Rabu, 17 Juni 2020

SECRET PROJECT 2: TELETRANS


TELETRANS




"Zach! Lihatlah!"

Aku membentangkan tangan sedramatis mungkin saat Doktor Zacharry Raymond memasuki blok kerja kami di Laboratorium Workshop M031. LW M031 ini merupakan salah satu laboratorium workshop yang ada di SkyTech Enterprise, perusahaan tempatku bekerja. Kusebut salah satu, karena memang ada ratusan laboratorium workshop yang dimiliki SkyTech Enterprise sebagai raksasa bisnis yang usahanya mencakup seluruh dunia.

Aku dan Zach bekerja di unit pusat perusahaan yang berada di London. Kami sedang mengembangkan sebuah projek bersama. Pembuatan mesin teleportasi, yang kurancang sejak bertahun-tahun lalu. Mesin ini kami beri nama Teletrans. Progressnya sudah 90% saat ini.

"Apa?" Zach melangkah santai ke arahku yang berdiri di depan Teletrans.

"Kita harus melakukan uji coba lagi. Uji coba terakhir. Kapan kau ada waktu?"

"Kapan saja kau siap, Laiyla."

"Yah." Aku menggosok-gosok telapak tangan dengan penuh semangat. "Aku sudah tidak sabar."

"Jadwalkan saja waktunya. Nanti aku bersiap-siap, Nak."

"Baik. Aku segera berkoordinasi dengan tim. Kau akan kukabari."

***     ***   ***

Aku baru saja membubarkan briefing timku dan sedang menyusuri koridor LW M031 saat kulihat satu sosok berdiri di ujung lorong.

Arrgh! Jared Witheart. Mau apa dia?

Sambil berjalan aku memindai setiap blok yang berada di kiri dan kanan koridor. Mencari celah untuk menghindari Jared. Sial! Tak ada kesempatan.

"Laiyla!"

Pintu blok di sebelah kananku terbuka tiba-tiba. Zach berdiri di sana dengan senyum lebarnya.

"Hai, Zach!" Aku segera mendekat ke arahnya. Melangkah cepat sambil melirik ke ujung lorong. Sosok Jared sudah tak ada lagi di sana. Ke mana dia?

"Sudah kau putuskan kapan uji cobanya?" Zach bertanya sambil memberi isyarat agar aku mengikutinya.

"Lusa. Kami sudah sepakat. Besok kita lakukan penyempurnaan-penyempurnaan sambil mengecek ulang segala sesuatu."

***     ***    ***

"Semua bersiap dalam posisi masing-masing." Zach memberi komando. Ia berdiri di depan layar monitor sambil memasukkan kode akses.

Dari balik panel kontrol ruang kemudi Teletrans, sekuat tenaga kuredam debaran jantungku. Berusaha keras menampakkan wajah tenang sambil mengecek semua persiapan satu demi satu. Tenang, Laiyl, tenang.

"Laiyl, kau siap?" tanya Zach. Aku mengacungkan ibu jari. "Baiklah. Hitungan ke tiga kau tekan tombol power Teletrans. Mesin akan menghitung mundur sebelum mengantarmu ke LW A001, SkyTech unit Jakarta. Sudah ada tim yang menunggumu di sana. Jika perhitungan kita tepat, kau akan tiba di sana dalam tiga puluh detik. Enam puluh paling lambat."

"Diterima, Zach!" sahutku melalui alat komunikasi. Kulihat Zach tersenyum. Tidak jauh dari sana kulihat Mr. Salvatore Borsellino duduk diiringi pengawalnya. Beberapa penanggung jawab projek dari blok lain LW M031 juga ada di sana. Termasuk Jared Witheart.

Ck! Kenapa dia harus ada di sini?

"Oke. Aku akan mulai menghitung. Kau tahu apa yang harus dilakukan. Pada hitungan mundur ke lima, kubah kaca Teletrans akan menutup dan mengunci rapat."

"Diterima, Zach!"

Zach mulai menghitung. Tepat di hitungan ke tiga, kutekan power Teletrans. Mesinnya berdengung halus. Teletrans mulai bergetar.

"Sepuluh!" Suara komputer terdengar di seluruh ruangan.

"Sembilan!"

"Delapan!"

"Tujuh!"

"Enam!"

"Lima!"

Aku menunggu kubah kaca menutup, tetapi tak ada yang terjadi.

"Empat!"

"Zach, ada kesulitan.  Kubah tak mau menutup."

"Tekan tombol pembatalan." kata Zach.

"Pembatalan ditolak!"

"Tidak bisa, Zach!" Seruku. Suaraku bergetar. Ada apa ini? Percobaan-percobaan sebelumnya selalu lancar. Teletrans bekerja dengan semestinya. Memindahkanku dari ruangan blok ini ke blok lain yang sudah disiapkan.

Getaran Teletrans semakin menggila. Sebentar lagi benda ini akan melesat memangkas jarak. Apa jadinya jika kubah pelindungnya tidak ditutup.

"Tiga!"

"Keluar dari sana, Laiyl." Suara Zach terdengar panik. Aku masih mencoba menekan tombol di papan kontrol.

"Dua!"

Kulihat orang-orang semakin panik. Lalu  sosok Jared berlari. Ia melesat cepat ke arahku.

"Cepat keluar Laiyla!" teriaknya. Ia menarik tanganku.

""Satu!"

Kurasakan dorongan kuat pada Teletrans disertai suara memekakkan. Teletrans seperti memasuki sebuah lorong spiral. Begitu cepat. Aku berteriak ngeri. Seseorang juga berteriak di dekatku. Baru kusadari, Jared masih memegangi tanganku. Dia terbanting-banting di luar Teletrans.

***      ***     ***

Enam puluh detik yang terasa begitu lama. Kemudian, guncangan berhenti. Dengungnya pun menghilang. Kami berada di sebuah ruangan gelap sekarang. Dalam hatiku bertanya-tanya, apakah kami tiba malam hari di Jakarta?

Suara keras batuk membuatku terlonjak. Aku segera melompat keluar. Menabrak sesuatu. Sesuatu yang bisa menjerit keras.

"Argh! What the--"

"Jared?"

"Laiyla?" Ya, itu suara Jared. Aku menarik napas dalam. Kekesalanku pada Jared belum tuntas sebenarnya, tetapi di situasi semacam ini tidak mungkin aku menunjukkannya pada Jared bukan? "Di mana kita?"

"Mungkin ini LW A001 unit Jakarta. Tapi entahlah. Aku tidak yakin."

Kemudian satu garis cahaya menyorot. Memberi sedikit penerangan di sekitar kami. Kulihat siluet Jared yang memegang senter di tangan.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Jared sambil menyorotkan senter ke penjuru ruang.

Ruangan ini tidak terlalu luas dengan atap yang melengkung hingga ke lantai. Aku mengernyitkan kening. Ini jelas bukan ruang LW. Ini ... astaga!

"Jared? Apakah menurutmu ini--"

"Sebuah gua? Ya ini memang gua, Laiyla. Kenapa mesinmu membawa kita ke gua?"

"Aku, aku tidak tahu." sahutku menahan dongkol. "Ini kekeliruan."

Jared menoleh. Dalam keremangan cahaya senter, kulihat Jared mengangguk.

"Sebaiknya kita cari tahu saja dulu di mana posisi kita sekarang." Jared memberi isyarat agar aku mengikutinya.

"Jangan cepat-cepat. Di sini gelap!"

Jared berhenti dan membalik. Ia mengulurkan tangannya.

"Ayo."

"Kau hanya perlu memperlambat langkahmu." Aku menjawab dengan ketus.

"Laiyla. Seperti katamu, di sini gelap. Aku tidak mau punya resiko kehilanganmu sementara kita tidak tahu ada di mana saat ini."

Betul juga.

Maka kusambut uluran tangan Jared. Ia menggenggam tanganku. Hangat. Mendadak debaran di dadaku kembali lagi seperti biasa saat aku berada di dekatnya. Tuhan, padahal aku sudah bertekad untuk membencinya setelah dia mengabaikan aku di pesta tempo hari.

"Laiyla, lihat!" Jared berbisik. Ia menarikku bersembunyi di balik tonjolan batu di tepi gua. Ia menunjuk ke depan. Di mana kulihat sekelomppk orang berpakaian kulit binatang--atau kulit kayu?--mengelilingi api unggun yang berkobar. Mereka membawa tombak-tombak kayu dengan mata tombak terbuat dari serpihan batu tajam. Kulit mereka kecoklatan dengan mata berkilat kebiruan.

"Ya Tuhan," desisku, "siapa mereka?"

"Dilihat dari ciri-cirinya, kurasa, mereka ini Cheddar Man." Jared ikut berbisik. "Laiyla?"

"Huh?"

"Selamat! Mesinmu tidak membawa kita berteleportasi ke tempat lain."

"Maksudmu? Kita tetap di London?"

"Ya. Hanya saja, ini London puluhan ribu tahun yang lalu. Dan mereka itu nenek moyang kita."

BandungBarat, 16 Juni 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...