Kamis, 04 Juni 2020

RUMAH SEBERANG JALAN

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_4
#NomorAbsen_222
Jumlah kata : 989 kata (hanya isi)

MEREKA TETANGGAKU:
RUMAH SEBERANG JALAN
.

Awal pagi yang selalu sibuk. Sejak pindah ke rumah ini seminggu lalu, kesibukan dan kericuhan di pagi hari memang meningkat di keluargaku. Jarak rumah yang jauh dari mana-mana membuat kami membutuhkan waktu tempuh yang lebih lama ke tempat aktivitas masing-masing, dibandingkan jarak yang kami tempuh saat masih di rumah lama.

Setiap pagi, semua orang akan bergegas ke sana, ke mari, sambil melakukan ini dan itu. Papa misalnya, sepagi ini sudah sibuk menelpon memberi berbagai intruksi pada lawan bicaranya di seberang sana.

Mama terlihat sedang panik saat aku melintasi pintu kamarnya yang terbuka. Satu tangannya mencari entah apa di laci nakas. Sementara tangan satunya memegangi pengering rambut yang berdesing di sisi kepala. Aku menggeleng takjub.

Turun ke lantai bawah, hiruk pikuk lain menyambutku. Kesibukan yang sama sudah berlangsung. Kakakku Shila ribut menanyakan di mana disimpannya entah apa pada Bi Darmi, yang juga sedang sibuk memasak sarapan. Sementara Mang Aep tampak sedang memanaskan mesin mobil yang akan digunakan untuk mengantar Mama ke kantor. Lagi-lagi aku menggeleng. Sepagi ini? Bahkan ayam jantan di kejauhan belum berhenti berkokok.

Sepertinya hanya aku yang agak santai di rumah ini. Tidak sepenuhnya santai sih. Hari ini aku ada kuliah pagi, tapi biar saja, aku tak suka tergesa-gesa. Ketergesaan membuat orang-orang tak bisa menikmati setiap detik waktu yang hadir dalam hidupnya. Itu pandanganku, ya.

"Dean! Kenapa belum bersiap-siap?" Suara Mama terdengar lantang. Kulihat ia sudah berdiri di ujung tangga dengan rambut yang sudah rapi. Bagaimana mungkin? Tadi kan Mama masih berkutat dengan rambutnya di atas?

"Matahari saja belum muncul, Mam. Kenapa harus terburu-buru?"

"Seperti tidak tahu saja bagaimana kemacetan di luar sana." Mama berjalan ke meja makan sambil menggerutu. "Cepat bersiap-siap, atau nanti Mama tinggal!" ancamnya padaku. Aku mendengkus sebal.

Argh!

Lagi-lagi harus mengalami ketergesaan yang kubenci. Lihat itu tetangga kami di seberang jalan, rumah mereka masih tenang. Mungkin penghuninya masih lelap di balik selimut tebal. Eh, tapi mungkin juga tidak. Itu, ada yang sudah bangun dan berdiri di dekat bingkai jendela besar ruang depan. Aku berjalan ke ujung teras agar dapat melihat lebih jelas. Seorang gadis.

Wah!

Kulambaikan tangan. Kulihat gadis di jendela tersenyum dan balas melambai.

Wah!

"Dean! Cepat bersiap-siap!"

"Iya, Mam. Iya."

Ah, Mama. Merusak suasana saja. Padahal gadis itu manis sekali. Kulangkahkan kaki dengan malas, kembali ke dalam. Sebelum masuk, sekali lagi kulepaskan pandang ke arah rumah seberang. Gadis itu sudah tak ada di sana.

***     ***     ***

Aku sedang duduk di tepi jendela kamar saat kudengar alunan musik dari rumah seberang jalan. Aku mengintip dari balik gorden. Dari luar, suasana rumah itu terlihat tenang. Semua pintu dan jendelanya tertutup rapat. Lampu penerangan di luar rumahnya pun begitu muram. Mungkin mereka sedang berhemat listrik.

Suara musik masih terdengar. Terkadang diselingi gelak tawa dari dalam rumah. Aku jadi penasaran, sedang apa mereka? Kubayangkan gadis manis itu sedang bercengkrama dengan keluarganya. Menikmati waktu istirahat bersama sambil mendengarkan lagu-lagu yang mereka sukai. Saling melempar joke dan tertawa bersama setelahnya.

Keluarga yang harmonis.

Di rumah ini, mana bisa hal-hal seperti itu kualami. Papaku si workaholic, tentu saja super sibuk. Mama pun demikian. Entah apa yang mereka cari. Shila jangan ditanya, temannya di mana-mana. Sepertinya setiap hari dia dan teman-temannya memiliki segudang rencana untuk dilakukan bersama.

Maka makan malam bersama keluarga adalah mimpi yang selalu melintas dalam angan, bagiku. Tak pernah terealisasi, walau berkali-kali janji kami sepakati. Baik di rumah lama kami dulu, maupun di sini. Selalu hanya aku yang ada di rumah saat makan malam tiba. Akhirnya, makan malamku seringkali hanya ditemani Mang Aep dan Bi Darmi.

Saat sarapan--yang seringnya terlalu pagi--kami memang sering bersama. Akan tetapi, sarapan macam apa itu, jika semua orang makan seperti dikejar hantu. Selalu terburu-buru.

Suara musik masih mengalun dari rumah tetangga kami. Aku jadi penasaran. Kusingkap lagi gorden dan mengintip. Di balkon, kulihat gadis manis itu berdiri. Menatap ke kejauhan. Rambutnya bergerak-gerak dipermainkan angin malam.

Segera aku beranjak dari jendela kamar. Setengah berlari ke luar dari dari sana dan menuju pintu samping yang mengarah ke balkon kami. Masih kulihat gadis itu di sana. Berdiri di sisi dinding pembatas, dengan mata yang masih menerawang menatap ke kejauhan.

"Hei!" Tanpa rencana, tiba-tiba saja sapaan itu terlontar dari mulutku. Si Gadis bergeming. Diam-diam aku menarik napas lega. Untung saja. Kalau tadi dia mendengarku, entah apa yang harus kukatakan. Lebih baik begini, berdiri di sini sambil memandanginya. Diam-diam.

***     ***     ***

Kudapati diriku semakin sering mengamati rumah itu. Jika ada waktu, aku sering berlama-lama duduk di teras. Pura-pura menghabiskan waktu sambil memetik gitar tua. Jika malam tiba, aku akan duduk diam-diam di balkon depan kamar, berharap gadis itu muncul lagi. Berdiri anggun di sisi balkon rumahnya.

Berhari-hari itu kulakukan, tetapi yang kutunggu tak juga menampakkan diri. Ke mana dia?

Siang ini, aku sudah duduk di pos pengamatanku: bangku teras. Baru saja akan memetik gitar saat seorang lelaki dengan persenjataan lengkap--untuk membersihkan rumput taman. Haha--turun dari motornya dan berdiri di depan pagar rumah seberang jalan.

Aku masih mengamati ke arah seberang. Lelaki itu masuk setelah membuka gembok pagar. Membuka gembok pagar? Apakah gadis itu dan keluarganya sedang tidak ada di rumah? Kalau begitu pantas saja, akhir-akhir ini dia tak pernah kelihatan.

Kuletakkan gitar, berjalan melintasi halaman. Kemudian kubuka pagar, menyeberangi jalan dan berdiri di depan pagar rumah seberang.

"Ehm! Pak!" Kusapa lelaki yang sedang bersiap-siap dengan alat pemotong rumputnya.

"Eh? Ya, Den?" Lelaki itu mendekat.

"Pemilik rumah ini," kutunjuk rumah besar itu, "sedang pergi ya?"

Si Bapak mengernyitkan alisnya.

"Rumah ini?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Iya. Rumahnya sepi. Gadis itu juga nggak pernah terlihat, apa dia--"

"Maksud Aden?"

"Gadis yang tinggal di rumah ini, Pak. Dia, anak pemilik rumah ini 'kan?" Aku tersenyum. Sudah kuniatkan mengorek informasi dari bapak ini.

"Ta-tapi," Si bapak mendadak tercekat. Dia melirik ke arah rumah. Lalu menatapku ragu. "Benar Aden melihat ada gadis di rumah ini? Rumah ini sudah bertahun-tahun ditinggal pemiliknya, Den, sejak Neng Dinda, putri mereka meninggal. Saya yang diberi amanah untuk merawat rumah ini." Si bapak bicara sambil menunjukkan serenceng kunci.

Kurasa aku mendadak blank. Apa katanya tadi? Coba diulangi?

*Tomat*

Cilame, Juni 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...