Jumat, 11 Oktober 2019

TAK LEKANG OLEH WAKTU

TAK LEKANG OLEH WAKTU
Cerpen Lily N. D. Madjid




Mata tua itu berbinar. Senyum simpul tak lepas dari bibirnya yang sedang mengalirkan kisah dari masa lalu. Bersamaan dengan itu, tangannya tetap lincah menyiangi sayuran di atas tampah.

Aku yang saat itu mendengarkan ceritanya ikut tersenyum. Memandang lekat wajahnya yang jelas sekali memancarkan rona bahagia.

Sebenarnya aku tidak terlalu memperhatikan lagi alur kisah yang sedang ia ceritakan. Karena ini bukan kali pertama aku mendengarnya. Aku lebih tertarik untuk mengamati raut wajahnya saat bercerita.

Dia induk semangku. Pemilik rumah kost tempat aku tinggal. Kami biasa memanggilnya Uti, karena begitulah ia ingin kami memanggilnya. Panggilan singkat dari eyang uti atau eyang putri.

Usia Uti tidak muda lagi, tentu saja. Pertengahan enam puluh, kukira. Bisa jadi lebih. Ia berpostur sedang, cenderung gemuk. Rambut beruban di kepalanya mulai menipis. Selalu digelungkan di puncak kepala.

Ia juga selalu rapi. Selalu mengenakan mantel harian berwarna merah bata yang mulai kusam melengkapi daster batiknya.

Uti sangat senang bercerita. Terutama tentang kisah hidupnya. Setiap kali ada kesempatan ia selalu bersemangat menceritakan kembali kisah-kisahnya. Tak peduli kami--anak-anak kostnya--sudah bosan mendengar cerita yang sama, ia tetap semangat berkisah. Mengingat faktor usia, bisa saja sih, ia sudah lupa kalau ia pernah menceritakan hal itu pada kami.

Kisah yang cukup sering kudengar adalah kisahnya dengan Mbah Parto, suaminya saat ini, alias bapak kost kami.

Konon menurut Uti, ia dan Mbah Parto telah menjalin kisah kasih sejak mereka masih sangat belia.

"Dulu kalau kami pacaran tidak seperti kalian sekarang." katanya sambil tertawa. Dulu sekali, saat pertama kali menceritakan kisah ini pada kami.

"Memangnya gimana, Ti?"

"Jaman Uti dulu, kalau mau ketemu itu, diam-diam. Ndak terang-terangan macam kalian. Sembunyi-sembunyi. Malu kalau dilihat orang."

"Wah, nggak asyik dong, Ti, kalau begitu."

"Ya, begitu itu." Uti terkekeh. "Pernah aku sama bapak itu janji mau ke pantai. Kami ketemu di suatu tempat. Aku datang duluan, sudah cantik. Pakai baju putih, rambutku kujalin. Kepang dua. Ndak lama trus bapak datang, pakai sepeda. Aku diboncengnya." kata Uti.

Kuamati wajah Uti yang menunduk, ia tersipu-sipu malu. Teman-temanku riuh menggoda.

"Senang dong, Ti?"

"Yo seneng. Ada takutnya juga, takut dilihat orang. Aku kan malu kalau ketahuan berdua-duaan begitu."

"Aciee, cieeee... Uti. Trus, trus, Ti?"

"Terus ya kami ke pantai. Jalan-jalan, duduk-duduk, sudah itu pulang."

Kisah selanjutnya berdasarkan cerita Uti, tidak selalu menyenangkan. Konon orang tua Mbah Parto malah menjodohkan si Mbah dengan wanita lain. Mereka pun putus hubungan.

Mbah Parto menikah dengan wanita pilihan orangtuanya. Tidak lama Uti pun menikah dengan laki-laki lain. Aku kurang jelas juga, apakah Uti menikah karena dijodohkan atau bagaimana.

Satu hal yang jelas, mereka, Uti dan Mbah Parto berpisah, membangun keluarga masing-masing. Jarak pun ikut memisahkan mereka, sebab setelah menikah, Uti dan suaminya merantau ke pulau seberang.

Berat sepertinya. Itu dapat kulihat dari gurat wajah Uti saat kisahnya sampai di bagian tersebut. Tetapi walaupun berat, keduanya tetap mampu bertahan. Bahkan melangkah ke depan menapaki garis takdir perjalanan hidup masing-masing, meski tak sesuai keinginan.

Hidup toh harus terus berjalan, bukan? Tak bisa mereka terus berdiam, menyalahkan takdir, apalagi menyalahkan Tuhan.

Berpuluh tahun mereka berpisah. Tak pernah saling berkabar. Menjalani kehidupan mereka sendiri-sendiri. Beranak pinak. Bahkan hingga mereka masing-masing memiliki cucu.

"Sewaktu istri bapak meninggal, dia lalu mulai cari tahu keberadaanku. Dapat nomor teleponku, dan menghubungi." mata Uti kulihat menerawang.

"Lalu, Ti?"

"Waktu itu, suamiku sudah lebih dulu meninggal dibanding istri bapak. Begitu tahu aku sudah single, bapak nyusul aku ke pulau seberang."

"Ce el be ka dong, Ti." riuh teman-temanku menimpali.

"Heheheh... Apa itu celebeka?" Uti terkekeh.

"Ya elaaah, Uti. Ce el be ka, Ti, bukan celebeka."

"Trus, trus, Ti?"

"Terus opo?" Uti masih terkekeh. "Terus ya aku nikah sama bapak. Terus aku di bawa bapak ke sini. Terus ketemu kalian-kalian ini." Uti terkekeh-kekeh lalu melanjutkan aktivitasnya memasak.

Walaupun sudah sepuh, untuk urusan dapur Uti masih sangat gesit. Bahkan di rumah ini ia menawarkan diri mengurus makan harian kami para penghuni kost. Pembayarannya boleh dilakukan saat transferan tiba. Tak jarang Uti juga memberi diskon saat akhir bulan.

"Nggak usah terlalu dipikirkan." katanya suatu waktu, saat aku bertanya apa dengan begitu dia tidak rugi jadinya.

"Aku biasa mengurus cucu-cucuku di pulau seberang. Bertemu kalian mengobati rinduku pada mereka."

Aku terdiam. Segurat sendu sekejap kutemukan di matanya yang biasa bersinar.

"Sebenarnya anak-anakku ndak suka aku ke sini. Mereka bilang, untuk apa aku menikahi bapak yang sudah tua dan sakit-sakitan. Hanya menambah beban. Kata mereka, seharusnya aku di seberang saja bersama mereka. Menghabiskan masa tuaku di tengah anak dan cucu-cucuku sendiri. Bukannya mengurus orang lain di sini..."

Sejenak Uti terdiam. Kemudian ia menoleh ke arahku, menatapku dalam.

"Tapi kalau kau benar-benar mencintai seseorang, apapun akan kau lakukan, bukan?"

~Tamat~

Jumlah kata: Tidak dihitung 🤭🤭🤭

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...