Selasa, 19 November 2019
M A A F K A N
MAAFKAN
Cerpen Lily N. D. Madjid
Aku segera berlalu setelah meletakkannya di ujung jalan itu. Dalam sebuah kotak yang hanya kulapisi selimut tipis kesayanganku. Airmata jatuh bercucuran tanpa dapat kutahan.
Mengerahkan segala daya, kulangkahkan kakiku yang terasa berat. Sebelum pergi, kusempatkan untuk memandangnya sekali lagi. Mata itu, ah, mata tanpa dosa yang menatapku seakan penuh tanya, 'mengapa kau tega?'.
Sungguh aku terpaksa melakukan semua itu. Apalah dayaku. Orangtuaku tak sudi menerimanya bersama kami.
"Apa-apaan, kamu, Rani?" Gelegar amarah mama saat itu terngiang kembali.
Hari itu, hari pertama aku menginjakkan kembali kakiku di rumah, setelah sekian lama bersembunyi.
Ya. Aku pergi beberapa lama demi dia. Si kecil yang kusayangi. Aku menyembunyikannya agar mama dan papa tak tahu. Aku tahu akan semarah apa mereka berdua jika mereka mengetahui aku memiliki dia saat ini.
Tapi aku juga tak bisa bersembunyi terlalu lama. Bagaimanapun aku hanya seorang anak yang masih saja bergantung pada orangtua. Bisa apa aku tanpa mereka? Dan.... Kembalilah aku ke rumah, hanya untuk menerima amarah dari mereka. Reaksi yang sudah kuduga sebelumnya.
"Berani-beraninya kamu membawanya...." suara mama terbata. Aku tahu dia sedang berusaha keras mengendalikan emosinya.
Aku menangis saat itu. Berusaha membujuk keduanya. Kudekati papa. Biasanya papa lebih mudah luluh dibanding mama.
"Papa, kumohon...." kataku seraya mendekat. Ingin kutunjukan pada Papa, ia yang berada dalam pelukanku saat itu.
"Jangan mendekat, Rani." Suara dingin papa menghentikan sejenak langkahku. Tapi hanya sejenak. Setelahnya kembali kudekati papa. Ingin kubuktikan bahwa ia yang kudekap ini tak bersalah sedikitpun. Mungkin aku yang telah melakukan kekhilafan.
"Papa, tolonglah...." Kupeluk kedua tangan papa.
"Rani, menjauh!"
"Lihat dulu dia, Papa. Lihatlah matanya..."
Sejenak kulihat wajah Papa melembut. Tangan papa mencoba menyentuhnya perlahan. Di belakang papa, kulihat mama berusaha mencegah.
"Ah...." senyum papa perlahan mengembang. Diambilnya si kecil itu dari pelukanku. Aku menghembuskan nafas lega.
Tapi kelegaanku hanya bertahan sekejap. Sesaat kemudian kulihat papa mengejang, kemudian memegang dadanya. Si kecil dalam dekapannya terlempar. Teriak kepanikan keluar dari mulutku dan mama, nyaris bersamaan.
***** ***** *****
Kupandangi sekali lagi si kecil yang masih memandangku dari dalam kotak. Sungguh aku tak tega harus meninggalkannya di ujung jalan itu. Tapi di situlah tempat paling aman baginya.
Jalan itu jalan buntu, tak banyak kendaraan yang berlalu lalang di sana. Dan, semoga saja akan ada yang bersedia mengadopsi si kecil setelah ini.
Kumatnya asma Papa setelah berdekatan dengan si kecil membuatku tak tega untuk memaksanya menerima si kecil.
"Miaaauuuww"
Ah, maafkan. Aku harus segera pergi dari sini, atau airmataku tak akan terbendung lagi. Mendengar suaranya saja aku sudah tak tahan. Biar nanti kutelepon Rusy sahabatku untuk mengambilnya di sini. Kudengar, orangtuanya tidak keberatan memelihara kucing di rumah.
🐱🐱🐱
*** berlatih nulis cerita yang twist ending, tapi kok seperti nggak dapet twistnya, ya?
Bagi tipsnya donk, Kaka... 😍
Ditunggu krisannya juga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN
KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...
-
KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...
-
SHURA dan DIMA ~cerpen Lilynd Madjid~ "Shura!" Suara seruan di kejauhan menyentakkanku dari keasyikan mengintai ikan di tep...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar