Kamis, 02 Januari 2020

E L E K T R A

E L E K T R A

(Short Version)
Oleh Lily N. D. Madjid

Entah apa yang kurasakan kini. Penyesalan? Mungkin. Nyaris tanganku melukai Elektra, anakku. Aku sendiri tidak mengerti. Satu sisi, aku tidak ingin hal buruk menimpa anak itu. Di sisi lain aku ingin ia lenyap. Aku benci Elektra. Dia mengingatkanku pada sosok lelaki itu. Lihat matanya, hidungnya, bibir dan dagunya, semua milik almarhum ayahnya.

Dulu, lelaki tua itu menikahiku sebagai penebus hutang orangtuaku. Itu membuatku membencinya. Dia memanfaatkan keadaan kami. Ia merenggutku dari masa mudaku, dari pergaulan remajaku, dari teman-temanku, juga dari seorang kekasih yang kucinta. Ia merenggutku untuk menjadi miliknya.

Elektra hadir begitu saja tak lama setelah aku dipaksa menjadi istri lelaki itu. Mewarisi nyaris seluruh raut wajahnya. Membuatku muak. Apalagi lelaki itu begitu bahagia menyambut kelahiran Elektra. Tidak. Aku tidak rela lelaki yang telah merenggut kebahagiaanku menikmati kebahagiaannya.

Kebencianku padanya kutumpahkan pada anak itu. Itu membuat lelaki tua itu terluka. Biar saja. Itu tidak seberapa dibanding lukaku karena ulahnya. Inilah pembalasanku pada lelaki tua itu. Walau, dadaku seringkali sesak setiap kali wajah kecil itu menampilkan berjuta pertanyaan.
***
“Mama….”
Sejak kapan Elektra berdiri di sana? Matanya sembab, pipinya bengkak bekas tamparanku. Dia berjalan mendekat. Senyumnya merekah. Nafasku sesak. Lihatlah apa yang telah kulakukan pada gadis kecil itu.

“Mama sedang istirahat?”

“Untuk apa kau kemari?” ketusku.

“Mama jangan marah, aku tidak akan mengganggu. Aku tahu mama lelah—ayah yang bilang begitu….”

“Jangan kau sebut-sebut ayahmu di depanku! Dan omong kosong apa pula itu? Ayahmu sudah mati!” Hardikku. Sekilas kutangkap raut ketakutan di wajah manisnya.

“Mama, aku bilang jangan marah. Aku tidak akan mengganggu istirahat mama.”

“Kalau begitu tunggu apalagi? Cepat pergi sana sebelum aku muak.”

“Aku hanya ingin mengantarkan….” Elektra tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia berlari ke luar kamar. Tak lama muncul lagi membawakan segelas kopi hangat yang masih mengepul. “Ini kopi pahit kesukaan mama. Aku juga mau minta maaf karena tadi sudah membuat mama marah.”

Tiba-tiba saja tenggorokkanku sakit sekali. Seperti ada isak yang mendesak ingin meledak di sana. Mataku juga mulai memanas. Aku nyaris menangis mendengar kata-kata yang diucapkan Elektra.

Tapi sebelum itu terjadi, segera kusambar gelas dari tangannya. Kuteguk langsung hingga nyaris tak bersisa. Elektra menatap dengan penuh suka cita. Senyum di bibirnya yang pecah semakin lebar.



“Ah, selain lelah, ternyata mama juga sangat haus. Tapi tenang saja, Mama. Setelah ini mama pasti tidak akan merasakan kelelahan lagi. Mama akan segera tidur dengan tenang. Tidur nyenyak. Itu membantu menghilangkan rasa lelah, Mama.”

“Apa maksudmu?” tanyaku.

Elektra tak menjawab. Senyumnya semakin lebar. Apalagi saat dia melihatku meringis karena deraan rasa nyeri yang tiba-tiba saja menyerang dada kiriku. Pandanganku pun mulai berputar-putar.

“Kasih ibu, kepada beta …” Senandung Elektra pelan.

“Elektra, apa yang kau lakukan padaku?” Erangku panik sambil menahan sakit yang semakin menghebat. Pandanganku mulai gelap. Tapi masih bisa kudengar suara Elektra walau semakin lama semakin sayup.
“Ayah bilang mama lelah, makanya selalu marah padaku. Aku ingin mama istirahat dengan tenang. Makanya kumasukkan semua persediaan obat tidur ke dalam kopi mama tadi.” Katanya. Satu hal yang masih kulihat sebelum aku kehilangan kesadaran adalah senyuman Elektra yang semakin lebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...