Kamis, 19 Desember 2019

GIRI DAN JATI

Giri dan Jati
Cerpen Lily N. D. Madjid



Giri melangkah gontai, menyusuri lorong-lorong  pasar yang sepi. Toko-toko sudah tutup. Ternyata tidak mudah menjadi pemulung. Setiap pemulung sudah memiliki daerah operasi sendiri. Giri yang baru kali ini turun ke pasar berkali-kali ditegur. Mulai dari teguran pelan hingga bentakan kasar.

Begitupun dengan tempat bermalam. Tidak semua emper toko bisa dijadikan tempat melepas lelah. Empat kali Giri diusir saat merebahkan diri melepaskan penatnya. Ternyata hidup di jalan tidak semudah yang Giri bayangkan.

*****

“Kamu anak baru?”

Giri terlonjak. Dia baru saja merebahkan diri di sudut  terdalam pasar. Tempatnya sepi. Giri tidak melihat sesiapa di sana tadi.

“Ya.” Gumam Giri setelah reda dari keterkejutannya. Seorang anak duduk di bagian tergelap.

“Dari mana?”

“Aku lari dari rumah.”

“Lari?”

“Ayah tiriku pengangguran kejam. Aku tak tahan disiksa.”

“Hmmm …”

Giri memicingkan matanya. Tetapi malam mengaburkan pandangan Giri. Hanya siluet anak itu yang terlihat.

“Kamu sudah lama di sini?”

Tak ada jawaban. Samar-samar Giri melihat anggukannya.

“Namamu siapa?”

“Jati.”

“Aku Giri.” Giri mengenalkan diri. “Mudah-mudahan kamu tidak mengusirku. Aku tak kuat lagi jika harus mencari tempat lain untuk bermalam.”

“Kamu mau tidur di sini?”

“Kamu keberatan?”

“Tidak. Aku senang. Tapi tempat ini sepi sekali. Siang hari pun orang tak kemari.”

“Kenapa?”

“Kamu tidak tahu?”

“Apa?”

“Ah, ya. Kamu pendatang baru.”

“Memangnya kenapa?” Giri penasaran. Jati tak langsung menjawab. “Jati? Ayo ceritakan.”

“Nanti kamu takut mendengarnya.”

“Aku pemberani. Makanya kuputuskan meninggalkan rumah.”

“Tidak. Kamu takut pada ayah tirimu, makanya kamu lari dari rumah.” Jati terkekeh. Giri mendengus.

“Ceritakan saja. Kenapa orang-orang tak pernah lagi datang kemari.”

“Orang-orang tak berani datang kemari. Sejak … ditemukan mayat korban mutilasi di lorong ini. Hanya potongan-potongan tubuhnya saja. Kepalanya tak pernah ditemukan.”

“Ka … kapan kejadiannya?” Suara Giri bergetar.

“Sudah lama. Tapi orang-orang tak mau lagi menginjak tempat ini. Toko-tokonya saja sudah lama tutup.” Kata Jati pelan. “Hei, kamu ketakutan, ‘kan?” katanya lagi. Lalu dia terkekeh pelan.

“Tidak. Aku Cuma lelah. Aku mau tidur.” Giri berkelit. Dia rebah di lantai yang dingin. Meringkuk seperti bayi agar tak kedinginan. “Kamu belum mengantuk?” tanyanya. Jati tidak menjawab. Giri malah mendengarnya bersenandung pelan.

Topi saya bundar,
Bundar topi saya
Kalau tidak bundar
Bukan topi saya

“Kenapa kamu tidak bergeser ke sini? Di situ gelap sekali.” Giri menguap. Dilihatnya Jati mendekat. Kini Giri bisa melihat lebih jelas lagi sosok Jati. Anak itu tinggi sekali. Rambutnya ikal. Kulitnya putih pucat. Atau karena penerangan yang tak memadai, maka ia terlihat pucat? Di kepalanya terlihat bertengger sebuah topi fedora berwarna putih.

“Topimu  bagus,” gumam Giri.

“Oya? aku malah tidak menyukainya. Kamu boleh ambil kalau kamu mau.” Jati memutar-mutar topi di kepalanya. “Topi ini milik lelaki itu. Aku ambil.”

“Lelaki itu?”

“Iya. Lelaki penculik yang membunuhku. Aku sempat menariknya sebelum dia menggorok leherku.” Kata Jati pelan. Giri ternganga mendengarnya. Apalagi saat dilihatnya Jati melepas topinya dan mengulurkannya pada Giri. “Ini untukmu saja.” Kepala Jati masih menempel pada topi yang kini menggeletak di lantai dekat Giri berbaring. Mulut di kepala itu bersenandung pelan.

Topi saya bundar,
Bundar topi saya
Kalau tidak bundar
Bukan topi saya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...