~cerpen Lilynd Madjid~
TRIIING!
Suara notifikasi pada telepon selularku berdenting nyaring. Kuhentikan tekanan kaki pada pedal dinamo. Kusisihkan potongan-potongan kain yang sedang kujahit. Sambil sedikit membungkukkan badan, kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.
[Assalamualaikum, Ayah dan Bunda. Kami ingin mengingatkan lagi tentang kegiatan 'Ayahku Pahlawanku' di kelas, dua hari mendatang. Besar harapan kami, orang tua turut mendukung kegiatan ini. Kami tunggu kesediaan dan partisipasi Ayahanda semua.]
Itu pesan yang masuk dari wali kelas putra semata wayangku di grup TKnya. Kulihat beberapa orang tua membalas pesan itu dengan penuh antusias. Berbagai tanggapan, pernyataan setuju, hingga pertanyaan-pertanyaan ramai memenuhi ruang obrolan.
Beberapa hari yang lalu Bima, putraku, sempat juga bercerita. Katanya, untuk menyambut hari pahlawan yang akan datang, kelasnya akan mengadakan acara 'Ayahku Pahlawanku'. Pada hari itu, para ayah akan hadir di kelas. Bersama-sama dengan putra-putrinya, mereka akan menceritakan kesan dan pengalaman terbaik yang pernah mereka lalui bersama, juga melakukan berbagai aktivitas bersama.
Sesungguhnya ini berat bagiku. Seperti dihadapkan pada buah simalakama rasanya. Di satu sisi, aku tahu kerinduan Bima pada ayahnya. Namun, di sisi lain ... ah, entah bagaimana caranya agar aku bisa menghadapi Mahendra tanpa membuka lagi luka lama.
Aku dan Mahendra, ayah Bima, telah dua tahun berpisah, setelah kami mengarungi samudera rumah tangga sekian tahun lamanya. Keputusan itu kami ambil setelah beragam prahara melanda biduk kecil kami. Membuatnya terguncang. Oleng. Lalu tak terelakkan lagi, karam saat badai terakhir datang dengan dahsyatnya. Memporakporandakan semua mimpi juga harapan yang pernah kumiliki..
Aku kesakitan. Tak mampu lagi bertahan. Pengkhianatan seringkali menjadi pukulan telak yang melumpuhkan seorang perempuan. Termasuk aku. Hingga perceraianlah yang kupilih sebagai jalan keluar. Banyak orang--orang tua, keluargaku, keluarga Mahendra--yang memintaku untuk bertahan. Memaafkan. Memberi Mahendra satu kali lagi kesempatan. Namun, sekuat apa pun kucoba, ternyata aku memang tak bisa. Luka-lukaku tak pernah bisa terpulihkan.
Mungkin bisa, tetapi jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Lagi pula nyata sudah, kami berdua merasa tak lagi sejalan. Aku tepatnya, yang merasa tak lagi bisa kembali padanya. Tak bisa lagi mengiringi langkah-langkahnya. Juga banyak hal yang sifatnya prinsip, yang tak lagi bisa kami sepakati. Banyak pemikiran-pemikiran kami yang semakin hari, semakin bertolak belakang. Kami lebih sering bersilangan jalan, ketimbang bergandeng tangan beriringan.
***
"Mama!" Mata Bima mengerjap saat aku tersentak dari lamunanku.
"Ya, Bim?"
"Tadi, Bu Guru ingatkan lagi sebelum pulang. Soal acara besok."
Aku menelan ludah. Bagaimana cara menjelaskan pada bocah sekecil Bima?
"Bim," kataku mencoba menjelaskan. Namun, seperti ada yang menyumbat tenggorokanku. Tak mau hilang walau berkali-kali kucoba menelan ludah.
"Papa sudah diberi tahu 'kan? Papa bisa datang 'kan, Mama?" tanyanya. Ada sebongkah besar harap tersirat dalam sinar mata Bima. Ah, bocah kecilku yang malang. Anakku tersayang. Buah hati. Sebesar itukah kerinduanmu pada sosok ayah?
"Nanti Mama telepon Papa lagi ya, Nak," kataku serak. Kepala Bima mengangguk kuat. Senyumnya terkuak lebar. Ah, Sayang. Demi binar di matamu yang cemerlang itu, akan kutahan pedih luka yang kini, lagi-lagi menganga. Akan kutahankan. Demi kamu, Sayang.
***
Tuuut! Tuuut! Tuuut!
Aku masih menempelkan layar ponselku ke telinga. Sudah berkali-kali kutekan nomor Mahendra, tetapi tak pernah terhubung. Kadang nada tunggu akan berbunyi lama, tetapi lebih sering panggilanku ditolak. Berpuluh pesan pun sudah kukirimkan. Hanya menyisakan centang biru tanpa balasan.
Aku geram. Haruskah kudatangi rumah mereka? Memohon dan mengiba agar Mahendra mau datang untuk Bima? Haruskah?
Ada yang berdenyut ngilu di sini. Di dadaku ini. Aku tak sudi meminta-minta pada Mahendra. Apalagi harus mendatangi rumahnya. Berhadapan dengan Angela, sekretaris yang kini berubah status menjadi istrinya. Sungguh aku tak sudi!
Namun, aku tahu, akan lebih sakit hati jika melihat sendu itu bergelayut di wajah murung Bima. Jika mata lelaki kecilku itu tak lagi bercahaya. Ya Tuhan, sungguh aku tak rela. Biarlah, biar. Akan kulakukan apa pun untuk Bima. Apa pun. Walau harus merendahkan diri di hadapan Mahendra dan Angela.
***
"Bima! Bima!"
Kuketuk pintu kamar Bima. Tak ada sahutan. Kuputar gagang pintu. Daun pintu terdorong ke dalam. Kulongokkan kepala mencari sosok putraku. Dia ada di sana. Meringkuk di atas tempat tidurnya seperti bayi. Bahunya bergetar.
Aku bergegas mendekat. Berjongkok di tepi ranjang kecilnya. Samar kudengar suara isak yang teredam.
"Bima? Bima kenapa?"
Isak tertahan Bima menjelma sedu sedan. Hatiku bergetar. Seperti rontok berjatuhan. Kusentuh bahu Bima perlahan.
"Hei? Kenapa, Sayang? Soal Papa?" bisikku di telinganya. Bima menyingkirkan bantal dari wajahnya. Ia duduk lalu memelukku.
"Mama ...." Tangis Bima pecah. Segera kupeluk ia erat-erat.
"Bima jangan nangis. Tenang saja. Papa pasti datang ke sekolah besok," bujukku. Tangis Bima semakin menjadi. "Eh, Bima nggak percaya? Kalau begitu, yuk siap-siap. Kita ke rumah Papa sekarang."
"Bima nggak mau!" Bima melepaskan pelukannya. Ia menatapku. Ada amarah di sana.
"Nggak mau?"
"Bima nggak mau ke rumah Papa!"
"Loh? Kenapa?" tanyaku. Sungguh aku tak mengerti.
"Ta-tadi.... " Kalimat Bima terputus sedu sedannya.
"Ya?"
"Ta-tadi, Bima telepon Papa. Tan-tante Angela yang angkat. Katanya, katanya aku nggak boleh lagi telepon-telepon Papa. Ka-katanya Papa sudah gak sayang lagi sama aku. Papa sudah punya pengganti aku."
"Bi-Bima?"
"Aku benci Tante Angela. Aku benci Papa!"
"Bim? Jangan begitu... " kataku mencoba menenangkan Bima. Walau dalam hati amarahku berkobar.
"Pokoknya aku benci Papa. Aku benci!"
"Bim, jangan dengarkan omongan Tante Angela. Papa sayang sama Bima, kok."
"Kalau sayang kenapa Papa nggak pernah pulang? Memang Papa nggak kangen Bima? Nggak ingin main sama Bima seperti Bayu dan papanya? Seperti Aldo dan papanya? Seperti Dean dan papanya?"
Aku tergugu mendengar ucapan Bima. Anak sekecil itu. Ah, maafkan Mama, Bima. Maafkan Mama. Kupeluk Bima erat. Ia menumpahkan tangis dan kekesalannya dalam dekapanku.
"Mama ...."
"Ya, Sayang."
"Besok Mama saja yang datang ke sekolah, ya?" kata Bima di sela isaknya yang mulai mereda.
"Mama?"
"Iya. Besok, aku bilang sama Bu Guru. Pahlawanku adalah Mama, yang setiap hari peluk aku, menemani aku, menjaga aku ...."
"Bim?"
"Mama ...."
"Ya, Nak?"
"Jangan pernah tinggalin aku."
*Tamat*
Bandung Barat, 9 Juni 2020
TRIIING!
Suara notifikasi pada telepon selularku berdenting nyaring. Kuhentikan tekanan kaki pada pedal dinamo. Kusisihkan potongan-potongan kain yang sedang kujahit. Sambil sedikit membungkukkan badan, kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.
[Assalamualaikum, Ayah dan Bunda. Kami ingin mengingatkan lagi tentang kegiatan 'Ayahku Pahlawanku' di kelas, dua hari mendatang. Besar harapan kami, orang tua turut mendukung kegiatan ini. Kami tunggu kesediaan dan partisipasi Ayahanda semua.]
Itu pesan yang masuk dari wali kelas putra semata wayangku di grup TKnya. Kulihat beberapa orang tua membalas pesan itu dengan penuh antusias. Berbagai tanggapan, pernyataan setuju, hingga pertanyaan-pertanyaan ramai memenuhi ruang obrolan.
Beberapa hari yang lalu Bima, putraku, sempat juga bercerita. Katanya, untuk menyambut hari pahlawan yang akan datang, kelasnya akan mengadakan acara 'Ayahku Pahlawanku'. Pada hari itu, para ayah akan hadir di kelas. Bersama-sama dengan putra-putrinya, mereka akan menceritakan kesan dan pengalaman terbaik yang pernah mereka lalui bersama, juga melakukan berbagai aktivitas bersama.
Sesungguhnya ini berat bagiku. Seperti dihadapkan pada buah simalakama rasanya. Di satu sisi, aku tahu kerinduan Bima pada ayahnya. Namun, di sisi lain ... ah, entah bagaimana caranya agar aku bisa menghadapi Mahendra tanpa membuka lagi luka lama.
Aku dan Mahendra, ayah Bima, telah dua tahun berpisah, setelah kami mengarungi samudera rumah tangga sekian tahun lamanya. Keputusan itu kami ambil setelah beragam prahara melanda biduk kecil kami. Membuatnya terguncang. Oleng. Lalu tak terelakkan lagi, karam saat badai terakhir datang dengan dahsyatnya. Memporakporandakan semua mimpi juga harapan yang pernah kumiliki..
Aku kesakitan. Tak mampu lagi bertahan. Pengkhianatan seringkali menjadi pukulan telak yang melumpuhkan seorang perempuan. Termasuk aku. Hingga perceraianlah yang kupilih sebagai jalan keluar. Banyak orang--orang tua, keluargaku, keluarga Mahendra--yang memintaku untuk bertahan. Memaafkan. Memberi Mahendra satu kali lagi kesempatan. Namun, sekuat apa pun kucoba, ternyata aku memang tak bisa. Luka-lukaku tak pernah bisa terpulihkan.
Mungkin bisa, tetapi jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Lagi pula nyata sudah, kami berdua merasa tak lagi sejalan. Aku tepatnya, yang merasa tak lagi bisa kembali padanya. Tak bisa lagi mengiringi langkah-langkahnya. Juga banyak hal yang sifatnya prinsip, yang tak lagi bisa kami sepakati. Banyak pemikiran-pemikiran kami yang semakin hari, semakin bertolak belakang. Kami lebih sering bersilangan jalan, ketimbang bergandeng tangan beriringan.
***
"Mama!" Mata Bima mengerjap saat aku tersentak dari lamunanku.
"Ya, Bim?"
"Tadi, Bu Guru ingatkan lagi sebelum pulang. Soal acara besok."
Aku menelan ludah. Bagaimana cara menjelaskan pada bocah sekecil Bima?
"Bim," kataku mencoba menjelaskan. Namun, seperti ada yang menyumbat tenggorokanku. Tak mau hilang walau berkali-kali kucoba menelan ludah.
"Papa sudah diberi tahu 'kan? Papa bisa datang 'kan, Mama?" tanyanya. Ada sebongkah besar harap tersirat dalam sinar mata Bima. Ah, bocah kecilku yang malang. Anakku tersayang. Buah hati. Sebesar itukah kerinduanmu pada sosok ayah?
"Nanti Mama telepon Papa lagi ya, Nak," kataku serak. Kepala Bima mengangguk kuat. Senyumnya terkuak lebar. Ah, Sayang. Demi binar di matamu yang cemerlang itu, akan kutahan pedih luka yang kini, lagi-lagi menganga. Akan kutahankan. Demi kamu, Sayang.
***
Tuuut! Tuuut! Tuuut!
Aku masih menempelkan layar ponselku ke telinga. Sudah berkali-kali kutekan nomor Mahendra, tetapi tak pernah terhubung. Kadang nada tunggu akan berbunyi lama, tetapi lebih sering panggilanku ditolak. Berpuluh pesan pun sudah kukirimkan. Hanya menyisakan centang biru tanpa balasan.
Aku geram. Haruskah kudatangi rumah mereka? Memohon dan mengiba agar Mahendra mau datang untuk Bima? Haruskah?
Ada yang berdenyut ngilu di sini. Di dadaku ini. Aku tak sudi meminta-minta pada Mahendra. Apalagi harus mendatangi rumahnya. Berhadapan dengan Angela, sekretaris yang kini berubah status menjadi istrinya. Sungguh aku tak sudi!
Namun, aku tahu, akan lebih sakit hati jika melihat sendu itu bergelayut di wajah murung Bima. Jika mata lelaki kecilku itu tak lagi bercahaya. Ya Tuhan, sungguh aku tak rela. Biarlah, biar. Akan kulakukan apa pun untuk Bima. Apa pun. Walau harus merendahkan diri di hadapan Mahendra dan Angela.
***
"Bima! Bima!"
Kuketuk pintu kamar Bima. Tak ada sahutan. Kuputar gagang pintu. Daun pintu terdorong ke dalam. Kulongokkan kepala mencari sosok putraku. Dia ada di sana. Meringkuk di atas tempat tidurnya seperti bayi. Bahunya bergetar.
Aku bergegas mendekat. Berjongkok di tepi ranjang kecilnya. Samar kudengar suara isak yang teredam.
"Bima? Bima kenapa?"
Isak tertahan Bima menjelma sedu sedan. Hatiku bergetar. Seperti rontok berjatuhan. Kusentuh bahu Bima perlahan.
"Hei? Kenapa, Sayang? Soal Papa?" bisikku di telinganya. Bima menyingkirkan bantal dari wajahnya. Ia duduk lalu memelukku.
"Mama ...." Tangis Bima pecah. Segera kupeluk ia erat-erat.
"Bima jangan nangis. Tenang saja. Papa pasti datang ke sekolah besok," bujukku. Tangis Bima semakin menjadi. "Eh, Bima nggak percaya? Kalau begitu, yuk siap-siap. Kita ke rumah Papa sekarang."
"Bima nggak mau!" Bima melepaskan pelukannya. Ia menatapku. Ada amarah di sana.
"Nggak mau?"
"Bima nggak mau ke rumah Papa!"
"Loh? Kenapa?" tanyaku. Sungguh aku tak mengerti.
"Ta-tadi.... " Kalimat Bima terputus sedu sedannya.
"Ya?"
"Ta-tadi, Bima telepon Papa. Tan-tante Angela yang angkat. Katanya, katanya aku nggak boleh lagi telepon-telepon Papa. Ka-katanya Papa sudah gak sayang lagi sama aku. Papa sudah punya pengganti aku."
"Bi-Bima?"
"Aku benci Tante Angela. Aku benci Papa!"
"Bim? Jangan begitu... " kataku mencoba menenangkan Bima. Walau dalam hati amarahku berkobar.
"Pokoknya aku benci Papa. Aku benci!"
"Bim, jangan dengarkan omongan Tante Angela. Papa sayang sama Bima, kok."
"Kalau sayang kenapa Papa nggak pernah pulang? Memang Papa nggak kangen Bima? Nggak ingin main sama Bima seperti Bayu dan papanya? Seperti Aldo dan papanya? Seperti Dean dan papanya?"
Aku tergugu mendengar ucapan Bima. Anak sekecil itu. Ah, maafkan Mama, Bima. Maafkan Mama. Kupeluk Bima erat. Ia menumpahkan tangis dan kekesalannya dalam dekapanku.
"Mama ...."
"Ya, Sayang."
"Besok Mama saja yang datang ke sekolah, ya?" kata Bima di sela isaknya yang mulai mereda.
"Mama?"
"Iya. Besok, aku bilang sama Bu Guru. Pahlawanku adalah Mama, yang setiap hari peluk aku, menemani aku, menjaga aku ...."
"Bim?"
"Mama ...."
"Ya, Nak?"
"Jangan pernah tinggalin aku."
*Tamat*
Bandung Barat, 9 Juni 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar