Senin, 08 Juni 2020

SHURA DAN DIMA

SHURA dan DIMA
~cerpen Lilynd Madjid~




"Shura!"

Suara seruan di kejauhan menyentakkanku dari keasyikan mengintai ikan di tepian anak Sungai Kolyma yang nyaris membeku. Aku melompati batu-batu besar yang menyembul dari permukaan sungai. Mendaki batu terbesar dengan hati-hati.

Dari puncak batu aku berteriak membalas seruan Oтец yang tadi ditujukan kepadaku.

"Sebentar, Oтец! Aku akan segera kembali!" teriakku sekuat tenaga.

Kemudian dengan kehati-hatian yang sama seperti saat memanjatnya, kuturuni batu besar itu. Kurapikan peralatan berburuku, harpun kecil dan sebuah beliung pemberian kakek, juga ikan-ikan hasil tangkapan yang sudah kuikat. Aku bergegas menuju gua kami.

Di mulut gua kulihat Oтец dan beberapa laki-laki--ada sekitar 25 hingga 30 orang--tengah menyiapkan perlengkapan seperti obor, batu api, tombak, beliung, dan harpun besar. Oтецmemberi isyarat agar aku bergegas.

"Sebentar Oтец, aku akan memberikan dulu ikan-ikan ini pada Мать."

"Segera! Kau tahu hari ini kita mulai berburu." Oтец berkata galak. Ya, ayahku itu memang orang yang sangat tegas. Tidak heran jika kelompok kami mengangkatnya menjadi pemimpin.

Aku mengangguk, lalu setengah berlari memasuki mulut gua. Udara hangat menyambutku saat berada di dalam gua. Gua kami berada di kaki sebuah gunung berapi. Jika ditelusuri, akan ada lorong yang mengarah ke perut bumi. Dari lorong-lorong semacam itulah, mengalir uap-uap hangat ke lorong-lorong gua lainnya. Membuat kami terhindar dari udara dingin Siberia yang membekukan. Perlu beberapa lama menyusuri lorong-lorong gua yang berliku sebelum tiba di lorong tempat keluargaku tinggal.

"Shura! Tadi ayahmu mencari." Мать, ibuku menyambut saat aku tiba.

"Ya, Мать. Ia menungguku berburu." Kuserahkan ikan-ikan itu ke tangannya lalu bersiap-siap pergi.

"Shura!" Мать menahan tanganku. "Berhati-hatilah. Perhatikan saja dari jauh bagaimana orang-orang dewasa menangkap mammoth itu." Aku mengangguk kemudian bergegas keluar.

Di luar gua, persiapan sudah selesai dilakukan. Rombongan kami mulai berangkat. Aku berjalan di samping Oтец. Ada pemuda-pemuda lain seusiaku yang juga ikut dalam perburuan kali ini. Seperti aku, mereka juga sedang disiapkan untuk bisa berburu. Perburuan kali adalah cara kami belajar, dengan melihat secara langsung bagaimana orang dewasa berburu.

Kami tiba di sebuah padang luas di tepi sebuah danau pada siang hari. Udaranya cukup hangat. Oтец bilang itu karena adanya semburan uap dan air panas secara periodik di suatu tempat di sekitar sini. Kami memilih satu area yang cukup tersembunyi sebagai tempat berkemah. Di kejauhan, di tepi danau yang berseberangan dengan tepian tempat kami berada, samar kulihat kawanan mammoth bergerombol.

Setelah menyiapkan perlengkapan, rombongan kami mulai bekerja. Membuat lubang perangkap beberapa ratus meter dari tepi danau. Kamu semua, termasuk aku dan kawan-kawanku menggali lubang besar dengan beliung. Menjelang malam, lubang galian siap.

Setelah itu orang dewasa mengendap-endap dalam gelap menuju kawanan mammoth di seberang danau. Mereka memilih satu mammoth sebagai sasaran dan mulai bergerak mendekat. Obor-obor dinyalakan dengan batu api. Para mammoth mulai menyadari kehadiran kami, mereka kalang kabut menghindar.

Oтец dan teman-temannya menggiring mammoth sasaran menggunakan obor. Mengarahkan binatang besar itu ke lubang perangkap yang sudah kami siapkan. Tidak mudah. Binatang itu selalu mencoba melarikan diri dan mengamuk brutal. Akan tetapi Oтец dan teman-temannya adalah para pemburu andal.  Beberapa waktu kemudian mammoth itu sudah dapat dilumpuhkan di dalam lubang perangkap. Aku bergidig ngeri saat satu harpun besar dihantamkan menembus tengkorak kepalanya.

Setelah si Mammoth roboh, kami mulai menguliti mahluk raksasa malang itu. Perutku mendadak mual mencium amis darah yang menguar. Diam-diam aku menyingkir, berjalan menjauhi lubang. Aku butuh udara segar.

Satu suara dengusan mengagetkanku saat sedang berdiri menatap tepian danau di kejauhan. Aku mengendap-endap mencari sumber suara. Di balik sebatang pohon tidak jauh dari lubang perangkap, sebuah bayangan gelap terlihat. Saat aku mendekat, bayangan itu mendengus.

Aku segera menyadari mahluk apa itu. Masih mengendap-endap, kudekati Oтец. Aku memberitahukan keberadaan tamu kami. Oтец dan beberapa orang perlahan mengepung, lalu menyergap bayangan itu dengan tali serat kayu yang kami punya. Mahluk itu meronta. Mendengus-dengus dan sesekali mengeluarkan suara menguik yang menurutku sangat menyedihkan. Seseorang kulihat mengacungkan harpun ke arah kepalanya.

"Jangan!" Tanpa sadar aku berteriak. Semua menoleh ke arahku. "Ja-jangan bunuh dia, kumohon. Oтец, tolong biarkan bayi mammoth itu hidup," kataku mengiba.

***

Aku memberi nama bayi mammoth itu Dima.

Jadi, malam itu Oтец mengabulkan permohonanku. Kami membawa pulang Dima dan berton-ton daging mammoth yang menurutku adalah induk Dima. Agak menyedihkan memang.

Awalnya Oтец melarangku memelihara Dima. Namun, aku berkeras. Kasihan dia, ibunya sudah mati, sementara kawanannya telah meninggalkan tepian danau entah kemana. Jika ditinggalkan, bisa saja dia menjadi mangsa empuk binatang buas.

Maka di sinilah Dima sekarang. Tinggal di dalam satu lorong gua yang tak dihuni. Kupelihara dan kurawat dia dengan kasih sayang. Ternyata mammoth kecil ini binatang yang cerdas. Dia bisa mengenali aku, yang setiap hari datang memberinya makan. Kini dia tidak takut lagi padaku. Ia juga membiarkan, saat aku membelai bulu lebatnya, atau mengusap puncak kepalanya.

Kadang-kadang aku mengajaknya berjalan-jalan ke luar dari dalam gua. Jika sudah begitu ia akan berjalan di sampingku atau mengikutiku di belakang. Akhir-akhir ini Dima bahkan mengikutiku saat aku pergi menombak ikan.

***

Aku sedang menuju anak Sungai Kolyma pagi ini. Sebenarnya, Oтец dan Мать melarangku untuk menombak ikan. Cuaca agak tidak bagus. Kemungkinan badai salju akan datang. Namun, persediaan ikan kami sudah habis. Adik bungsuku, Makari, tak bisa makan jika tak ada ikan. Maka aku memaksa Oтец untuk mengizinkanku menangkap satu dua ekor ikan. Oтец akhirnya mengijinkan, dengan syarat, aku pulang sebelum tengah hari.

Ternyata cuaca memburuk begitu cepat. Badai datang menggulung saat aku masih mengemasi ikan yang kuperoleh. Segera kucari perlindungan di balik bebatuan. Namun, badai begitu dahsyat. Salju berhamburan menyerbu tubuhku.

Badai belum juga mereda saat aku mulai menggigil hebat. Mantel kulit mammoth yang kukenakan tak mampu menahan dingin yang menggigit. Gigiku gemeletuk. Tanganku tremor dan sudah mati rasa. Sedikit penyesalan menyusup dalam hati. Mengapa tak kuhiraukan larangan Oтец dan Мать tadi?

Kurasa kesadaranku mulai menghilang, saat kudengar suara dengusan. Lapisan salju yang kupijak terasa bergetar. Lalu seonggok bulu tebal menyentuhku. Bukan, bukan menyentuh, tetapi melilit dan menarikku. Menyurukkanku pada gumpalan bulu yang lebih tebal. Hangat mengalir melingkupiku. Sempat kubuka mata sejenak sebelum kembali menutupnya. Aku mengenali sosok besar itu.

"Dima ... kamu datang?"

*Tamat*

Catatan:
отец = ayah
Мать = ibu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...