Kamis, 02 Januari 2020

S E B U A H R E N C A N A

SEBUAH RENCANA
oleh Lily N. D. Madjid

Ayo kawan kita bersama
menanam jagung di kebun kita
Ambil cangkulmu, ambil pangkurmu,
kita bekerja tak jemu-jemu...

Arya masih mengayunkan cangkulnya. Tanah basah sesudah hujan memudahkan usahanya. Banyak benih jagung yang harus disemai, tetapi sebagian besar lahan belum selesai ia garap. Sejenak Arya menghentikan ayunan cangkulnya, mengusap peluh yang menetes.

Juragan Karta sudah berpesan agar Arya menyelesaikan garapan ladang jagung di sebelah utara.

“Itu untuk melunasi utang ayahmu!” Ketus Juragan Karta saat itu.

Ya. Untuk lahan garapan seluas ini, Arya tidak akan menerima upah, karena upahnya sudah diambil ayahnya di muka sebagai utang. Beruntung, istri Juragan Karta mau memberinya jatah maka siang. Jika tidak, entah apa jadinya Arya, bekerja dengan perut kosong sepanjang hari.

Tetapi tentu Arya tak hanya mengucapkan terimakasih saja pada kebaikan Bu Karta. Ia akan merelakan waktu istirahatnya untuk mengerjakan apa saja yang diminta oleh wanita kaya itu. Menyiangi kebun belakang, menangkap ikan dari kolam, menyikat lantai kamar mandi, dan sebagainya. Apa pun, asalkan Arya bisa membayar sepiring makan siang yang diterimanya.

*****

“Arya! Ayah butuh uang. Kau pinjamkan seratus dua ratus pada Juragan Karta!” Kata Dipa, ayah Arya, di suatu sore saat lelaki itu bersiap-siap akan ke luar dari rumah kayu mereka.

“Aa..Arya tidak berani, Yah. Lahan di sebelah utara, pembayar utang ayah yang terakhir belum lagi selesai Arya garap.”

“Masa bodoh dengan lahan itu. Kubilang aku butuh uang. Tak peduli bagaimana caramu mendapatkannya!”

“Tapi, Ayah!”

“Mau kutinju, kau? Terus saja membantah! Mana baktimu pada orang tua?”

Arya menunduk. Dia memilih diam daripada merasakan kepalan tangan ayah di tubuhnya. Entah bagaimana caranya nanti agar ia bisa mendapatkan uang itu.

Istri Juragan Karta memang baik. Tetapi Juragan Karta, dia sama kejam dengan ayahnya. Entah berapa kali caci maki dan hinaan yang Arya terima dari Juragan Karta. Ditambah hinaan tuan tanah itu pada ayahnya, membuat Arya seringkali merasa bagai sampah. Tetapi ia toh tak bisa berbuat apa-apa. Arya harus tetap bekerja di sana, melunasi semua utang-utang ayahnya.

*****

Sore ini Arya bekerja sambil menahan sesak di dada. Tadi dia memberanikan diri, dengan menahan rasa malu, meminjam uang pada Bu Karta, tetapi sial, rupanya suaminya ada tak jauh dari sana. Muntahlah segala serapah dari mulut lelaki tua itu pada Arya. Mengalirlah segala hina dan cela pada Arya hingga ia pamit meninggalkan rumah itu membawa luka.

Diayunkannya cangkulnya sekuat tenaga. Melampiaskan segala marah dan kecewa dalam setiap geraknya. Ia sudah tak tahan lagi. Kesewenangan ayah membuatnya harus menelan hinaan Juragan Karta. Ia harus mengakhirinya. Ia tak mau lagi terinjak-injak.

Sudah tersusun rapi sebuah rencana dalam kepalanya. Ya, rencana ini akan membebaskannya dari segala beban dan tekanan.

Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Arya mengemasi peralatannya dengan rapi. Serapi rencana di kepalanya untuk membereskan ayah malam nanti.

Ambil cangkulmu
Ambil pangkurmu
Kita bekerja tak jemu-jemu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...