagi gua lihat anak lu deketin anak gua, tahu sendiri akibatnya!"

Paman Aril terlihat akan menimpali ucapan laki-laki itu lagi, tapi dilihatnya Jani begitu ketakutan. Akhirnya paman memilih mengajak Jani menyingkir dari hadapan laki-laki menakutkan itu. Si lelaki menyeringai mengejek, lalu menatap galak ke sekeliling. Kemudian dia mendekati anaknya yang masih ketakutan di dekat gerobak mie ayam.

"Heh! Elu, awas kalo nanti-nanti gua liat lu asyik ngobrol lagi. Bukannya kerja yang bener. Pantes aja makin hari duit yang lu bawa makin sedikit. Rupanya gini kerjaan lu, hah?" Ditempelengnya kepala si bocah. Beberapa perempuan yang ada di sana setengah menjerit.

Air mata Jani sudah bercucuran sejak tadi. Dia sedih dan takut melihat  semuanya.  Dipeluknya lengan Paman Aril kuat-kuat.

"Paman ... Ayo pergi dari sini." Jani merengek pada pamannya.

Paman Aril menarik nafas dalam. Sebenarnya dia masih berjaga-jaga, ingin menolong bocah lelaki itu jika bapaknya berbuat lebih jauh lagi. Begitu dilihatnya si bocah lelaki kecil pergi mengikuti langkah bapaknya, sambil menyeret-nyeret karung yang sarat berisi, Paman Aril menggandeng lengan Jani meninggalkan tempat itu setelah membayar makanan mereka.

Motor Paman Aril kembali melaju di tengah keramaian jalan. Memasuki gerbang komplek, dan kembali ke bangku taman di tepi tanah lapang. Jani dan Paman Aril turun. Mereka duduk di bangku itu. Jani menyeka sisa basah di matanya.

"Paman," katanya.

"Ya?"

"Menurut Paman, apa yang akan terjadi pada anak lelaki tadi?"

"Paman tidak tahu, Jani. Tapi semoga Allah selalu melindunginya. Semoga bapaknya dilembutkan hatinya," kata Paman Aril, lalu menarik nafas dalam-dalam. Mata Jani basah lagi.

"Aamiin." Jani memejamkan matanya. Benar-benar berharap anak laki-laki tadi tidak diapa-apakan oleh bapaknya yang galak. Berharap bapak anak itu benar-benar bisa berubah menjadi lembut seperti harapan Paman Aril tadi.

Setelah itu, Jani jadi memikirkan mamanya. Tiba-tiba saja Jani menyesal sudah marah-marah pada mama., sudah kesal, sudah merajuk dan berpikiran buruk tentang mama. Padahal, yang Mama minta untuk Jani lakukan tidak seberat yang harus dilakukan anak lelaki tadi, yang entah siapa namanya. Mama hanya meminta Jani menolong mama melakukan hal-hal kecil saja. Ah, Jani sungguh-sungguh menyesal telah bersikap seperti buruk pada Mama. Jani berjanji di dalam hatinya, nanti dia akan meminta maaf pada Mama. Ya, Jani berjanji.

“Paman, kita pulang, yuk.”

“Eh? Katanya lagi sebal sama mama?”

“Sudah, Paman. Jani sudah nggak marah lagi sama mama.” Sahut Jani.

Paman Aril tersenyum. Tidak lama kemudian, Jani sudah duduk di atas motor Paman Aril yang melaju santai menuju arah pulang.

***Tamat***

*cerpen 'Jani' pernah diikutkan dalam sebuah event, tapi tidak lolos karena kelebihan jumlah kata.
** untuk event NAD anak, 'Jani'telah mengalami revisi, dari 713 kata menjadi 1521 kata.
*** Direvisi dan diselesaikan pada dini hari, 8 Desember 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...