#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_3
#NomorAbsen_222
Jumlah kata : 979 kata (hanya isi)
A L I N A
.
"Andai aku menjadi--"
Gumaman di bibir pucat Alina yang tengah terbaring di atas kasur tipis terputus saat pintu kamarnya terbuka secara kasar. Nyaris saja engsel-engsel pintu itu berlompatan karena dorongan kuat dari arah luar. Di balik daun pintu yang menguak, Emak berdiri sambil bertolak pinggang. Matanya yang selalu terlihat galak memelototi Alina.
"Lagi-lagi melamun! Cepat buatkan Emak sarapan!"
Alina segera bangkit. Ia mengabaikan rasa sakit di kepalanya yang berdenyut hebat. Emak tak pernah mengenal kata menunggu. Ia pun tak ingin tangan kurus Emak mendarat di tubuh ringkihnya hanya karena ia lalai mengerjakan tugas harian.
Tidak seperti emak-emak lainnya yang penuh kasih sayang, Alina merasa emaknya begitu ringan tangan. Entahlah, mungkin ini merupakan pelampiasan rasa frustrasinya menghadapi kehidupan. Mungkin juga karena Emak sudah terlalu muak menjalani hari-hari mereka yang payah.
Bapak pergi entah ke mana saat Alina belum mampu mengingat wajahnya. Meninggalkan Emak dan dirinya dalam lubang kemiskinan. Emak harus berjibaku, berjuang, demi bertahan hidup juga membesarkan Alina yang sakit-sakitan. Kondisi inilah yang membuat Emak selalu terlihat garang. Ia bahkan membenci Alina dan mungkin menganggap kehadirannya hanya sebaga penambah beban.
Alina meletakkan sepiring nasi goreng yang masih mengepul di atas meja. Emak baru saja selesai menyusun barang dagangan ke dalam keranjang di bagian belakang sepedanya. Dia melangkah masuk, lalu duduk di satu-satunya bangku yang ada di depan meja makan kecil. Mulai menghabiskan sarapan dalam diam yang berkepanjangan.
"Bereskan semua pekerjaan rumah. Siangi sabut kelapa dalam karung di samping sana." Emak berkata datar saat sudah selesai. Alina hanya mengangguk. Dia sudah terbiasa seperti itu. Tak pernah membantah, dan tak pernah bersusah payah membuka mulutnya. Emak tidak suka. Katanya ia muak mendengar suara Alina.
Setelah Emak pergi, Alina menarik napas lega. Lebih baik bagi dirinya jika Emak berada di luar sana. Namun, bukan berarti Alina bisa bersantai. Tidak. Ia tetap harus mengerjakan semua tugas-tugasnya meski sekuat tenaga menahan sakit di kepala.
Alina menyiangi sabut-sabut kelapa di samping rumah setelah selesai dengan semua urusan rumah tangga. Ia menguraikan sabut-sabut dari kulit luarnya yang keras. Sabut-sabut itu nanti akan dianyam oleh Emak. Menjadi tambang atau keset-keset yang kemudian di jualnya di pasar kota. Jari-jari Alina mengeras dan kapalan karena pekerjaan ini, tetapi ia tidak pernah peduli.
"Alina!"
Satu suara membuat Alina sontak mendongak. Wajahnya seketika cerah. Senyum tipis tersungging dari bibir keringnya.
"Sukab!"
Alina berseru menyapa pemuda yang tadi memanggilnya. Si pemuda berjalan mendekat. Sebuah tas punggung tersandang di pundaknya. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Tampan.
Sukab adalah teman sepermainan Alina sejak kecil. Mereka juga pernah belajar bersama di sekolah, sebelum Emak memutuskan agar Alina tinggal di rumah saja setamat sekolah menengah pertama. Sukab lain lagi, ia melanjutkan sekolahnya. Dia bahkan mulai kuliah tahun ini.
"Ini! Kubawakan pesananmu." Pemuda itu mengulurkan sebuah buku ke arah Alina. Mata Alina berbinar. Sakit di kepalanya tiba-tiba seperti terlupakan. Bibir Alina mengeja judul buku yang baru saja ia terima.
"Sepotong Senja untuk Pacarku."* Alina bergumam. Kemudian pandangannya beralih pada Sukab yang masih berdiri di depannya. "Apakah ada ...." Alina menunjuk dirinya sendiri. Sukab mengerti. Pemuda itu mengangguk.
"Seperti dalam buku-bukunya yang lain, ada nama kita di sana." Sukab menjelaskan dengan penuh antusias. Ia meminta Alina membuka satu halaman dan menyuruh Alina membacanya.
"Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain." ** Alina membaca paragraf itu dengan suara cukup kuat. Di akhir bacaannya dia menatap Sukab dengan penuh rasa takjub. "Pengarang buku ini, dia selalu menuliskan apa yang selalu kupikirkan, Sukab. Bagaimana bisa?"
Sukab hanya mengedikkan bahunya. Namun wajahnya menampilkan satu senyuman lebar.
Ini adalah buku yang ke sekian dari pengarang yang sama, yang dipinjamkan Sukab pada Alina. Ia menyukai semua karya pengarang itu. Alasan pertama, karena pengarang itu sering menggunakan nama Alina juga Sukab sebagai tokoh pada cerita-ceritanya. Tidak selalu, tetapi cukup sering. Alasan ke dua, Alina merasa buku karya pengarang itu menakjubkan, karena menuliskan apa yang sering muncul dalam pikirannya. Selain itu, Alina memang menganggap cerita-cerita yang ditulis oleh si pengarang memang selalu menarik.
"Sukab! Bolehkah aku bertemu dengan pengarang buku ini?"
"Hah? Untuk apa?"
"Ingin bertemu saja." Mata Alina terlihat berbinar saat mengucapkannya.
"Dia mungkin orang yang sangat sibuk."
"Jadi, aku tidak bisa menemuinya?"
"Mmm ... aku tidak tahu, tapi, akan kucari informasinya," kata Sukab akhirnya. Ia tak ingin mengecewakan sahabatnya.
*** *** ***
Emak murka saat suatu hari ditemukannya Alina sedang khusyuk dengan bukunya. Direbutnya buku itu, dilemparkan ke luar jendela. Ketika Alina berteriak tertahan menyaksikan buku kesayangannya melayang, Emak malah menjambak rambutnya.
"Kau habiskan waktumu dengan benda itu? Anak tak tahu diuntung, tak berguna! Kau lihat rumah masih berserak, makanan tak ada, pakaian kotor menumpuk dan sabut-sabut itu belum kau sentuh! Kau malah asyik membaca! Siapa yang memberimu benda itu?" Tangan Emak berulang mendarat di tubuh ringkih Alina.
Kini Alina memutuskan untuk diam. Ditahannya rasa sakit yang timbul akibat hantaman tangan Emak ditubuhnya. Ya, dia menyadari, kali ini adalah kesalahannya. Tadi ia lupa waktu saat membaca buku itu.
Alina mengatupkan mulutnya kuat-kuat. Emak semakin geram. Ia teramat kesal. Apalagi melihat Alina yang bungkam. Akhirnya Emak menghentakkan kaki kemudian pergi setelah menyorongkan tubuh Alina.
Esoknya Sukab mendapati banyak memar di tubuh Alina. Ada juga lebam di wajahnya.
"Alina--"
"Sukab, aku betul-betul ingin bertemu dengan si pengarang." Alina menyela kalimat Sukab. "Aku benar-benar ingin menjadi ... tokoh dalam ceritanya." Air mata Alina mengalir deras. Sukab mengernyitkan dahi tak mengerti.
"Alina?"
"Aku benci hidupku, Sukab. Aku benci penyakitku. Aku benci kemiskinan ini. Aku benci kemarahan Emak yang harus kutampung setiap hari." Tubuh Alina berguncang. "Biar kutemui pengarang itu. Biar dia membuatkan cerita baru untuk hidupku. Beri tahu aku, Sukab. Beritahu aku di mana dia." Tangis Alina menghiba. Semakin keras.
Sukab terpana di hadapan Alina yang kini meraung. Belum sempat Sukab menenangkan sahabatnya, raungan Alina telah berganti menjadi tawa yang getir. Alina terbahak-bahak menertawai nasibnya. Sementara Sukab diam-diam menitikkan air mata menyaksikan Alina tertawa.
**Tamat**
*) Judul cerpen dalam buku kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Adjidarma
**) Kutipan dari Sepotong Senja untuk Pacarku, SGA
Cilame, 02 Juni 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN
KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...
-
KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...
-
SHURA dan DIMA ~cerpen Lilynd Madjid~ "Shura!" Suara seruan di kejauhan menyentakkanku dari keasyikan mengintai ikan di tep...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar