Kamis, 13 Januari 2022

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN


  

 KOMPETENSI DASAR

3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puisi rakyat setempat) yang dibaca dan didengar.

 (Bagian 1)


Puisi rakyat merupakan jenis puisi lama yang memiliki perbedaan dengan puisi modern. Perbedaan tersebut disebabkan karena puisi lama memiliki bentuk yang terikat. Hal-hal yang mengikat puisi rakyat tersebut misalnya saja pada jumlah baris di setiap bait, jumlah suku kata, dan rima atau persajakan yang terdapat di setiap bait.

Agar kita dapat lebih memahami puisi rakyat, mari kita kenali terlebih dahulu jenis-jenis puisi rakyat yang terdapat di masyarakat kita.  Beberapa jenis puisi rakyat yang biasa kita temukan, di antaranya pantun, syair, gurindam, karmina, seloka, talibun, dan mantra. 

Baiklah, kita akan mencoba membahas satu per satu jenis-jenis puisi rakyat tersebut.


Pantun

Jenis puisi rakyat yang pertama akan kita bahas adalah pantun. Pantun merupakan jenis puisi rakyat yang memiliki ciri sebagai berikut:

1) Bentuknya berbait-bait

2) Setiap bait terdiri atas 4 baris

3) Setiap barisnya terdiri atas 8—12 suku kata

4) Setiap bait terdiri dari sampiran dan isi, dimana sampiran terdapat pada  baris 1 dan 2, sedangkan isi pantun terdapat pada baris ke 3 dan 4.

5) Setiap bait pantun memiliki rima/ persajakan a-b-a-b. Rima/ persajakan merupakan persamaan bunyi yang biasanya terdapat pada akhir baris. Rima a-b-a-b berarti akhir baris pertama pada pantun, memiliki persamaan bunyi dengan akhir baris ke tiga. Sementara akhir baris ke dua, memiliki persamaan bunyi dengan akhir baris ke empat.


Contoh pantun:

      Kalau ada sumur di ladang

      Bolehlah kita menumpang mandi

      Kalau ada umurku panjang

Bolehlah kita berjumpa lagi

 

      Berburu ke padang datar

      Dapat rusa belang kaki

      Berguru kepalang ajar

      Bagai bunga kembang tak jadi

 

Jika kita perhatikan contoh pantun di atas, kita bisa melihat bahwa dua pantun tersebut terikat pada syarat-syarat yang terdapat pada ciri pantun. Misalnya saja dari segi jumlah baris pada setiap bait. Baik pantun pertama, maupun pantun ke dua, masing-masing terdiri atas empat baris.

 Kemudian, jika kita perhatikan setiap barisnya, kita juga dapat melihat, bahwa setiap baris pada dua contoh pantun di atas terdiri tidak kurang dari 8 suku kata dan tidak lebih dari 12 suku kata.

Ka - lau / a - da / su - mur  / di / la - dang / (9 suku kata)

      Bo - leh  lah /  ki - ta / me - num - pang / man - di/  (10 suku kata)

      Ka -  lau / a - da / u - mur / ku - pan - jang/ (9 suku kata)

Bo - leh - lah /  ki - ta / ber - jum - pa / la - gi/ (10 suku kata)

 

      Ber  - bu - ru /  ke - pa - dang / da - tar / (8 suku kata)

      Da - pat  / ru- sa / be -lang  / ka - ki / (8 suku kata)

      Ber - gu - ru / ke - pa - lang / a -  jar /(8 suku kata)

      Ba - gai  / bu - nga / kem - bang / tak  /  ja - di / (9 suku kata)

 

Sementara, untuk rima atau persajakan, kita juga dapat melihat pada contoh pantun di atas, bahwa kedua pantun memiliki rima/ persajakan a-b-a-bAgar lebih jelas, kita dapat melihat pemaparan berikut.

  • Bunyi akhir [ng] pada kata ladang di baris 1, sama dengan bunyi [ng] pada kata panjang di baris ke 3
  • Bunyi akhir pada kata mandi di baris 2, sama dengan bunyi i pada kata lagi di baris ke 4

Untuk rima/ persajakan, kita tidak harus membuat persamaan bunyi pada satu huruf terakhir saja, melainkan bisa lebih dari satu huruf yang sama. Namun, sebaiknya hindari penggunaan kata yang sama untuk menciptakan rima tersebut.

Demikan pembahasan singkat kita mengenai jenis puisi rakyat yang pertama yaitu pantun. InsyaaAllah pada kesempatan berikutnya, kita akan membahas mengenai jenis puisi rakyat yang lainnya.

Rabu, 08 Desember 2021

KETIKA KITA MEMANDANG SESUATU DARI SUDUT YANG BERBEDA

 

Ketika Kita Memandang Sesuatu dari Sudut yang Berbeda

Sebuah coretan kecil  Lilynd Madjid



Baru saja ingin kutuliskan sebuah ide yang berkelebat di kepala tentang bagaimana jika kita sesekali mengubah cara pandang kita terhadap satu hal? Mungkin saja perubahan sudut pandang itu akan memberi pemahaman baru pada diri kita terhadap hal tersebut. Bisa jadi  pemahaman yang muncul  tersebut  akan membawa kita untuk berpikir lebih objektif, atau memberi perspektif yang lebih jelas terhadap hal atau permasalahan yang sedang kita hadapi itu—yang pada akhirnya mengarahkan kita menjadi jauh lebih baik dalam menyikapi suatu permasalahan.

Belum sempat menuliskannya, aku terjeda oleh percakapan daring dengan kawanku, Mpus. Kami  memang sedang membicarakan alur cerita cerbung yang sedang kuselesaikan dan sedang kuikutkan dalam sebuah kompetisi. Kukatakan padanya, bahwa aku akan membuat tokoh utama dalam cerita tersebut mengalami sebuah titik balik, sampai dia pada akhirnya berhijrah (karena cerbung ini memang bergenre religi).

Tak kuduga, Mpus malah bertanya, “Hijrah seperti apa? Kulihat selama ini si tokoh sudah memiliki karakter yang baik.”

Wah!

Benarkah dalam pandangan Mpus—sebagai pembaca—si tokoh ini memiliki karakter yang baik? Padahal rasanya, selama ini aku—dengan sudut pandangku sebagai penulis cerita—Ingin menggambarkan tokoh tersebut sebagai sosok yang ‘tidak baik-baik banget’. Bahkan sebenarnya aku ingin menggambarkan dia sebagai tokoh yang cukup urakan, dan mendapat masalah dari ke-urakan-annya itu.

Akan tetapi, menyimak penilaian Mpus—yang membuatku seketika melakukan semacam  kilas balik atau mereviu ulang perjalanan si tokoh sejak awal cerita—aku baru menyadari satu hal yang sepertinya kurang kucermati selama ini: Aku membentuk si tokoh, kurang sesuai dengan kesan yang sebenarnya aku ingin pembaca rasakan tentang tokoh ini. Entah mengapa. Mungkin karena aku kurang mahir mengembangkan karakter si tokoh. Atau, karena aku terlalu sayang pada si tokoh. Sehingga tidak tega jika menjadikannya sebagai sosok antagonis sesungguhnya. Ha-ha-ha!

Apakah kemudian aku merasa gagal dalam penjabaran karakter tokohku kali ini?

Entahlah, tetapi kok sepertinya  sudut pandang Mpus memang lebih objektif. Ya, bisa jadi aku memang  gagal membentuk karakter tokoh seperti yang sebenarnya aku inginkan sejak  awal aku menuliskan kisahnya dalam cerbung ini.

Apakah pemahaman ini membuatku menyesal telah berdiskusi dengan Mpus—sebagai pembaca—yang kuanggap telah menunjukan titik lemahku sebagai penulis cerita?

Ah, untuk pertanyaan ini, dengan pasti kujawab: tidak. Aku malah senang karena obrolan—atau kusebut saja diskusi—itu malah mengantarkan aku pada sebuah sudut pandang baru. Pada pemahaman baru, yang selama ini mungkin tidak aku sadari.

So! Aku sangat berterima kasih untuk kawanku Mpus, yang sudah memberikan perspektifnya tentang tokoh dalam cerita yang kutulis. Ini bisa membantuku untuk memperbaiki lagi tulisanku ke depannya, terutama tentang  bagaimana aku harus mengembangkan karakter tokoh, sesuai alur cerita yang kuinginkan, secara logis. Tak sabar menunggu diskusi-diskusi selanjutnya. Tentu tidak lupa kuucapkan terima kasih padanya, karena telah meluangkan waktu untuk membaca setiap bab pada cerita yang kutulis.

Tentu saja bukan hanya sudut pandang Mpus yang ingin sekali kuketahui, tetapi juga sudut pandang dari 443 viewers (per hari ini, Rabu 08 Des 2021 pukul 22.59 WIB) yang sudah menyempatkan waktunya untuk singgah di  ceritaku di https://www.kwikku.com/novel/read/rengkuh. Sungguh, aku mengharapkan kalian juga berkenan berbagi pandangan tentang ceritaku itu. Jika ada waktu luang, silakan menyampaikannya di kolom komentar/ ulasan cerita ya. Siapa tahu itu akan membantuku untuk lebih baik lagi dalam menuliskan kisah-kisah di masa mendatang. Terima kasih.

Terima kasih juga telah menyimak tulisanku kali ini.

Senin, 04 Oktober 2021

LIKU HIDUP DAN RANGKAIAN COBAAN DI DALAMNYA.

Lilynd Madjid 








Aku hanya memanggilmu ayah

Di saat ku kehilangan arah

Aku hanya mengingatmu ayah

Jika aku tlah jauh darimu

Kau tak pernah lelah

Sebagai penopang dalam hidupku

Kau berikan aku semua yang terindah



Awalnya aku tidak tahu lagu apa itu, dan siapa yang menyanyikannya, ketika belum lama ini aku mendengarnya. Hanya saja, bait lagu itu terus saja diputar berulang-ulang oleh entah siapa di luar sana. Membuat aku tiba-tiba saja tersentak.


Bukan apa-apa. Hanya saja, kebetulan sekali saat itu aku juga tengah memanggil-manggil ayahku. Menyebut-nyebut ia di antara deras air mata yang meluruh tak tertahan. Sambil merasakan keterpurukan. Juga kecamuk perasaan sedih diiringi kekecewaan yang kurasakan begitu dalam.


Bait lagu yang tak sengaja kudengar itu seperti benar-benar melukiskan aku saat itu. Betapa tanpa sadar--mungkin karena kedekatanku yang begitu erat dengan beliau di masa hidupnya--setiap kali aku merasa sedih, merasa begitu sendirian, merasa terpuruk, dan merasa tak lagi memiliki sandaran, beliaulah yang kupanggil untuk sekedar menguatkan. Tentu saja aku juga menyebut nama-Nya Yang Agung, sebagai tempatku memohon, dan itu tak terbandingkan.


Tidak akan kupaparkan, hal apa yang menyebabkanku merasa begitu buruk, saat itu. Hanya, cukup kukatakan, aku sedang merasa tidak baik-baik saja akhir-akhir ini. Walau itu pun kerap harus kusembunyikan di balik senyuman. Di balik canda dengan teman-teman. Di balik tumpukan pekerjaan, yang sengaja kujadikan perisai, untuk sekedar melupakan semua permasalahan.


Aku sangat sadar, bahwa hidup merupakan rangkaian cobaan dan ujian. Benar, bukan? Walaupun jenis ujiannya bermacam-macam. Ada yang berupa kesedihan, masalah-masalah pelik, kesulitan-kesulitan hidup, bahkan hal-hal yang terlihat menyenangkan pun, sebenarnya juga merupakan ujian. 


Hei, itu bukan aku yang mengatakan. Kalimat-kalimat seperti itu kukutip dari beberapa ceramah yang pernah kudengar. Dan aku sadari, semua ujian dan cobaan hidup itu sebenarnya ditujukan untuk menguatkan. Pun dari rangkaian ujian itu, kita dapat mengukur, seberapa kuat kita? Seberapa tangguh kita? Dan seberapa teguh kita? Untuk tetap berdiri kukuh, menapaki lurus jalanNya.


Akan tetapi, yang kerap terjadi adalah kita merasa, bahwa hanya kesulitan-kesulitan sajalah yang merupakan ujian. Hal-hal buruk dan menyakitkan sajalah, yang merupakan cobaan. Kita seperti tidak menyadari, atau sebenarnya menyadari(?) namun menafikan bahwa kesenangan-kesenangan yang kita rasakan, segala kemudahan yang kita dapatkan, hakikatnya juga merupakan sebuah ujian. Apakah kita akan bersyukur atas segala kesenangan tersebut, atau justru semua itu membuat kita lalai dan lupa akan Dia?


Pada akhirnya, kita sering menemukan--atau bahkan melihat hal tersebut pada diri kita sendiri--betapa kita akan semakin dekat kepadaNya, ketika kita sedang ditimpa beragam kemalangan, dirundung kesedihan yang mendalam, atau dililit masalah-masalah yang rumit untuk diurai. 


Namun, ketika kita rasa hidup kita berjalan begitu mudah, rejeki mengalir berlimpah, tidak ada masalah-masalah, kita pun lalu terlena. Tanpa sadar kita lupa untuk lebih bersyukur padaNya. Betapa naifnya kita.


Dan itu semua adalah sebuah kenyataan bukan? Sebab, seperti itulah yang lebih sering kita temukan. Aku tidak akan menunjuk pada kalian. Akan kutujukan arah tanganku pada diri sendiri, karena aku mengakui, bahwa aku, diriku ini, pun cukup sering lalai saat diberiNya kenikmatan.


Tulisan ini bukan bermaksud untuk menggurui. Sebab aku tahu, diri ini hanyalah sosok lemah yang fakir ilmu. Tak patut rasanya mengajari orang lain untuk begini atau begitu dalam hidup mereka. 


Tulisan ini hanyalah semacam renungan untukku sendiri. Sekedar pengingat bagi diri yang kerap alpa. Sebagai penguat, karena diri ini kerap rapuh. Siapa tahu, setelah melakukan perenungan, Dia Yang Maha Baik, dan Maha Pengasih memberikanku sedikit ilham. Petunjuk terang untuk melalui liku jalan di depan yang masih panjang membentang. Sebab menulis bagiku, selain sebagai salah satu cara untuk menasihati diri sendiri, terkadang juga sebagai jejak pengingat, untuk mengenali siapa diriku sebenarnya.


(Bandung Barat, 04 Oktober 2021)

Rabu, 17 Juni 2020

SECRET PROJECT 2: TELETRANS


TELETRANS




"Zach! Lihatlah!"

Aku membentangkan tangan sedramatis mungkin saat Doktor Zacharry Raymond memasuki blok kerja kami di Laboratorium Workshop M031. LW M031 ini merupakan salah satu laboratorium workshop yang ada di SkyTech Enterprise, perusahaan tempatku bekerja. Kusebut salah satu, karena memang ada ratusan laboratorium workshop yang dimiliki SkyTech Enterprise sebagai raksasa bisnis yang usahanya mencakup seluruh dunia.

Aku dan Zach bekerja di unit pusat perusahaan yang berada di London. Kami sedang mengembangkan sebuah projek bersama. Pembuatan mesin teleportasi, yang kurancang sejak bertahun-tahun lalu. Mesin ini kami beri nama Teletrans. Progressnya sudah 90% saat ini.

"Apa?" Zach melangkah santai ke arahku yang berdiri di depan Teletrans.

"Kita harus melakukan uji coba lagi. Uji coba terakhir. Kapan kau ada waktu?"

"Kapan saja kau siap, Laiyla."

"Yah." Aku menggosok-gosok telapak tangan dengan penuh semangat. "Aku sudah tidak sabar."

"Jadwalkan saja waktunya. Nanti aku bersiap-siap, Nak."

"Baik. Aku segera berkoordinasi dengan tim. Kau akan kukabari."

***     ***   ***

Aku baru saja membubarkan briefing timku dan sedang menyusuri koridor LW M031 saat kulihat satu sosok berdiri di ujung lorong.

Arrgh! Jared Witheart. Mau apa dia?

Sambil berjalan aku memindai setiap blok yang berada di kiri dan kanan koridor. Mencari celah untuk menghindari Jared. Sial! Tak ada kesempatan.

"Laiyla!"

Pintu blok di sebelah kananku terbuka tiba-tiba. Zach berdiri di sana dengan senyum lebarnya.

"Hai, Zach!" Aku segera mendekat ke arahnya. Melangkah cepat sambil melirik ke ujung lorong. Sosok Jared sudah tak ada lagi di sana. Ke mana dia?

"Sudah kau putuskan kapan uji cobanya?" Zach bertanya sambil memberi isyarat agar aku mengikutinya.

"Lusa. Kami sudah sepakat. Besok kita lakukan penyempurnaan-penyempurnaan sambil mengecek ulang segala sesuatu."

***     ***    ***

"Semua bersiap dalam posisi masing-masing." Zach memberi komando. Ia berdiri di depan layar monitor sambil memasukkan kode akses.

Dari balik panel kontrol ruang kemudi Teletrans, sekuat tenaga kuredam debaran jantungku. Berusaha keras menampakkan wajah tenang sambil mengecek semua persiapan satu demi satu. Tenang, Laiyl, tenang.

"Laiyl, kau siap?" tanya Zach. Aku mengacungkan ibu jari. "Baiklah. Hitungan ke tiga kau tekan tombol power Teletrans. Mesin akan menghitung mundur sebelum mengantarmu ke LW A001, SkyTech unit Jakarta. Sudah ada tim yang menunggumu di sana. Jika perhitungan kita tepat, kau akan tiba di sana dalam tiga puluh detik. Enam puluh paling lambat."

"Diterima, Zach!" sahutku melalui alat komunikasi. Kulihat Zach tersenyum. Tidak jauh dari sana kulihat Mr. Salvatore Borsellino duduk diiringi pengawalnya. Beberapa penanggung jawab projek dari blok lain LW M031 juga ada di sana. Termasuk Jared Witheart.

Ck! Kenapa dia harus ada di sini?

"Oke. Aku akan mulai menghitung. Kau tahu apa yang harus dilakukan. Pada hitungan mundur ke lima, kubah kaca Teletrans akan menutup dan mengunci rapat."

"Diterima, Zach!"

Zach mulai menghitung. Tepat di hitungan ke tiga, kutekan power Teletrans. Mesinnya berdengung halus. Teletrans mulai bergetar.

"Sepuluh!" Suara komputer terdengar di seluruh ruangan.

"Sembilan!"

"Delapan!"

"Tujuh!"

"Enam!"

"Lima!"

Aku menunggu kubah kaca menutup, tetapi tak ada yang terjadi.

"Empat!"

"Zach, ada kesulitan.  Kubah tak mau menutup."

"Tekan tombol pembatalan." kata Zach.

"Pembatalan ditolak!"

"Tidak bisa, Zach!" Seruku. Suaraku bergetar. Ada apa ini? Percobaan-percobaan sebelumnya selalu lancar. Teletrans bekerja dengan semestinya. Memindahkanku dari ruangan blok ini ke blok lain yang sudah disiapkan.

Getaran Teletrans semakin menggila. Sebentar lagi benda ini akan melesat memangkas jarak. Apa jadinya jika kubah pelindungnya tidak ditutup.

"Tiga!"

"Keluar dari sana, Laiyl." Suara Zach terdengar panik. Aku masih mencoba menekan tombol di papan kontrol.

"Dua!"

Kulihat orang-orang semakin panik. Lalu  sosok Jared berlari. Ia melesat cepat ke arahku.

"Cepat keluar Laiyla!" teriaknya. Ia menarik tanganku.

""Satu!"

Kurasakan dorongan kuat pada Teletrans disertai suara memekakkan. Teletrans seperti memasuki sebuah lorong spiral. Begitu cepat. Aku berteriak ngeri. Seseorang juga berteriak di dekatku. Baru kusadari, Jared masih memegangi tanganku. Dia terbanting-banting di luar Teletrans.

***      ***     ***

Enam puluh detik yang terasa begitu lama. Kemudian, guncangan berhenti. Dengungnya pun menghilang. Kami berada di sebuah ruangan gelap sekarang. Dalam hatiku bertanya-tanya, apakah kami tiba malam hari di Jakarta?

Suara keras batuk membuatku terlonjak. Aku segera melompat keluar. Menabrak sesuatu. Sesuatu yang bisa menjerit keras.

"Argh! What the--"

"Jared?"

"Laiyla?" Ya, itu suara Jared. Aku menarik napas dalam. Kekesalanku pada Jared belum tuntas sebenarnya, tetapi di situasi semacam ini tidak mungkin aku menunjukkannya pada Jared bukan? "Di mana kita?"

"Mungkin ini LW A001 unit Jakarta. Tapi entahlah. Aku tidak yakin."

Kemudian satu garis cahaya menyorot. Memberi sedikit penerangan di sekitar kami. Kulihat siluet Jared yang memegang senter di tangan.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Jared sambil menyorotkan senter ke penjuru ruang.

Ruangan ini tidak terlalu luas dengan atap yang melengkung hingga ke lantai. Aku mengernyitkan kening. Ini jelas bukan ruang LW. Ini ... astaga!

"Jared? Apakah menurutmu ini--"

"Sebuah gua? Ya ini memang gua, Laiyla. Kenapa mesinmu membawa kita ke gua?"

"Aku, aku tidak tahu." sahutku menahan dongkol. "Ini kekeliruan."

Jared menoleh. Dalam keremangan cahaya senter, kulihat Jared mengangguk.

"Sebaiknya kita cari tahu saja dulu di mana posisi kita sekarang." Jared memberi isyarat agar aku mengikutinya.

"Jangan cepat-cepat. Di sini gelap!"

Jared berhenti dan membalik. Ia mengulurkan tangannya.

"Ayo."

"Kau hanya perlu memperlambat langkahmu." Aku menjawab dengan ketus.

"Laiyla. Seperti katamu, di sini gelap. Aku tidak mau punya resiko kehilanganmu sementara kita tidak tahu ada di mana saat ini."

Betul juga.

Maka kusambut uluran tangan Jared. Ia menggenggam tanganku. Hangat. Mendadak debaran di dadaku kembali lagi seperti biasa saat aku berada di dekatnya. Tuhan, padahal aku sudah bertekad untuk membencinya setelah dia mengabaikan aku di pesta tempo hari.

"Laiyla, lihat!" Jared berbisik. Ia menarikku bersembunyi di balik tonjolan batu di tepi gua. Ia menunjuk ke depan. Di mana kulihat sekelomppk orang berpakaian kulit binatang--atau kulit kayu?--mengelilingi api unggun yang berkobar. Mereka membawa tombak-tombak kayu dengan mata tombak terbuat dari serpihan batu tajam. Kulit mereka kecoklatan dengan mata berkilat kebiruan.

"Ya Tuhan," desisku, "siapa mereka?"

"Dilihat dari ciri-cirinya, kurasa, mereka ini Cheddar Man." Jared ikut berbisik. "Laiyla?"

"Huh?"

"Selamat! Mesinmu tidak membawa kita berteleportasi ke tempat lain."

"Maksudmu? Kita tetap di London?"

"Ya. Hanya saja, ini London puluhan ribu tahun yang lalu. Dan mereka itu nenek moyang kita."

BandungBarat, 16 Juni 2020

SECRET PROJECT

SECRET PROJECT
#cerpen Lily N. D. Madjid



BRAKKK!

Pintu ruang penghubung itu terbanting dengan keras. Dengan penuh rasa marah aku bergegas. Apa-apaan itu tadi? Jared bodoh! S*alan! Bisa-bisanya dia berbuat seperti itu? Mengabaikanku seolah-olah aku manusia tak kasat mata. Alih-alih menyapa dia malah asyik bercengkrama dengan yang lainnya. Dasar bodoh! Aku benci Jared.

Oke, oke! Itu memang hak dia untuk bergaul dengan siapa saja dalam pesta itu. Itu memang hak dia untuk melakukan apa pun yang dia suka. Terserah! Aku toh bukan siapa-siapanya. Dan aku memang tidak pernah berarti apa-apa bagi dirinya, 'kan?

Ya Tuhan, kenapa kenyataan itu bisa terasa begitu pahit?

Kuhempaskan tubuhku di bangku taman. Menarik napas dalam-dalam mencoba mengusir sesak yang menyeruak di dada. Ingar bingar suara musik dan canda tawa dari ruangan yang kutinggalkan menembus masuk hingga ambang pendengaranku. Samar, tetapi tetap terdengar.

Demi apa aku ada di sini?

Teringat percakapanku dengan Jared lewat telpon beberapa hari lalu.

"Kamu hadir ke acara launching lusa?" tanyanya waktu itu.

"Well, Bos Besar mengharapkan kita semua hadir bukan?" Aku menjawab sambil sibuk meredakan gemuruh di dada.

Begitulah bodohnya aku. Selalu seperti itu setiap kali berbicara dengan Jared. Padahal hanya bicara lewat telepon. Jangankan telepon, saat kami mengobrol lewat teks melalui aplikasi perpesanan pun hatiku seringkali bergetar dan seolah berdenyar. Ya, aku rasa aku memang gila, untuk semua yang berhubungan dengan Jared.

"Jadi, kau datang?"

"Ya. Kau?"

"Seperti yang tadi kau katakan, Bos Besar mengharapkan kita semua hadir di sana. Ini acara besar Laiyla. Dengan pesta yang juga besar. Kudengar media-media akan meliputnya."

"Ya. Project ini sudah lama digembar-gemborkan pada khalayak. Siapa yang tak ingin menyaksikan peluncurannya? Mereka pasti tak sabar ingin melihat bagaimana sebuah mobil terbang berbahan bakar air bekerja."

"Aku pun tak sabar."

"Tentu saja. Kau tim perancangnya, Jared. Tentu ingin menyaksikan bagaimana karyamu mendapat sambutan semua orang."

"No, Laiyl. Bukan itu."

"Lalu apa?"

"Aku tak sabar ... melihatmu berdiri anggun di pesta itu nanti."

Ya Tuhan! Bagaimana mungkin dia bisa berkata seperti itu tempo hari. Membuatku tak bisa tidur, dan gelisah menunggu datangnya malam ini, hanya untuk membuktikan ucapannya. Lalu menyaksikan kenyataan yang ada berbeda 180° dari bayanganku.

 Jared pembohong!

Jangankan melihatku. Melirik saja tidak. Padahal beberapa kali aku berdiri di dekatnya. Beberapa kali ia berjalan melewatiku dengan senyum cerahnya. Namun, matanya terus menghindariku dengan menatap entah ke mana. Senyum yang yang nyaris terkembang di bibirku otomatis menguap, dan kubatalkan niat untuk menyapanya.

Aku benci Jared!

*** *** ***

"Laiyla?"

Satu suara mengejutkanku yang sedang berjalan melintasi koridor panjang menuju ruanganku. Aku berhenti. Di depan laboratorium workshop M031 terlihat siluet seseorang berdiri di bawah bayangan tiang penyangga bangunan.

Aku mendekat, siluet itu semakin jelas.

"Dr. Raymond?" tanyaku.

"Ck! Sudah kubilang panggil aku Zach." sosok itu berdecak sebal. Aku tersenyum.

"Sorry, Dr. Ray, eum ... Zach. Sedang apa di sini? Kenapa tidak bergabung di aula?"

"Kamu sendiri sedang apa di sini? Mengendap-endap sendiri dalam gelap?"

"No, Sir! Saya tidak mengendap-endap. Saya sedang menuju ruangan saya ta--"

"Ah, menghindari seseorang, kurasa. No, jangan menyangkal. Dengar, tak ada seorang gadis muda yang akan menyelinap keluar dari meriahnya pesta jika tidak sedang menghindar dari seseorang yang membuatnya patah hati. Hahaha ....!"

S*al! Kenapa Dr. zach Raymond bisa menebak dengan jitu?

"Anda sendiri sedang apa di sini? Mengapa tidak bergabung dalam pesta itu? Dan, hei--" aku terbelalak ketika menyadari kami ada di mana. "Laboratorium Workshop M031 tempat terlarang, bukan?" kataku sambil memelankan suara.

"Memang, tetapi tidak untukku. Aku sedang menyelesaikan sebuah projek. Mmm ... kebetulan sekali kita bertemu. Aku ... ah, masuklah dulu. Kita bicara di dalam." katanya.

Ia menggesekkan kartu pass di tangannya. Seketika pintu lab membuka. Dr. Raymond berbalik dan mengangguk padaku yang masih berdiri ragu.

"Jangan takut. Aku tak akan mencelakakanmu," katanya lalu melangkah masuk. Dengan antusias aku mengikutinya. Padahal tadinya aku hanya ingin menuju ruanganku dan menenangkan diri dari rasa marahku pada Jared. Tapi, ah, masa bodoh dengan Jared Witheart itu. LW M031 lebih menarik untukku. Sudah sejak lama aku penasaran, projek-projek besar apa lagi yang sedang disiapkan di dalamnya.

Jangan bayangkan LW M031 seperti Laboratorium workshop di kampus-kampus teknik atau apa. Tidak, ini jauh lebih hebat. Di dalamnya terdapat beberapa blok dan setiap blok berisi projek-projek berbeda. Projek-projek rahasia.

Zach membawaku ke salah satu blok. Di sana kami melewati satu pintu berpengaman ganda. Zach mendekati alat pemindai mata sebelum kembali menempelkan kartu passnya.

"Akses diterima."

Suara komputer bergema tepat sebelum pintu berdengung membuka. Aku memasuki ruangan luas di depanku dengan penuh rasa takjub. Berbagai perkakas modern dan mutakhir kulihat tersedia dalam ruangan ini. Aku menyentuhnya satu persatu. Norak sekali. Itu kusadari setelah melihat tatapan Zach yang setengah tersenyum melihat tingkahku.

"Hei, Zach! Ini hebat!"

"Memang. Tidak ada yang tidak hebat di LW M031, Laiyla. Ini laboratorium workshop tercanggih yang pernah ada di negeri ini. Tepatnya sih, tidak ada yang tidak hebat di SkyTech Enterprise." Zach berkata dengan bangga.

Ada. Jared Whitheart. Dia tidak hebat.

"Wah! Benarkah? Lalu ... mengapa kau membawaku ke sini?"

"Ah, ya. Itu hal penting yang akan kubicarakan denganmu."

Zach membuka sebuah kotak besi yang juga berpengaman ganda. Mengeluarkan sebuah berkas dari sana dan meletakannya di atas meja di hadapanku. Lagi-lagi aku terbelalak saat mengenali berkas itu.

"Zach! Ini cetak biru mesin teleportasi yang kubuat beberapa tahun lalu!" seruku heran.

Ya, jadi begini, aku merancang sebuah mesin teleportasi beberapa tahun lalu. Saat itu setiap pegawai baru di Skytech Enterprise diminta mengajukan sebuah rancangan inovatif. Aku sudah meneliti tentang kemungkinan-kemungkinan pembuatan mesin teleportasi sejak masih menjadi mahasiswa di kampusku dulu.

Rancanganku dinilai baik oleh Bos Besar. Aku ingat, ia memujiku sebagai seorang yang cerdas. Tetapi itu saja tidak cukup. Katanya masih jauh hingga kita dapat mewujudkan sebuah mesin teleportasi menjadi nyata.

Ah, aku benci dengan segala basa-basi itu. Dengan kata lain ia menganggap karyaku sebagai khayalan semata 'kan? Padahal aku sudah menjelaskannya dengan rinci, menyertakan perhitungan-perhitungan fisikanya dengan lengkap dan gamblang. Tidak mustahil untuk merealisasikannya.

Ia tetap tidak menerima saat kukemukakan semua pemaparan tentang projek itu. Alih-alih menerima, ia malah menyanggahnya dan mematahkan semua argumenku.

"Kita hidup dalam realita, Miss Soeninta. Bukan sains fiksi semata. Dan realita bagi kita adalah bisnis. Nah, cobalah rancang sesuatu yang inovatif dan layak jual."

Layak jual katanya? Apa dia tidak tahu jika mesin teleportasi bisa menjadi tambang emas jika kami merealisasikannya. Dan INI bukan hanya sekedar sains fiksi semata seperti yang ia katakan.

"Sedang mengenang masa lalu, Laiyl?" Suara Zach Raymond membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum pahit.

"Semacam itulah," kataku. Apakah lelaki paruh baya di depanku ini seorang pembaca pikiran atau apa? Sudah dua kali dia menebak isi kepalaku dengan jitu.

"Fokuslah. Karena aku membawa kabar gembira untukmu." Zach tersenyum lebar.

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu menarik sebuah kursi di seberangku. Ia duduk, lalu mulai membentangkan berkas-berkas itu di hadapanku. Aku rasa dia akan memberi kabar yang benar-benar hebat. Jadi, aku berdiam diri, siap-siap menerima kabar besar itu.

"Dengar," katanya dengan suara yang sengaja dibuat sedramatis mungkin. Aku sudah mempelajari cetak biru yang kau buat. Bahkan sudah melakukan riset ulang sebenarnya. Kupikir ...." Zach sengaja memenggal kalimatnya. Menatapku sambil tersenyum.

"Apa? Cepat katakan!" kataku. Zach masih tersenyum. "Dr. Raymond, please, jangan membuatku penasaran."

"Hahaha! Tidak sabaran.” Ia terkekeh. Tawanya bahkan semakin keras saat melihatku memutar mata. “Sabar, Nak. Jadi,  kupikir tidak mustahil untuk merealisasikan projek ini,” katanya. Aku nyaris melompat kegiranagan. Untung saja aku bisa menahan diri. Namun, tak urung Zach terbahak menertawakanku.

“Zach? Benarkah? Jadi kau akan membuat sebuah mesin teleportasi?”

“Aku? Tentu tidak.”

“Ah! Tapi kau bilang—“

“Kau, Miss. Kau yang akan membuatnya. Aku sudah membicarakan ini dengan Salvatore.”

“Apa? Benarkah?”

"Kenapa? Kau tidak mau? Kalau begitu biar kuserahkan projek ini pada Jared Witheart. Dia ppemuda yang sangat berbakat.”

“Tidak.” Aku menggeram. “Aku mau, tentu saja, tapi, benarkah kau sudah membicarakannya dengan Bos Besar? Maksudku, Mr. Borsellino?”

“Tentu saja.”

“Apa katanya? Bukankah dulu dia menolak gagasan ini mentah-memntah?”

"Tentu saja Salvatore setuju. Aku sudah membujuknya. Aku tahu Laiyla, projek ini projek besar. Pasti akan sukses besar. Dan kamu, Laiyl, kamu yang akan membawakan kesuksesan itu untuk SkyTech Enterprise.”

(bersambung hingga part 2 saja)

BandungBarat, 16 Juni 2020


INTO THE WILD: MEMAKNAI HIDUP DARI SUDUT PANDANG BERBEDA



INTO THE WILD: MEMAKNAI HIDUP DARI SUDUT PANDANG BERBEDA
#SebuahReviuFilm
#SpoilerAlert




Judul Film: Into the Wild
Tahun rilis: 2007
Sutradara: Sean Penn
Pemain: Emile Hirsch, Marcia Gay Harden, William Hurt, Jena Malone, Catherine Keener, Brian Dierker, Vince Vaughn, Zach Galifianakis, Kristen Stewart, Hal Holbrook.


Pertama kali saya menonton film Into the Wild sekitar tahun 2009 atau 2010 di chanel HBO. Kemudian kembali menontonnya beberapa waktu lalu saat link film ini tanpa sengaja melintas kembali di linimasa media sosial saya. Film yang dibuat berdasarkan kisah nyata Christopher Johnson McCandless (diperankan dengan baik oleh Emile Hirsch) ini bercerita tentang seorang mahasiswa cerdas yang berasal dari keluarga kaya di Washington DC, yang meninggalkan rumah, karena ingin bertualang menuju Alaska.

Ketidakharmonisan hubungan kedua orangtua membuatnya menyimpan kemarahan dan memiliki keinginan untuk memberontak. Ditambah lagi dengan pemikiran idealisnya dalam memandang kehidupan membuat ia cenderung menjauhkan diri dari kehidupan modern. Memiliki impian untuk hidup di alam bebas, tanpa orang lain.

McCandless kemudian diceritakan betul-betul pergi setelah mendonasikan seluruh uang tabungannya, membakar uang tunai yang dimilikinya dan bergantung pada alam sepenuhnya. Sekuat tenaga bertahan di tengah kebekuan dan kesunyian pegunungan, di kawasan dengan cuaca dan kondisi yang berat untuk tinggal. Lalu hidup di sebuah bus, Fairbanks 142 peninggalan International Harvester tahun 1940-an.

Walau pada awalnya perjalanan itu bertujuan untuk menggapai kebebasan dan menghindari orang lain, tapi pada kenyataannya justru membawanya bertemu dengan orang-orang yang pada akhirnya membuat ia menyadari, bahwa kebahagiaan hanya dapat dirasakan saat kita membaginya dengan orang lain.

Adegan pembuka film ini dimulai dengan menampilkan petikan puisi dari Lord Byron yang menggambarkan pemikiran McCandles. Kemudian mata kita dimanjakan dengan suguhan keindahan alam yang luar biasa saat McCandle memulai perjalanannya menuju alam bebas. Ini menjadi salah satu kelebihan dari film Into the Wild. Sejak awal hingga akhir, tak putus-putusnya menampilkan pemandangan indah yang mengesankan.

Tidak hanya itu, selain pemandangan indah, theme song pengiring film ini juga memperkuat penggambaran cerita. Deretan lagu-lagu yang dibawakan oleh Eddie Vedder, begitu memanjakan telinga dan membuat kita ingin ikut bersenandung. Sebut saja Long Night yang menjadi lagu latar pada opening scene, Hard Sun, Society, No Ceiling, Guaranteed, Far Behind, Rise, Tuolumne, dan End of The Road. Semuanya hadir untuk memperkuat jalan cerita yang disuguhkan.

Selain itu, film ini juga begitu banyak menyuguhkan pemikiran-pemikiran  McCandless yang membawa kita untuk turut berpikir, dan merenungi hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Misalnya saja, pada adegan-adegan awal saat McCandless menjalani acara wisuda di kampusnya. McCandless mengajak kita merenung dengan pandangannnya yang mengatakan bahwa orang-orang yang dilihatnya itu adalah orang-orang belum dewasa yang bodoh, dan akan segera tamat.

Ada juga pemikirannya yang menyatakan bahwa 'kebebasan yang hakiki adalah ketika kita bebas pergi ke mana saja yang kita inginkan, menjauhkan diri bahkan dari sejarah, tekanan hukum dan kewajiban yang menjengkelkan' dan 'bahwa benda-benda hanyalah benda, yang tidak dapat mengikat kita'.

Pemikiran-pemikiran tersebut pada akhirnya juga membuat kita dapat memahami, mengapa seorang McCandless melakukan perjalanan itu. Ia ingin melepaskan semua yang bersifat materiil dari dirinya, bahkan ia juga melepaskan namanya dan menggantinya menjadi Alexander Supertramp.

Dari segi jalan cerita, Into the Wild memang agak sedikit membuat kita mengerutkan kening karena menggunakan alur flashback berkali-kali yang memaksa kita untuk tetap fokus agar dapat mengikuti jalan cerita. Disuguhkan dalam dua sudut pandang yaitu sudut pandang Carine McCandless (Jane Malone) sang adik, dan sudut pandang Christopher sendiri berdasarkan catatan hariannya. Namun, film ini tetap berhasil meraih sukses besar. Meraih 2 kategori Oscar, 7 penghargaan lainnya, dan masuk dalam 24 nominasi lain.

Ada banyak pesan moral yang dapat kita petik dari film ini. Misalnya saja, tentang peranan penting orang tua dalam kehidupan anak. Bahwa setiap laku orang tua (baik positif atau negatif) secara signifikan akan mempengaruhi langkah anak-anaknya dalam menjalani hidup mereka ke depan.

Juga tentang betapa berartinya keluarga bagi setiap orang. Walaupun seringkali hal itu baru disadari saat orang tersebut sudah tidak ada lagi di dekat kita. Ini digambarkan saat orang tua Christoper McCandless yang selama ini begitu mementingkan karier mereka, menyadari dan merasakan kehilangan yang memdalam setelah Chris memutuskan pergi meninggalkan rumah. Atau, ketika Jan Burres (Catherine Keener) yang ditemui Chris dalam perjalanan, berkisah tentang Reno, anaknya yang menghilang sejak lama. Atau cerita Ron Franz (Hal Holbrook) yang kehilangan anak dan istrinya di masa lalu, dan berniat mengadopsi Christopher McCandless.

Secara keseluruhan, Into the Wild adalah film yang sangat menarik. Walau selalu mengajak kita untuk berpikir dan merenung, namun dapat memberikan kita pencerahan. Film ini juga mengajak kita untuk sesekali memandang hidup dari sudut pandang yang berbeda.

BandungBarat, 14 Juni 2020

MENUMBUHKAN KEBIASAAN MEMBACA PADA ANAK



MENUMBUHKAN KEBIASAAN MEMBACA PADA ANAK




Sering kita menemukan informasi, baik di media cetak maupun elektronik, yang menyatakan bahwa kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia jauh tertinggal. Salah satu informasi tersebut dapat ditemukan pada situs resmi Kantor Bahasa Bengkulu (kantorbahasabengkulu.kemdikbud.go[.]id), yang menyatakan bahwa kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia berada pada urutan 60 dari 61 negara.

Informasi itu bukanlah sekedar informasi tanpa data, sebab diperoleh berdasarkan penelitian pemeringkatan literasi internasional Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University, Maret 2016 dan dilansir oleh jpnn[.]com pada 13 April 2016.

Setelah mengetahui data tersebut tentu kita merasa miris, bukan? Bagaimana tidak, karena berdasarkan hasil penelitian itu, kemampuan membaca dan menulis negara kita dinilai nyaris berada pada posisi juru kunci. Dalam tulisan ini, saya tidak akan menyoroti keduanya melainkan salah satunya saja, yaitu kemampuan membaca.

Kemampuan membaca di sini tentu saja bukan sekedar mengenali simbol-simbol huruf yang terdapat dalam sebuah teks. Melainkan juga sebagai suatu proses mental atau proses kognitif, yang dalam proses tersebut seorang pembaca diharapkan bisa mengikuti dan merespon pesan penulis (Davies, 1997 dalam Nurlaela, 2013).

Bagaimana seorang anak dapat memiliki kemampuan membaca yang baik? Jawabannya tidak lain adalah dengan melakukan pembiasaan-pembiasaan sedari kecil. Repetition is mother of knowledge, demikian ungkapan Barat yang dikutip oleh situs m.hidayatullah[.]com, yang memiliki arti, pengulangan atau pembiasaan adalah induk dari ilmu atau pun pengetahuan dan ketrampilan.

Dari sana, dapat kita jadikan pijakan bahwa jika menginginkan anak-anak kita memiliki kemampuan atau keterampilan membaca yang baik, maka biasakanlah sejak dini. Apakah sulit membiasakan anak-anak untuk membaca? Berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan-pengamatan, ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk memudahkan pembiasaan membaca pada anak.

1. Pemberian contoh atau teladan

   Segala sesuatu dimulai dari orang tua. Jika menginginkan anak yang biasa membaca, maka berilah teladan. Sangat tidak masuk akal jika kita mengharapkan anak memiliki hobi membaca, sementara mereka tidak pernah melihat kita, orang tuanya, membaca. Jika di lingkup sekolah, tentu bapak dan ibu guru yang berperan sebagai pemberi teladan.

2. Sediakan fasilitas membaca yang memadai

   Sediakanlah buku-buku di rumah, tentu yang sesuai dengan usia anak kita. Setelahnya, letakkan buku di tempat-tempat yang mudah dilihat dan dijangkau oleh mereka. Percayalah, dengan melihat contoh dari orang tua yang gemar membaca, lalu tersedianya buku-buku di dekat mereka, niscaya minat mereka untuk mengetahui isi buku akan muncul.

  Jika kondisi tidak memungkinkan untuk membeli buku, mengajak mereka secara berkala ke perpustakaan atau taman bacaan adalah pilihan pengganti yang baik. Apalagi perpustakaan biasanya memiliki koleksi buku yang lebih beragam, sehingga lebih banyak jenis yang bisa dipilih oleh anak bergantung pada minat mereka.

3. Ceritakan bagian menarik buku yang kita baca

   Trik lain yang bisa dilakukan untuk memancing minat anak untuk membaca adalah dengan menceritakan bagian menarik dari isi buku. Tentu tidak semua kita ceritakan pada mereka. Sebagian saja, sekedar membangkitkan rasa ingin tahu dalam diri mereka.

4. Jauhkan gawai dari anak

   Terakhir, mungkin yang paling signifikan untuk membantu menumbuhkan minat baca pada anak adalah dengan menjauhkan gawai dari mereka. Paling tidak membatasi penggunaannya. Gawai di sini beragam jenisnya, mulai dari televisi, komputer, tablet hingga ponsel. Semakin sedikit mereka beraktivitas dengan gawai, semakin besar kemungkinan mereka untuk beralih pada buku, sebagai alternatif mengisi waktu mereka.

Keempat hal di atas mungkin hanya sebagian kecil cara yang dapat dicoba oleh para orang tua atau guru, yang menginginkan anak-anak atau anak didiknya lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan membaca buku.

Sumber referensi:
https://kantorbahasabengkulu.kemdikbud.go.id/2018/01/23/menyoal-geliat-literasi-di-indonesia/

https://m.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2017/12/05/129681/pembiasaan-bagian-penting-pendidikan-anak.html

https://www.paud.id/2015/11/contoh-penanaman-sikap-anak-paud.html

http://www.luthfiyah.com/2013/04/tentang-kemampuan-membaca.html?m=1

BandungBarat, 13 Juni 2020
.

SISI LAIN PANDEMI

SISI LAIN PANDEMI
~Sebuah Opini Lilynd Madjid~




Hari ini, tema 30HM adalah membuat opini terhadap berita yang sedang aktual. Setelah selesai mengecek tema harian, segera saja saya membuka aplikasi pencari yang ada di ponsel dan mulai meramban di sana.

Tema yang sedang aktual tentu saja tema seputar pandemi covid 19 dan segala permasalahannya. Sebagian besar laman media daring yang saya buka membahas tentang hal tersebut. Dari mulai informasi mengenai naik atau turunnya kasus corona, klaim penemuan vaksin corona, informasi tentang orang yang melakukan hal-hal yang kurang masuk akal karena menghindari rapid tes, dan banyak lagi informasi lain terkait topik pandemi tersebut.

Ketika sedang memindai halaman pencarian itulah mata saya berhenti di salah satu judul yang terdapat di halaman berita sepakbola Republika. Berita tersebut bertajuk 'Rashford Targetkan Tak Ada Lagi Anak Kelaparan di Inggris'.

Wow! Itulah kata yang pertama terlintas dalam benak saya saat membaca judul tersebut. Mulia sekali hati si Rashford ini, pikir saya. Sambil bertanya-tanya, siapakah dia.

Sejujurnya, saya bukan penyuka sepak bola. Hingga tidak pernah mengamati, apalagi mengikuti hingga mendetil, informasi-informasi di sekitar dunia persepakbolaan. Jadi, semoga saja bisa dimaafkan jika saya benar-benar tidak tahu siapa Rashford sebelumnya.

Setelah membaca isi berita, barulah saya tahu jika yang dimaksud adalah striker Manchester United, Marcus Rashford. Dalam berita tersebut dikatakan bahwa selama terjadi lockdown, Rashford telah membantu mengumpulkan dana amal sebesar 358 miliar rupiah, atau setara 20 juta poundsterling

Jumlah yang cukup fantastis bukan? Masih dalam halaman berita sepak bola Republika itu, disebutkan juga jika Rashford bahkan berniat untuk terus melakukan aksi pengumpulan dana tersebut, dan bekerja sama dengan sebuah organisasi pendistribusian bahan makanan FareShare untuk memasok makanan kepada orang-orang yang rentan terkena dampak pandemi.

Pikiran saya segera saja mengingat beberapa pemberitaan tentang pengumpulan dana yang dilakukan oleh sederet selebritas negeri ini. Sebut saja beberapa nama seperti Chicco Jerikho, Dian Sastro, Atta Halilintar, Maia Estianty, Afgan dan beberapa influencer lain. Mereka semua, seperti halnya Marcus Rashford--bekerja sama dengan platform atau situs pengumpulan dana--telah berupaya membantu orang-orang yang terdampak secara langsung adanya pandemi ini.

Di tengah segala macam permasalahan yang muncul akibat covid19, berita-berita penggalangan dana yang dilakukan oleh para pesohor baik dalam negeri maupun manca negara, sedikitnya telah menunjukkan, bahwa ada sisi baik juga yang bisa muncul dan dapat dijadikan contoh, dari keberadaan pandemi, yaitu adanya rasa empati terhadap sesama manusia.

Ya, selain pemberitaan tentang munculnya stigma negatif terhadap orang-orang yang terpapar virus corona--yang menyebabkan mereka mengalami pengucilan dan perlakuan diskriminatif lainnya--ternyata masih ada hal positif yang bisa tumbuh dari keadaan ini.

Seharusnyalah jika sikap-sikap positif seperti ini yang terus dikembangkan sebagai langkah menyikapi berlangsungnya pandemi, dan bukan hal-hal buruk seperti melekatnya stigma negatif, yang harus ditumbuhkan dalam pola pikir masyarakat.

.
Link berita:
https://m.republika.co.id/berita/qbtc6a438/rashford-targetkan-tak-ada-lagi-anak-kelaparan-di-inggris

.
Referensi:
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/hype/read/2020/04/08/075511766/sederet-artis-yang-galang-dana-untuk-pekerja-informal-terdampak-covid-19?espv=1

https://m.detik.com/wolipop/foto-entertainment/d-4945804/7-artis--selebgram-indonesia-yang-galang-dana-untuk-lawan-virus-corona/2

https://www.google.com/amp/s/m.liputan6.com/amp/4275210/nasib-tenaga-kesehatan-berjuang-lawan-covid-19-malah-dapat-stigma-negatif?espv=1

https://m.liputan6.com/surabaya/read/4246366/awas-stigma-negatif-pada-pasien-corona-covid-19-bisa-bikin-depresi

https://amp.kompas.com/tren/read/2020/04/13/164454765/salah-kaprah-stigmatisasi-dan-diskriminasi-terhadap-pasien-covid-19

BandungBarat, 12 Juni 2020

PAHLAWAN DI SEKITAR KITA

PAHLAWAN DI SEKITAR KITA
~Lilynd Madjid~




Awal pagi, matahari mulai merangkak naik. Cahayanya memancar tanpa penghalang. Langit pun biru cerah, dihiasi awan putih yang menggantung di angkasa. Sesekali kokok ayam jantan terdengar dari kejauhan ditingkahi suara-suara lainnya. Menandakan aktivitas manusia telah dimulai pagi itu.

Di sudut salah satu jalan yang berada di sebuah perumahan di Desa Cilame kecamatan Ngamprah, Mang Nana (40), penjaja sayur yang biasa berjualan di sana sedang merapikan dagangannya. Biasanya, dia sudah tiba di sudut jalan itu sejak pukul lima. Menggelar dagangannya di emperan fasum komplek dalam keremangan suasana dini hari. Kadang ia melakukannya sendiri, kadang sang istri turut menemani. "Kalau ada yang diperlukan, saya sudah ada di ujung jalan ini sejak subuh," katanya saat ditanya.

Selesai mengemas dan merapikan dagangan, biasanya istrinya akan kembali ke rumah. Mang Nanalah yang akan menunggui dagangan mereka menanti pembeli hingga kurang lebih pukul delapan atau sembilan pagi. Setelahnya, sayur mayur dan barang dagangan lain akan kembali dikemas, lalu disusun dalam keranjang-keranjang sayur yang ada di bagian belakang motornya. Mang Nana akan berkeliling menjajakan dagangannya dengan teriakan khasnya.

Warga komplek sudah hafal ritme berjualan sang penjaja sayur itu. Jika ingin memperoleh sayuran dalam kondisi segar, biasanya pelanggan akan segera mendatangi lapak Mang Nana di sudut jalan.  Sementara untuk mereka yang memiliki kesibukan lebih padat di pagi hari, tentu akan memilih menunggu kedatangan Mang Nana di depan rumah mereka.

Kehadiran Mang Nana, sebagai satu-satunya penjaja sayur di komplek tersebut tentu saja ditunggu-tunggu oleh warga. Terutama oleh para ibu yang tinggal di perumahan itu. Lokasi perumahan yang cukup jauh dari pasar, semakin menambah arti penting kehadiran penjaja sayur tersebut.

Hampir sebagian besar dari warga perumahan menyadari hal tersebut. Dibuktikan ketika beberapa waktu lalu sang penjaja bahan pangan tersebut tidak hadir selama beberapa hari karena sakit, banyak ibu di sana yang mengeluh dan bingung. Hingga ketika ia kembali berjualan, pelanggannya menyambut dengan penuh suka cita.

Ibarat kata, Mang Nana adalah salah satu pahlawan--dari sekian banyak pahlawan yang ada di sekitar kita--bagi sebagian besar ibu rumah tangga di perumahan ini. Orang yang secara tidak langsung telah menjaga stabilitas dan keamanan perut setiap warga dengan bahan-bahan makanan yang dijajakannya. Apalagi saat diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) oleh pemerintah daerah seperti sekarang ini, keberadaan para penjaja sayuran seperti Mang Nana tentu sangat ditunggu-tunggu.

"Tetap jualan, Bu," katanya ketika saat awal masa PSBB lalu ia ditanya, apakah akan tetap berjualan atau tidak. "Takut mah takut juga, lihat berita banyak yang meninggal. Makanya harus pakai masker," katanya seraya menunjuk masker yang dikenakannnya.

Mengenai harga jual tentu saja ada beberapa item yang memiliki harga berbeda dari harga yang bisa kita dapat jika membeli langsung di pasar. Misalnya saja harga ikan--apalagi ikan laut juga hasil laut lain--atau sumber protein hewani lainnya, harganya akan lebih tinggi dibanding dengan harga yang dapat kita peroleh jika berbelanja di pasar. Sementara untuk harga sayur mayur dan produk sejenisnya bisa dikatakan sama dengan harga jual di pasar.

Namun, dibandingkan dengan resiko yang bisa kita dapat saat berada di kerumunan (di pasar), tentu selisih harga yang tidak banyak itu tidak perlu dipermasalahkan. Justru seharusnya kita berterima kasih kepada orang-orang seperti Mang Nana, yang telah memudahkan kita di masa social/ phisycal distancing seperti sekarang ini.

Sumber: Pengamatan dan wawancara nonformal dengan penjaja sayur langganan.

BandungBarat, 11 Juni 2020

Rabu, 10 Juni 2020

RENDEZVOUS

R     E     N     D     E     Z     V     O     U     S
~Cerpen Lilynd Madjid~




"Jadi?" Mary tersipu. Ia tak menyadari jika pipinya kini merona. "Pukul berapa kita bertemu?" tanyanya gugup.

Lelaki yang berbicara dengannya di line telpon seberang pun sama gugup dengan dirinya. Terdengar dari suaranya yang bergetar dan selalu tersendat.

"Ba-bagaiman jika pukul 10 pagi. Di kantin sekolah?

Mary tersenyum membayangkan wajah Andra yang berkelebat dalam lorong memori di kepalanya. Wajah itu pasti memerah kini, dengan keringat mengembun di dahinya. Seperti sosok Andra yang diingatnya saat mereka masih satu sekolah dulu.

"Kantin sekolah?"

"Ya." Suara Andra di seberang sana terdengar mulai santai. "Aku, ingin mengenang saat kita bersama dulu."

Hening sejenak. Dada Mary berdegup kuat. Ingin mengenang saat barsama, kata Andra? Apakah, termasuk juga tentang 'rasa' yang pernah mereka miliki di masa itu, namun kandas?

Ingatan Mary melayang. Saat ia dan Andra masih satu sekolah. Entah siapa yang memulai, hingga tumbuh bunga-bunga di antara mereka. Bunga-bunga indah yang bermekaran mahkotanya. Menebarkan harum aroma cinta. Cinta. Ya, cinta, dan mereka adalah sepasang kepik muda yang bermain di antara semerbaknya.

"Baik." kata Mary akhirnya.

"Kamu bisa, 'kan?"

"Aku? Tidak masalah."

"Aku juga!" Suara Andra terdengar antusias.

"Jadi, besok pukul sepuluh di kantin sekolah?"

"Ok."

"Bagaimana kalau, kita pakai seragam sekolah?"

"Hah? Serius kamu?" Ada nada terkejut dalam suara Andra di seberang sana. Mary tertawa kecil.

"Katamu ingin mengenang saat-saat kita bersama, dulu," ujar Mary sambil tertawa.

"Iya, tapi--"

"Kamu tidak mau?" Mary mendesak. Namun, di bibirnya terbentuk segurat senyum. Ia membayangkan raut wajah Andra yang bimbang.

"Baik."

"Hei!" seru Mary. "Aku tidak serius. Kita bisa memakai baju apa saja."

"Tidak, tidak. Kupikir tidak apa-apa. Supaya kita ... benar-benar merasa kembali ke masa itu." Suara Andra berakhir lirih.

Senyum Mary mengembang semakin lebar. Entah mengapa dadanya terasa bergetar. Ia benar-benar rindu pada Andra, rupanya. Ingin segera berjumpa kembali dengan lelaki itu.

"Ok, Andra. Sampai berjumpa besok?"

"Sampai berjumpa besok, Mary."

***

Mary merapikan seragam putih abu-abu yang dikenakannya sebelum memutuskan ke luar dari mobil yang dikemudikannya sendiri. Ia juga memeriksa riasan di wajahnya sesaat. Cukup mengesankan, pikirnya. Lalu dia menarik napas sejenak sebelum melangkah turun.

Dada Mary berdegup kencang. Perasaannya pun tak karuan. Ini pertama kalinya ia berjumpa kembali dengan Andra, setelah perpisahan yang sama-sama tak mereka inginkan dulu. Dulu ayahnya mendadak saja terkena mutasi ke pulau seberang. Itu membuat Mary harus pindah dari sekolah, dan berpisah dengan Andra secara tiba-tiba.

Sekian waktu mereka kehilangan kontak. Tak dapat saling meberikan kabar. Hingga mereka berdua harus menerima perpisahan itu dengan hati yang lapang. Sampai akhirnya, ia kembali ke kota ini dan media sosial kembali mempertemukan mereka.

Mary berjalan perlahan. Menatap sekelilingnya sambil menumpahkan lagi semua kenangan. Ia seperti melihat dirinya dan Andra di setiap sudut sekolah yang dilihatnya. Ya, banyak kenangan mereka di sini.

Mary berjalan melintasi halaman. Sekuriti yang berada di sana mengernyitkan dahi saat melihatnya.  Mary tersenyum.

"Reuni kecil," katanya mencoba menjelaskan. Pak  sekuriti ikut tersenyum.

Untungnya kegiatan belajar sedang berlangsung, hingga tak banyak orang yang berpapasan dengan Mary. Mary segera saja menuju kantin yang terletak di bangunan paling belakang. Dadanya kembali bergetar.  Ia bertanya-tanya, seperti apa Andra sekarang.

***     ***     ***

Kantin terlihat cukup berbeda. Lebih modern dibanding saat ia masih bersekolah di sini dulu. Mary bertanya-tanya, apakah stand bakso milik Mang Sapri yang menjadi pavorit para siswa kini masih ada?

Beberapa siswa tampak berkumpul di salah satu meja. Mereka menatap Mary dengan segurat  tanya di mata. Mary tersenyum. Mereka pasti anak-anak yang sedang ada jam kosong di kelasnya.

Lalu mata Mary memindai seluruh penjuru kantin. Seorang lelaki yang duduk di meja sudut berdiri dari duduknya. Ia melambai pada Mary. Sesaat Mary terpana. Kemudian gemuruh di dadanya kembali bergelora.

"Andra," bisiknya sambil berjalan mendekat.

Andra tersenyum. Gaya canggungnya masih tersisa. Mary tersenyum lagi dibuatnya.

"Mary, akhirnya kamu datang juga." Andra menjabat tangan Mary sambil menatap lekat pada matanya. "Kamu masih ... cantik seperti dulu."

"Ah, Andra. Jangan membuatku malu. Bagaimana kabarmu?"

"Aku? Seperti yang kau lihat." Andra menunjuk dirinya sendiri. "Duduklah."

Akhirnya mereka duduk berhadapan di sebuah meja. Saling menatap. Saling tersenyum. Saling berkabar dan menceritakan kisah hidup masing-masing setelah mereka berpisah dulu. Satu yang sama-sama mereka sadari, waktu yang terentang memisahkan ternyata telah membekukan sekian banyak kerinduan di antara keduanya. Kerinduan yang kini mencair seiring tatap mata dan untaian kata yang mengalir. Juga debaran dalam dada keduanya.

Kerinduan yang begitu kuat, membuat tatap mata mereka begitu lekat satu sama lain. Membuat senyum mereka rekah begitu cerah. Membuat debaran di dada mereka seumpama musik yang mengalun indah.

"Permisi, Mau pesan apa?" Seorang pelayan menyela percakapan keduanya. Andra menoleh pada Mary yang lalu mengedikkan bahunya.

"Apa bakso Mang Sapri masih ada?"

"Oh, ada, Kek. Kebetulan saya cucunya. Saya yang meneruskan Bakso Mang Sapri. Selain bakso, mie ayam, seblak, dan ramen juga ada."

"Kami pesan bakso saja."

Andra kembali menatap Mary yang masih tersenyum di hadapannya.

"Bukankah ini pertemuan yang sempurna?"

"Yah, setelah empat puluh tahun lamanya, semua nyaris masih seperti dulu. Bahkan makanan pavorit kita."

Lalu keduanya tertawa bersama. Kerut-kerut di wajah tua keduanya tercetak semakin jelas.

*Tamat*

Bandung Barat, 10 Juni 2020

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...