Oleh Lily N. D. Madjid
Hari ini adalah hari pertamaku tinggal di rumah baru, di kota yang juga baru. Aku baru saja dimutasi ke kota ini. Saat pindah, kuboyong serta keluarga kecilku. Amarylis, istriku, tidak mengeluh. Dia dengan lapang dada menerima kepindahan kami ke kota kecil ini. Begitu juga Sakti, putra semata wayang kami yang masih berusia balita. Dia malah terlihat antusias sekali.
“Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku….”
Aku menggeliat. Suara nyanyian kecil Sakti menyusup ke gendang telingaku. Ah, sudah bangun rupanya bocah itu. Kucoba memicingkan mataku yang masih terasa berat. Bocah kecil itu masih meringkuk di sudut kasur kami. Tetapi matanya sudah terbuka lebar. Mulut kecilnya bersenandung tanpa henti.
“Papa,” sapanya setelah menyadari aku memandangnya. “Papa, aku mau mandi.” Sakti bangkit dan mendekat. Aku kembali menggeliat.
“Sama mama, ya?”
“Mamanya mana?”
“Coba Sakti cari mama di dapur,” kataku sambil kembali memejamkan mata. Sungguh aku masih mengantuk. Kegiatan pindahan kemarin sangat menguras tenaga. Sakti turun dari tempat tidur, lalu menghilang di balik pintu kamar.
“Mamaaa … Mama, aku mau mandi!” teriak bocah kecil itu. Tidak lama kudengar suara siraman air di kamar mandi, ditingkahi senandung Sakti bernyanyi.
“Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku….”
*****
Aku baru saja akan kembali terlelap saat kusadari satu sosok berdiri di ambang pintu kamar. Amarylis. Ia memandangiku sambil tersenyum.
“Sakti mandi sendiri?” Tanyaku. Ia mengangguk lalu melangkah mendekat. Anggun sekali caranya berjalan. Di sisi pembaringan dia berdiri memandangiku lekat. Masih dengan senyum yang mengembang.
“Kenapa?” tanyaku. Tidak biasanya dia bersikap malu-malu seperti itu. Amaryllis hanya menggeleng. “Sini, temani aku di sini.” Istriku mendekat. Memelukku erat sambil mengecup dua pipiku. Matanya yang berbinar menatapku lekat. Aku balas mendekap dan menciumi wajahnya. Tubuhnya.
“Mmm … Kamu pakai parfum baru, ya?” gumamku. Rasanya sebelumnya Amarylis tak pernah memakai parfum beraroma lembut melati seperti ini.” Dia tak menjawab. Hanya tersenyum. Semakin gemas aku dibuatnya. Tapi aktivitasku terganggu oleh suara berkelontang keras dari arah kamar mandi. Aku terlonjak kaget.
“Sakti …” Aku dan istriku saling pandang.
Bergegas aku berlari ke arah kamar mandi. Jangan-jangan anak itu terpeleset. Kamar mandinya memang belum sempat kubersihkan sejak kami datang kemarin. Lantainya masih licin berlumut.
“Mas! Mas Arshaka! Tolong, ini Sakti jatuh…” Aku tertegun. Itu suara teriakan Amarylis. Tapi kenapa suaranya berasal dari dapur?
Diambang pintu kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, kulihat amarylis sedang memangku Sakti yang menggigil pucat.
“Amy,” desisku. “Bukannya kamu tadi … kita …” aku tergagap.
“Apa sih, Mas? Ini bantu anaknya!”
Walau jantungku berdebar keras, kuabaikan dulu untuk segera menolong Sakti.
“Papa, papa … “
“Sakti kenapa?”
“Sakti takut, Papa …” bisik sakti sambil melirik ke arah kamar mandi. Dia masih gemetar.
“Takut apa?” tanyaku dan istriku bersamaan.
“Nenek itu marah. Dia nggak suka dengar Sakti nyanyi lagu Bangun Tidur …”
“Nenek? Nenek Siapa?” aku dan istriku saling pandang.
“Nenek muka seram yang ada di kamar mandi. Dia galak, nggak seperti tante baik hati di kamar kita.” Katanya.
Kurasa kepalaku pening tiba-tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar