Kamis, 26 September 2019

MISTERI HILANGNYA SEBUNGKUS ROKOK


#Detektif
#FIKSI
Misteri Hilangnya Sebungkus Rokok
Cerpen Lily N. D. 


Malam itu Parmin uring-uringan. Sebungkus rokoknya yang masih utuh hilang. Ya, hilang. Lenyap tanpa jejak. Kejadiannya begini, tadi dia sedang mengobrol dengan beberapa orang tetangganya di teras rumah. Biasalah, bersosialisasi dengan sesama penghuni gang. Biasanya mereka memang sering kumpul, mengobrol, ngopi bareng, ya … pokoknya kongkow-kongkowlah. Meski hanya di teras rumah.

Seingat Parmin, saat ngumpul tadi rokok itu masih ada di meja, bersama dengan sebungkus rokok lain yang sudah hampir habis isinya, beberapa buah korek api, bercangkir-cangkir kopi dan beberapa bungkus makanan kecil. Bahkan saat para tetangganya satu persatu mulai pulang ke rumah masing-masing, rokok itu masih ada di sana.

Parmin hanya meninggalkannya sebentar saja, saat ia beranjak ke aquarium untuk menunjukkan anakan ikan hias yang baru dibelinya pada Tejo. Setelahnya ia juga sempat mengobrol sebentar dengan Tejo sebelum lelaki itu juga pulang ke rumahnya.

Begitu ia kembali ke teras rumah, dan akan mengangkut cangkir-cangkir itu ke dapur, ia menyadari kalau sebungkus rokok itu sudah tidak ada lagi di sana.

“Yem, Iyem… kamu lihat rokokku? Satu bungkus. Masih utuh.” Tanyanya pada istrinya yang masih sibuk menyiapkan bahan masakan untuk dijual besok. Iyem yang ditanya diam tak menjawab. Wajahnya mendadak ditekuk.

“Ditanya kok malah begitu ekspresimu, Yem…” gerutu Parmin.

Lha memangnya ditaruh di mana rokoknya?”

“Tadi di meja te…”

“Di meja teras kok tanya sama aku, Kang… kan kamu tahu aku dari tadi sibuk masak di sini. Ndak sedetik pun aku injakkan kakiku ke teras depan. Lagi pula untuk apa aku ngambil rokokmu? Ndak bisa kumakan, Kang.” Iyem terus bicara. Parmin menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Ya tinggal dijawab saja, Yem. Nggak usah merepet macam itu.”

Habisnya, kamu kok pakai tanya aku, Kang. Aku sedang sibuk harus ngurus ini ngurus itu repot sendiri ndak ada yang bantu. Kok ditanya soal rokok. Kamu sedari tadi itu duduk-duduk santai sambil ngemil, ngopi, ngroko sama teman-temanmu. Ya sana tanya  sama rombonganmu tadi, bukan tanya aku…”

Alaaa… sudah, sudah… malah ngomel kamu, Yem. Pusing aku dengarnya.” Parmin mengacak rambutnya sendiri sambil bergegas meninggalkan istrinya. Masih didengarnya suara istrinya mengomel. Tetapi tak lagi dia acuhkan.

***** ***** *****

Parmin masih uring-uringan. Rokoknya belum juga ditemukan. Ditambah lagi sekarang Iyem mengomel tak karuan. Bising sekali. Segalanya diungkit-ungkit. Sampai masalah uang belanja yang sering absen dia setorkan, hingga kebiasaannya nongkrong hingga larut malam. Arrgh! Pusing.

Dan rokok itu, kemana pula perginya? Hmm… Parmin kembali ke teras depan. Mencari lagi dengan teliti. Di meja tidak ada. Di kolongnya nihil. Di dekat deretan akuarium, hanya ada pakan ikan. Hhhh! Ke mana perginya sebungkus rokok itu? Masa iya bisa menghilang begitu saja? Atau jangan-jangan… ada yang mengambilnya?

Parmin berhenti mencari. Dia duduk di bangku kayu sambil mengingat-ingat. Jika ada yang mengambil, siapa kira-kira pelakunya?

“Hmmm… kalau tidak salah, sebelum aku dan Tejo tadi ngecek ikan, ada Taryo dan Karso yang masih duduk di sini sebelum mereka juga pulang.” Gumamnya pelan.

Parmin terlihat berpikir keras. Memang ke dua tetangganya itu yang terakhir beranjak dari teras rumahnya, sebelum Tejo tentu saja. Tapi Tejo kan bersamanya. Lagi pula, setelah melihat anakan ikan, Tejo langsung pamit. Parmin sendiri yang mengantarnya hingga ke jalan sambil mengobrol. Jelas, Tejo harus segera dicoret dari daftar tersangka.

            Siapa yang tersisa? Taryo. Atau Karso? Parmin semakin keras berpikir. Tapi Karso bukan perokok. Untuk apa dia mengambil rokok jika tidak pernah merokok?

            “Tidak mungkin ‘kan dia ambil untuk dijual? Itu bukan rokok mahal.” Gumam Parmin, “kalau dijual pun mau dijual ke siapa?” Parmin tertawa masam. Sesekali tangannya kembali mengacak-acak rambutnya yang mulai menipis.

            “Tersangka terakhir, Taryo…” katanya pelan. Matanya menerawang. Mengingat sikap Taryo tadi saat sedang ngobrol bareng.

Taryo memang perokok kelas berat. Saat tadi mereka berkumpul, dia yang paling banyak merokok. Mulutnya tak berhenti mengepulkan asap. Satu batang habis dihisap, selalu disambung dengan batang rokok berikutnya.

“Tapi…”

Parmin terlihat ragu. Taryo memang perokok berat. Tetapi dia bukan orang tak mampu. Bisa dibilang, dari semua teman nongkrong Parmin, Taryolah yang paling tebal dompetnya. Jadi masalah rokok satu bungkus, itu receh sekali untuk dia. Tidak seperti Parmin, yang bisnis ikan hiasnya kembang kempis, lebih sering kempis dari berkembangnya.

            Arrrgh! Mumet kepalaku!” Maki Parmin sambil beranjak dari teras. Matanya mulai mengantuk. Diliriknya jam tua di dinding ruang depan. Pukul satu lewat. Pantas saja. Masuk ke ruang tengah dia hampir saja menabrak Surya, anak sulungnya.

            Haduh, kamu bikin kaget bapak saja, Sur.” Kata Parmin. Surya menguap lalu meregangkan tubuhnya. “Kenapa belum tidur?” Tanya Parmin.

            Lha Bapak sendiri kok belum tidur?”

            Isyh!  Kamu itu kok kayak emakmu, ditanya bukannya jawab malah balik tanya.” Rutuk Parmin. Surya malah nyengir.

            “Aku baru selesai belajar, Pak. Besok ulangan.”

            “Oooo… ya sudah, tidur sana. Besok kesiangan.”

            “Ya, Sur. Jangan sampai kesiangan seperti bapakmu itu. Setiap hari selalu saja kalah sama ayam tetangga. Mustahil ada cerita bisnis ikannya tambah maju, sudah habis rejekinya dipatuk ayam.” Sebuah suara tiba-tiba menimpali. Parmin melotot ke arah istrinya yang baru saja mucul.

            Ngomong apa kamu, Yem? Jangan seenaknya mulutmu itu bicara.”

            Lha kenyataannya memang begitu, kan Kang?”

            “Kenyataan apa?”

            “Ya kenyataanmu itu. Aku tiap pagi repot ngurusi anakmu yang lima orang itu. Nyiapkan mereka pergi sekolah. Belum lagi nyiapkan daganganku. Sementara kamu baru bangun setelah matahari tinggi. Untung ada Surya dan Cikal, kalau tidak…”

            “Stop! Bapak, Emak…” tukas Surya. Tangannya menutup dua telinganya. “Ini sudah larut malam.” Dipandanginya Parmin dan Iyem satu persatu. Lalu tersenyum lebar, “Emak dan Bapak tidur saja sekarang, ya? Ya? Ya? Biar besok bisa bangun lebih pagi. Nggak usah bertengkar, kasihan nanti adik-adik terganggu. Ya?”

            Parmin dan Iyem mendengkus berbarengan. Sesaat keduanya saling pandang, seperti akan melanjutkan perang mulut mereka. Tetapi kemudian Iyem membuang muka dan berlalu ke dapur. Parmin mengacak-acak rambutnya lalu melangkah ke kamar. Sementara Surya menghembuskan nafas keras-keras. Lega. Tidak perlu lagi mendengar pertengkaran emak dan bapaknya lagi.

            “Mas Uya?” satu suara mengagetkan Surya.

            “Awan? Ngapain kamu? Nggak tidur?”

            “Tadi sudah. Tapi sudah lama juga terbangun. Tadi bapak dan teman-temannya berisik sekali ngobrol di teras. Awan jadi susah tidur lagi.”

            “Ooo… ya sudah, sekarang kan sudah sepi. Cepat kamu tidur. Nanti terlambat bangun kan susah.”

            “Mas juga, ya.”

            “Ya. Sebentar Mas Uya ke kamar mandi dulu.”

*****  *****  *****

            Matahari sudah tinggi. Parmin menggeliat lalu bangun dari tidurnya. Sesaat pikirannya terasa kosong. Tetapi kemudian dia segera bangkit. Berjalan keluar dari kamar, Parmin melangkah mendekati meja makan. Ada yang menguarkan aroma sedap di sana. Parmin membuka tudung saji, mencomot sekerat tempe goreng, mencocolkannya ke dalam sambal  lalu memasukkannya sekaligus ke dalam mulut.

            Setelah itu dia berbalik menuju kamar mandi. Beberapa saat terdengar suara guyuran air. Suara Parmin terbatuk, diakhiri dengan suara muntah, kemudian pintu kamar mandi terbuka. Parmin ke luar dari sana. Tampangnya masih kusut. Hanya sedikit memerah dan terlihat ada jejak air di wajahnya.

            Anak bungsunya yang berusia dua tahunan tiba-tiba saja muncul dari ruang depan. Memandang ke arah Parmin lalu tersenyum.

            “Mana emakmu, Pung?” tanyanya. Si Kecil Pungkas menunjuk ke arah luar.

            “Sudah bangun kamu, Kang? Ada apa cari aku?” Iyem tiba-tiba muncul membawa wadah-wadah kosong bekas masakan yang pagi tadi di jualnya di depan rumah.

            “Cuma tanya.” Jawab Parmin acuh. “Eh, apa itu yang kamu makan, Pung?” Parmin mendekati Pungkas. “Ya ampuuun. Rokokku, Yem! Anakmu makan rokokku!”

            “Apa? Mana?” Iyem bergegas meraih Pungkas. Mengambil sesuatu yang dikunyah anak itu.

            Halaaah!  Lihat ini sisanya, hancur semua rokokku setengah bungkus diremas anakmu, Yeeem, Yem.” Geram Parmin. Iyem melotot galak memandang Parmin.

            “Anakku itu anakmu juga, kan, Kang? Siapa juga yang suruh kamu simpan rokok sembarangan. Biar saja, biar kubuang sekalian rokok sialan itu.”
            “Jangan-jangan Pungkas juga yang mengambil rokokku dua malam yang lalu itu.”
            “Haduh, Kang! Jangan sembarang menuduh anak sendiri. Malam itu kan si Pungkas sudah nyenyak tidur. Mana mungkin dia mengambil rokokmu! Itu pasti ulah teman-temanmu.
            “Ah… sudah, sudah! Kamu juga seenaknya menuduh orang, Yem.” Parmin berlalu meninggalkan istrinya.
****    *****  ****
Pukul dua belas lewat tiga puluh menit. Parmin masih membersihkan beberapa akuariumnya. Memberi makan ikan-ikannya. Sesekali berhenti untuk menyesap rokoknya. Belum ada pembeli hari ini. Padahal dia sudah mengunggah foto-foto cantik akuarium yang berisi  ikan-ikannya.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam. Wan, sudah pulang kamu?”

Awan melangkah lesu mendekati Parmin. Mencium tangan bapaknya itu, kemudian membuka tasnya dan menyerahkan selembar kertas yang terlipat.

“Apa ini?”

“Surat panggilan dari bu guru. Bapak atau emak diminta datang besok pagi.”

“Ke sekolah? Ada apa? Kenapa? Kamu bikin masalah di sekolah, Wan?” berondonng Parmin. Awan hanya menunduk. Kemudian menggeleng.

“Maksudmu apa, Wan? Bapak ndak ngerti.”

“Pokoknya bapak datang saja besok. Ditunggu bu guru.” Jawab Awan lalu melangkah masuk ke rumah. Tinggal Parmin yang mulai mengacak-acak rambutnya gemas.

“Hhhh… bikin susah saja. Ada apa toh? Jangan-jangan harus bayar ssuatu? Haduuuh, mana ikanku belum ada yang laku. Hhhh…”

****    *****  ****

            “Jadi begini, Pak…” Kata wali kelas Awan memulai pembicaraan. Parmin menyimak dengan serius. Sesungguhnya dia masih khawatir kalau-kalau harus mengeluarkan uang. Awan yang juga hadir di ruangan itu duduk di sebelah Parmin dengan wajah tertunduk.

            “Ya, Bu guru.” Kata Parmin.

            “Langsung saja ke intinya ya, Pak. Jadi maksud kami mengundang Bapak ke sini, ingin menginformasikan, bahwa ananda Awan kedapatan membawa rokok ke sekolah.” Kata bu guru dengan tenang. Parmin melotot. Lalu menoleh pada anaknya.

            “Kamu merokok, Wan?” Tanya Parmin geram.

            “Tidak. Bapak jangan menuduh!” Awan mengelak.

            “Tapi tadi bu gurumu bilang….”

            “Sabar dulu, Pak Parmin.”

            “Tapi, Bu Guru…”

            “Ya, Pak. Tadi saya memang mengatakan bahwa Awan kedaptan membawa rokok dalam tasnya. Tetapi saat kami Tanya, Awan tidak mengakui kalau ia merokok. Katanya rokok itu juga bukan miliknya.”

            Lha, kalau begitu itu rokok sia…”Parmin tidak menyelesaikan kalimatnya saat melihat ibu guru mengeluarkan sebungkus rokok dari laci meja kerjanya. “Lho, itu kan…”

            “Kenapa, Pak Parmin?” bu guru mengernyit heran.

          “Ah, tidak, tidak… tidak apa-apa.” Parmin mengusap wajahnya yang tiba-tiba saja berkeringat. Berkali-kali dia melirik anaknya yang masih menunduk.

           "Ya. Jadi, saat terus kami tanya, Awan tidak juga mau menjelaskan. Dia memilih menutup mulut. Oleh karena itu, kami meminta orangtua untuk hadir. Barangkali jika didampingi orang tua, Awan akan lebih leluasa untuk bicara.”

            “Eh, eu.. anu itu…” Parmin terbata. Tangannya mulai mengacak rambut di kepalanya.

            “Itu rokok bapak, Bu.” Tiba-tiba saja awan mengangkat wajahnya.

            “Eh?” Parmin dan bu guru sama-sama menoleh ke arah Awan.

            “Itu rokok bapak. Malam itu Awan ambil rokok bapak biar bapak berhenti merokok. Awan tidak suka bapak merokok. Bapak sering batuk-batuk. Emak juga sering marah-marah kalau bapak merokok. Katanya bapak ndak pernah punya uang kalau emak minta buat belanja, tapi selalu ada uang untuk beli rokok dan kopi. Makanya, rokoknya Awan sembunyikan. Sengaja Awan simpan dalam tas supaya tidak ditemukan bapak…” Awan masih terus berbicara. Menjelaskan ini dan itu pada gurunya panjang lebar. Tiba-tiba saja Parmin merasa Awan mirip sekali dengan ibunya. 

Sementara di depan Parmin bu guru mendengarkan cerita awan sambil sesekali terlihat sungkan menatap ke arah Parmin.

TAMAT 

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...