Rabu, 21 Agustus 2019

Gapura Makam Taman Pahlawan


GAPURA TAMAN MAKAM PAHLAWAN
Lily N. D. Madjid


            “Papa, itu tempat apa?” tanyaku sambil menunjuk sebuah gapura yang nyaris tersembunyi oleh kelebatan rumpun-rumpun bambu di sekitarnya. Papa menoleh ke arah yang kutunjuk. Tak lama ia menghentikan kayuhan pedal sepedanya.
“Itu Taman Makam Pahlawan, De.” Katanya.
“Ooo…” bibirku membulat. Tanpa sadar aku bergidig.
“Kenapa?”
“Seram. Tempatnya gelap. Itu pohon bambunya juga banyak.” Kataku. Lagi-lagi aku bergidig.
“Dede takut?” Papa bertanya sambil tersenyum padaku. Aku mengangguk. Sejujurnya sejak melintas di depan gapura itu aku sudah merinding. Tempatnya sepi sekali. Juga gerumbul pohon bambu yang merimbun di sekitarnya, menambah kesan menakutkan tempat itu.
“ Lho? Itu, mereka sedang apa?” tiba-tiba kulihat serombongan ibu keluar dari dalam gapura.
“Mungkin mereka baru selesai berziarah.” Jawab Papa.
Aku diam sambil masih menatap para ibu  berpakaian putih-putih yang  satu persatu muncul dan berjalan ke arah aku dan Papa berada. Papa kembali mengayuh. Dua roda sepedanya kembali melaju seiring ayunan kaki Papa. Aku yang duduk di boncengan belakang mempererat peganganku. Sementara pandanganku masih saja tertuju ke arah para ibu di dekat gapura makam tadi.
***      ***      ***
            Kenangan akan perjalanan melewati gapura makam pahlawan itu masih sering muncul di kepalaku. Bahkan hingga kini. Apalagi sampai saat ini, aku masih sering melewati gapura itu.  Meskipun tidak lagi dengan Papa. Karena papaku telah pergi.
            Ya. Selang beberapa tahun sejak aku duduk dibonceng oleh Papa melewati gapura makam pahlawan itu, papaku berpulang setelah hampir satu bulan terbaring di rumah sakit. Aku masih dapat mengingat dengan jelas saat-saat itu.
Suatu pagi di awal Bulan Ramadhan saat usiaku belum genap 13 tahun, Papa yang selama ini kulihat selalu bugar tiba-tiba jatuh di teras rumah. Ia sudah berpakaian dinas lengkap karena akan pergi bekerja. Sementara, aku hanya bisa termangu melihat kepanikan yang terjadi setelahnya. Mama menangis. Begitu juga nenekku—ibu dari Papa—yang saat itu sedang dalam masa pemulihan dari stroke. Tetangga kiri dan kanan berdatangan, mencoba menyadarkan Papa dengan berbagai cara. Akhirnya Papa di bawa ke rumah sakit tempatnya bekerja.
Bukan, papaku bukan dokter. Beliau tentara. Hanya saja, kemudian mendapat tugas belajar di bidang medis, hingga akhirnya beliau ditugaskan di sebuah rumah sakit tentara di bilangan Jakarta Pusat. Ke sanalah ia dibawa saat itu.
Aku tidak ikut mengantar Papa. Hanya Mama dan beberapa tetangga dekat kami saja yang menemani. Sementara aku dan satu-satunya kakakku tetap tinggal di rumah menemani nenek yang terus menerus bersedih.
Aku masih ingat bagaimana nenek selalu saja menanyakan keadaan Papa dari hari ke hari. Bisa kulihat betapa sedihnya ia karena tidak dapat menemani, atau bahkan sekedar menjenguk putra sulungnya di rumah sakit. Keadaan beliau memang tidak memungkinkan saat itu. Untuk berjalan saja nenekku masih tertatih-tatih dan harus berpegangan pada dinding.
Hari demi hari berlalu. Awalnya aku sangat optimis, Papa akan segera pulang dari rumah sakit. Sebab seingatku, Papa memang tidak pernah sakit parah. Pernah memang beberapa kali beliau dirawat di rumah sakit karena penyakit malarianya kambuh—yang beliau dapat saat bertugas di wilayah yang berhutan-hutan. Tetapi biasanya tidak lama sudah bisa kembali pulang. Maka saat itu, aku pun berharap demikian. Berharap Papa segera pulang dan kembali bersama kami lagi.
Di antara dua orang anaknya, sepertinya aku yang lebih dekat dengan Papa. Biasanya sepulang bekerja, Papa akan ada di rumah. Dan aku—si Bungsu—akan menempel ke mana pun beliau melangkah. Kakakku, mungkin karena dia lelaki, lebih banyak menghabiskan wakktu bermain dengan teman-temannya di luar. Dengan kedekatanku dengan Papa yang seperti itu, terasa sekali kehilanganku akan Papa saat beliau di rumah sakit.
Sesekali aku dan kakak mendapat kesempatan menjenguk Papa. Saat itu dapat kulihat, Papa begitu pucat. Tubuhnya yang tegap berisi juga menyusut. Aku seperti tidak mengenali Papa. Apalagi, Papa juga terlihat tidak seceria sebelumnya. Sebelum Papa sakit, aku tidak pernah melihat beliau berwajah sedih.  Bahkan beliau pun nyaris tidak pernah kulihat marah. Pada kami anak-anaknya, hanya wajah jenaka dan penuh senyumlah yang ia berikan. Tapi saat di rumah sakit itu, aku melihat bayang-bayang muram tergambar di wajah Papa.
Dari mama kami akhirnya tahu, seberapa parah penyakit Papa.
“De, biar Papa istirahat dulu.” Bisik Mama suatu hari saat aku menjenguk Papa. Saat itu aku membawa buku tugas bahasa Inggrisku, berniat ingin diajari oleh Papa.
“Papa baru diambil lagi sumsum tulangnya.”Kata Mama lagi. Wajah kuyunya tak bisa disembunyikan dari kami.
“Sumsum tulang?”
“Iya. Ini sudah yang ke sekian kali. Tempo hari dari tulang dada. Tadi dari tulang panggulnya.”
“Untuk apa, Ma?”
“Untuk dites.”
“Memang Papa sakit apa?”
“Kelainan sel darah. Dokter curiga kanker darah. Leukemia.” Kata mama. Wajahnya seperti akan menangis.
Entah apa yang kupikirkan saat itu. Namun yang masih kuingat, saat itu aku tetap memiliki harapan besar bahwa Papa akan dapat pulang ke rumah kami dalam keadaan kembali sehat. Papaku yang baik, yang selalu sayang padaku. Papaku yang penyabar, tentu Allah akan memberikan kesembuhan pada beliau, bukan?
***      ***      ***
Hari itu Mama pulang. Aku menguping pembicaraan beliau dengan seorang kerabatku. Kondisi Papa semakin menurun. Papa dipindahkan ke ruang steril. Kawan-kawan beliau dan kerabat kami yang menjenguk pun tidak bisa lagi masuk ruangan. Hanya melihat dari kaca jendela saja. Papa semakin sering menjalani tranfusi, namun agak kesulitan mendapatkan donor. Di bank darah jarang sekali dapat persediaan yang cocok.
“Kenapa bisa?” aku menyela pembicaraan mama dan kerabatku.
“Rhesus darah Papa negatif, De. Sulit mencarinya.”
Saat itu aku belum terlalu mengerti. Tetapi, dari informasi yang kemudian kugali, baru aku ketahui bahwa rhesus negatif memang paling banyak ditemukan pada ras Kaukasia. Diperkirakan sekitar 15% orang dari ras tersebut memiliki rhesus negatif. Rhesus negatif paling jarang ditemukan pada ras Asia yaitu hanya sekitar 1% dari populasi ras Asia.
“Apa Paman Abby tidak bisa mendonor?” tanyaku. Paman Abby adalah satu-satunya saudara kandung Papa yang masih ada. Mereka sesungguhnya tiga bersaudara. Papa si Sulung, Paman Abby si Tengah dan satu adik perempuan mereka yang meninggal saat masih bayi.
“Paman Abby sudah mencoba. Sudah dicek, golongan darahnya AB, tetapi Rhesusnya positif. Tidak cocok untuk papamu. Tapi tadi kawan-kawan Papa sedang berusaha mencari.”
“Apa aku bisa membantu Papa, Ma? Dengan darahku?” kataku. Mama menatapku lalu menggeleng.
“Tidak bisa. Kamu masih terlalu kecil.” Kata Mama. “Kamu doakan saja Papa.” Kata mama akhirnya.
***      ***      ***
Hampir genap satu bulan sejak Papa jatuh di teras rumah dulu. Tidak terasa malam takbir tiba. Suara bedug bertalu-talu. Gemanya terdengar di seluruh penjuru tempat tinggal kami. Malam menjelang hari kemenangan, mestinya menjadi malam yang membahagiakan, bukan? Tetapi bagi kami masih ada yang menganjal; Papa yang masih terbaring di rumah sakit.
Mama menitip pesan pada kerabatku yang baru saja pulang membezuk, agar esok aku dan kakak berhari raya di rumah sakit bersama Papa. Nenekku—yang tidak memungkinkan untuk ikut—sudah dipindahkan ke rumah paman papaku yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah kami.
Pagi harinya, sesudah shalat Eid dan bersilaturrahmi dengan tetangga-tetangga kami, aku sudah siap menuju rumah sakit diantar oleh tetangga dekat kami. Kakakku bahkan sudah pergi lebih dulu beberapa jam yang lalu bersama kerabat kami yang lain. Aku menuju terminal untuk mencari bus ke arah rumah sakit.
Tetapi apa mau dikata. Suasana terminal yang biasanya selalu ramai, pagi itu begitu lengang. Bus-bus yang berlalu lalang dapat dihitung dengan jari. Beberapa jam menunggu, bus yang akan membawaku ke jurusan yang kutuju tidak juga muncul. Di masa itu  daerahku belum seperti saat ini, yang dengan mudahnya bisa mendapatkan transportasi umum dengan menggunakan aplikasi.  Apalagi hari itu hari pertama Iedul Fitri. Akhirnya dengan berat hati, tetangga dekatku itu mengajakku kembali ke rumah. Dan akan kembali lagi esok hari.
Esoknya, hari raya ke dua. Pagi-pagi sekali kami sudah siap di dekat terminal. Dan syukurlah, bus yang kami tunggu segera muncul dan masih kosong. Aku memilih duduk di bagian depan di dekat jendela, tepat di belakang pak sopir.
Jalan lengang. Sangat berbeda dengan kondisi sekarang yang  selalu macet walaupun masih dalam suasana hari raya. Bus melaju dengan lancar. Saat itu hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit dari terminal bus di daerahku menuju daerah tujuan.
Tiba di rumah sakit, aku bergegas menuju gedung bagian belakang tempat Papa di rawat. Di ruangan Papa di lantai tiga, kulihat Mama sedang menyuapi Papa. Kakakku sedang berbaring di kursi tunggu di luar ruangan. Aku ikut duduk di sana. Tak lama Mama ke luar.
“Kenapa baru datang, De?” tanyanya. Belum sempat kujawab, tetangga dekat yang mengantarku buru-buru menjelaskan kenapa kami baru datang sekarang. Mama mengangguk. “Papa terus menanyakan kamu tadi malam.” Kata Mama sambil menatapku.
“Boleh aku masuk sekarang, Ma?” tanyaku. Mama menggeleng.
“Papa baru tidur. Biar Papa istirahat dulu.” Aku menganggk lalu memandangi Papa dari balik jernihnya kaca jendela.
Cukup lama aku menunggu. Beberapa tetangga lain datang membezuk. Beberapa saudara dan kerabat kami pun berdatangan. Tetapi seperti aku, mereka juga hanya bisa menatap Papa yang tertidur di dalam ruangannya yang steril. Akhirnya setelah zuhur aku dibolehkan masuk. Papa terjaga. Tetapi beliau seperti tidak mengenali aku.
Aku menyapa Papa. Mencoba mengajaknya berbicara. Tapi Papa hanya menatapku. Aku bingung sekali saat itu. Tiba-tiba saja nafas Papa mulai telihat terengah-engah. Mama dan kakakku mendekat. Dua orang saudara kami juga masuk. Mereka mengajak kami berdoa. Mama kulihat mulai menangis. kakakku menunduk. Sepertinya ia juga berdoa. Aku menatap Papa. Antara bingung dan sedih. Tapi aku tidak bisa menangis. Di sudut hatiku saat itu masih meyakini bahwa Papa akan kembali pulih. Papa akan pulang bersama kami.
“Laa ilaaha Illallah…” Saudaraku, Paman jauh Papa membisikkan talqin di telinga Papa. Mama ikut membisikkan kalimat suci tersebut di sisi yang lain. Suaranya bergetar dan matanya  basah. Aku tertunduk, memandangi Papa yang terpatah-patah bersuara.
“Allah… allah…” bisik Papa. Nafasnya semakin terlihat satu-satu. Aku terpaku di sisi dekat lutut Papa. Mencoba meraih tangannya. Tak berani bersuara. Hanya saja dalam hati, aku masih meneriakkan kata-kata, bahwa Papa akan sembuh. Papa tidak akan apa-apa.
“Ikhlaskan, ikhlaskan…” kudengar saudara kami berkata. Mama menangis. membisikkan kata-kata di telinga Papa. Setelah itu, tarikan nafas Papa semakin melemah. Bibirnya masih menggumamkan kata-kata itu dengan lirih.
“Allah… Allah…”
***      ***      ***
            Hingga jenazah Papa di baringkan di ruang tamu kami, aku masih belum percaya kalau Papaku telah pergi. Saat beliau dimandikan baru air mataku mengalir deras.  Ketika   beliau akan dishalatkan, kulihat shaf demi shaf rapat diisi oleh mereka yang akan ikut shalat jenazah.
Begitu juga saat akan mengantar Papa ke peristirahatan terakhir. Begitu ramai orang yang ikut mengantarnya. Truk-truk militer dan bus-bus milik kesatuan Papa berbaris di sepanjang jalan di dekat masjid. Truk-truk dan bus itu melaju beriring-iringan di belakang mobil jenazah yang membawa Papa. Dan aku masih bisa mengingat ratusan orang yang memenuhi kendaraan-kendaraan tersebut, kemudian berkumpul di area pemakaman. Wajah-wajah yang kukenal, wajah-wajah yang tak kukenal, semua khusyuk mengikuti prosesi pemakaman Papa.
Tembakan salvo terakhir mengantarkan Papa ke tempat peristirahatannya. Aku, kakak, Mama, saudara dan kerabat jauh juga dekat kami berdiri mengelilingi liang lahat yang akan segera ditutup. Gerimis kecil turun. Tetesan halusnya menyentuh wajahku. Sesak rasanya di dadaku, tetapi tangis tak bisa tertumpah. Aku hanya bisa memandangi saat sedikit demi sedikit tanah merah ditimbun kembali. Menutupi jasad Papaku.
Dan yang masih kuingat, saat iring-iringan kami kembali pulang, aku menatap lekat gapura makam dan rerimbun rumpun-rumpun bambu di dekatnya. Gapura yang sama dengan yang kulihat beberapa tahun lalu saat bersepeda bersama Papa. Juga rumpun-rumpun bambu yang sama, yang daunnya dulu melambai menyapa aku dan Papa.
Hingga kini, gapura itu masih ada. Semakin terlihat bersih dan kokoh. Mungkin karena rerimbun rumpun-rumpun bambu itu kini tak ada lagi. Di sekeliling makam pun sudah tidak lagi sunyi dan gelap seperti dulu. Deretan ruko berjajar sebelum gapura. Beberapa sekolah internasional berdiri tidak jauh dari areal makam. Perumahan elite pun melingkupi area sekitarnya.  Tetapi walau daerah itu terus berubah digempur kemajuan zaman, kenangan tentang gapura itu masih sering melintas dalam kepalaku. Seiring abadinya kenanganku akan sosok Papa.
***      ***      ***

2 komentar:

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...