AKU INGIN PULANG
#Cerpen_LilyNDMadjid
BRAKKK!
Gayatri tergugu saat Pramudya, suaminya, membanting pintu di depan wajahnya. Perempuan dua puluh tiga tahun itu tersedu sambil memegangi kedua pipinya yang memerah. Sakit terasa. Tetapi lebih sakit lagi di sini, di dalam dadanya. Ini bukan pertama kalinya Pramudya mengamuk mencaci-maki dirinya, atau meninggalkan bekas pukulan di tubuh perempuan itu.
Pramudya memang lelaki yang temperamental. Hal-hal kecil saja mampu menyulut amarahnya. Masakan yang kurang asin, mainan anak yang berserak, dan hal-hal remeh lainnya sanggup membuatnya melontarkan kata-kata kasar. Apalah lagi saat dilihat ada chat dari lelaki lain di ponsel Gayatri.
Ya. Itulah sumber kemurkaan Pramudya hari ini. Ia mendapati pesan dari seorang lelaki di aplikasi perpesanan ponsel Gayatri. Padahal Gayatri sendiri tak tahu menahu soal itu. Ia belum sempat menyentuh benda pipih itu hari ini. Pekerjaan rumah tangga dan anak sudah cukup menyita waktunya.
“Siapa lelaki itu?” Begitu tadi Pramudya membentak dengan mata berkilat-kilat saat Gayatri sedang menyapu lantai kamar.
“Lelaki apa, Mas?”
“Jangan berpura-pura bodoh! Di belakangku kau asyik chat dengan lelaki lain rupanya!” Amarah Pramudya semakin menjadi. Kali ini jari-jarinya meraih wajah Gayatri dan menekannya kuat-kuat. Gayatri meringis menahan nyeri yang seketika menjalar di wajah. Air matanya mengalir tanpa ia inginkan.
“Aku, aku tidak--”
“Cih! Jangan menyangkal! Ini buktinya!” teriak Pramudya sambil menyodorkan ponsel Gayatri ke depan wajah pemiliknya, kemudian membantingnya ke lantai. Benda itu mendarat dengan mengeluarkan suara keras. Air mata Gayatri mengalir semakin deras.
*** *** ***
Aksana memandangi layar ponselnya lekat-lekat. Mambaca lagi pesan yang dikirimnya pada Gayatri beberapa hari yang lalu. Tanda centang dua berwarna biru sudah terlihat di sana. Tetapi, kenapa Gayatri tidak juga membalasnya? Aksana menatap lagi pesan itu.
Delapan pesan. Semuanya ia kirim dengan selang waktu beberapa jam setiap pesannya. Menunggu jawaban. Tetapi pesan-pesan itu tak berbalas. Lupakah Gayatri pada dirinya? Atau marah? Ah, sebenarnya wajar saja jika Gayatri marah atau malah membencinya. Semua ini salahnya.
Aksana mengacak rambut sebahunya. Perasaan lelaki bertubuh tegap itu campur aduk. Kesal, marah, sedih, juga rindu. Rindu pada Gayatri. Pikirannya mendadak melayang ke tahun-tahun yang telah berlalu. Berapa tahunkah? Empat? Atau lima tahun pertemuan terakhirnya dengan perempuan berwajah manis itu?
*** *** ***
Matahari mulai condong ke arah barat. Panasnya tak lagi membakar seperti saat siang tadi. Angin bertiup semilir memberikan kesejukan. Tetapi di suatu tempat, dua anak muda justru terjerat gundah. Gayatri duduk di lantai bambu sebuah dangau. Terisak-isak. Di hadapannya Aksana menunduk lesu.
“Tak ada jalan lain, aku harus pergi, Atri,” gumam Aksana serupa keluhan. Gayatri tak menyahut. Tangisnya semakin larut.
Aksana meraih tangan Gayatri. Tetapi gadis belia itu menepisnya. Aksana menarik nafas panjang.
“Benarkah tak ada jalan lain?” Terbata-bata Gayatri berkata.
“Apalagi? Aku sudah berusaha. Tapi tetap saja hasilnya tak sesuai dengan keinginan orangtuamu, kan?” gumam Aksana. Ada gurat nyeri di sudut hatinya, juga sekilat rasa terhina mengingat penolakan orangtua Gayatri saat mereka mengetahui hubungan antara dia dan Gayatri.
Aksana tahu apa yang membuat orangtua Gayatri tak menerimanya. Apalagi? Semua orang di desa itu tahu statusnya, yang hanya seorang pemuda miskin dengan orangtua yang juga miskin, hanya buruh pekerja tuan-tuan tanah di desa itu. Turun temurun hidup dalam kemiskinan belaka. Bukan pemuda seperti itu yang diharapkan orangtua Gayatri untuk dijadikan calon menantu.
Aksana otomatis tersingkir. Tak peduli sekuat apapun ia dan Gayatri saling mencinta. Kedua orang tua Gayatri benar-benar menutup semua pintu kesempatan untuk Aksana. Tapi Aksana tak mau begitu saja menyerah. Ia bertekad akan memenuhi apa yang diinginkan orang tua Gayatri.
Jika desa ini tak memungkinkan dia untuk mewujudkan semua cita-citanya itu, ibukota ia yakini bisa menjadi jalan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Terutama mimpi terbesar Aksana. Menyunting Gayatri.
Tetapi realita tak selalu sejalan dengan harapan, bukan? Itulah keadaan yang kerap terjadi. Dan begitulah yang Aksana alami. Ungkapan ibukota lebih kejam dari ibu tiri bukan sekedar ungkapan semata. Tetapi memang begitulah adanya. Ibukota yang keras dan garang telah menghempaskan mimpi-mimpi Aksana ke jurang terdalam.
Ibukota memaksanya terbungkuk dan merangkak, menahan beban demi bertahan hidup. Bertahun-tahun ia bertahan, hingga keputusasaan menyergapnya kemudian. Mencabik-cabik dan mengoyak-moyakkan keyakinan juga tekadnya yang semula baja. Keputus-asaan itu jugalah yang akhirnya mengubah Aksana, menjadi bajingan di belantara kota.
*** *** ***
Gayatri menatap lekat telepon genggam di tangannya. Terpampang pesan dari Aksana beberapa waktu lalu. Pesan yang membuat suaminya murka. Tak pernah ia balas. Untuk apa? Toh semua sudah berakhir. Walau tak dapat dipungkiri, masih ada gelenyar dalam dadanya, bercampur rasa nyeri yang samar.
“Aksana …” bibirnya mengeja tanpa suara.
Tangannya bergerak pada keypad telepon pintarnya. Gayatri ingin menghapus saja pesan itu. Toh tak ada gunanya tetap di sana. Ia tak akan pernah membalasnya. Membalas pesan Aksana sama saja mendatangkan murka Pramudya. Gayatri tak ingin itu terjadi. Ditambah lagi, Gayatri menganggap sudah tak ada lagi cerita antara ia dan Aksana.
“Semua sudah berakhir, Mas,” Bisiknya. Airmatanya menetes. Air mata yang ia benci karena membuatnya terlihat begitu lemah. Walaupun sebenarnya airmatalah yang selalu hadir menemaninya. Menemani hari-hari kelam dalam hidupnya.
Dulu, setelah mengucap janji akan segera kembali, Aksana pergi. Membiarkan Gayatri menunggunya dari hari ke hari. Hingga tahun-tahun berganti, Aksana bagai ditelan Bumi. Tak ada kabar, apalah lagi menepati janji. Gayatri hanya bisa pasrah saat orangtuanya menerima pinangan Pramudya, seorang pemuda berada yang orangtuanya keturunan priyayi. Walau kemudian ternyata, pernikahan itu tak pernah berjalan seperti yang diharapkan Gayatri.
*** *** ***
♫♪ Ramadhan tiba, ramadhan tiba, ramadhan tiba
Marhaban yaa Ramadhan, Marhaban yaa Ramadhan ♪♫
Aksana tertegun mendengar alunan lagu yang lamat-lamat sampai di telinganya. Ia ingat, Antasena adik semata wayangnya dulu sering sekali menyanyikan lagu ini setiap kali Ramadhan datang menjelang. Sudah dekatkah Ramadhan ini?
Aksana mendekati kalender yang terpaku di dinding dekat jendela kamar kontrakannya. Ah, rupanya Ramadhan memang akan segera tiba. Pantas saja. Aksana termenung, sebuah pemikiran tiba-tiba melintas di kepalanya. Apakah kali ini akan ia lewati seperti Ramadhan-Ramadhan sebelumnya? Sendiri tanpa sesiapa?
Entah kenapa tiba-tiba Aksana dilanda rindu. Ia merindukan suasana Ramadhan di kampungnya yang begitu meriah. Semua orang selalu bersuka cita menyambut Ramadhan. Anak-anak hingga orang dewasa selalu antusias pergi ke masjid malam hari. Salat tarawih, tadarus, memakmurkan masjid. Dan yang paling seru, untuk anak-anak dan para pemuda adalah saat berkeliling desa untuk membangunkan orang sahur. Ah, menyenangkan, dan ia adalah bagian dari semua itu dulu.
Ada yang membuncah di relung hati Aksana. Lima ramadhan telah berlalu. Terbayang dalam benak Aksana wajah emak dan bapaknya. Lima tahun tak berjumpa. Lima tahun tanpa berita. Seperti apa mereka kini? Sehatkah? Lalu Antasena? Tentu dia sudah besar sekarang. Tak pernah berkabar bukan karena tak ingin. Tetapi ia malu. Sebab mimpinya belum lagi tergapai. Bahkan ia malah seperti ini kini. Malu pada keluarganya juga pada … Gayatri. Ah, Gayatri. Seperti apa dia kini? Marni bilang dia sudah menikah. Biarlah. Itu lebih baik untuknya.
TOK, TOK, TOK!
Pintu terbuka saat Aksana baru saja akan membuka mulut untuk bertanya siapa di luar.
“Bro! Ngapain lu?” satu sosok tinggi kurus masuk tanpa melepas sepatunya. Langsung membaringkan diri di atas kasur yang terbentang di sisi ruangan.
“Nggak ngapa-ngapain. Lagi suntuk aja gue.” Balas Aksana tanpa semangat.
“Suntuk kenapa?”
“Aah, nggak sih. Tiba-tiba aja gue keingetan sama ortu. Udah bertahun-tahun kan, gue gak balik kampung.”
“Ahahahah … ngapa jadi melow banget sih lu? Kayak bukan laki aja.”
“Auk ah! Emang lu gak pernah apa, ngerasa kangen sama keluarga lu? Pengen pulang. Pengen ngerasain lebaran di rumah lagi,”
“Hah? Enggak tuh! Hahahah …”
“Ah, dasar lu, anak durhaka.”
“Ahahahah …Bodo amat! Eh, Bro! Kita operasi yuk.”
“Lagi males gue.”
“Ah, elu. Males lu piara. Ayolah, gua udah bokek berat ini. Kantong kosong kering kerontang. Katanya lu kangen ortu lu juga. Satu dua orang mangsa aja dah kalo lu males. Lumayan bisa buat ongkos lu mudik.
Aksana termenung. Suasana lebaran di kampungnya terbayang lagi. Senyuman emak. Tawa ceria bapak dan adiknya melintas di pelupuk mata. Akhirnya Aksana mengangguk.
“Iyalah, yuk!” Katanya kemudian. “Buat ongkos mudik,” katanya lagi dalam gumaman.
*** *** ***
. “Atri! Atri!”
“Ya, Mas.” Tergopoh-gopoh Gayatri meninggalkan dapur.
“Hih! Lama betul kalau dipanggil.” Pramudya menggerutu sambil menatap Gayatri masam. “Atri, dengar! Orangtuaku mau datang, mereka mau menginap agak lama. Mungkin berlebaran di sini.”
“Oh? Tapi Mas bilang kemarin, kita yang akan pulang.”
“Memangnya kenapa kalau orangtuaku yang datang berkunjung dan ikut berlebaran di sini? Hah? Kau nggak suka?”
“Bukan, bukan begitu, Mas. Tapi …”
“Sudah jangan banyak omong! Pergi ke pasar sana, beli semua persiapan untuk menyambut ibu bapakku. Masak makanan kesukaan mereka!”
*** *** ***
Gayatri melajukan sepeda motornya perlahan. Di balik kaca helmnya, matanya berkaca-kaca. Bukan dia tak suka mertuanya datang berkunjung. Tetapi, beberapa hari lalu Pramudya sudah sepakat bahwa tahun ini mereka yang akan pulang kampung.
Sudah empat tahun mereka tak pulang. Gayatri rindu orangtuanya di kampung sana. Beberapa waktu lalu ibunya menelpon agar Gayatri pulang menjelang Ramadhan, dan munggahan bersama mereka. Tapi kini, sepertinya niatan itu harus dikuburnya dalam-dalam.
Tiba-tiba Gayatri dikejutkan dengan munculnya satu sepeda motor yang menjajari laju motor maticnya. Lama kelamaan motor yang ditumpangi dua lelaki berpakaian hitam dengan helm fullface itu memepetnya. Jantung Gayatri berdegup kencang. Begal?
Konsentrasi Gayatri buyar. Motornya oleng lalu ia terjatuh. Satu lelaki berbadan kurus kerempeng turun menghampiri Gayatri yang masih terhimpit sepeda motornya sendiri. lelaki itu menarik tas yang masih terselempang di bahu Gayatri. Refleks Gayatri mempertahankan harta miliknya itu. Ia bahkan nekat berteriak-teriak minta tolong.
Sejenak lelaki itu panik, ia mengayunkan tinjunya ke arah wajah Gayatri. Kaca depan helm lepas dan terpental. Bibir Gayatri pecah terkena bogem mentah. Gayatri masih juga menjerit-jerit. Lelaki ceking itu semakin panik dan emosi, ia mencabut sesuatu yang berkilat dari pinggangnya, mengayunkannya ke arah Gayatri. Belati. Benda itu menancap tepat di dada perempuan yang masih sempat menjerit sebelum rebah ke bumi.
Darah bersimbah. Secepat kilat si ceking menarik lepas tas dari tangan Gayatri. Ia bergegas ke arah temannya yang pucat menyaksikan.
“Cabut, Bro!” kata si ceking, membuang tas Gayatri setelah mengambil isinya. Sebuah dompet dan ponsel.
“Dia, dia … mati?” tanya temannya. Suara lelaki itu bergetar.
“Gak tau. Cepetan cabut sebelum ada yang datang,”
“Kenapa sampai lu abisin cewek itu?”
“Cerewet lu, Bro! Buruan kabur!”
Gemetar pria di atas motor itu melajukan kendaraannya meninggalkan Gayatri yang tergeletak entah hidup ataukah mati. Entah kenapa, perasaan lelaki itu jadi kacau. Sebelumnya, ia tak pernah benar-benar melukai korban-korbannya selama ini. Namun kini, melihat belati itu menancap di dada perempuan itu, hatinya menjadi ngeri, juga cemas. Lalu wajah itu, dia seperti … pernah mengenalnya.
*** *** ***
Suara adzan berkumandang, terdengar sayup-sayup di kejauhan. Mata Aksana terpejam. setetes air jatuh di sela-selanya. Bahunya bergetar. Ia tak pulang lagi Ramadhan ini. Namun bukan itu yang membuatnya menangis. Bayangan wajah seorang perempuan dengan ekspresi kesakitan itulah yang membuatnya terguncang. Ya, ia mengenali wajah itu sekarang. Wajah Gayatri.
“Cepat menuju masjid! Tarawih berjamaah dan ada bimbingan rohani malam ini!” Suara teriakan sipir bergema di lorong-lorong bangsal tahanan. Sementara Aksana tenggelam dalam penyesalan.
****TAMAT****
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN
KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...
-
KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...
-
SHURA dan DIMA ~cerpen Lilynd Madjid~ "Shura!" Suara seruan di kejauhan menyentakkanku dari keasyikan mengintai ikan di tep...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar