Kamis, 04 Juni 2015

Dua Dunia yang Menyatu

Hi, Semua!

Maaf jika lama tak menyapa. Hmm... saya tidak akan mengajukan alasan apa-apa tentang mengapa begitu lama tidak muncul di sini. Euu.. dua hari kemarin sebenarnya sempat posting juga satu cerpen. Tapi lupa untuk menyapa, Anda semua. ^_^

Kali ini, masih dengan niat dobel, yang pertama memang ingin kembali mengisi blog yang lama tak terisi. Lalu yang ke dua, untuk meramaikan #NulisRandom2015 yang sejak satu Juni lalu saya ikuti.

Post ini sebenarnya agak terlambat. harusnya ditampilkan kemarin untuk #NulisRandom2015 Day #3, tetapi karena kemarin listrik padam saat saya akan posting tulisan ini, maka baru sempat sekarang.

Kali ini saya menampilkan satu puisi saja. Karena cuma itu yang muncul kemarin. Hahaha...
Oke, selamat menikmati.



DUA DUNIA

Dua dunia
Diikat dalam satu tali
Dua dunia
Saling membuka hati
Dua dunia
Bertukar air dan udara
Dua dunia
Berbagi tanah yang dipijaknya
Dua dunia
Adalah kita yang berbeda
Namun mengucap ikrar yang sama

Tembilahan,  3 Juni 2015

#NulisRandom2015 Day #3

Saat Ujian #NulisRandom2015 Day#4

Ujian. Gambar ilustrasi diambil dari google




Hening. Wajah-wajah tertunduk. Menatap helai demi helai kertas dengan puluhan pertanyaan. Sesekali terdengar hela nafas panjang, ketuk pinsil pada meja, decit sepatu bergesek dengan lantai kayu, suara batuk yang berat juga dengus keras seseorang menyedot ingus di hidungnya. Ah, cuaca, cuaca. Konon perubahannya membuat banyak orang terserang influenza.

Wajah-wajah ini, wajah-wajah yang sedang tertunduk khusyuk di depanku, adalah wajah-wajah yang sama dengan yang kuhadapi tahun lalu. Hanya saja, waktu telah sedikit mengubah mereka. Hmm, waktu. Ia memang pesulap lihai yang pandai mengubah apa saja. Termasuk mengubah garis wajah mereka yang kini terpekur di hadapanku.

Aku masih dapat mengingat bagaimana wajah-wajah ini setahun yang lalu. Wajah kekanakan yang tampak polos dan lugu. Beberapa memang ada yang terlihat usil, jahil, bengal. Tetapi keusilan, kejahilan juga kebengalan yang khas bocah.

Saat ini, lihatlah mereka. Mereka yang sedang serius dengan soal-soal  tentang demokrasi, kedaulatan, undang-undang, lembaga negara dan perilaku warga negara yang baik itu—beberapa tampak gelisah dan kulihat menatap dengan penuh pengharapan pada kawan di dekatnya—betapa berbeda mereka dengan tahun lalu. Mereka semakin bertumbuh.

Nah, bukankah waktu memang pesulap yang andal? Ia dapat memuaikan tubuh-tubuh kanak-kanak itu.  Garis-garis wajah mereka pun mulai berubah. Memang masih tersisa gurat wajah bocah mereka, tetapi selebihnya, mereka menjelma menjadi perempuan dan lelaki muda, hanya dalam hitungan belasan bulan saja.

Ya, ya. Mereka telah tumbuh menjadi pemuda-pemuda penerus masa depan bangsa. Kelak merekalah yang akan membesarkan, memajukan dan mengharumkan negeri ini. Mungkin dengan menjadi pengusaha, seniman, akademisi, ilmuwan, olahragawan, petani, nelayan atau bahkan pejabat pemerintahan.

Mungkin mereka akan berpikir bahwa semua itu masih jauh. Tetapi ingatlah. Selain pesulap yang andal, waktu juga kadang bisa menjelma menjadi apa saja. Temasuk pelari yang bergerak cepat tanpa suara. Tiba-tiba saja, tanpa kita sadari ia membawa kita melesat cepat ke masa yang berbeda. Ke masa di mana mereka—anak-anak muda itu—disebut manusia dewasa.

Dalam perjalanan menuju saat itu mungkin mereka akan menemukan hal-hal yang bisa saja melemahkan. Aral, rintangan, batu sandungan di beberapa helaan nafas waktu yang sendat. Membuat mereka terjatuh. Tetapi tidak selamanya. Mereka akan kembali pulih. Kembali berdiri. Bahkan dengan lebih kuat lagi. Banyak orang menyebut hal-hal seperti itu adalah ujian.

Saat ini mereka juga sedang menjalani ujian. Kertas yang sedang mereka hadapi itu, juga ujian. Salah satu cara untuk mengukur seberapa jauh mereka memahami apa yang telah mereka pelajari selama ini.

Tetapi ujian yang disuguhkan Sang Pencipta dalam lajunya detik demi detik waktu tentu saja tidak seperti ujian yang tengah mereka hadapi saat ini. Sebab ujian yang sesungguhnya tidak berupa kertas dengan pertanyan-pertanyaan semata. Ia bisa berupa apa saja. Hal-hal yang tidak kita duga. Hal-hal baik, hal-hal buruk yang kita alami selama ini. Itulah ujian yang sesungguhnya.

Ruang kelas masih hening. Mereka masih tenang menekuri soal-soal ujian. Aku masih memandangi mereka dari sini sambil terus saja mengguratkan kata-kata. Ah, apa ini yang kubicarakan? Baiklah, sebelum ada yang merasa bosan, kusudahi saja. Tetapi sebelumnya kuucapkan selamat melaksanakan ujian untuk kalian, kanak-kanak yang telah disulap menjadi remaja oleh sang waktu, di mana saja kalian berada. Oh,ya. Juga selamat menanti datangnya liburan. J

(Tembilahan, 4 Juni 2015—Hari pertama UKK kelas 7 dan 8)
#NulisRandom2015 Day #4

Rabu, 03 Juni 2015

Tengah Malam



Tengah Malam



                        Udara dingin. Suara detik jarum jam yang bertengger di dinding kamarku seperti bergema begitu keras dalam keheningan. Gelap. Tapi dengan bantuan cahaya dari luar yang menyusup melalui celah-celah gorden jendela, dapat kulihat pendar lemah pada jarum jam itu bergeser pelan dari detik ke detik. Waktu menunjukkan bahwa gelap ini masih akan hadir beberapa jam lagi sebelum cahaya matahari menggantikannya.
                        Aku menyeka keringat yang mengembun di dahi. Ya, aku berkeringat, bahkan di malam yang begini dingin. Mimpi itu. Mimpi yang aneh dan terasa mengerikan itulah yang membuat keringatku mengucur deras seperti ini. Mimpi yang baru saja membuatku tersentak dan terjaga di pertengahan malam ini.
                        Tadi aku bermimpi cukup aneh. Beberapa orang mengejarku dengan penuh amarah. Aku sedikit menangkap mereka meneriakkan kata-kata seperti ‘tanggung jawab’, ‘hidup’, ‘penyelesaian’ dan entah apalagi dengan penuh emosi.  Entahlah apa maksudnya, tetapi dari apa yang kulihat, sepertinya mereka menuntutku untuk melakukan sesuatu untuk mereka. Entah apa.
                        Tetapi untunglah itu semua hanya mimpi. Dan aku terbangun di saat yang tepat. Saat mereka berhasil menangkapku, dan tangan-tangan mereka yang sedingin es mulai menarik-narik tubuhku. Sungguh mimpi yang aneh. Siapa mereka? Mengapa mereka mengejar-ngejarku seperti itu? Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu. Dan sekali lagi aku bersyukur bahwa semua itu hanya mimpi. Mereka hanyalah sosok-sosok tak nyata yang hadir di dalamnya.
                        “Apakah benar kami tidak nyata?”
                        “Tetapi kami ada di sini saat ini.”
Aku tersentak. Refleks kutolehkan kepala ke asal suara. Ya Tuhanku! Bagaimana mungkin? Itu mereka. Itu mereka, orang-orang yang ada dalam mimpiku tadi. Bagaimana mungkin mereka ada di sini? Di kamar tidurku?
            “Siapa kalian?” tanyaku nyaris berteriak karena kaget. Jelas sekali kurasakan getaran dalam suaraku. Kupandang seluruh sudut kamarku. Mereka di sini. Ya. Siluet-siluet mereka semakin jelas kutangkap dalam keremangan kamar ini.
            “Mengapa kau bertanya seperti itu? Sudah tentu ini kami.” Jawab salah satu dari mereka. Kupicingkan mataku menatapnya. Dia duduk dengan santai di tepi meja tulisku di sudut kamar. Seorang perempuan muda berwajah sendu.
            “tta, tapi aku tidak mengenal kalian. Mengapa kalian bisa ada di kamarku?” tanyaku sambil mencoba mengumpulkan kembali ketenangan diri. Sungguh itu bukan hal yang mudah. Bayangkan saja, aku mengalami mimpi aneh, lalu saat aku terbangun, orang-orang yang tadi ada di dalam mimpiku kini ada di sini bersamaku. Jika kalian yang mengalaminya, apakah kalian akan bisa menghadapi mereka dengan tenang?
                        “Ah! Jadi kau benar-benar melupakan kami?” sebuah suara penuh amarah menghardik dari sisi kanan tempat tidurku. Seorang perempuan paruh baya mendekati ranjangku. Matanya berkilat-kilat tajam. Wajahnya pucat dengan bekas-bekas luka di sana-sini. Tangan kananya tersangga pada sebuah ikatan yang disangkutkan ke lehernya. Tangan itu masih berbalut. Mungkin gips. Apakah tangan perempuan itu patah?
            “Tega-teganya kau melupakan kami.” Desis si Perempuan muda di tepi meja tulis.
            “Apa maksud kalian? Melupakan apa?” Tanyaku frustrasi.
                        Kuberanikan diri menatap mereka satu persatu. Si perempuan muda di tepi meja. Si perempuan paruh baya dengan wajah penuh bekas luka. Di dekat jendela berdiri juga satu sosok lelaki tua bertubuh kurus dan layu. Lalu ada seorang anak dengan pandangan mata yang kosong meringkuk di dekat pintu kamar. Di dekatnya seorang lelaki muda dengan dandanan urakan berdiri diam-diam sambil menatapku tajam.
                        “Kalau kau betul-betul melupakan kami, lalu bagaimana nasib kami?” Perempuan muda itu mulai terisak-isak. Aku sendiri semakin bingung. Tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Sebenarnya apa permasalahan mereka ini?
            “Masalah kami adalah tak dapat melanjutkan hidup kami.” Kata lelaki tua di dekat jendela. Seketika aku terlonjak. Mungkin saat ini wajahku tampak sangat bodoh. Sebab, sungguh mati aku heran mengapa orang-orang ini seperti dapat membaca isi kepalaku.
                        Anak kecil di dekat pintu tertawa terbahak-bahak. Lalu mulai bersenandung. Bukan, bukan bersenandung, tetapi berbicara. Oh tidak, bahasa apa yang dia gunakan? Tak satupun dapat kutangkap makna dari setiap bunyi yang keluar dari mulut anak itu. Nada yang terdengar pun agak aneh. Seperti setengah bernyanyi. Dan terus menerus diulanginya. Terus menerus diulangi. Terus menerus.
            “Apa yang dikatakannya?”
            “Dia tidak bicara. Dia hanya membeo.”
            “Membeo. Menceracau?”
            “Tidak. Mengoceh saja.”
            “Mengoceh? Mengapa?”
            “Mengapa? Mengapa kau tanyakan itu?” Perempuan tua dengan bekas luka di wajah itu meradang. “Harusnya kau yang paling tahu mengapa Mentari—anak itu—begitu!” Ketusnya. Lagi-lagi aku seperti orang tolol. Menatapnya dengan bingung.
            “Aku? Mengapa aku yang harusnya paling tahu?”
            “Sebab kaulah yang menciptakan kami.” Anak muda berpenampilan urakan itu berkata tanpa ekspresi. Hanya tajam matanya saja menatap mataku dalam-dalam.
                        Sekarang aku yang tak dapat menahan tawa. Aku terbahak-bahak mendengar jawaban anak muda itu. Sinting atau apa sebenarnya dia itu. Aku? Menciptakan mereka? Ini gila! Sesat. Hanya Tuhanlah Maha Pencipta di dunia ini. Bukan aku.
                        Mungkin aku masih akan tertawa terbahak-bahak seperti itu jika tidak mendengar tangis perempuan muda di dekat meja tulisku yang semakin keras.
            “Kau sungguh terlalu!” Geram si Perempuan penuh bekas luka di wajah. Aku jadi gusar. Kenapa sebenarnya mereka ini? Mengapa sedari tadi terus saja menyalahkan aku atas kesedihan si perempuan muda itu? Mengapa aku seperti harus bertanggung jawab atas mereka semua? Mengapa…
            “Kan sudah kubilang karena kau yang menciptakan kami, bodoh!” Lelaki muda itu memaki pelan.
            “Nirwana benar. Kau yang menciptakan kami.” Kali ini lelaki tua itu yang berkata. “Coba kau pandang lagi kami baik-baik. Ingat-ingatlah kembali.” Katanya sambil memandangku.  Tatap matanya seolah mengisyaratkan sebuah perintah agar aku berusaha keras untuk mengingat mereka. “Aku Kesuma. Kau yang memberiku nama itu.”Lanjut lelaki tua itu. “Kau yang menciptakan aku, mengatur alur hidupku. Katamu aku adalah seorang guru miskin yang serba kekurangan. Maka begitulah kujalani hidupku.”Katanya. aku terhenyak. Kata-kata pak tua itu seperti sesuatu yang menyalakan sebuah tombol di otakku. Dan kini aku bisa menemukannya. Menemukan gambaran sosok tua Kesuma, seorang guru honorer di daerah terpencil dengan keadaan ekonomi yang kembang kempis namun masih mau menyisihkan hartanya untuk bersedekah.
            “Gadis itu adalah Jasmine. Dan dia Darsi, ibunya. Kau mulai ingat?” Kata Kesuma, menunjuk si perempuan muda dan perempuan paruh baya dengan bekas luka di wajah. Mataku mengerjap takjub.
            “Ini mustahil…” hanya itu yang dapat kuucapkan. Tentu saja ini mustahil. Mereka semua, Kesuma, Jasmine, Darsi, Nirwana dan Mentari, mereka hanya..
            “Kami memang hanya tokoh-tokoh dalam cerita yang kau karang, tapi kami semua ada! Walaupun hanya dalam sebuah cerita.”Kata-kata Darsi tajam. Matanya menatap tepat ke arah mataku. Ada kemarahan yang luar biasa terbaca di sana. Aku bergidig ngeri. “Dan kau! Kau berusaha melupakan kami!”Katanya. jari telunjuknya menuding tepat ke arah wajahku. “Kau tinggalkan kami ditengah-tengah cerita tanpa berniat untuk merampungkannya. Apa kau pikir itu benar? Kau lihat aku! Lihat! Terakhir kau tulis aku mengalami kecelakaan parah. Koma di rumah sakit berminggu-minggu lamanya. Lalu kau tinggalkan cerita itu begitu saja. Lihatlah aku…”Geramnya.
                        Aku ingat cerita itu. Cerita yang kutulis berbulan-bulan yang lalu. Atau bertahun lalu? Entahlah. Yang jelas, karena otakku buntu, kubiarkan cerita itu terbengkalai begitu saja. Dan kini? Astaga! Tokoh-tokoh dari cerita yang belum selesai kutulis ini mendatangiku. Apa yang mereka inginkan?
            “Tentu saja kami ingin kau selesaikan cerita ini. Agar ada kejelasan nasib kami.”Kata Kesuma pelan. “Kau lihat Darsi. Dengan keadaannya yang seperti itu, dia sungguh tersiksa. Juga aku, Jasmine, Nirwana dan Mentari, kami merasa sangat tidak nyaman dengan keadaan ini. Apakah kau tidak kasihan pada kami?”
            “aku…”Aku tergagap. “Aku belum ada ide untuk menyelesaikannya.”
            “Ah! Kau hanya malas. Kami hidup di dalam kepalamu. Kami tahu ide-ide berjejalan di sana. Kau hanya malas mengolah dan menuliskannya!”Darsi berkata galak sambil menatap sinis kepadaku.
            “Aku tidak cukup punya waktu luang untuk menuliskannya…”
            “Alasan klise, Bung.”Kali ini Nirwana yang berkata sambil tertawa geli. “Kau buang waktumu dengan hal-hal bodoh seperti game online itu. Atau membaca berita-berita tidak jelas juga gossip-gosip murahan para selebriti.”
            “Aku tidak…”
            “Jangan menoba mencari pembenaran. Ingat, kami hidup di dalam kepalamu. Kami tahu semua yang kau pikirkan.”
            “Kalau kau memang tidak berniat merampungkannya, hapus saja cerita ini.”Kata Jasmine di sela-sela isaknya.
            “Mana mungkin kuhapus tulisanku yang dengan susah payah kubuat selama berbulan-bulan…”
            “Dan selama berbulan-bulan juga kau abaikan hingga nasib kami jadi terkatung-katung seperti ini?”
            “Aku akan menyelesaikannya.”
            “Kapan?”
            “Entahlah. Kita lihat saja nanti…”
            “Jawabanmu menunjukkan kau sudah tidak berniat lagi meneyelesaikannya. Kalau begitu lebih baik kau bunuh saja kami. Hapus saja cerita itu. Aku tidak tahan lagi.”Kata Darsi berapi-api.
            “Aku tidak akan melakukan itu.”Kataku.
            “Kalau begitu aku yang akan melakukannya.”Teriak Darsi.
            “Ya. Aku juga akan meninggalkan cerita itu.”Kata Jasmine. “Juga meninggalkan ruang dalam kepalamu.”
            “Ya dengan begitu cerita itu akan terhapus. Bahkan aku ingin juga menghapusmu dari cerita hidup yang kau punya.”Kata Darsi geram. Terseok-seok dia mendekatiku. Dalam minimnya penerangan di kamarku, kulihat di tangannya yang tidak tersangga tergenggam sebuah benda yang berkilat-kilat. Mata pisau.


                        “Bim! Bim! Bimasakti! Sadar, Bim. Sadar! Ini gua Arya!”
Kurasakan tepukan keras di wajahku, juga tangan yang mengguncang-guncang bahu. Aku meronta. “Bim! Lu mimpi buruk?”Suara Arya pelan-pelan kukenali. Berikutnya, wajah paniknya sudah mengisi ruang pandangku. Aku bangkit. Menatap berkeliling.
            “Mana mereka?”
            “Mereka siapa?”
Tak kugubris pertanyaan Arya. Terhuyung-huyung aku bangkit dan berjalan ke arah meja tulis. Laptop masih menyala di sana. Apa yang telah kukerjakan? Kuperiksa beberapa folder. Kucari file yang berisi draft novel yang beberapa bulan lalu sempat kutulis. Ketemu. Kubuka file itu. Halaman pertama terpampang judul cerita. Halaman berikutnya, kosong. Hingga seratus lima puluh halaman terpampang, tetapi semuanya kosong.
            “Astaga!”
            “Kenapa, Bim?”
            “Mereka betul-betul pergi.”
            “Maksud, Lu?”

Tamat

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...