#FIKSI
Misteri Hilangnya Sebungkus Rokok
Malam
itu Parmin uring-uringan. Sebungkus rokoknya yang masih utuh hilang. Ya,
hilang. Lenyap tanpa jejak. Kejadiannya begini, tadi dia sedang mengobrol
dengan beberapa orang tetangganya di teras rumah. Biasalah, bersosialisasi
dengan sesama penghuni gang. Biasanya mereka memang sering kumpul, mengobrol, ngopi bareng, ya … pokoknya
kongkow-kongkowlah. Meski hanya di teras rumah.
Seingat
Parmin, saat ngumpul tadi rokok itu
masih ada di meja, bersama dengan sebungkus rokok lain yang sudah hampir habis
isinya, beberapa buah korek api, bercangkir-cangkir kopi dan beberapa bungkus
makanan kecil. Bahkan saat para tetangganya satu persatu mulai pulang ke rumah
masing-masing, rokok itu masih ada di sana.
Parmin
hanya meninggalkannya sebentar saja, saat ia beranjak ke aquarium untuk
menunjukkan anakan ikan hias yang baru dibelinya pada Tejo. Setelahnya ia juga
sempat mengobrol sebentar dengan Tejo sebelum lelaki itu juga pulang ke
rumahnya.
Begitu
ia kembali ke teras rumah, dan akan mengangkut cangkir-cangkir itu ke dapur, ia
menyadari kalau sebungkus rokok itu sudah tidak ada lagi di sana.
“Yem,
Iyem… kamu lihat rokokku? Satu bungkus. Masih utuh.” Tanyanya pada istrinya
yang masih sibuk menyiapkan bahan masakan untuk dijual besok. Iyem yang ditanya
diam tak menjawab. Wajahnya mendadak ditekuk.
“Ditanya
kok malah begitu ekspresimu, Yem…” gerutu Parmin.
“Lha memangnya ditaruh di mana rokoknya?”
“Tadi
di meja te…”
“Di
meja teras kok
tanya sama aku, Kang… kan kamu tahu
aku dari tadi sibuk masak di sini. Ndak
sedetik pun aku injakkan kakiku ke teras depan. Lagi pula untuk apa aku ngambil
rokokmu? Ndak bisa kumakan, Kang.”
Iyem terus bicara. Parmin menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Ya
tinggal dijawab saja, Yem. Nggak usah merepet macam itu.”
“Habisnya, kamu kok pakai tanya aku,
Kang. Aku sedang sibuk harus ngurus
ini ngurus itu repot sendiri ndak ada yang bantu. Kok ditanya soal
rokok. Kamu sedari tadi itu duduk-duduk santai sambil ngemil, ngopi, ngroko sama teman-temanmu. Ya sana tanya
sama rombonganmu tadi, bukan tanya aku…”
“Alaaa… sudah, sudah… malah ngomel kamu, Yem. Pusing aku dengarnya.”
Parmin mengacak rambutnya sendiri sambil bergegas meninggalkan istrinya. Masih
didengarnya suara istrinya mengomel. Tetapi tak lagi dia acuhkan.
*****
***** *****
Parmin
masih uring-uringan. Rokoknya belum juga ditemukan. Ditambah lagi sekarang Iyem
mengomel tak karuan. Bising sekali. Segalanya diungkit-ungkit. Sampai masalah
uang belanja yang sering absen dia setorkan, hingga kebiasaannya nongkrong
hingga larut malam. Arrgh! Pusing.
Dan
rokok itu, kemana pula perginya? Hmm…
Parmin kembali ke teras depan. Mencari lagi dengan teliti. Di meja tidak ada.
Di kolongnya nihil. Di dekat deretan akuarium, hanya ada pakan ikan. Hhhh! Ke mana perginya sebungkus rokok
itu? Masa iya bisa menghilang begitu saja? Atau jangan-jangan… ada yang
mengambilnya?
Parmin
berhenti mencari. Dia duduk di bangku kayu sambil mengingat-ingat. Jika ada
yang mengambil, siapa kira-kira pelakunya?
“Hmmm…
kalau tidak salah, sebelum aku dan Tejo tadi ngecek ikan, ada Taryo dan Karso yang masih duduk di sini sebelum
mereka juga pulang.” Gumamnya pelan.
Parmin
terlihat berpikir keras. Memang ke dua tetangganya itu yang terakhir beranjak
dari teras rumahnya, sebelum Tejo tentu saja. Tapi Tejo kan bersamanya. Lagi pula,
setelah melihat anakan ikan, Tejo langsung pamit. Parmin sendiri yang
mengantarnya hingga ke jalan sambil mengobrol. Jelas, Tejo harus segera dicoret
dari daftar tersangka.
Siapa yang tersisa? Taryo. Atau Karso?
Parmin semakin keras berpikir. Tapi Karso bukan perokok. Untuk apa dia
mengambil rokok jika tidak pernah merokok?
“Tidak mungkin ‘kan dia ambil untuk dijual? Itu bukan rokok mahal.” Gumam Parmin, “kalau
dijual pun mau dijual ke siapa?” Parmin tertawa masam. Sesekali tangannya
kembali mengacak-acak rambutnya yang mulai menipis.
“Tersangka terakhir, Taryo…” katanya
pelan. Matanya menerawang. Mengingat sikap Taryo tadi saat sedang ngobrol bareng.
Taryo
memang perokok kelas berat. Saat tadi mereka berkumpul, dia yang paling banyak
merokok. Mulutnya tak berhenti mengepulkan asap. Satu batang habis dihisap,
selalu disambung dengan batang rokok berikutnya.
“Tapi…”
Parmin
terlihat ragu. Taryo memang perokok berat. Tetapi dia bukan orang tak mampu. Bisa
dibilang, dari semua teman nongkrong
Parmin, Taryolah yang paling tebal dompetnya. Jadi masalah rokok satu bungkus,
itu receh sekali untuk dia. Tidak seperti
Parmin, yang bisnis ikan hiasnya kembang kempis, lebih sering kempis dari
berkembangnya.
“Arrrgh!
Mumet kepalaku!” Maki Parmin sambil beranjak dari teras. Matanya mulai
mengantuk. Diliriknya jam tua di dinding ruang depan. Pukul satu lewat. Pantas saja.
Masuk ke ruang tengah dia hampir saja menabrak Surya, anak sulungnya.
“Haduh,
kamu bikin kaget bapak saja, Sur.” Kata Parmin. Surya menguap lalu
meregangkan tubuhnya. “Kenapa belum tidur?” Tanya Parmin.
“Lha
Bapak sendiri kok belum tidur?”
“Isyh!
Kamu itu kok kayak emakmu, ditanya bukannya jawab malah balik tanya.” Rutuk Parmin.
Surya malah nyengir.
“Aku baru selesai belajar, Pak. Besok
ulangan.”
“Oooo… ya sudah, tidur sana. Besok kesiangan.”
“Ya, Sur. Jangan sampai kesiangan
seperti bapakmu itu. Setiap hari selalu saja kalah sama ayam tetangga. Mustahil
ada cerita bisnis ikannya tambah maju, sudah habis rejekinya dipatuk ayam.” Sebuah
suara tiba-tiba menimpali. Parmin melotot ke arah istrinya yang baru saja mucul.
“Ngomong
apa kamu, Yem? Jangan seenaknya mulutmu itu bicara.”
“Lha
kenyataannya memang begitu, kan
Kang?”
“Kenyataan apa?”
“Ya kenyataanmu itu. Aku tiap pagi repot ngurusi anakmu yang lima orang itu. Nyiapkan mereka pergi sekolah. Belum lagi nyiapkan daganganku. Sementara kamu baru bangun setelah matahari
tinggi. Untung ada Surya dan Cikal, kalau tidak…”
“Stop! Bapak, Emak…” tukas Surya. Tangannya
menutup dua telinganya. “Ini sudah larut malam.” Dipandanginya Parmin dan Iyem
satu persatu. Lalu tersenyum lebar, “Emak dan Bapak tidur saja sekarang, ya? Ya?
Ya? Biar besok bisa bangun lebih pagi. Nggak usah bertengkar, kasihan nanti
adik-adik terganggu. Ya?”
Parmin dan Iyem mendengkus
berbarengan. Sesaat keduanya saling pandang, seperti akan melanjutkan perang
mulut mereka. Tetapi kemudian Iyem membuang muka dan berlalu ke dapur. Parmin mengacak-acak
rambutnya lalu melangkah ke kamar. Sementara Surya menghembuskan nafas
keras-keras. Lega. Tidak perlu lagi mendengar pertengkaran emak dan bapaknya
lagi.
“Mas Uya?” satu suara mengagetkan
Surya.
“Awan? Ngapain kamu? Nggak tidur?”
“Tadi sudah. Tapi sudah lama juga terbangun.
Tadi bapak dan teman-temannya berisik sekali ngobrol di teras. Awan jadi susah
tidur lagi.”
“Ooo… ya sudah, sekarang kan sudah sepi. Cepat kamu tidur. Nanti terlambat
bangun kan susah.”
“Mas juga, ya.”
“Ya. Sebentar Mas Uya ke kamar mandi
dulu.”
***** ***** *****
Matahari sudah tinggi. Parmin menggeliat
lalu bangun dari tidurnya. Sesaat pikirannya terasa kosong. Tetapi kemudian dia
segera bangkit. Berjalan keluar dari kamar, Parmin melangkah mendekati meja
makan. Ada yang menguarkan aroma sedap di sana. Parmin membuka tudung saji,
mencomot sekerat tempe goreng, mencocolkannya ke dalam sambal lalu memasukkannya sekaligus ke dalam mulut.
Setelah itu dia berbalik menuju
kamar mandi. Beberapa saat terdengar suara guyuran air. Suara Parmin terbatuk,
diakhiri dengan suara muntah, kemudian pintu kamar mandi terbuka. Parmin ke
luar dari sana. Tampangnya masih kusut. Hanya sedikit memerah dan terlihat ada jejak
air di wajahnya.
Anak bungsunya yang berusia dua
tahunan tiba-tiba saja muncul dari ruang depan. Memandang ke arah Parmin lalu
tersenyum.
“Mana emakmu, Pung?” tanyanya. Si Kecil
Pungkas menunjuk ke arah luar.
“Sudah bangun kamu, Kang? Ada apa
cari aku?” Iyem tiba-tiba muncul membawa wadah-wadah kosong bekas masakan yang
pagi tadi di jualnya di depan rumah.
“Cuma tanya.” Jawab Parmin acuh. “Eh,
apa itu yang kamu makan, Pung?” Parmin mendekati Pungkas. “Ya ampuuun. Rokokku,
Yem! Anakmu makan rokokku!”
“Apa? Mana?” Iyem bergegas meraih
Pungkas. Mengambil sesuatu yang dikunyah anak itu.
“Halaaah!
Lihat ini sisanya, hancur semua
rokokku setengah bungkus diremas anakmu, Yeeem, Yem.” Geram Parmin. Iyem melotot
galak memandang Parmin.
“Anakku itu anakmu juga, kan, Kang? Siapa juga yang suruh kamu simpan
rokok sembarangan. Biar saja, biar kubuang sekalian rokok sialan itu.”
“Jangan-jangan Pungkas juga yang
mengambil rokokku dua malam yang lalu itu.”
“Haduh, Kang! Jangan sembarang
menuduh anak sendiri. Malam itu kan
si Pungkas sudah nyenyak tidur. Mana mungkin dia mengambil rokokmu! Itu pasti
ulah teman-temanmu.
“Ah… sudah, sudah! Kamu juga
seenaknya menuduh orang, Yem.” Parmin berlalu meninggalkan istrinya.
**** ***** ****
Pukul
dua belas lewat tiga puluh menit. Parmin masih membersihkan beberapa
akuariumnya. Memberi makan ikan-ikannya. Sesekali berhenti untuk menyesap
rokoknya. Belum ada pembeli hari ini. Padahal dia sudah mengunggah foto-foto
cantik akuarium yang berisi ikan-ikannya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
salam. Wan, sudah pulang kamu?”
Awan
melangkah lesu mendekati Parmin. Mencium tangan bapaknya itu, kemudian membuka
tasnya dan menyerahkan selembar kertas yang terlipat.
“Apa
ini?”
“Surat
panggilan dari bu guru. Bapak atau emak diminta datang besok pagi.”
“Ke
sekolah? Ada apa? Kenapa? Kamu bikin masalah di sekolah, Wan?” berondonng
Parmin. Awan hanya menunduk. Kemudian menggeleng.
“Maksudmu
apa, Wan? Bapak ndak ngerti.”
“Pokoknya
bapak datang saja besok. Ditunggu bu guru.” Jawab Awan lalu melangkah masuk ke
rumah. Tinggal Parmin yang mulai mengacak-acak rambutnya gemas.
“Hhhh…
bikin susah saja. Ada apa toh? Jangan-jangan
harus bayar ssuatu? Haduuuh, mana
ikanku belum ada yang laku. Hhhh…”
**** ***** ****
“Jadi begini, Pak…” Kata wali kelas
Awan memulai pembicaraan. Parmin menyimak dengan serius. Sesungguhnya dia masih
khawatir kalau-kalau harus mengeluarkan uang. Awan yang juga hadir di ruangan
itu duduk di sebelah Parmin dengan wajah tertunduk.
“Ya, Bu guru.” Kata Parmin.
“Langsung saja ke intinya ya, Pak.
Jadi maksud kami mengundang Bapak ke sini, ingin menginformasikan, bahwa ananda
Awan kedapatan membawa rokok ke sekolah.” Kata bu guru dengan tenang. Parmin
melotot. Lalu menoleh pada anaknya.
“Kamu merokok, Wan?” Tanya Parmin
geram.
“Tidak. Bapak jangan menuduh!” Awan
mengelak.
“Tapi tadi bu gurumu bilang….”
“Sabar dulu, Pak Parmin.”
“Tapi, Bu Guru…”
“Ya, Pak. Tadi saya memang
mengatakan bahwa Awan kedaptan membawa rokok dalam tasnya. Tetapi saat kami Tanya,
Awan tidak mengakui kalau ia merokok. Katanya rokok itu juga bukan miliknya.”
“Lha,
kalau begitu itu rokok sia…”Parmin tidak menyelesaikan kalimatnya saat melihat
ibu guru mengeluarkan sebungkus rokok dari laci meja kerjanya. “Lho, itu kan…”
“Kenapa, Pak Parmin?” bu guru
mengernyit heran.
“Ah, tidak, tidak… tidak apa-apa.”
Parmin mengusap wajahnya yang tiba-tiba saja berkeringat. Berkali-kali dia
melirik anaknya yang masih menunduk.
"Ya. Jadi, saat terus kami tanya,
Awan tidak juga mau menjelaskan. Dia memilih menutup mulut. Oleh karena itu,
kami meminta orangtua untuk hadir. Barangkali jika didampingi orang tua, Awan
akan lebih leluasa untuk bicara.”
“Eh, eu.. anu itu…” Parmin terbata. Tangannya
mulai mengacak rambut di kepalanya.
“Itu rokok bapak, Bu.” Tiba-tiba
saja awan mengangkat wajahnya.
“Eh?” Parmin dan bu guru sama-sama
menoleh ke arah Awan.
“Itu rokok bapak. Malam itu Awan
ambil rokok bapak biar bapak berhenti merokok. Awan tidak suka bapak merokok. Bapak
sering batuk-batuk. Emak juga sering marah-marah kalau bapak merokok. Katanya
bapak ndak pernah punya uang kalau
emak minta buat belanja, tapi selalu ada uang untuk beli rokok dan kopi. Makanya,
rokoknya Awan sembunyikan. Sengaja Awan simpan dalam tas supaya tidak ditemukan
bapak…” Awan masih terus berbicara. Menjelaskan ini dan itu pada gurunya
panjang lebar. Tiba-tiba saja Parmin merasa Awan mirip sekali dengan ibunya.
Sementara
di depan Parmin bu guru mendengarkan cerita awan sambil sesekali terlihat
sungkan menatap ke arah Parmin.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar