GAPURA
TAMAN MAKAM PAHLAWAN
Lily
N. D. Madjid
“Papa, itu tempat apa?” tanyaku
sambil menunjuk sebuah gapura yang nyaris tersembunyi oleh kelebatan
rumpun-rumpun bambu di sekitarnya. Papa menoleh ke arah yang kutunjuk. Tak lama
ia menghentikan kayuhan pedal sepedanya.
“Itu
Taman Makam Pahlawan, De.” Katanya.
“Ooo…”
bibirku membulat. Tanpa sadar aku bergidig.
“Kenapa?”
“Seram.
Tempatnya gelap. Itu pohon bambunya juga banyak.” Kataku. Lagi-lagi aku
bergidig.
“Dede
takut?” Papa bertanya sambil tersenyum padaku. Aku mengangguk. Sejujurnya sejak
melintas di depan gapura itu aku sudah merinding. Tempatnya sepi sekali. Juga
gerumbul pohon bambu yang merimbun di sekitarnya, menambah kesan menakutkan
tempat itu.
“
Lho? Itu, mereka sedang apa?” tiba-tiba kulihat serombongan ibu keluar dari
dalam gapura.
“Mungkin
mereka baru selesai berziarah.” Jawab Papa.
Aku
diam sambil masih menatap para ibu berpakaian
putih-putih yang satu persatu muncul dan
berjalan ke arah aku dan Papa berada. Papa kembali mengayuh. Dua roda sepedanya
kembali melaju seiring ayunan kaki Papa. Aku yang duduk di boncengan belakang
mempererat peganganku. Sementara pandanganku masih saja tertuju ke arah para
ibu di dekat gapura makam tadi.
*** *** ***
Kenangan akan perjalanan melewati
gapura makam pahlawan itu masih sering muncul di kepalaku. Bahkan hingga kini. Apalagi
sampai saat ini, aku masih sering melewati gapura itu. Meskipun tidak lagi dengan Papa. Karena papaku
telah pergi.
Ya. Selang beberapa tahun sejak aku
duduk dibonceng oleh Papa melewati gapura makam pahlawan itu, papaku berpulang
setelah hampir satu bulan terbaring di rumah sakit. Aku masih dapat mengingat
dengan jelas saat-saat itu.
Suatu
pagi di awal Bulan Ramadhan saat usiaku belum genap 13 tahun, Papa yang selama
ini kulihat selalu bugar tiba-tiba jatuh di teras rumah. Ia sudah berpakaian dinas
lengkap karena akan pergi bekerja. Sementara, aku hanya bisa termangu melihat
kepanikan yang terjadi setelahnya. Mama menangis. Begitu juga nenekku—ibu dari
Papa—yang saat itu sedang dalam masa pemulihan dari stroke. Tetangga kiri dan
kanan berdatangan, mencoba menyadarkan Papa dengan berbagai cara. Akhirnya Papa
di bawa ke rumah sakit tempatnya bekerja.
Bukan,
papaku bukan dokter. Beliau tentara. Hanya saja, kemudian mendapat tugas
belajar di bidang medis, hingga akhirnya beliau ditugaskan di sebuah rumah
sakit tentara di bilangan Jakarta Pusat. Ke sanalah ia dibawa saat itu.
Aku
tidak ikut mengantar Papa. Hanya Mama dan beberapa tetangga dekat kami saja
yang menemani. Sementara aku dan satu-satunya kakakku tetap tinggal di rumah
menemani nenek yang terus menerus bersedih.
Aku
masih ingat bagaimana nenek selalu saja menanyakan keadaan Papa dari hari ke
hari. Bisa kulihat betapa sedihnya ia karena tidak dapat menemani, atau bahkan
sekedar menjenguk putra sulungnya di rumah sakit. Keadaan beliau memang tidak
memungkinkan saat itu. Untuk berjalan saja nenekku masih tertatih-tatih dan
harus berpegangan pada dinding.
Hari
demi hari berlalu. Awalnya aku sangat optimis, Papa akan segera pulang dari
rumah sakit. Sebab seingatku, Papa memang tidak pernah sakit parah. Pernah
memang beberapa kali beliau dirawat di rumah sakit karena penyakit malarianya
kambuh—yang beliau dapat saat bertugas di wilayah yang berhutan-hutan. Tetapi
biasanya tidak lama sudah bisa kembali pulang. Maka saat itu, aku pun berharap
demikian. Berharap Papa segera pulang dan kembali bersama kami lagi.
Di
antara dua orang anaknya, sepertinya aku yang lebih dekat dengan Papa. Biasanya
sepulang bekerja, Papa akan ada di rumah. Dan aku—si Bungsu—akan menempel ke
mana pun beliau melangkah. Kakakku, mungkin karena dia lelaki, lebih banyak
menghabiskan wakktu bermain dengan teman-temannya di luar. Dengan kedekatanku
dengan Papa yang seperti itu, terasa sekali kehilanganku akan Papa saat beliau
di rumah sakit.
Sesekali
aku dan kakak mendapat kesempatan menjenguk Papa. Saat itu dapat kulihat, Papa
begitu pucat. Tubuhnya yang tegap berisi juga menyusut. Aku seperti tidak
mengenali Papa. Apalagi, Papa juga terlihat tidak seceria sebelumnya. Sebelum Papa
sakit, aku tidak pernah melihat beliau berwajah sedih. Bahkan beliau pun nyaris tidak pernah kulihat
marah. Pada kami anak-anaknya, hanya wajah jenaka dan penuh senyumlah yang ia
berikan. Tapi saat di rumah sakit itu, aku melihat bayang-bayang muram
tergambar di wajah Papa.
Dari
mama kami akhirnya tahu, seberapa parah penyakit Papa.
“De,
biar Papa istirahat dulu.” Bisik Mama suatu hari saat aku menjenguk Papa. Saat
itu aku membawa buku tugas bahasa Inggrisku, berniat ingin diajari oleh Papa.
“Papa
baru diambil lagi sumsum tulangnya.”Kata Mama lagi. Wajah kuyunya tak bisa
disembunyikan dari kami.
“Sumsum
tulang?”
“Iya.
Ini sudah yang ke sekian kali. Tempo hari dari tulang dada. Tadi dari tulang
panggulnya.”
“Untuk
apa, Ma?”
“Untuk
dites.”
“Memang
Papa sakit apa?”
“Kelainan
sel darah. Dokter curiga kanker darah. Leukemia.” Kata mama. Wajahnya seperti
akan menangis.
Entah
apa yang kupikirkan saat itu. Namun yang masih kuingat, saat itu aku tetap
memiliki harapan besar bahwa Papa akan dapat pulang ke rumah kami dalam keadaan
kembali sehat. Papaku yang baik, yang selalu sayang padaku. Papaku yang
penyabar, tentu Allah akan memberikan kesembuhan pada beliau, bukan?
*** *** ***
Hari
itu Mama pulang. Aku menguping pembicaraan beliau dengan seorang kerabatku.
Kondisi Papa semakin menurun. Papa dipindahkan ke ruang steril. Kawan-kawan
beliau dan kerabat kami yang menjenguk pun tidak bisa lagi masuk ruangan. Hanya
melihat dari kaca jendela saja. Papa semakin sering menjalani tranfusi, namun agak
kesulitan mendapatkan donor. Di bank darah jarang sekali dapat persediaan yang
cocok.
“Kenapa
bisa?” aku menyela pembicaraan mama dan kerabatku.
“Rhesus
darah Papa negatif, De. Sulit mencarinya.”
Saat
itu aku belum terlalu mengerti. Tetapi, dari informasi yang kemudian kugali,
baru aku ketahui bahwa rhesus negatif memang paling banyak ditemukan pada ras
Kaukasia. Diperkirakan sekitar 15% orang dari ras tersebut memiliki rhesus
negatif. Rhesus negatif paling jarang ditemukan pada ras Asia yaitu hanya
sekitar 1% dari populasi ras Asia.
“Apa
Paman Abby tidak bisa mendonor?” tanyaku. Paman Abby adalah satu-satunya
saudara kandung Papa yang masih ada. Mereka sesungguhnya tiga bersaudara. Papa si
Sulung, Paman Abby si Tengah dan satu adik perempuan mereka yang meninggal saat
masih bayi.
“Paman
Abby sudah mencoba. Sudah dicek, golongan darahnya AB, tetapi Rhesusnya
positif. Tidak cocok untuk papamu. Tapi tadi kawan-kawan Papa sedang berusaha
mencari.”
“Apa
aku bisa membantu Papa, Ma? Dengan darahku?” kataku. Mama menatapku lalu
menggeleng.
“Tidak
bisa. Kamu masih terlalu kecil.” Kata Mama. “Kamu doakan saja Papa.” Kata mama
akhirnya.
*** *** ***
Hampir
genap satu bulan sejak Papa jatuh di teras rumah dulu. Tidak terasa malam
takbir tiba. Suara bedug bertalu-talu. Gemanya terdengar di seluruh penjuru
tempat tinggal kami. Malam menjelang hari kemenangan, mestinya menjadi malam
yang membahagiakan, bukan? Tetapi bagi kami masih ada yang menganjal; Papa yang
masih terbaring di rumah sakit.
Mama
menitip pesan pada kerabatku yang baru saja pulang membezuk, agar esok aku dan
kakak berhari raya di rumah sakit bersama Papa. Nenekku—yang tidak memungkinkan
untuk ikut—sudah dipindahkan ke rumah paman papaku yang jaraknya hanya beberapa
meter dari rumah kami.
Pagi
harinya, sesudah shalat Eid dan bersilaturrahmi dengan tetangga-tetangga kami,
aku sudah siap menuju rumah sakit diantar oleh tetangga dekat kami. Kakakku
bahkan sudah pergi lebih dulu beberapa jam yang lalu bersama kerabat kami yang
lain. Aku menuju terminal untuk mencari bus ke arah rumah sakit.
Tetapi
apa mau dikata. Suasana terminal yang biasanya selalu ramai, pagi itu begitu
lengang. Bus-bus yang berlalu lalang dapat dihitung dengan jari. Beberapa jam
menunggu, bus yang akan membawaku ke jurusan yang kutuju tidak juga muncul. Di
masa itu daerahku belum seperti saat
ini, yang dengan mudahnya bisa mendapatkan transportasi umum dengan menggunakan
aplikasi. Apalagi hari itu hari pertama
Iedul Fitri. Akhirnya dengan berat hati, tetangga dekatku itu mengajakku
kembali ke rumah. Dan akan kembali lagi esok hari.
Esoknya,
hari raya ke dua. Pagi-pagi sekali kami sudah siap di dekat terminal. Dan syukurlah,
bus yang kami tunggu segera muncul dan masih kosong. Aku memilih duduk di
bagian depan di dekat jendela, tepat di belakang pak sopir.
Jalan
lengang. Sangat berbeda dengan kondisi sekarang yang selalu macet walaupun masih dalam suasana
hari raya. Bus melaju dengan lancar. Saat itu hanya membutuhkan waktu kurang
lebih tiga puluh menit dari terminal bus di daerahku menuju daerah tujuan.
Tiba
di rumah sakit, aku bergegas menuju gedung bagian belakang tempat Papa di
rawat. Di ruangan Papa di lantai tiga, kulihat Mama sedang menyuapi Papa. Kakakku
sedang berbaring di kursi tunggu di luar ruangan. Aku ikut duduk di sana. Tak
lama Mama ke luar.
“Kenapa
baru datang, De?” tanyanya. Belum sempat kujawab, tetangga dekat yang
mengantarku buru-buru menjelaskan kenapa kami baru datang sekarang. Mama
mengangguk. “Papa terus menanyakan kamu tadi malam.” Kata Mama sambil
menatapku.
“Boleh
aku masuk sekarang, Ma?” tanyaku. Mama menggeleng.
“Papa
baru tidur. Biar Papa istirahat dulu.” Aku menganggk lalu memandangi Papa dari
balik jernihnya kaca jendela.
Cukup
lama aku menunggu. Beberapa tetangga lain datang membezuk. Beberapa saudara dan
kerabat kami pun berdatangan. Tetapi seperti aku, mereka juga hanya bisa
menatap Papa yang tertidur di dalam ruangannya yang steril. Akhirnya setelah
zuhur aku dibolehkan masuk. Papa terjaga. Tetapi beliau seperti tidak mengenali
aku.
Aku
menyapa Papa. Mencoba mengajaknya berbicara. Tapi Papa hanya menatapku. Aku
bingung sekali saat itu. Tiba-tiba saja nafas Papa mulai telihat
terengah-engah. Mama dan kakakku mendekat. Dua orang saudara kami juga masuk.
Mereka mengajak kami berdoa. Mama kulihat mulai menangis. kakakku menunduk.
Sepertinya ia juga berdoa. Aku menatap Papa. Antara bingung dan sedih. Tapi aku
tidak bisa menangis. Di sudut hatiku saat itu masih meyakini bahwa Papa akan
kembali pulih. Papa akan pulang bersama kami.
“Laa
ilaaha Illallah…” Saudaraku, Paman jauh Papa membisikkan talqin di telinga
Papa. Mama ikut membisikkan kalimat suci tersebut di sisi yang lain. Suaranya
bergetar dan matanya basah. Aku
tertunduk, memandangi Papa yang terpatah-patah bersuara.
“Allah…
allah…” bisik Papa. Nafasnya semakin terlihat satu-satu. Aku terpaku di sisi
dekat lutut Papa. Mencoba meraih tangannya. Tak berani bersuara. Hanya saja
dalam hati, aku masih meneriakkan kata-kata, bahwa Papa akan sembuh. Papa tidak
akan apa-apa.
“Ikhlaskan,
ikhlaskan…” kudengar saudara kami berkata. Mama menangis. membisikkan kata-kata
di telinga Papa. Setelah itu, tarikan nafas Papa semakin melemah. Bibirnya
masih menggumamkan kata-kata itu dengan lirih.
“Allah…
Allah…”
*** *** ***
Hingga jenazah Papa di baringkan di
ruang tamu kami, aku masih belum percaya kalau Papaku telah pergi. Saat beliau
dimandikan baru air mataku mengalir deras.
Ketika beliau akan dishalatkan,
kulihat shaf demi shaf rapat diisi oleh mereka yang akan ikut shalat jenazah.
Begitu
juga saat akan mengantar Papa ke peristirahatan terakhir. Begitu ramai orang
yang ikut mengantarnya. Truk-truk militer dan bus-bus milik kesatuan Papa
berbaris di sepanjang jalan di dekat masjid. Truk-truk dan bus itu melaju
beriring-iringan di belakang mobil jenazah yang membawa Papa. Dan aku masih
bisa mengingat ratusan orang yang memenuhi kendaraan-kendaraan tersebut,
kemudian berkumpul di area pemakaman. Wajah-wajah yang kukenal, wajah-wajah yang
tak kukenal, semua khusyuk mengikuti prosesi pemakaman Papa.
Tembakan
salvo terakhir mengantarkan Papa ke tempat peristirahatannya. Aku, kakak, Mama,
saudara dan kerabat jauh juga dekat kami berdiri mengelilingi liang lahat yang
akan segera ditutup. Gerimis kecil turun. Tetesan halusnya menyentuh wajahku.
Sesak rasanya di dadaku, tetapi tangis tak bisa tertumpah. Aku hanya bisa
memandangi saat sedikit demi sedikit tanah merah ditimbun kembali. Menutupi
jasad Papaku.
Dan
yang masih kuingat, saat iring-iringan kami kembali pulang, aku menatap lekat
gapura makam dan rerimbun rumpun-rumpun bambu di dekatnya. Gapura yang sama dengan
yang kulihat beberapa tahun lalu saat bersepeda bersama Papa. Juga
rumpun-rumpun bambu yang sama, yang daunnya dulu melambai menyapa aku dan Papa.
Hingga
kini, gapura itu masih ada. Semakin terlihat bersih dan kokoh. Mungkin karena
rerimbun rumpun-rumpun bambu itu kini tak ada lagi. Di sekeliling makam pun
sudah tidak lagi sunyi dan gelap seperti dulu. Deretan ruko berjajar sebelum
gapura. Beberapa sekolah internasional berdiri tidak jauh dari areal makam. Perumahan
elite pun melingkupi area sekitarnya. Tetapi
walau daerah itu terus berubah digempur kemajuan zaman, kenangan tentang gapura
itu masih sering melintas dalam kepalaku. Seiring abadinya kenanganku akan
sosok Papa.
*** *** ***
Bagus...
BalasHapusHaturnuhun, Bu Citra.
BalasHapus