Tengah Malam
Udara dingin. Suara detik
jarum jam yang bertengger di dinding kamarku seperti bergema begitu keras dalam
keheningan. Gelap. Tapi dengan bantuan cahaya dari luar yang menyusup melalui
celah-celah gorden jendela, dapat kulihat pendar lemah pada jarum jam itu
bergeser pelan dari detik ke detik. Waktu menunjukkan bahwa gelap ini masih
akan hadir beberapa jam lagi sebelum cahaya matahari menggantikannya.
Aku menyeka keringat
yang mengembun di dahi. Ya, aku berkeringat, bahkan di malam yang begini
dingin. Mimpi itu. Mimpi yang aneh dan terasa mengerikan itulah yang membuat
keringatku mengucur deras seperti ini. Mimpi yang baru saja membuatku tersentak
dan terjaga di pertengahan malam ini.
Tadi aku bermimpi cukup
aneh. Beberapa orang mengejarku dengan penuh amarah. Aku sedikit menangkap mereka
meneriakkan kata-kata seperti ‘tanggung jawab’, ‘hidup’, ‘penyelesaian’ dan
entah apalagi dengan penuh emosi. Entahlah
apa maksudnya, tetapi dari apa yang kulihat, sepertinya mereka menuntutku untuk
melakukan sesuatu untuk mereka. Entah apa.
Tetapi untunglah itu
semua hanya mimpi. Dan aku terbangun di saat yang tepat. Saat mereka berhasil
menangkapku, dan tangan-tangan mereka yang sedingin es mulai menarik-narik
tubuhku. Sungguh mimpi yang aneh. Siapa mereka? Mengapa mereka
mengejar-ngejarku seperti itu? Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu. Dan sekali lagi
aku bersyukur bahwa semua itu hanya mimpi. Mereka hanyalah sosok-sosok tak
nyata yang hadir di dalamnya.
“Apakah
benar kami tidak nyata?”
“Tetapi
kami ada di sini saat ini.”
Aku tersentak. Refleks
kutolehkan kepala ke asal suara. Ya Tuhanku! Bagaimana mungkin? Itu mereka. Itu
mereka, orang-orang yang ada dalam mimpiku tadi. Bagaimana mungkin mereka ada
di sini? Di kamar tidurku?
“Siapa kalian?” tanyaku nyaris
berteriak karena kaget. Jelas sekali kurasakan getaran dalam suaraku. Kupandang
seluruh sudut kamarku. Mereka di sini. Ya. Siluet-siluet mereka semakin jelas
kutangkap dalam keremangan kamar ini.
“Mengapa kau bertanya seperti itu? Sudah
tentu ini kami.” Jawab salah satu dari mereka. Kupicingkan mataku menatapnya. Dia
duduk dengan santai di tepi meja tulisku di sudut kamar. Seorang perempuan muda
berwajah sendu.
“tta, tapi aku tidak mengenal
kalian. Mengapa kalian bisa ada di kamarku?” tanyaku sambil mencoba mengumpulkan
kembali ketenangan diri. Sungguh itu bukan hal yang mudah. Bayangkan saja, aku
mengalami mimpi aneh, lalu saat aku terbangun, orang-orang yang tadi ada di dalam
mimpiku kini ada di sini bersamaku. Jika kalian yang mengalaminya, apakah
kalian akan bisa menghadapi mereka dengan tenang?
“Ah! Jadi kau
benar-benar melupakan kami?” sebuah suara penuh amarah menghardik dari sisi kanan
tempat tidurku. Seorang perempuan paruh baya mendekati ranjangku. Matanya berkilat-kilat
tajam. Wajahnya pucat dengan bekas-bekas luka di sana-sini. Tangan kananya
tersangga pada sebuah ikatan yang disangkutkan ke lehernya. Tangan itu masih
berbalut. Mungkin gips. Apakah tangan perempuan itu patah?
“Tega-teganya kau melupakan kami.” Desis
si Perempuan muda di tepi meja tulis.
“Apa maksud kalian? Melupakan apa?”
Tanyaku frustrasi.
Kuberanikan diri menatap
mereka satu persatu. Si perempuan muda di tepi meja. Si perempuan paruh baya
dengan wajah penuh bekas luka. Di dekat jendela berdiri juga satu sosok lelaki
tua bertubuh kurus dan layu. Lalu ada seorang anak dengan pandangan mata yang
kosong meringkuk di dekat pintu kamar. Di dekatnya seorang lelaki muda dengan
dandanan urakan berdiri diam-diam sambil menatapku tajam.
“Kalau
kau betul-betul melupakan kami, lalu bagaimana nasib kami?” Perempuan muda itu
mulai terisak-isak. Aku sendiri semakin bingung. Tidak tahu apa yang harus
kuperbuat. Sebenarnya apa permasalahan mereka ini?
“Masalah kami adalah tak dapat
melanjutkan hidup kami.” Kata lelaki tua di dekat jendela. Seketika aku
terlonjak. Mungkin saat ini wajahku tampak sangat bodoh. Sebab, sungguh mati
aku heran mengapa orang-orang ini seperti dapat membaca isi kepalaku.
Anak kecil di dekat pintu
tertawa terbahak-bahak. Lalu mulai bersenandung. Bukan, bukan bersenandung,
tetapi berbicara. Oh tidak, bahasa apa yang dia gunakan? Tak satupun dapat
kutangkap makna dari setiap bunyi yang keluar dari mulut anak itu. Nada yang
terdengar pun agak aneh. Seperti setengah bernyanyi. Dan terus menerus
diulanginya. Terus menerus diulangi. Terus menerus.
“Apa yang dikatakannya?”
“Dia tidak bicara. Dia hanya membeo.”
“Membeo. Menceracau?”
“Tidak. Mengoceh saja.”
“Mengoceh? Mengapa?”
“Mengapa? Mengapa kau tanyakan itu?”
Perempuan tua dengan bekas luka di wajah itu meradang. “Harusnya kau yang
paling tahu mengapa Mentari—anak itu—begitu!” Ketusnya. Lagi-lagi aku seperti
orang tolol. Menatapnya dengan bingung.
“Aku? Mengapa aku yang harusnya
paling tahu?”
“Sebab kaulah yang menciptakan kami.”
Anak muda berpenampilan urakan itu berkata tanpa ekspresi. Hanya tajam matanya
saja menatap mataku dalam-dalam.
Sekarang aku yang tak
dapat menahan tawa. Aku terbahak-bahak mendengar jawaban anak muda itu. Sinting
atau apa sebenarnya dia itu. Aku? Menciptakan mereka? Ini gila! Sesat. Hanya Tuhanlah
Maha Pencipta di dunia ini. Bukan aku.
Mungkin aku masih akan
tertawa terbahak-bahak seperti itu jika tidak mendengar tangis perempuan muda
di dekat meja tulisku yang semakin keras.
“Kau sungguh terlalu!” Geram si
Perempuan penuh bekas luka di wajah. Aku jadi gusar. Kenapa sebenarnya mereka
ini? Mengapa sedari tadi terus saja menyalahkan aku atas kesedihan si perempuan
muda itu? Mengapa aku seperti harus bertanggung jawab atas mereka semua? Mengapa…
“Kan sudah kubilang karena kau yang
menciptakan kami, bodoh!” Lelaki muda itu memaki pelan.
“Nirwana benar. Kau yang menciptakan
kami.” Kali ini lelaki tua itu yang berkata. “Coba kau pandang lagi kami baik-baik.
Ingat-ingatlah kembali.” Katanya sambil memandangku. Tatap matanya seolah mengisyaratkan sebuah
perintah agar aku berusaha keras untuk mengingat mereka. “Aku Kesuma. Kau yang
memberiku nama itu.”Lanjut lelaki tua itu. “Kau yang menciptakan aku, mengatur
alur hidupku. Katamu aku adalah seorang guru miskin yang serba kekurangan. Maka
begitulah kujalani hidupku.”Katanya. aku terhenyak. Kata-kata pak tua itu
seperti sesuatu yang menyalakan sebuah tombol di otakku. Dan kini aku bisa
menemukannya. Menemukan gambaran sosok tua Kesuma, seorang guru honorer di
daerah terpencil dengan keadaan ekonomi yang kembang kempis namun masih mau
menyisihkan hartanya untuk bersedekah.
“Gadis itu adalah Jasmine. Dan dia
Darsi, ibunya. Kau mulai ingat?” Kata Kesuma, menunjuk si perempuan muda dan
perempuan paruh baya dengan bekas luka di wajah. Mataku mengerjap takjub.
“Ini mustahil…” hanya itu yang dapat
kuucapkan. Tentu saja ini mustahil. Mereka semua, Kesuma, Jasmine, Darsi,
Nirwana dan Mentari, mereka hanya..
“Kami memang hanya tokoh-tokoh dalam
cerita yang kau karang, tapi kami semua ada! Walaupun hanya dalam sebuah
cerita.”Kata-kata Darsi tajam. Matanya menatap tepat ke arah mataku. Ada kemarahan
yang luar biasa terbaca di sana. Aku bergidig ngeri. “Dan kau! Kau berusaha
melupakan kami!”Katanya. jari telunjuknya menuding tepat ke arah wajahku. “Kau
tinggalkan kami ditengah-tengah cerita tanpa berniat untuk merampungkannya. Apa
kau pikir itu benar? Kau lihat aku! Lihat! Terakhir kau tulis aku mengalami
kecelakaan parah. Koma di rumah sakit berminggu-minggu lamanya. Lalu kau
tinggalkan cerita itu begitu saja. Lihatlah aku…”Geramnya.
Aku ingat cerita itu. Cerita
yang kutulis berbulan-bulan yang lalu. Atau bertahun lalu? Entahlah. Yang jelas,
karena otakku buntu, kubiarkan cerita itu terbengkalai begitu saja. Dan kini?
Astaga! Tokoh-tokoh dari cerita yang belum selesai kutulis ini mendatangiku. Apa
yang mereka inginkan?
“Tentu saja kami ingin kau
selesaikan cerita ini. Agar ada kejelasan nasib kami.”Kata Kesuma pelan. “Kau lihat
Darsi. Dengan keadaannya yang seperti itu, dia sungguh tersiksa. Juga aku,
Jasmine, Nirwana dan Mentari, kami merasa sangat tidak nyaman dengan keadaan
ini. Apakah kau tidak kasihan pada kami?”
“aku…”Aku tergagap. “Aku belum ada ide
untuk menyelesaikannya.”
“Ah! Kau hanya malas. Kami hidup di
dalam kepalamu. Kami tahu ide-ide berjejalan di sana. Kau hanya malas mengolah
dan menuliskannya!”Darsi berkata galak sambil menatap sinis kepadaku.
“Aku tidak cukup punya waktu luang
untuk menuliskannya…”
“Alasan klise, Bung.”Kali ini
Nirwana yang berkata sambil tertawa geli. “Kau buang waktumu dengan hal-hal
bodoh seperti game online itu. Atau membaca berita-berita tidak jelas juga gossip-gosip
murahan para selebriti.”
“Aku tidak…”
“Jangan menoba mencari pembenaran. Ingat,
kami hidup di dalam kepalamu. Kami tahu semua yang kau pikirkan.”
“Kalau kau memang tidak berniat
merampungkannya, hapus saja cerita ini.”Kata Jasmine di sela-sela isaknya.
“Mana mungkin kuhapus tulisanku yang
dengan susah payah kubuat selama berbulan-bulan…”
“Dan selama berbulan-bulan juga kau
abaikan hingga nasib kami jadi terkatung-katung seperti ini?”
“Aku akan menyelesaikannya.”
“Kapan?”
“Entahlah. Kita lihat saja nanti…”
“Jawabanmu menunjukkan kau sudah
tidak berniat lagi meneyelesaikannya. Kalau begitu lebih baik kau bunuh saja
kami. Hapus saja cerita itu. Aku tidak tahan lagi.”Kata Darsi berapi-api.
“Aku tidak akan melakukan itu.”Kataku.
“Kalau begitu aku yang akan
melakukannya.”Teriak Darsi.
“Ya. Aku juga akan meninggalkan
cerita itu.”Kata Jasmine. “Juga meninggalkan ruang dalam kepalamu.”
“Ya dengan begitu cerita itu akan
terhapus. Bahkan aku ingin juga menghapusmu dari cerita hidup yang kau punya.”Kata
Darsi geram. Terseok-seok dia mendekatiku. Dalam minimnya penerangan di
kamarku, kulihat di tangannya yang tidak tersangga tergenggam sebuah benda yang
berkilat-kilat. Mata pisau.
“Bim! Bim! Bimasakti! Sadar,
Bim. Sadar! Ini gua Arya!”
Kurasakan
tepukan keras di wajahku, juga tangan yang mengguncang-guncang bahu. Aku meronta.
“Bim! Lu mimpi buruk?”Suara Arya pelan-pelan kukenali. Berikutnya, wajah paniknya
sudah mengisi ruang pandangku. Aku bangkit. Menatap berkeliling.
“Mana mereka?”
“Mereka siapa?”
Tak kugubris
pertanyaan Arya. Terhuyung-huyung aku bangkit dan berjalan ke arah meja tulis. Laptop
masih menyala di sana. Apa yang telah kukerjakan? Kuperiksa beberapa folder. Kucari
file yang berisi draft novel yang beberapa bulan lalu sempat kutulis. Ketemu. Kubuka
file itu. Halaman pertama terpampang judul cerita. Halaman berikutnya, kosong. Hingga
seratus lima puluh halaman terpampang, tetapi semuanya kosong.
“Astaga!”
“Kenapa, Bim?”
“Mereka betul-betul pergi.”
“Maksud, Lu?”
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar