#Hari_ke_1
#NomorAbsen_222
Jumlah kata : 828 kata (hanya isi)
SUATU HARI DI BAWAH TIANG LAMPU JALAN
.
"TIN TIIIN!"
Suara klakson kendaraan bersahutan. Jalan raya di depanku tampak begitu padat, seperti biasanya. Kendaraan roda empat besar dan kecil berjejal-jejal memadati ruas-ruasnya. Macet. Belum lagi roda dua yang menyelip mengisi setiap celah yang tersisa, menambah keruwetan yang sudah tercipta.
Aku selalu saja menjumpai pemandangan seperti ini. Setiap hari. Tidak pagi, siang, sore, bahkan di malam hari. Menyaksikan kesemrawutan dan kekacauan yang biasanya lama sekali baru akan terurai. Ah, mengapa mereka tidak diam saja? Tak tahukah mereka, suara memekakkan dari klakson-klakson itu bisa saja membuat seseorang menjadi gila.
Orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar pun sama padatnya dengan kendaraan yang merayap di jalan. Sebagian terlihat cukup santai. Mungkin mereka memang sedang menikmati waktu luang dengan berjalan-jalan. Terkadang ada juga yang kulihat melangkah perlahan sambil bergandengan dengan pasangan. Sebagian yang lain bergegas. Seperti dikejar atau mengejar waktu, atau entah apa yang mengejar atau mereka kejar itu. Aku tak pernah bisa mengerti. Seringkali aku bertanya-tanya sendiri, apa nikmatnya menjalani hidup yang penuh ketergesaan seperti itu?
Sebagian kecil lainnya lagi akan kulihat duduk-duduk di bangku-bangku yang berjajar di sisi jalur pedestrian ini. Seperti yang saat ini kulihat, di salah satu bangku yang berada tak jauh dari tempatku berdiri, seorang lelaki dan perempuan makan es krim stroberi berdua. Mereka duduk menatap jalanan yang sibuk.
“Aku tak bisa begini, terus,” ujar si lelaki, mengeluh.
Ia menoleh pada perempuan di sampingnya yang juga mengalihkan perhatiannya dari arah jalan. Sesaat mereka bertatapan, lalu si perempuan menunduk. Aku tak dapat menangkap suaranya. Hanya saja kulihat, tak lama kemudian bahunya bergetar.
Awalnya kupikir yang ini cukup romantis. Lihat saja, di sela kesemrawutan seperti ini, mereka masih bisa menikmati setitik kelezatan yang manis. Namun, setelah dilihat lebih cermat, malah terasa agak aneh menyaksikan mereka berdua-duaan sambil menikmati es krim di tengah segala keriuhan dan hiruk-pikuk jalan. Mengapa mereka tidak mencari tempat yang lebih tenang? Di taman kota, misalnya. Pun saat melihat raut keduanya yang terlihat sangat muram, orang-orang yang melihat pasti akan mengerutkan kening semakin dalam karena heran.
Ooo ... ternyata ini hanya salah satu fragmen sedih lain yang berurai air mata.
Biarkan aku menduga. Mmm ... bisa jadi mereka sepasang kekasih yang sedang menghadapi ujian cinta yang cukup besar. Mungkin, keduanya sama-sama tidak mendapatkan restu dari orang tua. Mungkin juga, mereka berdua pasangan yang sedang menjalin hubungan terlarang. Atau bahkan mungkin, mereka itu sebenarnya hanya dua bersaudara yang sedang memikirkan masalah dalam keluarga mereka bersama-sama.
Semua kemungkinan itu mungkin saja 'kan? Toh, apa sih yang tidak mungkin terjadi di sisi jalan yang padat dan ramai seperti ini?
Tidak percaya?
Dengar, aku pernah menyaksikan sebuah mobil yang tiba-tiba saja menyeruduk orang-orang yang sedang berjalan di jalur pedestrian. Sopirnya mabuk. Orang-orang tewas seketika. Mayat-mayat mereka bergelimpangan.
Aku juga pernah melihat jambret yang dihajar massa, setelah ia tertangkap karena mengambil dompet ibu-ibu paruh baya yang baru saja keluar dari bank di seberang jalan sana. Satu orang berteriak menyuruh yang lain membakar si jambret. Provokasi yang segera saja disambut teriakan-teriakan bar-bar dari orang-orang lainnya. Seperti api yang menyambar bahan bakar, semua orang larut tersulut amarah. Untung saja petugas segera datang. Nyawa si jambret pun tak jadi melayang.
Suatu waktu, pernah juga kulihat sebuah sedan mewah yang tiba-tiba saja berhenti. Penumpangnya, seorang perempuan muda, ke luar membanting pintu, sambil mulutnya mengeluarkan makian-makian. Seorang lelaki menyusul keluar dari pintu yang bersebrangan. Juga dengan amarah yang sama yang terpancar dari matanya yang menatap nyalang (aduh, mengapa banyak sekali kuucapkan kata 'yang'?). Ah, penampilan yang mewah dan elegan ternyata tak cukup menjamin seseorang dapat bersikap elegan juga rupanya.
Peristiwa-peristiwa lain yang bahkan tak bisa lagi kusebutkan saking banyaknya, juga selalu kusaksikan di sisi jalan padat ini. Sebab memang selalu saja ada peristiwa-peristiwa yang begitu asik untuk kuamati. Peristiwa-peritiwa yang selalu saja melintas di hadapanku. Peristiwa-peristiwa yang terlalu sayang untuk dilewatkan.
Tidak semuanya semenyeramkan yang tadi telah kuceritakan. Tidak. Ada juga peristiwa-peristiwa yang mengharukan, menyedihkan, menyebalkan, menggelikan, menjijikan, menakjubkan, juga peristiwa yang membuatku ingin tertawa sekeras-kerasnya, walau aku tak bisa melakukan itu. Bahkan, ada juga peristiwa yang biasa-biasa saja, sampai-sampai aku bingung harus bagaimana meresponnya.
Kuduga kau pasti akan bertanya-tanya, mengapa aku seperti tak ada pekerjaan saja mengamati semua hiruk pikuk yang terjadi di jalan ini. Iya 'kan?
Yah, bukannya tidak ada pekerjaan atau apa, tetapi semuanya memang selalu terjadi di hadapanku, di sini. Aku pun selalu menyaksikannya dari sini, di sisi jalan padat ini. Semua melintas cepat seperti fragmen-fragmen yang diambil dari sebuah maha karya besar bernama kehidupan. Bagiku jalan ini memang ibarat miniatur kehidupan dunia dengan segala kerumitannya, dengan segala kesibukannya, dengan segala keberagamannya, dengan segala tetek bengek dan ingar bingar di dalamnya.
Aku sendiri, tentu senang diberi kesempatan untuk menyaksikan semua itu. Kuanggap semua semata-mata sebagai hiburan bagiku, yang selamanya harus selalu tegak di sini, di sisi jalan ini. Menjalani kehidupanku sendiri, sekaligus menjalankan tugas mulia yang kuemban.
Hei! Sudah sepanjang ini aku bercerita, tetapi kita belum juga berkenalan, bukan? Kalau begitu perkenalkan, orang-orang yang berlalu lalang itu selalu menyebutku, tiang lampu jalan. Ya, benar. Tiang lampu jalan. Akulah saksi hiruk pikuknya kehidupan.
*Timit*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar