Minggu, 22 Desember 2019

EKSEKUSI MATI

EKSEKUSI MATI
Oleh Lily N. D. Madjid



Kejam. Sungguh kejam mereka. Dikurungnya kami berhari-hari, dengan hanya diberi makan seadanya. Itupun hanya sehari sekali. Padahal apa salah kami hingga mereka memperlakukan kami seperti ini?

Lihatlah mereka. Setelah memperlakukan kami seperti ini, mereka masih dapat bernyanyi-nyanyi dengan riangnya.

Potong bebek angsa
Masak dikuali
Nona minta dansa
Dansa empat kali... 

Aaaargh! Aku benci lagu itu. Aku benci mereka yang berwajah tanpa dosa setelah berbuat seenaknya pada kami. Di mana hati nurani mereka? Sungguh aku ingin menjerit, memaki, mencaci mereka tanpa henti.

"Sabar, sayang. Mungkin ini semua ujian bagi kita." Suamiku memberikan penghiburan. Ah, lelakiku yang tabah dan penyabar. Untunglah aku masih memilikinya. Setelah satu persatu keluargaku mereka renggut. Jika ia tidak ada di sisiku untuk menenangkan, entah apa jadinya aku. Mungkin aku sudah lama kehilangan kewarasan.

"Aku tak kuat lagi, Bang."

"Sabar, Sayang, sabar... "

"Bagaimana kalau kita mencoba lari dari sini?"

"Sayang. Aku ... Aku tidak yakin. Tidak semudah itu bisa lari dari mereka. Lihatlah, kita berdua berada dalam penjara, lagi pula... "

"Jika kita tetap di sini, itu berarti kita menyerahkan diri pada kematian, Bang! Kau ingat bagaimana mereka membantai ayah, ibuku, ibumu, bahkan anak kita...  Anak kita, huhuhuhuhu...  Aku tak kuat lagi, Bang. Aku ingin pergiii.... "

"Sayang,"

"Tidak. Aku tak ingin bertahan, jika itu yang akan Abang katakan!" teriakku putus asa. Kudorong sekuat tenaga pintu penjara yang mengurung kami berdua.

"Sayang, penjara ini tak mungkin kita tembus."

"Aku tak peduli jika Abang sudah menyerah. Tapi aku tidak. Aku akan terus berusaha." ketusku.

Suamiku terlihat termenung. Lalu kemudian, dia ikut membantu mendorong pintu jeruji ini sekuat tenaga. Terlihat bodoh memang. Tetapi bukankah kita harus terus berusaha?

"Hei! Kalian berdua! Mau mencoba kabur ya?" Satu suara mengejutkanku. Celaka, kami ketahuan. Dan, oh tidak! Dia memanggil teman-temannya.

"Lihat mereka berdua. Mereka mencoba keluar dari sini. Hahaha...  Lucu sekali."

Gerombolan itu mengelilingi kami, menertawai kami seolah kami mahluk bodoh. Padahal kami hanya ingin mempertahankan diri, ingin mencoba bertahan hidup.

"Ambil satu. Kita eksekusi sekarang juga!" kata seseorang. Oh, tidak.

"Kau menjauh sayang, biar aku yang menghadapi mereka." kata suamiku. Airmataku bercucuran.

Kulihat suamiku menghadang mereka. Tapi apalah daya, dia hanya sendiri. Mereka memegangnya bersama-sama. Mengunci tubuhnya dalam sekali renggut.

"Abaaang!" Jeritku histeris. Melihat mereka membuat suamiku tak berdaya.

"Ambil senjataku!" teriak seseorang.

Ya Tuhan. Aku tak kuat lagi. Lihat mereka...  Aaargh! Tidaaaak...  Mereka, mereka menggorok lehernya. Di depan mataku. Dasar manusia-manusia laknat! Sekarang mereka bahkan menyiramnya dengan air panas. Keji. Aku tak ingin melihat lagi. Aku tak sanggup melihat lagi.

Kututup mataku yang bercucuran air mata. Ah, Abang. Sepertinya sebentar lagi aku kehilangan kewarasanku.

TRAK!
TRAK!

Aku mengintip ke arah datangnya suara. Di sana mereka sedang mencincang tubuh telanjang suamiku. Gila! Mereka membelah perut dan mengeluarkan isinya. Mencincangnya menjadi potongan-potongan kecil dan memercikinya dengan perasan lemon.

Dapatkah kau bayangkan pedihnya? Aku tidak. Sebab aku sudah kehilangan kesadaranku saat seseorang berteriak keras.

"Bebeknya sudah siap, mana bumbu rica-ricanya?" Orang itu membawa potongan-potongan tubuh suamiku sambil bersenandung riang.

Potong bebek angsa
Masak dikuali
Nona minta dansa
Dansa empat kali...

Jumat, 20 Desember 2019

BINTANG KECIL

BINTANG KECIL
Oleh Lily N. D. Madjid


Malam ini cerah sekali, walau bulan hanya sebentuk sabit. Langit bersih. Bintang-bintang bertaburan di langit. Aku suka suasana seperti ini. Aku suka memandang taburan bintang di langit sana, seperti taburan permata di tiara milik mama. Aku suka membayangkan diriku duduk di lengkungan bulan sabit itu.

Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada

Kusenandungkan lagu kesukaanku.  Dulu, mama yang mengajariku lagu itu. Kugumamkan berulang-ulang. Kuayunkan dua kaki seiring larik-larik lagu yang keluar dari bibirku. Ayunan yang kududuki melambung semakin tinggi dan ssemakin tinggi. Biasanya, jika kunyanyikan lagu itu, mama akan ikut bernyanyi bersamaku. Ia bernyanyi sambil memelukku dan kami memandang ke arah langit berdua.

Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada

Tetapi kini tak ada  lagi mama. Dia telah tiada. Kutemukan ia dengan belati menancap di dada, suatu hari, sepulangku dari sekolah. Darah membasahi seluruh tubuhnya. Aku menjerit-jerit mamanggilnya. Tetapi dia diam saja. Hanya matanya saja yang terbuka, menatap ke langit sana. Mungkinkah mama menatap bintang kesayangan kami? Tetapi di siang hari tak ada bintang yang bertaburan, bukan?

Lalu nenek dan kakek membawaku ke sini. Ke desa tempat mereka tinggal. Kata mereka aku tak mungkin tinggal sendiri setelah mama pergi, dan papa mendekam di balik jeruji. Aku pun berpikir begitu. Terlalu menyedihkan kenangan yang tertinggal di rumah itu. Sampai sekarang aku bahkan tak tahu, apa yang membuat papa tega menyarangkan belatinya di dada mama. Bukankah selama ini mereka saling mencinta?

Di desa ini aku lebih tenang. Tak ada lagi mimpi buruk tentang kematian mama dalam tidurku. Apalagi di desa kecil ini, langitnya selalu lebih indah di malam hari. Seperti malam ini. Kau lihat? Bintang bertaburan di atas sana. Gemerlap tak terkira. Apakah mama ada di sana? Duduk di antara lengkung bulan sabit, menikmati kilauannya?

Kupejamkan mata. Membayangkan mama dengan senyumnya. Dengan suara merdunya. Kuhapus bayanganku tentang mama di saat terakhir aku melihatnya. Ya. Akan kuhapus saja. Hanya yang terindah saja tentang mama yang boleh tersisa dalam kenangan di kepala. Juga dalam dada.

Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada

Udara terasa dingin menggigit. Kuusap tengkukku yang meremang. Sejenak aku terdiam. Ada yang ikut bersenandung di sana. Entah di mana. Lirih suaranya mengalun lembut. Kutajakan pendengaran, juga mencari dari mana suara itu berasal.

Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada

Ah, di sana. Di bawah rerimbun pohon angsana, kulihat sebuah siluet berdiri tegak menghadap ke arahku. Mataku terpicing. Bayangan itu seperti sosok tak asing. Dan senandungnya yang mengiringi gumam laguku, bukankah suara yang begitu kukenal?

Bukankah itu … Mama?

D I A N D R A

D i a n d r a
Oleh Lily N. D. Madjid


Diandra berlari secepat kaki kecilnya mampu membawanya menjauh. Tetapi luka dikaki menghambatnya untuk bergerak cepat. Sementara paman mata satu yang mengejarnya semakin mendekat.

Diandra menyesal, tadi kakek dan nenek sudah melarangnya bermain jauh dari rumah. Tetapi suasana desa ini terlalu menarik untuk dilewatkan. Jiwa petualang dalam diri Diandra memberontak tak ingin dikekang.

Di mata Diandra,desa ini begitu menarik. Bukan hanya keindahan yang memukau. Menemukan kenyataan bahwa tak dilihatnya anak seusia dirinya di sana membuatnya bertanya-tanya. Gadis kecil sembilan tahun itu penasaran. Ke mana mereka? Dalam keasyikannya, ia lupa pada larangan kakek dan neneknya.

*****

Saat ini Diandra masih berusaha berlari walau kakinya sudah sangat letih. Nafasnya tersengal. Ia tak kuat lagi, tetapi paman berwajah menakutkan itu masih mengejar di belakangnya. Dia tertawa-tawa gembira. Berteriak-teriak pada Diandra.

"Jangan lari cicak kecilku. Kemarilah... Hahahahaha... "

Diandra mempercepat ayunan langkahnya sambil menggigit bibirnya kuat-kuat menahan nyeri di kakinya.

"Kakeeek... Neneeek... Tolong Andra. Tuhaaan, jauhkan orang itu dari Andra." Mulut Diandra komat-kamit di antara deru nafas paniknya.

****

Awalnya, saat sedang berjalan menyusuri jalan desa yang mengarah ke hutan kecil tadi, Diandra melihat sebuah rumah kecil. Dari dalamnya terdengar suara seseorang bernyanyi riang.

Cicak-cicak di dinding
Diam diam merayap
Datang seekor nyamuk
Hap ... lalu ditangkap

Diandra mendekat karena penasaran. Pintu rumah kayu itu tertutup rapat. Jendela-jendelanya berteralis kayu. Ia semakin mendekat, melongokkan kepalanya di ambang jendela. Mata Diandra terbelalak melihat pemandangan di depannya. Di sana berjajar tubuh anak-anak seusia dirinya, telah menjelma mummi  tanpa kain membalut. Wajah mereka yang sudah mengkerut seperti menampakkan ketakutan yang teramat sangat. Bertolak belakang dengan wajah paman bermata satu di dekatnya yang terus saja bernyanyi dengan keriangan yang berlebihan.

Saking terkejutnya, Diandra lupa. Ia berteriak ngeri, membuat paman itu mengethui keberadaan Diandra. Ia marah. Mengejar Diandra yang berlari menghindar. Kepanikan dikejar oleh lelaki bertampang mengerikan  membuat Diandra tak memperhatikan langkahnya. Kakinya luka entah terkena apa. Diandra tak menghiraukan. Ia hanya ingin menyelamatkan diri. Tetapi langkahnya malah membawanya masuk ke dalam hutan.

****

Diandra diam menahan nafasnya, juga menahan sakit di kakinya. Ia menyurukkan diri ke sebuah lubang di tengah pohon besar. Hanya itu persembunyian yang dapat ia temukan. Suara paman bermata satu masih terdengar. Bersenandung dengan riang.

Cicak-cicak di dinding
Diam diam merayap
Datang seekor nyamuk
….

Lalu sunyi.

Diandra menajamkan telinganya. Tak ada lagi suara. Apakah Paman mata satu itu telah pergi? Diandra ingin memeriksa, tetapi ketakutan masih menyekapnya.

Entah berapa lama dia meringkuk di sana. Hingga kesunyian melingkupinya. Diandra mengangkat wajah. Ia mencoba melangkah dari dalam lubang persembunyiannya.

“Hap! Kamu kutangkap, Cicak Kecil!” Suara serak menyeramkan terdengar di sisi telinga Diandra. Ia masih sempat berteriak, sebelum sebuah pukulan membuat dunianya gelap.

**** **** ****

Di rumah, kakek dan nenek panik kehilangan Diandra. Hingga beberapa  waktu kemudian, seorang lelaki  melintas di depan rumah mereka.

“Ada apa, Pak Ramdan?”

“Cucuku menghilang, Pak lurah.”

Pak lurah memberikan simpatinya. Menenangkan kakek dan berjanji akan mengerahkan warga untuk mencari Diandra. Setelah itu ia melangkah pergi. Sebuah senyum simpul terukir di bibirnya. Matanya yang hanya sebelah memancarkan gairah.

P E N U N G G U

PENUNGGU
Oleh Lily N. D. Madjid


Hari ini adalah hari pertamaku tinggal di rumah baru, di kota yang juga baru. Aku baru saja dimutasi ke kota  ini. Saat pindah, kuboyong serta keluarga kecilku. Amarylis, istriku, tidak mengeluh. Dia dengan lapang dada menerima kepindahan kami ke kota kecil ini. Begitu juga Sakti, putra semata wayang kami yang masih berusia balita. Dia malah terlihat antusias sekali.

“Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku….”

Aku menggeliat. Suara nyanyian kecil Sakti menyusup ke gendang telingaku. Ah, sudah bangun rupanya bocah itu. Kucoba memicingkan mataku yang masih terasa berat. Bocah kecil itu masih meringkuk di sudut kasur kami. Tetapi matanya sudah terbuka lebar. Mulut kecilnya bersenandung tanpa henti.

“Papa,” sapanya setelah menyadari aku memandangnya. “Papa, aku mau mandi.” Sakti bangkit dan mendekat. Aku kembali menggeliat.

“Sama mama, ya?”

“Mamanya mana?”

“Coba Sakti cari mama di dapur,” kataku sambil kembali memejamkan mata. Sungguh aku masih mengantuk. Kegiatan pindahan kemarin sangat menguras tenaga. Sakti turun dari tempat tidur, lalu menghilang di balik pintu kamar.

“Mamaaa … Mama, aku mau mandi!” teriak bocah kecil itu. Tidak lama kudengar suara siraman air di kamar mandi, ditingkahi senandung Sakti bernyanyi.

Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku….”

*****

Aku baru saja akan kembali terlelap saat kusadari satu sosok berdiri di ambang pintu kamar. Amarylis. Ia memandangiku sambil tersenyum.

“Sakti mandi sendiri?” Tanyaku. Ia mengangguk lalu melangkah mendekat. Anggun sekali caranya berjalan. Di sisi pembaringan dia berdiri memandangiku lekat. Masih dengan senyum yang mengembang.

“Kenapa?” tanyaku. Tidak biasanya dia bersikap malu-malu seperti itu. Amaryllis hanya menggeleng. “Sini, temani aku di sini.” Istriku mendekat. Memelukku erat sambil mengecup dua pipiku. Matanya yang berbinar menatapku lekat. Aku balas mendekap dan menciumi wajahnya. Tubuhnya.

“Mmm … Kamu pakai parfum baru, ya?” gumamku. Rasanya sebelumnya Amarylis tak pernah memakai parfum beraroma lembut melati seperti ini.” Dia tak menjawab. Hanya tersenyum. Semakin gemas aku dibuatnya. Tapi aktivitasku terganggu oleh suara berkelontang keras dari arah kamar mandi. Aku terlonjak kaget.

“Sakti …” Aku dan istriku saling pandang.

Bergegas aku berlari ke arah kamar mandi. Jangan-jangan anak itu terpeleset. Kamar mandinya memang belum sempat kubersihkan sejak kami datang kemarin. Lantainya masih licin berlumut.

“Mas! Mas Arshaka! Tolong, ini Sakti jatuh…” Aku tertegun. Itu suara teriakan Amarylis. Tapi kenapa suaranya berasal dari dapur?

Diambang pintu kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, kulihat amarylis sedang memangku Sakti yang menggigil pucat.

“Amy,” desisku. “Bukannya kamu tadi … kita …” aku tergagap.

“Apa sih, Mas? Ini bantu anaknya!”

Walau jantungku berdebar keras, kuabaikan dulu untuk segera menolong Sakti.

“Papa, papa … “

“Sakti kenapa?”

“Sakti takut, Papa …” bisik sakti sambil melirik ke arah kamar mandi. Dia masih gemetar.

“Takut apa?” tanyaku dan istriku bersamaan.

“Nenek itu marah. Dia nggak suka dengar Sakti nyanyi lagu Bangun Tidur …”

“Nenek? Nenek Siapa?” aku dan istriku saling pandang.

“Nenek muka seram yang ada di kamar mandi. Dia galak, nggak seperti tante baik hati di kamar kita.” Katanya.

Kurasa kepalaku pening tiba-tiba.

Kamis, 19 Desember 2019

GIRI DAN JATI

Giri dan Jati
Cerpen Lily N. D. Madjid



Giri melangkah gontai, menyusuri lorong-lorong  pasar yang sepi. Toko-toko sudah tutup. Ternyata tidak mudah menjadi pemulung. Setiap pemulung sudah memiliki daerah operasi sendiri. Giri yang baru kali ini turun ke pasar berkali-kali ditegur. Mulai dari teguran pelan hingga bentakan kasar.

Begitupun dengan tempat bermalam. Tidak semua emper toko bisa dijadikan tempat melepas lelah. Empat kali Giri diusir saat merebahkan diri melepaskan penatnya. Ternyata hidup di jalan tidak semudah yang Giri bayangkan.

*****

“Kamu anak baru?”

Giri terlonjak. Dia baru saja merebahkan diri di sudut  terdalam pasar. Tempatnya sepi. Giri tidak melihat sesiapa di sana tadi.

“Ya.” Gumam Giri setelah reda dari keterkejutannya. Seorang anak duduk di bagian tergelap.

“Dari mana?”

“Aku lari dari rumah.”

“Lari?”

“Ayah tiriku pengangguran kejam. Aku tak tahan disiksa.”

“Hmmm …”

Giri memicingkan matanya. Tetapi malam mengaburkan pandangan Giri. Hanya siluet anak itu yang terlihat.

“Kamu sudah lama di sini?”

Tak ada jawaban. Samar-samar Giri melihat anggukannya.

“Namamu siapa?”

“Jati.”

“Aku Giri.” Giri mengenalkan diri. “Mudah-mudahan kamu tidak mengusirku. Aku tak kuat lagi jika harus mencari tempat lain untuk bermalam.”

“Kamu mau tidur di sini?”

“Kamu keberatan?”

“Tidak. Aku senang. Tapi tempat ini sepi sekali. Siang hari pun orang tak kemari.”

“Kenapa?”

“Kamu tidak tahu?”

“Apa?”

“Ah, ya. Kamu pendatang baru.”

“Memangnya kenapa?” Giri penasaran. Jati tak langsung menjawab. “Jati? Ayo ceritakan.”

“Nanti kamu takut mendengarnya.”

“Aku pemberani. Makanya kuputuskan meninggalkan rumah.”

“Tidak. Kamu takut pada ayah tirimu, makanya kamu lari dari rumah.” Jati terkekeh. Giri mendengus.

“Ceritakan saja. Kenapa orang-orang tak pernah lagi datang kemari.”

“Orang-orang tak berani datang kemari. Sejak … ditemukan mayat korban mutilasi di lorong ini. Hanya potongan-potongan tubuhnya saja. Kepalanya tak pernah ditemukan.”

“Ka … kapan kejadiannya?” Suara Giri bergetar.

“Sudah lama. Tapi orang-orang tak mau lagi menginjak tempat ini. Toko-tokonya saja sudah lama tutup.” Kata Jati pelan. “Hei, kamu ketakutan, ‘kan?” katanya lagi. Lalu dia terkekeh pelan.

“Tidak. Aku Cuma lelah. Aku mau tidur.” Giri berkelit. Dia rebah di lantai yang dingin. Meringkuk seperti bayi agar tak kedinginan. “Kamu belum mengantuk?” tanyanya. Jati tidak menjawab. Giri malah mendengarnya bersenandung pelan.

Topi saya bundar,
Bundar topi saya
Kalau tidak bundar
Bukan topi saya

“Kenapa kamu tidak bergeser ke sini? Di situ gelap sekali.” Giri menguap. Dilihatnya Jati mendekat. Kini Giri bisa melihat lebih jelas lagi sosok Jati. Anak itu tinggi sekali. Rambutnya ikal. Kulitnya putih pucat. Atau karena penerangan yang tak memadai, maka ia terlihat pucat? Di kepalanya terlihat bertengger sebuah topi fedora berwarna putih.

“Topimu  bagus,” gumam Giri.

“Oya? aku malah tidak menyukainya. Kamu boleh ambil kalau kamu mau.” Jati memutar-mutar topi di kepalanya. “Topi ini milik lelaki itu. Aku ambil.”

“Lelaki itu?”

“Iya. Lelaki penculik yang membunuhku. Aku sempat menariknya sebelum dia menggorok leherku.” Kata Jati pelan. Giri ternganga mendengarnya. Apalagi saat dilihatnya Jati melepas topinya dan mengulurkannya pada Giri. “Ini untukmu saja.” Kepala Jati masih menempel pada topi yang kini menggeletak di lantai dekat Giri berbaring. Mulut di kepala itu bersenandung pelan.

Topi saya bundar,
Bundar topi saya
Kalau tidak bundar
Bukan topi saya

Rabu, 11 Desember 2019

TENGAH MALAM




TENGAH MALAM
Oleh Lily N. D. Madjid


Adri terjaga. Suara riuh tawa di ruang sebelah membuyarkan mimpinya.

"Ck! Kebangetan! Tengah malam begini ngakak nggak pakai peredam," gerutu Adri, menyusupkan kepalanya di antara bantal.

Suara tawa itu masih sanggup menembus gendang telinganya. Adri bangkit. Dia melangkah dengan malas ke arah pintu kamar yang tepat berhadapan dengan ruang santai kos-kosan. Dari sanalah suara tawa itu membahana.

CEKLEKK!

Diputarnya kunci kamar. Mereka yang tertawa terbahak semakin ramai. Pintu terbuka.

"Guys! Tolong... "

Adri terpana. Ruangan itu sepi tanpa sesiapa. Diingatnya tadi pagi Bima pamit mudik. Juga Andromeda dan Segara, mereka tak ada di rumah.

Jadi? Siapa yang tadi tertawa?

TERUSIR



TERUSIR
Oleh Lily N. D. Madjid

TRING!
Satu pesan masuk. Dari nomor dengan foto profil perempuan berwajah cerah.
[Kamu saya kick dari kosan]
[Bukos? Apa salahku?]
[Selalu nunggak iuran. Jarang setor tulisan. Tak pernah krisan tulisan penghuni lainnya!]
[Tapi... Saya rajin baca semua tulisan, Bukos.]
[Ini grup nulis! Pokoknya, kamu keluar!]
[Tolong beri kesempatan ke dua. Please!]
Tak ada balasan. Hanya notifikasi dari WAG menulis yang kuikuti, katanya admin telah mengeluarkanku.
***
"Bun, kok tidur?"
Aku tersentak saat anakku menepuk bahuku pelan. Kupandangi layar monitor di hadapanku. Menampilkan lembar kosong MSWord. Kulirik sudut layar, 20.50 WIB. Oh, tidak! Aku belum setor FFF hari ke sembilan!

BANTUAN




B A N T U A N
Oleh Lily N. D. Madjid

Bima tersentak saat Adri mendadak memasuki kamarnya.
“Gawat, Bim!”
“Gawat?”
Bokap marah-marah. Dia mau gue bawa calon istri di ultahnya ke 60.”
“Begitu? Santailah.”
Gimana bisa? Ultah bokap lusa. Lu kan tahu, gue jomblo merana …”
Waduh? Dadakan gitu?”
“Gue terancam dicoret dari daftar ahli waris kalo nggak bisa menuhin permintaannya!
“Tenang. Gue bantu.”
Lu bisa cariin?”
“Aman, Bro.” Bima mengedipkan matanya, tersenyum lebar.
***
Adri selesai mematut diri saat terdengar ketukan di pintu kamarnya. Seseorang berwajah cantik tersenyum manis saat pintu dibuka.
Lu udah siap, Bro?” Sapanya. Adri yang tadi sempat terpana, kini ternganga.
Astaga! Ini elu, Bim?”

Minggu, 08 Desember 2019

J A N I

J A N I
Cerpen Lily N. D. Madjid
Jumlah kata: 1521


 “Jani mau pergi aja!”

 BRAKKK!

Jani meninggalkan rumahnya setelah dia membanting pintu. Wajahnya ditekuk. Ya, Jani sedang sangat kesal. Ia kesal pada mama.

“Mama menyebalkan! Pilih kasih!” Gerutunya. Dihentakkan kakinya ke lantai sambil terus berjalan. Dia biarkan saja kaki itu membawanya tanpa tahu akan ke mana.

Akhirnya Jani tiba di tanah lapang. Sepi. Biasanya di sana ramai dengan anak-anak yang bermain. Tapi siang ini sepertinya mereka lebih memilih berada di rumah masing-masing.  Wajar saja, cuaca sangat panas. Matahari pun bersinar sangat terik.

Tapi Jani sedang tidak ingin di rumah. Di sana Mama selalu menyuruhnya ini dan itu. Menyuruh mengambilkan  popok Juna, mengambilkan botol susu Juna, menyuruhnya agar jangan mengganggu Juna, jangan berisik, Juna sedang tidur, jangan mengganggu mama, dan lain-lain. Pokoknya di rumah menyebalkan.

Sekarang, Jani duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya di bangku taman di tepi tanah lapang. Sebenarnya Jani bingung akan ke mana setelah ini. Teman-teman tak satu pun yang terlihat. Kembali ke rumah? Ih! Jani kan tadi sudah bilang mau pergi saja. Mau minggat, biar saja Mama tahu rasa. Coba, apa Mama bakal sedih kalau kehilangan Jani?

“Jani!”

Satu suara yang sangat Jani kenal memanggil. Jani menoleh. Di tepi jalan, seseorang duduk di atas jok motor sambil melambai. Jani tersenyum lebar. Kekesalannya pada mama sejenak terlupakan.

“Paman!” Serunya sambil berlari ke arah orang itu. Rupanya itu Paman Aril, adik bungsu mama. Paman Aril tersenyum, membantangkan tangannya lebar-lebar menyambut Jani.

“Wah, kesayangan paman kok di sini sendirian? Sedang apa? Pulang yuk.”

“Gak mau! Jani lagi sebal sama mama. Jani gak mau pulang!”

“Lho, kok bisa sebal sama mama?”

Jani pun menceritakan penyebab kekesalannya. Paman Aril tertawa kecil. Ia mengacak-acak rambut Jani dengan gemas.

“Kalau begitu, kita jalan-jalan, yuk,” ajak Paman. Ia membantu Jani naik ke motor. “Pegangan kuat-kuat. Peluk paman.”

Motor yang dikemudikan Paman Aril melaju. Mula-mula menyusuri jalan di tepi tanah lapang, kemudian ke luar gerbang perumahan, menyusuri jalan raya. Jani senang sekali, sudah lama Paman tidak mengajaknya jalan-jalan seperti ini.

Paman Aril adalah paman kesayangan Jani. Dia tinggal dengan nenek, di desa sebelah. Kata Mama, saat ini Paman Aril sedang kuliah. Sebentar lagi akan jadi sarjana. Jani juga ingin jadi sarjana seperti Paman Aril. Pasti keren sekali, 'kan? Lihat saja, Paman Aril juga sangat keren. Dia tidak pernah marah-marah seperti Mama. Paman Aril malah sering membelikan Jani es krim, cokelat, dan kue-kue kesukaan Jani. Paman Aril juga sering mengajak Jani jalan-jalan. Seperti sekarang ini. Ah, pokoknya Jani sayang Paman Aril.

“Kita mau ke mana, Paman?” Seru Jani, mengatasi bisingnya deru kendaraan di jalan. Diketatkannya pelukan di pinggang Paman Aril.

“Putar-putar saja.”

Cukup lama mereka menyusuri jalan raya. Jani senang melihat-lihat segala keramaian di jalan itu. Di dekat sebuah jalan layang, Paman Aril melambatkan laju motornya. Ia menuju ke kolong jembatan layang itu. Ternyata di kolong jalan layang ada sebuah taman. Di dekatnya ada satu area penjual makanan. Paman Aril mengajak Jani ke sana.

Walau berlokasi di kolong jalan layang,  tetapi tempat ini nyaman sekali. Sejuk dan bersih. Banyak orang duduk-duduk di sana sambil menikmati makanan yang mereka beli. Paman Aril dan Jani juga memesan makanan. Semangkuk mie ayam ceker pedas untuk Paman Aril, dan bakso telur jumbo tanpa mie kesukaan Jani. Tidak lupa dua gelas air jeruk peras panas untuk mereka berdua.

Saat sedang asyik menghabiskan makanannya, seorang anak lelaki seusia Jani mendekat. Dia memanggul karung besar di punggungnya. Pedagang makanan menunjuk seonggok sampah plastik di sebuah tong besar. Anak lelaki itu mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam karung yang ia bawa.

Jani terus makan sambil matanya memperhatikan aktivitas anak lelaki itu. Setelah makanannya habis, Jani mendekatinya. Paman Aril hanya mengawasi saja sambil menyesap air jeruknya pelan-pelan.

“Kamu sedang apa?” Tanya Jani. Bocah lelaki itu tersentak kaget. Menoleh lalu nyengir lebar pada Jani.

“Seperti yang kamu lihat. Mengumpulkan ini.” Anak itu menunjuk ke gundukan sampah plastik yang sebagian besar terdiri dari wadah-wadah bekas air kemasan.

“Memangnya itu untuk apa?”

“Aku jual. Nanti dapat uang.”

“Untuk apa uangnya?”

“Ya untuk apa saja. Bisa untuk beli beras, untuk beli makan. Kadang bapakku juga minta uang dari aku untuk beli rokok.”

“Hah?” Mata Jani terbelalak.

“Iya. Kenapa?”

“Kenapa bapakmu minta uang dari kamu? Kalau aku, papaku yang beri aku dan mama uang.”

“Bapakku 'kan nggak kerja.”

“Kan dia bisa minta sama ibumu. Kenapa minta sama kamu?”

“Emakku sudah meninggal. Kata bapak, emak meninggal gara-gara aku. Dia meninggal sesudah melahirkan aku.” Suara bocah itu terdengar serak. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya yang tiba-tiba saja basah.

Jani termangu. Hatinya jadi ikut sedih melihat air yang menggenang di mata bocah lelaki itu. Dalam hati dia heran dan bertanya-tanya. Apakah benar anak lelaki itu yang menyebabkan kematian emaknya sendiri? Tapi tampang anak itu tidak seperti anak yang jahat.

“Kata mamaku, merokok bisa bikin sakit paru-paru, lho. Kamu jangan mau kalau bapakmu minta uang untuk beli rokok.” Jani berusaha mengalihkan pembicaraan, berharap teman barunya itu tak lagi bersedih.

“Bapakku galak. Kalau aku nggak kasih uang, dia bisa pukul aku.” Bisik anak itu takut-takut.

“Oh?” Mata Jani membelalak. Di rumah, mama memang cukup galak. Tapi mama tidak pernah memukul. Apalagi papa. Malah semua yang Jani inginkan selalu saja dituruti oleh papa, yeah, walau kadang-kadang itu membuat mama marah juga.

“Kadang-kadang aku berpikir ingin ikut emak saja ke surga. Katanya di surga itu enak, nggak ada kesusahan, nggak ada kesedihan, nggak akan ada yang marahin kita. Tapi, setiap aku bangun tidur, masih juga aku ada di sini, di sebelah bapakku yang galak seperti macan.” Kata anak itu. Wajah kumalnya terlihat sayu. Jani memandangnya dengan iba.

Tiba-tiba, seorang lelaki, yang mungkin seusia Paman Aril, datang menghampiri. Badan tegapnya yang berkulit hitam nyaris tertutup tatto. Dia memandang galak ke arah bocah lelaki itu. Jani ketakutan. Bocah lelaki itu juga. Dia gemetaran.

"Bagus!" Sentak lelaki bertatto itu. Suaranya menggelegar. Orang-orang yang sedang makan di sana serentak menoleh. Paman Aril berdiri sambil memandang ke arah Jani. Dia terlihat siaga. "Jadi begini kerjaan Lu? Hah? Ngobrol santai saat Lu seharusnya kerja?"

Lelaki itu menarik tangan si bocah lelaki dengan kasar. Bocah itu tersungkur. Hampir saja dia menabrak gerobak mie ayam. Orang-orang menjerit tertahan. Sebagian hanya dapat memandang dengan tatapan kasihan. Paman Aril mendekat perlahan.

"Elu? Kenapa ganggu dia kerja?" Kali ini dia menuding Jani. Jani gemetar dibentak seperti itu. Dia menoleh ke arah Paman Aril yang sudah mendekat. Mengharap pertolongan.

"Pamaaan ..." rengek Jani. Paman Aril meraih tangan Jani dan berdiri di antara Jani dan lelaki bertatto itu.

"Ada apa ya, Bang?"

"Ooo...  Jadi lu bapaknya bocah itu, hah? Tolong lu ajar anak lu ya, gak usah ganggu anak gua. Dia lagi kerja! Ngarti lu?" Maki lelaki itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Paman Aril. Jani khawatir setengah mati, takut orang itu memukul Paman.

"Dia cuma mau berteman dengan anak, Abang. Bukan mau ganggu."

"Kagak perlu! Anak gua kagak pernah gua bolehin main. Dia kudu kerja. Ngarti lu? Sekali lagi gua lihat anak lu deketin anak gua, tahu sendiri akibatnya!"

Paman Aril terlihat akan menimpali ucapan laki-laki itu lagi, tapi dilihatnya Jani begitu ketakutan. Akhirnya paman memilih mengajak Jani menyingkir dari hadapan laki-laki menakutkan itu. Si lelaki menyeringai mengejek, lalu menatap galak ke sekeliling. Kemudian dia mendekati anaknya yang masih ketakutan di dekat gerobak mie ayam.

"Heh! Elu, awas kalo nanti-nanti gua liat lu asyik ngobrol lagi. Bukannya kerja yang bener. Pantes aja makin hari duit yang lu bawa makin sedikit. Rupanya gini kerjaan lu, hah?" Ditempelengnya kepala si bocah. Beberapa perempuan yang ada di sana setengah menjerit.

Air mata Jani sudah bercucuran sejak tadi. Dia sedih dan takut melihat  semuanya.  Dipeluknya lengan Paman Aril kuat-kuat.

"Paman ... Ayo pergi dari sini." Jani merengek pada pamannya.

Paman Aril menarik nafas dalam. Sebenarnya dia masih berjaga-jaga, ingin menolong bocah lelaki itu jika bapaknya berbuat lebih jauh lagi. Begitu dilihatnya si bocah lelaki kecil pergi mengikuti langkah bapaknya, sambil menyeret-nyeret karung yang sarat berisi, Paman Aril menggandeng lengan Jani meninggalkan tempat itu setelah membayar makanan mereka.

Motor Paman Aril kembali melaju di tengah keramaian jalan. Memasuki gerbang komplek, dan kembali ke bangku taman di tepi tanah lapang. Jani dan Paman Aril turun. Mereka duduk di bangku itu. Jani menyeka sisa basah di matanya.

"Paman," katanya.

"Ya?"

"Menurut Paman, apa yang akan terjadi pada anak lelaki tadi?"

"Paman tidak tahu, Jani. Tapi semoga Allah selalu melindunginya. Semoga bapaknya dilembutkan hatinya," kata Paman Aril, lalu menarik nafas dalam-dalam. Mata Jani basah lagi.

"Aamiin." Jani memejamkan matanya. Benar-benar berharap anak laki-laki tadi tidak diapa-apakan oleh bapaknya yang galak. Berharap bapak anak itu benar-benar bisa berubah menjadi lembut seperti harapan Paman Aril tadi.

Setelah itu, Jani jadi memikirkan mamanya. Tiba-tiba saja Jani menyesal sudah marah-marah pada mama., sudah kesal, sudah merajuk dan berpikiran buruk tentang mama. Padahal, yang Mama minta untuk Jani lakukan tidak seberat yang harus dilakukan anak lelaki tadi, yang entah siapa namanya. Mama hanya meminta Jani menolong mama melakukan hal-hal kecil saja. Ah, Jani sungguh-sungguh menyesal telah bersikap seperti buruk pada Mama. Jani berjanji di dalam hatinya, nanti dia akan meminta maaf pada Mama. Ya, Jani berjanji.

“Paman, kita pulang, yuk.”

“Eh? Katanya lagi sebal sama mama?”

“Sudah, Paman. Jani sudah nggak marah lagi sama mama.” Sahut Jani.

Paman Aril tersenyum. Tidak lama kemudian, Jani sudah duduk di atas motor Paman Aril yang melaju santai menuju arah pulang.

***Tamat***

*cerpen 'Jani' pernah diikutkan dalam sebuah event, tapi tidak lolos karena kelebihan jumlah kata.
** untuk event NAD anak, 'Jani'telah mengalami revisi, dari 713 kata menjadi 1521 kata.
*** Direvisi dan diselesaikan pada dini hari, 8 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction day 8

#44_NAD_FFF_8_RestoranDiUjungJalan
Jumlah Kata: 99


T  R  A  K  T  I  R
Oleh Lily N. D. Madjid

"Katanya restoran di ujung jalan itu enak, loh."

"Oya?"

"Kawan-kawanku sudah coba."

"Mmmm ..."

"Kapan Abang ajak aku?"

"Euu ..."

"Ulang tahunku?"

"Errr...  Boleh."

***

"Abang, sudah tanggal tiga puluh."
 
"Lalu?"

"Hari apa?"

"Sabtu."

"Abaaang! Ini hari ulang tahunku. Ayo tepati janji."
***

"Kumau kepiting lada hitam, cumi saus padang, kerang tauco, ikan bakar rica-rica, tumis bunga pepaya dan lemon jus. Sudah lama ingin makan itu. Kasihan jabang bayi kalau nggak dituruti. Abang pesan apa?"

"Terserah."
***

"Benar-benar enak, bikin Abang kalap, tambah tiga kali."

"Sebal, ah! Lihat aku harus cuci segunung piring kotor. Huuuu!"

"Maaf, Dek, tanggal tua..."

Sabtu, 07 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 7

#44_NAD_FFF_7_Kemarin
Jumlah Kata: 99




M E N U A   B E R S A M A
Oleh Lily N. D. Madjid


Selamat pagi, Cinta! Ah, kaumasih terlelap. Bangunlah! Azan subuh telah berkumandang.

Kemarin-kemarin, biasanya kamu yang membangunkanku. Belaian lembut di pipi, sebuah kecupan, aroma kopi yang menguar, mengawali hari-hari kita.

Kini, selalu aku yang terbangun lebih dulu. Memandangi nafas yang kauembus satu-satu. Begitu tenang kau dalam tidurmu. Begitu cantik. Lalu kubelai lembut rambutmu yang memutih.

Seperti  kaupinta, kita menua bersama. Padahal seperti baru kemarin kuterima kamu dari walimu saat mengucap akad itu.

"Bangunlah, Cinta," bisikku lembut di telingamu.

Matamu perlahan membuka. Sesaat kautatap aku lekat-lekat. Lalu terperanjat dan refleks menyambar tongkatmu.

"Siapa kamu? Berani-beraninya memasuki kamarku!" Kauacungkan tongkat itu mengancamku.

Jumat, 06 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 6

#44_NAD_FFF_6_Cake
Jumlah kata: 99


CAKE KEJU UNTUK ARA
Cerpen Lily N. D. Madjid



Ara selalu menatap cheesecake display toko roti setiap kami melintasinya.

"Ara mau itu."

Tak mungkin. Untuk makan saja kami kesulitan. Kalau kupunya uang seharga cake itu, baik kugunakan untuk mencukupi kebutuhan kami seminggu.

Ara merajuk. Aku bersusah-payah membujuknya.

"Abang belum ada uang. Siang ini Abang kerja di kebun singkong Haji Amir. Mudah-mudahan dapat upah besar."

"Benar,  Bang?" Ara berbinar.
*

"Ara!"
"Wuooow! Abang bawa cake."

Ara segera memotong cake, menggigitnya besar-besar. Tiba-tiba dia mengernyit memandangi cake itu.

"Ara baru tahu, rasa cake ternyata seperti getuk. Kejunya, apa terbuat dari kelapa muda, Bang?"

Aku tergugu. Menyeka mata yang tiba-tiba basah.

Kamis, 05 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 5

#44_NAD_FFF_5_Sambal
Jumlah kata: 99


SAAT MAKAN MALAM
Oleh Lily N. D. Madjid


Menemani putra semata wayangku makan malam selalu menjadi momen penting. Aku bisa berbincang. Seperti malam ini, kuajak ia bercerita tentang hari ini. Dia lebih banyak mendengarkan. Begitulah dia, tak banyak kata seperti mendiang ayahnya.

Kumanfaatkan waktu untuk memberinya petuah-petuah. Dia mengangguk-angguk. Kukatakan di usia senjaku ini, hanya kebahagiaannya yang ingin kulihat sebelum aku meninggalkan dunia fana. Suaraku bergetar saat mengucapkan itu. Kulihat wajahnya juga memerah. Riak bening mengambang di matanya. Kusodorkan sehelai tissue.

"Sudah, sudah ...  Jangan bersedih. Lanjutkan saja makannya."

"Err ... Maaf, Mama. Aku tak kuat menghabiskannya. Sambalnya terlalu pedas," katanya, mendorong piring yang masih berisi setengah.

Rabu, 04 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 4

#44_NAD_FFF_4_Berharga
Jumlah kata: 98


R   O   N   D   A
Oleh Lily N. D. Madjid


Membosankan! Malam ini aku kena giliran ronda. Hal yang tak kusukai karena mengganggu aktifitas malamku.

"Apa yang paling berharga bagi kalian?" Parto memulai percakapan.

Pertanyaan rumit bagi duda yang hanya tinggal berdua dengan seorang pembantu sepertiku.

"Keluarga," jawab Arif diamini oleh lima orang lainnya. Sudah kuduga.

"Menurut Pak Luckynut?" Parto menoleh ke arahku.

Kuhela nafas dalam-dalam sebelum menunjukkan benda berharga yang selalu kubawa-bawa selama ini.

"Lilin?"

"Ya. Inilah hal berharga yang harus selalu kujaga," kataku. Kupandangi lima wajah penuh tanya di depanku. "Sudah terbukti, saat malam itu aku mengabaikannya, istriku meregang nyawa dihabisi massa."

Krik, krik, krik ...

Selasa, 03 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 3

#44_NAD_FFF_3_Tissue
Jumlah kata: 100
Tema: Tissue



P E N C U L I K A N
Oleh Lily N. D. Madjid

"Bocah itu di peternakan sekarang. Cepat bereskan!"

"Siap, Boss"

Aku meluncur ke tempat tujuan. Bocah itu memang di sana. Di deretan kandang ayam. Aku mengendap-endap mendekatinya. Dia tak melihatku. Kutuangkan obat bius ke tissue basah yang sudah kusiapkan.

Aku semakin mendekat. Bocah itu masih terpaku menatap ayam-ayam.  Astaga, joroknya. Kotoran ayam di mana-mana. Memuakkan. Aku mual. Kututup hidungku dengan dua tangan. Aroma kuat terhirup seketika.

Pandanganku memburam. Bumi yang kupijak seakan berputar. Kulihat bocah itu menjerit kaget.

"Pamaan, ada orang pingsan!"

Sebelum hilang kesadaran, kulihat seorang lelaki paruh baya tergopoh-gopoh datang. Dia mendekat dan memakiku pelan.

"Dasar, amatiran" desisnya kesal.

Senin, 02 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 2

NAD Fun Flash Fiction hari ke dua.
Tema: Pertama Kali



#44_NAD_FFF_2_PertamaKali
Jumlah kata: 100

PULANG

Aku seorang pengembara, yang lama terdampar di perantauan. Bekerja, berjuang, berjibaku, berharap kelak dapat menikmati kenyamanan.

Sedikit demi sedikit, semua kuraih. Berharap dapat kubawa untuk hidup yang tenang kemudian.

Hingga akhirnya tiba waktu untuk pulang. Mengapa aku sedikit gamang? Mungkinkah karena ini kepulanganku yang pertama setelah berpuluh tahun aku berada di negeri yang bahkan telah kuanggap sebagai rumah?

"Selamat jalan," kata mereka yang mengantarku.

Aku kelu. Membeku.  Hanya memandangi jalan yang terasa asing dalam pandangan.

Di perbatasan, dua orang yang tak pernah kutemui menyambut. Salah satunya mengajukan pertanyaan yang sepertinya sering kudengar.

"Man Robbuka?" Tanyanya, dan aku gemetar ketakutan.

Minggu, 01 Desember 2019

Arsip Pribadi Event NAD Fun Flash Fiction Day 1

#45_NAD_FFF_1_Cermin
Jumlah kata: 98



REFLEKSI

Cermin itu menarikku untuk berdiri di depannya. Tetapi aku tak berani. Aku selalu takut untuk melihat diriku di cermin.

Cermin tak pernah merefleksikan diriku yang sebenarnya. Seringkali buram. Cermin-cermin lain bahkan menampilkan pantulan aneh. Kadang mulutku membesar, mataku hanya sebelah, telingaku hilang atau lidahku memanjang. Sejak itu, aku selalu takut untuk bercermin.

Tapi cermin ini, memantulkan setiap detil bayanganku sama persis dengan keadaan sebenarnya. Membuatku lega. Kiranya Tuhan menjawab doa-doaku. Dia mengirimkan cermin jernih padaku.

Hatiku riang melihat gambaran diriku di cermin. Tapi kulihat ada aku yang lain terbaring, memandang nanar ke arah cermin, diiringi tangis dan talqin.

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...