Minggu, 22 Desember 2019

EKSEKUSI MATI

EKSEKUSI MATI
Oleh Lily N. D. Madjid



Kejam. Sungguh kejam mereka. Dikurungnya kami berhari-hari, dengan hanya diberi makan seadanya. Itupun hanya sehari sekali. Padahal apa salah kami hingga mereka memperlakukan kami seperti ini?

Lihatlah mereka. Setelah memperlakukan kami seperti ini, mereka masih dapat bernyanyi-nyanyi dengan riangnya.

Potong bebek angsa
Masak dikuali
Nona minta dansa
Dansa empat kali... 

Aaaargh! Aku benci lagu itu. Aku benci mereka yang berwajah tanpa dosa setelah berbuat seenaknya pada kami. Di mana hati nurani mereka? Sungguh aku ingin menjerit, memaki, mencaci mereka tanpa henti.

"Sabar, sayang. Mungkin ini semua ujian bagi kita." Suamiku memberikan penghiburan. Ah, lelakiku yang tabah dan penyabar. Untunglah aku masih memilikinya. Setelah satu persatu keluargaku mereka renggut. Jika ia tidak ada di sisiku untuk menenangkan, entah apa jadinya aku. Mungkin aku sudah lama kehilangan kewarasan.

"Aku tak kuat lagi, Bang."

"Sabar, Sayang, sabar... "

"Bagaimana kalau kita mencoba lari dari sini?"

"Sayang. Aku ... Aku tidak yakin. Tidak semudah itu bisa lari dari mereka. Lihatlah, kita berdua berada dalam penjara, lagi pula... "

"Jika kita tetap di sini, itu berarti kita menyerahkan diri pada kematian, Bang! Kau ingat bagaimana mereka membantai ayah, ibuku, ibumu, bahkan anak kita...  Anak kita, huhuhuhuhu...  Aku tak kuat lagi, Bang. Aku ingin pergiii.... "

"Sayang,"

"Tidak. Aku tak ingin bertahan, jika itu yang akan Abang katakan!" teriakku putus asa. Kudorong sekuat tenaga pintu penjara yang mengurung kami berdua.

"Sayang, penjara ini tak mungkin kita tembus."

"Aku tak peduli jika Abang sudah menyerah. Tapi aku tidak. Aku akan terus berusaha." ketusku.

Suamiku terlihat termenung. Lalu kemudian, dia ikut membantu mendorong pintu jeruji ini sekuat tenaga. Terlihat bodoh memang. Tetapi bukankah kita harus terus berusaha?

"Hei! Kalian berdua! Mau mencoba kabur ya?" Satu suara mengejutkanku. Celaka, kami ketahuan. Dan, oh tidak! Dia memanggil teman-temannya.

"Lihat mereka berdua. Mereka mencoba keluar dari sini. Hahaha...  Lucu sekali."

Gerombolan itu mengelilingi kami, menertawai kami seolah kami mahluk bodoh. Padahal kami hanya ingin mempertahankan diri, ingin mencoba bertahan hidup.

"Ambil satu. Kita eksekusi sekarang juga!" kata seseorang. Oh, tidak.

"Kau menjauh sayang, biar aku yang menghadapi mereka." kata suamiku. Airmataku bercucuran.

Kulihat suamiku menghadang mereka. Tapi apalah daya, dia hanya sendiri. Mereka memegangnya bersama-sama. Mengunci tubuhnya dalam sekali renggut.

"Abaaang!" Jeritku histeris. Melihat mereka membuat suamiku tak berdaya.

"Ambil senjataku!" teriak seseorang.

Ya Tuhan. Aku tak kuat lagi. Lihat mereka...  Aaargh! Tidaaaak...  Mereka, mereka menggorok lehernya. Di depan mataku. Dasar manusia-manusia laknat! Sekarang mereka bahkan menyiramnya dengan air panas. Keji. Aku tak ingin melihat lagi. Aku tak sanggup melihat lagi.

Kututup mataku yang bercucuran air mata. Ah, Abang. Sepertinya sebentar lagi aku kehilangan kewarasanku.

TRAK!
TRAK!

Aku mengintip ke arah datangnya suara. Di sana mereka sedang mencincang tubuh telanjang suamiku. Gila! Mereka membelah perut dan mengeluarkan isinya. Mencincangnya menjadi potongan-potongan kecil dan memercikinya dengan perasan lemon.

Dapatkah kau bayangkan pedihnya? Aku tidak. Sebab aku sudah kehilangan kesadaranku saat seseorang berteriak keras.

"Bebeknya sudah siap, mana bumbu rica-ricanya?" Orang itu membawa potongan-potongan tubuh suamiku sambil bersenandung riang.

Potong bebek angsa
Masak dikuali
Nona minta dansa
Dansa empat kali...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...