S E S A L
Cerpen Lily N. D. Madjid
"Lepaskan aku! Biar kuhajar anak itu! Biar kuhajar dia!"
Bapak merangsek maju ke arahku. Wajahnya merah padam. Giginya gemeletuk menahan amarah. Jika tak dipegangi oleh Lek Marwoto dan Pakde Dibyo mungkin sudah habis aku dihajar Bapak.
"Sabar, Dik, sabar... mari kita selesaikan dengan kepala dingin," Pakde Dibyo melerai.
Aku sendiri bergeming. Tetap ditempatku tanpa gentar. Sudah biasa aku menerima amarah Bapak, juga sikap tak acuhnya. Yah, walau pun untuk saat ini bisa dipahami jika ia murka padaku. Sebab kuakui, aku memang telah melakukan kesalahan.
"Lepaskan aku! Biar kuberi pelajaran anak itu!"
*** *** ***
Namaku Ari. Aku anak ke dua dari tiga bersaudara. Kakakku perempuan, sedang adikku laki-laki, dengan selisih umurnya cukup jauh dariku.
Bapakku seorang pedagang. Pemilik toko yang cukup ramai di pasar kota yang tak begitu jauh dari desa tempat kami tinggal. Kira-kira bisa ditempuh dalam satu atau dua jam perjalanan dari kampung kami. Bapak mencurahkan segala perhatiannya untuk kemajuan tokonya. Seringkali ia bahkan jarang pulang.
Dulu sekali, saat aku masih kecil, masih bisa bertemu Bapak setiap hari. Lalu seiring berkembangnya usaha Bapak, intensitasnya menjadi seminggu sekali, kemudian dua minggu sekali.
Di kota, Bapak menyewa rumah tak jauh dari lokasi toko. Sementara kami; Ibu, aku serta kakak dan adikku tinggal di rumah kami di luar kota. Kadang Ibu menemani Bapak, tetapi seringnya dilarang, karena kami anak-anaknya masih terlalu kecil untuk ditinggal.
Bapak pun tidak menginginkan kami pindah ke kota, dengan alasan tak boleh meninggalkan rumah kami di desa. Itu rumah pusaka orang tua Bapak. Jika ditinggal, Bapak khawatir rumah tersebut tak terawat dan mudah rusak.
Ibu selalu memaklumi ketidakhadiran Bapak di rumah. Kata Ibu, semua yang Bapak lakukan itu demi kebaikan kami semua. Demi masa depan keluarga kami. Demi kesejahteraan kami sekeluarga. Semua itu bisa dibuktikan dengan keadaan perekonomian keluarga kami yang bisa dibilang melebihi rata-rata tetangga-tetangga kami.
Tetapi kebahagiaan hidup tak melulu persoalan materi, bukan? Itu kusadari sejak aku menginjak masa akhir sekolah dasar. Jika sebelumnya aku merasa cukup dengan adanya ibu, kemudian aku mulai merasa ada yang kurang. Bapak. Ya, absennya Bapak dalam sebagian besar kehidupanku, membuatku merasa timpang.
*** *** ***
Saat aku memasuki masa sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk tinggal bersama Bapak. Ibu tidak melarang. Beliau malah senang.
"Baguslah, jadi ada yang menemani bapakmu di sana, Le," katanya saat aku pertama kali mengutarakan keinginanku. "Lagipula, kamu juga bisa mulai belajar mengurus toko jika kamu tinggal di sana," imbuh ibu lagi.
Lalu ibu menyampaikan hal itu pada Bapak, saat ia pulang. Awalnya Bapak terlihat agak kurang setuju.
"Siapa yang akan membantu ibumu mengurus rumah, dan kebun nanti," katanya waktu itu. Tetapi Ibu berhasil meyakinkan Bapak.
"Damai bisa membantuku untuk urusan rumah," katanya, "untuk urusan ladang dan kebun 'kan sejak dulu selalu diurus oleh Marwoto," lanjut ibu menyebut nama kakak dan pamanku.
Akhirnya, Bapak pun setuju setelah diyakinkan oleh Ibu. Malam itu aku langsung mengemasi pakaianku dengan hati senang. Aku akan tinggal di kota bersama Bapak. Hal yang diam-diam sangat kuinginkan selama ini.
Jujur saja, seringkali aku iri bila melihat Ardhi sepupuku membantu Lek Marwoto, bapaknya, saat bekerja di ladang kami. Mereka akan bekerja dengan gembira, diselingi gurau berdua. Lalu di sore hari mereka akan pulang, bersepeda bersama sambil bercerita di sepanjang jalannya.
Aku juga seringkali memandangi ustadz Ali yang datang ke masjid kampung kami bersama anak-anaknya. Senang sekali rasanya jika bisa seperti itu. Sementara aku, kenangan apa yang pernah ada antara aku dengan Bapak selama ini? Tak ada. Jika di rumah, Bapak hanya akan menghabiskan waktu untuk tidur, atau berada di kamar bersama ibu. Selebihnya? Tak ada. Sepertinya Aku lebih banyak menghabiskan kenangan masa kecilku tanpa bayangan Bapak.
*** *** ***
Tetapi harapan seringnya tak seindah kenyataan. Hidup dengan Bapak tak semanis yang aku bayangkan. Nyatanya, di desa atau di kota ini sikap Bapak sama saja. Bapak adalah Bapak, lelaki yang kaku dan tak banyak bicara. Percakapan kecil saja jarang bisa tercipta di antara kami. Bukan, bukan karena aku tak mau. Tetapi Bapak yang sepertinya tak punya waktu.
Angan-angan dapat melakukan aktifitas bersama Bapak buyar sudah. Bapak tetap lebih mengutamakan urusan toko daripada aku. Apalagi toko saat itu tak hanya satu, sudah berdiri satu toko lagi di pasar yang sama, dan sedang dirintis satu lagi di pasar lainnya.
Ia juga belum mau melibatkan aku dalam urusan toko. Aku masih bocah dalam pandangannya. Menurutnya, belum waktunya ikut mengurusi toko.
"Kamu anak bau kencur tahu apa? Urus saja urusanmu." Begitu katanya saat itu, waktu aku memintanya untuk membiarkanku belajar mengurus toko.
Agak kecewa sebenarnya. Seolah-olah Bapak menganggapku tak mampu. Padahal aku hanya ingin belajar. Ingin ikut dilibatkan dalam aktifitas bersamanya. Tapi mau bilang apa jika ia menolaknya?
Waktu berlalu. Hari, minggu, bulan, tahun semua berganti. Tapi hubunganku dengan Bapak seperti masih saja berjarak. Akhirnya aku menyerah. Mungkin memang begitulah dia. Maka kualihkan perhatianku pada hal-hal lain. Kesepian di rumah membuatku meluaskan pergaulan.
Teman-temanku semakin banyak. Aku bergaul dengan siapa saja tanpa batasan. Sepulang sekolah kini lebih sering kuhabiskan waktu dengan teman-teman. Untuk apa pulang ke rumah yang tak ada sesiapa di dalamnya selain Mbak Asih, asisten rumah tangga yang sejak lama bekerja di rumah Bapak.
Banyak hal-hal baru yang kemudian aku tahu melalui teman-teman. Termasuk hal-hal yang dulu tak terpikirkan akan kulakukan. Hal-hal yang disebut teman-teman 'keren dan kekinian'. Hal-hal yang menurut mereka 'jantan'. Ya, aku mengenal semua itu pada akhirnya. Melakukan hal-hal yang jika ibuku tahu, tentu ia akan sangat kecewa.
Tapi ibu tak tahu, bukan? Dan aku tahu, jika aku membatasi diri di rumah saja aku bisa lumutan. Maka kunikmati waktuku bersama teman-teman. Sampai tak terasa, aku terjerumus terlalu dalam. Kini aku pecandu obat-obatan. Padahal dulu hanya ikut-ikutan. Aku juga menjelma setan jalanan. Setiap malam kebut-kebutan. Balapan liar tentu saja.
Uang bukan masalah bagiku. Tak pernah jadi masalah sebab Bapak selalu memberiku uang berapa saja kuminta. Asal aku tak merecoki urusannya. Keleluasaan keuangan semakin membuatku menggila. Sekolah bukan lagi menjadi hal utama.
Sesekali aku pulang ke rumah ibu. Menginap di sana saat liburan. Bertemu teman-teman lama. Beberapa kukenalkan dengan gaya pergaulanku yamg sekarang. Dan yang paling menantang, mendekati anak gadis Wak Umar untuk kujadikan pacar.
*** *** ***
Malam itu aku pulang cukup larut dengan pikiran yang kusut. Aku kalah taruhan. Gila! Padahal aku yakin sekali timku bakalan menang. Biasanya timku memang selalu menang dalam setiap kesempatan adu balap di jalanan.
Kami bertaruh dengan tim Renold, rivalku di arena balapan liar selama ini. Dia yang menantang kami. Siapa yang memenangi balapan malam ini, berhak memperoleh seluruh uang taruhan. Tak tanggung-tanggung, nominal taruhannya sepuluh kali lipat uang saku bulananku dari Bapak. Di luar dugaan, kami ternyata kalah. Ck!
Kumasukkan sepeda motorku ke dalam garasi. Mencoba meminimalkan suara yang ditimbulkan. Aku takut Bapak bangun dan memergoki aku yang baru pulang. Aku masuk ke rumah menggunakan kunci cadangan yang selalu kubawa. Di depan kamar Bapak aku mengendap-endap.
Niatku ingin langsung menuju ke kamar, tetapi rasa haus memaksaku melangkah ke arah lemari pendingin di ruang makan. Aku baru saja meneguk air dingin yang segar saat suara-suara mencurigakan terdengar. Suara apa itu?
Kuedarkan pandangan. Tak ada tanda apa-apa. Suara itu seperti berasal dari... Tiba-tiba saja saja kepalaku dipenuhi kecurigaan. Aku menatap pintu kamar Mbak Asih yang hanya beberapa langkah dari tempatku berdiri. Kutajamkan pendengaran. Emosiku tiba-tiba memuncak. Kuterobos pintu kamar yang ternyata tak terkunci itu. Bapak dan asisten rumah tangganya itu tersentak oleh kehadiranku yang sepertinya tak mereka duga.
*** *** ***
Aku masih terpekur di depan pusara yang masih memerah basah. Pada nisan kayunya tertulis nama ibuku. Ya. Ibu baru saja pergi. Ia terkena serangan jantung saat menyaksikan pertengkaranku dengan Bapak.
Sejak kupergoki Bapak berselingkuh dengan Mbak Asih, Bapak selalu berbaik-baik padaku. Aku tahu, ia pasti berharap aku tutup mulut dan tak mengadukan kelakuan bejadnya pada ibu.
Cuih!
Aku memang tak mengadukan semuanya. Tetapi bukan berarti aku menyetujui perbuatannya. Tidak. Apa yang dia lakukan itu menjijikan. Pengkhianatannya pada Ibu itu tak layak dimaafkan.
Yeah, tetapi aku malah memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan uang lebih banyak dari Bapak. Benar, aku memeras Bapak. Uangnya kugunakan untuk bersenang-senang dan lagi-lagi bertaruh di jalanan.
Aku bahkan nekad mencuri isi brankas Bapak saat aku kembali kalah taruhan dalam jumlah nominal yang besar. Tak kuduga, Bapak murka. Ia bahkan tak peduli saat kuancam akan melaporkan pengkhianatannya pada ibu.
Aku kabur ke rumah di desa. Ternyata Bapak menyusulku. Kami bertengkar hebat di sana. Egois memang. Kami berdua sama-sama saling menyudutkan satu sama lain. Tak memikirkan bagaimana perasaan ibu yang begitu syok mengetahui semuanya. Hingga akhirnya ibu sakit lalu meninggalkan kami.
Tetapi nasi telah menjadi bubur, bukan? Semua tak bisa lagi kembali. Itulah yang terjadi. Kini aku hanya bisa menyesali diri sendiri.
Bandung Barat, 19 April 2020
Bionarasi:
Lily N. D. Madjid,
seorang yang mencoba merangkai kata demi kata, merajutnya menjadi sebuah kisah yang (semoga saja) bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar