Selasa, 09 Juni 2020

RETAK

R  E  T  A  K
~cerpen Lilynd Madjid~




TRIIING!

Suara notifikasi pada telepon selularku berdenting nyaring. Kuhentikan tekanan kaki pada pedal dinamo. Kusisihkan potongan-potongan kain yang sedang kujahit. Sambil sedikit membungkukkan badan, kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.

[Assalamualaikum, Ayah dan Bunda. Kami ingin mengingatkan lagi tentang kegiatan 'Ayahku Pahlawanku' di kelas, dua hari mendatang. Besar harapan kami, orang tua turut mendukung kegiatan ini. Kami tunggu kesediaan dan partisipasi Ayahanda semua.]

Itu pesan yang masuk dari wali kelas putra semata wayangku di grup TKnya. Kulihat beberapa orang tua membalas pesan itu dengan penuh antusias. Berbagai tanggapan, pernyataan setuju, hingga pertanyaan-pertanyaan ramai memenuhi ruang obrolan.

Beberapa hari yang lalu Bima, putraku, sempat juga bercerita. Katanya, untuk menyambut hari pahlawan yang akan datang, kelasnya akan mengadakan acara 'Ayahku Pahlawanku'. Pada hari itu, para ayah akan hadir di kelas. Bersama-sama dengan putra-putrinya, mereka akan menceritakan kesan dan pengalaman terbaik yang pernah mereka lalui bersama, juga melakukan berbagai aktivitas bersama.

Sesungguhnya ini berat bagiku. Seperti dihadapkan pada buah simalakama rasanya. Di satu sisi, aku tahu kerinduan Bima pada ayahnya. Namun, di sisi lain ... ah, entah bagaimana caranya agar aku bisa menghadapi Mahendra tanpa membuka lagi luka lama.

Aku dan Mahendra, ayah Bima, telah dua tahun berpisah, setelah kami mengarungi samudera rumah tangga sekian tahun lamanya. Keputusan itu kami ambil setelah beragam prahara melanda biduk kecil kami. Membuatnya terguncang. Oleng. Lalu tak terelakkan lagi, karam saat badai terakhir datang dengan dahsyatnya. Memporakporandakan semua mimpi juga harapan yang pernah kumiliki..

Aku kesakitan. Tak mampu lagi bertahan. Pengkhianatan seringkali menjadi pukulan telak yang melumpuhkan seorang perempuan. Termasuk aku. Hingga perceraianlah yang kupilih sebagai jalan keluar. Banyak orang--orang tua, keluargaku, keluarga Mahendra--yang memintaku untuk bertahan. Memaafkan. Memberi Mahendra satu kali lagi kesempatan.  Namun, sekuat apa pun kucoba, ternyata aku memang tak bisa. Luka-lukaku tak pernah bisa terpulihkan.

Mungkin bisa, tetapi jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Lagi pula nyata sudah, kami berdua merasa tak lagi sejalan. Aku tepatnya, yang merasa tak lagi bisa kembali padanya. Tak bisa lagi mengiringi langkah-langkahnya. Juga banyak hal yang sifatnya prinsip, yang tak lagi bisa kami sepakati. Banyak pemikiran-pemikiran kami yang semakin hari, semakin bertolak belakang. Kami lebih sering bersilangan jalan, ketimbang bergandeng tangan beriringan.

***

"Mama!" Mata Bima mengerjap saat aku tersentak dari lamunanku.

"Ya, Bim?"

"Tadi, Bu Guru ingatkan lagi sebelum pulang. Soal acara besok."

Aku menelan ludah. Bagaimana cara menjelaskan pada bocah sekecil Bima?

"Bim," kataku mencoba menjelaskan. Namun, seperti ada yang menyumbat tenggorokanku. Tak mau hilang walau berkali-kali kucoba menelan ludah.

"Papa sudah diberi tahu 'kan? Papa bisa datang 'kan, Mama?" tanyanya. Ada sebongkah besar harap tersirat dalam sinar mata Bima. Ah, bocah kecilku yang malang. Anakku tersayang. Buah hati. Sebesar itukah kerinduanmu pada sosok ayah?

"Nanti Mama telepon Papa lagi ya, Nak," kataku serak. Kepala Bima mengangguk kuat. Senyumnya terkuak lebar. Ah, Sayang. Demi binar di matamu yang cemerlang itu, akan kutahan pedih luka yang kini, lagi-lagi menganga. Akan kutahankan. Demi kamu, Sayang.

***

Tuuut! Tuuut! Tuuut!

Aku masih menempelkan layar ponselku ke telinga. Sudah berkali-kali kutekan nomor Mahendra, tetapi tak pernah terhubung. Kadang nada tunggu akan berbunyi lama, tetapi lebih sering panggilanku ditolak. Berpuluh pesan pun sudah kukirimkan. Hanya menyisakan centang biru tanpa balasan.

Aku geram. Haruskah kudatangi rumah mereka? Memohon dan mengiba agar Mahendra mau datang untuk Bima? Haruskah?

Ada yang berdenyut ngilu di sini. Di dadaku ini. Aku tak sudi meminta-minta pada Mahendra. Apalagi harus mendatangi rumahnya. Berhadapan dengan Angela, sekretaris yang kini berubah status menjadi istrinya. Sungguh aku tak sudi!

Namun, aku tahu, akan lebih sakit hati jika melihat sendu itu bergelayut di wajah murung Bima. Jika mata lelaki kecilku itu tak lagi bercahaya. Ya Tuhan, sungguh aku tak rela. Biarlah, biar. Akan kulakukan apa pun untuk Bima. Apa pun. Walau harus merendahkan diri di hadapan Mahendra dan Angela.

***

"Bima! Bima!"

Kuketuk pintu kamar Bima. Tak ada sahutan. Kuputar gagang pintu. Daun pintu terdorong ke dalam. Kulongokkan kepala mencari sosok putraku. Dia ada di sana. Meringkuk di atas tempat tidurnya seperti bayi. Bahunya bergetar.

Aku bergegas mendekat. Berjongkok di tepi ranjang kecilnya. Samar kudengar suara isak yang teredam.

"Bima? Bima kenapa?"

Isak tertahan Bima menjelma sedu sedan. Hatiku bergetar. Seperti rontok berjatuhan. Kusentuh bahu Bima perlahan.

"Hei? Kenapa, Sayang? Soal Papa?" bisikku di telinganya. Bima menyingkirkan bantal dari wajahnya. Ia duduk lalu memelukku.

"Mama ...." Tangis Bima pecah. Segera kupeluk ia erat-erat.

"Bima jangan nangis. Tenang saja. Papa pasti datang ke sekolah besok," bujukku. Tangis Bima semakin menjadi. "Eh, Bima nggak percaya? Kalau begitu, yuk siap-siap. Kita ke rumah Papa sekarang."

"Bima nggak mau!" Bima melepaskan pelukannya. Ia menatapku. Ada amarah di sana.

"Nggak mau?"

"Bima nggak mau ke rumah Papa!"

"Loh? Kenapa?" tanyaku. Sungguh aku tak mengerti.

"Ta-tadi.... " Kalimat Bima terputus sedu sedannya.

"Ya?"

"Ta-tadi, Bima telepon Papa. Tan-tante Angela yang angkat. Katanya, katanya aku nggak boleh lagi telepon-telepon Papa. Ka-katanya Papa sudah gak sayang lagi sama aku. Papa sudah punya pengganti aku."

"Bi-Bima?"

"Aku benci Tante Angela. Aku benci Papa!"

"Bim? Jangan begitu... " kataku mencoba menenangkan Bima. Walau dalam hati amarahku berkobar.

"Pokoknya aku benci Papa. Aku benci!"

"Bim, jangan dengarkan omongan Tante Angela. Papa sayang sama Bima, kok."

"Kalau sayang kenapa Papa nggak pernah pulang? Memang Papa nggak kangen Bima? Nggak ingin main sama Bima seperti Bayu dan papanya? Seperti Aldo dan papanya? Seperti Dean dan papanya?"

Aku tergugu mendengar ucapan Bima. Anak sekecil itu. Ah, maafkan Mama, Bima. Maafkan Mama. Kupeluk Bima erat. Ia menumpahkan tangis dan kekesalannya dalam dekapanku.

"Mama ...."

"Ya, Sayang."

"Besok Mama saja yang datang ke sekolah, ya?" kata Bima di sela isaknya yang mulai mereda.

"Mama?"

"Iya. Besok, aku bilang sama Bu Guru. Pahlawanku adalah Mama, yang setiap hari peluk aku, menemani aku, menjaga aku ...."

"Bim?"

"Mama ...."

"Ya, Nak?"

"Jangan pernah tinggalin aku."

*Tamat*

Bandung Barat, 9 Juni 2020

Senin, 08 Juni 2020

SHURA DAN DIMA

SHURA dan DIMA
~cerpen Lilynd Madjid~




"Shura!"

Suara seruan di kejauhan menyentakkanku dari keasyikan mengintai ikan di tepian anak Sungai Kolyma yang nyaris membeku. Aku melompati batu-batu besar yang menyembul dari permukaan sungai. Mendaki batu terbesar dengan hati-hati.

Dari puncak batu aku berteriak membalas seruan Oтец yang tadi ditujukan kepadaku.

"Sebentar, Oтец! Aku akan segera kembali!" teriakku sekuat tenaga.

Kemudian dengan kehati-hatian yang sama seperti saat memanjatnya, kuturuni batu besar itu. Kurapikan peralatan berburuku, harpun kecil dan sebuah beliung pemberian kakek, juga ikan-ikan hasil tangkapan yang sudah kuikat. Aku bergegas menuju gua kami.

Di mulut gua kulihat Oтец dan beberapa laki-laki--ada sekitar 25 hingga 30 orang--tengah menyiapkan perlengkapan seperti obor, batu api, tombak, beliung, dan harpun besar. Oтецmemberi isyarat agar aku bergegas.

"Sebentar Oтец, aku akan memberikan dulu ikan-ikan ini pada Мать."

"Segera! Kau tahu hari ini kita mulai berburu." Oтец berkata galak. Ya, ayahku itu memang orang yang sangat tegas. Tidak heran jika kelompok kami mengangkatnya menjadi pemimpin.

Aku mengangguk, lalu setengah berlari memasuki mulut gua. Udara hangat menyambutku saat berada di dalam gua. Gua kami berada di kaki sebuah gunung berapi. Jika ditelusuri, akan ada lorong yang mengarah ke perut bumi. Dari lorong-lorong semacam itulah, mengalir uap-uap hangat ke lorong-lorong gua lainnya. Membuat kami terhindar dari udara dingin Siberia yang membekukan. Perlu beberapa lama menyusuri lorong-lorong gua yang berliku sebelum tiba di lorong tempat keluargaku tinggal.

"Shura! Tadi ayahmu mencari." Мать, ibuku menyambut saat aku tiba.

"Ya, Мать. Ia menungguku berburu." Kuserahkan ikan-ikan itu ke tangannya lalu bersiap-siap pergi.

"Shura!" Мать menahan tanganku. "Berhati-hatilah. Perhatikan saja dari jauh bagaimana orang-orang dewasa menangkap mammoth itu." Aku mengangguk kemudian bergegas keluar.

Di luar gua, persiapan sudah selesai dilakukan. Rombongan kami mulai berangkat. Aku berjalan di samping Oтец. Ada pemuda-pemuda lain seusiaku yang juga ikut dalam perburuan kali ini. Seperti aku, mereka juga sedang disiapkan untuk bisa berburu. Perburuan kali adalah cara kami belajar, dengan melihat secara langsung bagaimana orang dewasa berburu.

Kami tiba di sebuah padang luas di tepi sebuah danau pada siang hari. Udaranya cukup hangat. Oтец bilang itu karena adanya semburan uap dan air panas secara periodik di suatu tempat di sekitar sini. Kami memilih satu area yang cukup tersembunyi sebagai tempat berkemah. Di kejauhan, di tepi danau yang berseberangan dengan tepian tempat kami berada, samar kulihat kawanan mammoth bergerombol.

Setelah menyiapkan perlengkapan, rombongan kami mulai bekerja. Membuat lubang perangkap beberapa ratus meter dari tepi danau. Kamu semua, termasuk aku dan kawan-kawanku menggali lubang besar dengan beliung. Menjelang malam, lubang galian siap.

Setelah itu orang dewasa mengendap-endap dalam gelap menuju kawanan mammoth di seberang danau. Mereka memilih satu mammoth sebagai sasaran dan mulai bergerak mendekat. Obor-obor dinyalakan dengan batu api. Para mammoth mulai menyadari kehadiran kami, mereka kalang kabut menghindar.

Oтец dan teman-temannya menggiring mammoth sasaran menggunakan obor. Mengarahkan binatang besar itu ke lubang perangkap yang sudah kami siapkan. Tidak mudah. Binatang itu selalu mencoba melarikan diri dan mengamuk brutal. Akan tetapi Oтец dan teman-temannya adalah para pemburu andal.  Beberapa waktu kemudian mammoth itu sudah dapat dilumpuhkan di dalam lubang perangkap. Aku bergidig ngeri saat satu harpun besar dihantamkan menembus tengkorak kepalanya.

Setelah si Mammoth roboh, kami mulai menguliti mahluk raksasa malang itu. Perutku mendadak mual mencium amis darah yang menguar. Diam-diam aku menyingkir, berjalan menjauhi lubang. Aku butuh udara segar.

Satu suara dengusan mengagetkanku saat sedang berdiri menatap tepian danau di kejauhan. Aku mengendap-endap mencari sumber suara. Di balik sebatang pohon tidak jauh dari lubang perangkap, sebuah bayangan gelap terlihat. Saat aku mendekat, bayangan itu mendengus.

Aku segera menyadari mahluk apa itu. Masih mengendap-endap, kudekati Oтец. Aku memberitahukan keberadaan tamu kami. Oтец dan beberapa orang perlahan mengepung, lalu menyergap bayangan itu dengan tali serat kayu yang kami punya. Mahluk itu meronta. Mendengus-dengus dan sesekali mengeluarkan suara menguik yang menurutku sangat menyedihkan. Seseorang kulihat mengacungkan harpun ke arah kepalanya.

"Jangan!" Tanpa sadar aku berteriak. Semua menoleh ke arahku. "Ja-jangan bunuh dia, kumohon. Oтец, tolong biarkan bayi mammoth itu hidup," kataku mengiba.

***

Aku memberi nama bayi mammoth itu Dima.

Jadi, malam itu Oтец mengabulkan permohonanku. Kami membawa pulang Dima dan berton-ton daging mammoth yang menurutku adalah induk Dima. Agak menyedihkan memang.

Awalnya Oтец melarangku memelihara Dima. Namun, aku berkeras. Kasihan dia, ibunya sudah mati, sementara kawanannya telah meninggalkan tepian danau entah kemana. Jika ditinggalkan, bisa saja dia menjadi mangsa empuk binatang buas.

Maka di sinilah Dima sekarang. Tinggal di dalam satu lorong gua yang tak dihuni. Kupelihara dan kurawat dia dengan kasih sayang. Ternyata mammoth kecil ini binatang yang cerdas. Dia bisa mengenali aku, yang setiap hari datang memberinya makan. Kini dia tidak takut lagi padaku. Ia juga membiarkan, saat aku membelai bulu lebatnya, atau mengusap puncak kepalanya.

Kadang-kadang aku mengajaknya berjalan-jalan ke luar dari dalam gua. Jika sudah begitu ia akan berjalan di sampingku atau mengikutiku di belakang. Akhir-akhir ini Dima bahkan mengikutiku saat aku pergi menombak ikan.

***

Aku sedang menuju anak Sungai Kolyma pagi ini. Sebenarnya, Oтец dan Мать melarangku untuk menombak ikan. Cuaca agak tidak bagus. Kemungkinan badai salju akan datang. Namun, persediaan ikan kami sudah habis. Adik bungsuku, Makari, tak bisa makan jika tak ada ikan. Maka aku memaksa Oтец untuk mengizinkanku menangkap satu dua ekor ikan. Oтец akhirnya mengijinkan, dengan syarat, aku pulang sebelum tengah hari.

Ternyata cuaca memburuk begitu cepat. Badai datang menggulung saat aku masih mengemasi ikan yang kuperoleh. Segera kucari perlindungan di balik bebatuan. Namun, badai begitu dahsyat. Salju berhamburan menyerbu tubuhku.

Badai belum juga mereda saat aku mulai menggigil hebat. Mantel kulit mammoth yang kukenakan tak mampu menahan dingin yang menggigit. Gigiku gemeletuk. Tanganku tremor dan sudah mati rasa. Sedikit penyesalan menyusup dalam hati. Mengapa tak kuhiraukan larangan Oтец dan Мать tadi?

Kurasa kesadaranku mulai menghilang, saat kudengar suara dengusan. Lapisan salju yang kupijak terasa bergetar. Lalu seonggok bulu tebal menyentuhku. Bukan, bukan menyentuh, tetapi melilit dan menarikku. Menyurukkanku pada gumpalan bulu yang lebih tebal. Hangat mengalir melingkupiku. Sempat kubuka mata sejenak sebelum kembali menutupnya. Aku mengenali sosok besar itu.

"Dima ... kamu datang?"

*Tamat*

Catatan:
отец = ayah
Мать = ibu

Minggu, 07 Juni 2020

GADIS DALAM GELEMBUNG

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_7
#NomorAbsen_222
Jumlah kata : 992 kata (hanya isi)

GADIS DALAM GELEMBUNG



"Bagaimana perasaanmu saat ini?"

Dokter Laiyla memandang sosok di depannya lekat. Gadis remaja itu masih terdiam dengan pandangan yang nyaris kosong.

"Anna? Kamu mendengarku?"

Mata Anna mengerjap. Sesaat ia melirik ke arah Dokter Laiyla, psikiaternya. Namun, tak ada suara yang keluar. Ia malah menunduk. Jari-jari tangan kanan menyentuh perlahan perban yang melintang di pergelangan tangan kirinya.

Anna dilarikan ke rumah sakit oleh ibunya setelah ditemukan terkapar dalam kubangan darahnya sendiri di kamar mandi rumahnya. Dokter Laiyla, psikiater rumah sakit yang menangani Anna masih harus terus menggali, motif gadis itu sampai menyayat urat nadi lengan kirinya sendiri.

"Anna?"

"Aku lelah, Dok. Boleh beristirahat?" kata gadis itu. Pelan, nyaris serupa bisikan.

Dokter Laiyla menarik napas. Ia mengangguk. Percuma memaksa Anna bicara. Sudah beberapa sesi ia jalani setelah Anna cukup pulih dari lukanya, tetapi ia belum berhasil mengorek informasi terkait penyebab utama depresi berat yang dialami gadis itu.

Informasi yang didapat dari orang tua pada sesi sebelumnya, hanya dapat menyimpulkan bahwa selama ini Anna adalah seorang anak yang introvert. Hal yang sudah ia duga berdasarkan pengamatannya selama menangani Anna. Sementara informasi lain terkait percobaan bunuh diri itu belum berhasil ia peroleh. Bahkan orang tua Anna pun masih bertanya-tanya mengapa. Dokter Laiyla mulai berpikir untuk mencari cara lain mengorek informasi pada sesi-sesi Anna berikutnya.

***

Anna menjerit histeris pada pertemuan di sesi berikutnya. Ia mengamuk dan mengancam menyakiti diri sendiri jika dokter Laiyla mendekat. Hingga dengan terpaksa, dokter meminta dua perawat yang mendampinginya untuk menyuntikkan obat penenang.

Di ruangannya Dokter Laiyla termenung. Anna seperti sedang membangun benteng perlindungan tak kasat mata bagi dirinya. Ia tak ingin orang lain memasuki zona pribadinya. Mungkinkah ada trauma yang menyebabkan gadis itu berperilaku demikian? Dokter Laiyla membuka buku catatannya, menuliskan sesuatu di sana sambil sesekali membolak-balik catatannya tentang Anna.

Tak lama ia terlihat mengambil gagang pesawat telepon di sisi mejanya. Melakukan panggilan dan berbicara sangat serius dengan lawan bicaranya di seberang sana. Berkali-kali ia membuka bukunya, mencatat, membolak-balik lagi catatannya seperti mengkonfirmasikan sesuatu. Ada sebuah dugaan yang harus ia buktikan.

***

"Anna! Aku harus melakukan sesuatu selama beberapa waktu. Bisakah kamu menungguku?" Dokter Laiyla menatap Anna yang duduk di depannya. Anna hanya mengangguk.

Itu adalah sesi yang ke sekian Dokter Laiyla bersama Anna. Anna sendiri sudah lama keluar dari rumah sakit. Hanya saja, secara kejiwaan, gadis itu masih harus berada dalam pengawasan. Ia melanjutkan sesi terapi bersama Dokter Laiyla dua minggu sekali di klinik pribadi milik sang dokter.

Berbagai pendekatan dilakukan Dokter Laiyla untuk dapat sekedar 'menjangkau' Anna dan masuk ke dalam zona pribadi gadis itu. Sulit pada awalnya, sebab di mata Anna, semua orang adalah musuh yang perlu diwaspadai. Namun kerja keras Dokter Laiyla membuahkan hasil. Kini Anna sudah cukup membuka diri padanya. Hanya sedikit. Namun celah kecil itu tak ingin disia-siakan oleh Dokter Laiyla.

Dokter paruh baya itu akhirnya menemukan adanya riwayat perundungan yang dialami oleh Anna. Tidak hanya sekali. Puncaknya perundungan yang dilakukan teman-temannya secara verbal di sekolah maupun di dunia maya. Dokter Laiyla berhasil menemukan jejak digital perundungan itu.

"Baik. Kalau begitu, kamu tunggu di sini. Sambil menunggu, kamu boleh menggambar. Aku punya setumpuk kertas gambar dan krayon di sini. Boleh kamu gunakan."

Dokter Laiyla berdiri, kemudian berjalan meninggalkan Anna. Ia menoleh sebentar sebelum membuka pintu. Mendapati Anna sedang memperhatikannya. Dokter Laiyla tersenyum lalu bergegas ke luar.

Dokter Laiyla masuk ke ruang lain di kliniknya. Beberapa orang menunggu di depan layar monitor. Ia segera menghampiri mereka.

"Sudah siap?" tanyanya.

"Pengamatan sudah dimulai," jawab salah seorang dari mereka sambil menunjuk layar monitor. Dokter Laiyla mendekat. Ia menatap layar sambil tersenyum lebar. Di sana terlihat Anna yang sedang menunduk di atas kertas gambar di meja kerja Dokter Laiyla. Tangannya bergerak mengguratkan crayon dengan lincah di atas permukaan kertas.

***

"Jadi, siapa dia?"

Dokter Laiyla menunjuk ke arah kertas gambar di tangannya. Itu gambar yang tadi dibuat Anna saat ia tinggalkan. Menggambar adalah hobby Anna yang berhasil diketahui Dokter Laiyla pada akhirnya. Boleh dibilang, itulah keahlian gadis itu. Dokter Laiyla mengagumi kehalusan gambar yang kini ada di tangannya.

Anna terlihat gelisah. Bibirnya terbuka, sepertinya dia masih ragu untuk menjawab. Dokter Laiyla mengalihkan pandangannya dari gambar. Ia menatap Anna lembut.

"Apakah itu kamu?" tanya Dokter Laiyla. Mata Anna mengerjap. Ia menatap Dokter Laiyla dengan pandangan penuh tanya.

"Bagaimana Dokter tahu?"

"Jadi benar itu kamu?" Dokter Laiyla kembali tersenyum. Ia melihat lagi gambar di tangannya. Seorang gadis sedang duduk dalam sebuah gelembung besar sambil menopangkan dagu pada lututnya. Gelembung itu melayang rendah, sementara di luar gelembung, banyak sekali orang mengelilinginya. Anna mengangguk.

"Itu aku," katanya lirih.

"Mengapa dalam gelembung? Apa kamu membayangkan berkeliling dunia dengan gelembung ini?" Pancing Dokter Laiyla. Anna menggeleng.

"Itu aku, Dok. Aku yang hidup dalam gelembung."

"Kamu apa?"

"Sejak dulu--" Anna terlihat ragu. Lama ia menatap Dokter Laiyla. Sang dokter memberi isyarat agar gadis itu tidak ragu-ragu untuk melanjutkan ceritanya. "Sejak dulu aku selalu merasa hidup dalam gelembung. Aku hidup bersama orang-orang, banyak orang, tetapi tak pernah benar-benar bersama. Aku ... ada gelembung transparan yang memisahkanku dengan mereka. Sekuat apa pun aku berusaha keluar, gelembung itu kembali memerangkapku." Anna terdiam sesaat. Sedikit terengah-engah. Berbicara cukup banyak rupa-rupanya menguras energi Anna.

"Aku tahu, sebagian orang menganggapku aneh. Pada akhirnya mereka membullyku karena itu. Mereka tidak tahu sekuat apa aku berusaha. Mereka tidak pernah mengerti. Akhirnya, aku merasa lebih nyaman berada dalam gelembungku. Aku membangun gelembung yang lebih kuat. Duduk memandang ke luar dari dalamnya. Tetapi mereka terus saja mengusikku. Menggangguku. Bahkan di dunia maya, tempat aku bisa sejenak keluar dari dalam gelembungku. Rasanya aku mau mati saja. Itulah yang sedang kulakukan sebelum mama menemukanku malam itu. Membawaku ke rumah sakit, dan akhirnya bertemu denganmu." Air mata Anna berderai.

Dokter Laiyla termenung. Jadi, itulah penyebabnya. Kalau begitu dugaannya tidak meleset. Perundungan selalu berdampak buruk bagi yang mengalaminya. Amat buruk. Sesaat ingatannya melayang ke waktu-waktu yang lampau. Kenangan pahit yang pernah ia alami sendiri. Dipandanginya wajah penuh air mata Anna. Kini ia dapat mengerti perasaan gadis yang ada di hadapannya.

"Anna. Tenanglah, kita akan menghadapi ini bersama-sama. Aku akan membantumu."

*Tamat*

Sabtu, 06 Juni 2020

SEKEPING HATI UNTUK LZYLZY NOURAZ

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_6
#NomorAbsen_222
Jumlah kata :  911 kata (hanya isi)

SEKEPING HATI UNTUK LZYLZY NOURAZ


Bzimza Noorzofz berjalan perlahan. Ia tahu, di belakangnya ada Lzylzy Nouraz yang juga sedang bergegas menuju Bellazar D01, satu-satunya sekolah menengah yang berada di distrik mereka. Distrik 01. Bzimza sengaja berjalan pelan-pelan, agar ia dapat  membersamai Lzylzy, gadis yang diam-diam disukainya. Padahal suara sirine tanda sekolah di mulai sudah terdengar. Meraung keras, membuat semua siswa Bellazar D01 yang masih berada di jalan kalang kabut berlarian.

Bangunan sekolah sudah terlihat di depan sana. Suara tak, tik, tuk di belakang Bzimza terdengar semakin cepat. Bzimza tersenyum. Itu pasti suara sepatu Lzylzy yang beradu dengan batu hitam penyusun jalan yang mereka lalui. Nanti, saat Lzylzy sudah melewatinya, barulah Bzimza berniat berlari juga. Menjajari langkah Lzylzy.

Suara tak, tik, tuk semakin dekat. Bzimza melirik dengan ekor matanya. Satu sosok mulai menjajari langkah kakinya. Senyum Bzimza semakin lebar.

"Bzimza, ayo bergegas. Sirine tanda sekolah dimulai sudah terdengar. Apa kau tidak menyadarinya?"

Bzimza menoleh. Senyumnya memudar seketika. Oh, tidak! Itu bukan Lzylzy, tetapi Dyazz Azryayz tetangganya yang juga bersekolah di Belazzar D01. Lalu di mana Lzylzy? Sepertinya, tadi gadis itu juga ada di belakangnya?

"Bzimza? Kau menunggu siapa?" Dyazz ikut menoleh ke belakang mengikuti arah pandang Bzimza.

"Eh? Tidak. Aku tidak menunggu siapa-siapa." Bzimza menyahut. Menyembunyikan kekecewaannya karena ternyata Lzylzy tidak ada di belakang sana.

Sesampainya di depan bangunan Belazzar D01, Bzimza dan semua anak yang baru tiba serentak mengeluh pelan. Gerbang besar telah ditutup. Menyisakan pintu besi kecil yang setengah terbuka, dan dijaga oleh seorang pengawal gerbang berwajah sangar.

"Berbaris!" perintah pengawal pada sedikitnya dua puluh anak, termasuk Bzimza dan Dyazz  yang terlambat. Mata hijau si pengawal menatap tajam, memperhatikan kedua puluh anak itu berbaris. "Berjalan masuk dalam satu barisan! Langsung menuju Tanah Penghukuman!" Si pengawal berteriak lagi. Suara seraknya terdengar berat dan menakutkan.

Tidak ada yang menunggu perintah diulangi, semua bergegas dalam satu barisan, menuju Tanah Penghukuman. Tempat di mana anak-anak yang melanggar disiplin mendapatkan sanksi. Wajah Bzimza bersemu hijau. Ini pertama kalinya ia berada di Tanah Penghukuman. Tempat di mana ia akan mendapati tatap-tatap mata semua siswa di seluruh Belazzar D01 tertuju pada dirinya sebagai si pelanggar tata tertib.

Bzimza menundukkan kepalanya. Tak berani memandang ke sekeliling. Bagaimana jika di antara ratusan mata yang sedang menatapnya ada Lzylzy Nouraz yang juga sedang melihat ia menerima sanksi karena terlambat datang? Hih! Itu akan sangat memalukan.

"Perhatian, untuk semua siswa Belazzar D01. Berbaris di depan kelas kalian masing-masing. Sebelum masuk, seperti biasa kita akan menyaksikan pemberian sanksi terhadap kawan-kawan kalian yang telah melanggar tata tertib Belazzar D01. Kesalahan mereka adalah tidak berdisiplin, tiba di sekolah sesudah sirine dikumandangkan.

"ketidakdisiplinan adalah awal kehancuran yang tentu saja akan merugikan kalian sendiri, juga kita, seluruh Bangsa Azzura. Sejarah pernah mencatat, bangsa kita nyaris lenyap dari Planet Zarrazanz ini. Namun, berkat kegigihan dan kedisiplinan yang selalu kita bangun, kita dapat melewati masa-masa suram. Kini, di hadapan kalian, dua puluh, oh tidak, dua puluh satu siswa telah melakukan pelanggaran kedisiplinan. Apakah kalian ingin mengulang sejarah kelam untuk Bangsa Azzura?"

Kedua puluh satu anak yamg berbaris di Tanah Penghukuman serentak meneriakkan kata tidak.

"Jika demikian, untuk melatih kembali disiplin pada diri kalian, kami akan memberikan sanksi. Kesalahan kalian adalah terlambat datang, itu menandakan kalian tak mampu bergerak lebih cepat. Untuk itu, sekarang berlarilah mengelilingi Tanah Penghukuman sebanyak dua puluh putaran dalam waktu 2400 kedipan mata. Laksanakan!"

Semua anak yang berdiri di tanah penghukuman mulai berlari. Bzimza mengeluh dalam hati. Dua puluh putaran dalam waktu 2400 kedipan mata? Hmm ini berat. Bzimza mulai mengatur napasnya agar bisa dihemat hingga putaran terakhir. Syukurlah dia mampu.

Tepat di kedipan ke-2400, Bzimza menyelesaikan putaran kedua puluhnya. Bzimza menepi. Napasnya masih tersengal ketika seseorang menabraknya dari belakang kemudian roboh terkulai. Pingsan.

"Lzylzy!" seru Bzimza panik begitu menyadari siapa yang  baru saja ambruk di atas lantai batu hitam.

***     ***     ***

Bzimza tersenyum pahit jika kini mengingat hal itu. Betapa konyolnya dia saat itu. Sebab setelah melihat Lzylzy terbaring pingsan, dengan panik ia langsung membopongnya ke ruang penyembuhan. Semua siswa Belazzar D01 gempar. Bisik-bisik pun mulai terdengar. Menggunjingkan Bzimza dan aksi nekatnya menyentuh anak perempuan.

Setelah pulih, Lzylzy selalu menghindari Bzimza. Ia malu mendengar segala gunjingan itu. Di Planet kecil Zarrazanz, ada sebuah peraturan tak tertulis yang telah mengakar: tidak diperbolehkan menyentuh lawan jenis, jika bukan keluarga. Itu tabu. Dan Bzimza telah melanggarnya di depan banyak orang.

Hingga mereka sama-sama beranjak dewasa, Lzylzy masih saja menghindari Bzimza. Itu membuat Bzimza begitu tersiksa. Bagaimana tidak? Padahal Lzylzy telah mencuri sekeping hati milik Bzimza. Ini membuat Bzimza tak pernah lagi bisa mencintai gadis mana pun.

Orang bilang, cinta masa remaja bukanlah cinta yang sebenarnya. Mereka bilang itu hanyalah cinta monyet belaka. Akan tetapi, Bzimza tak pernah bisa percaya. Adakah cinta monyet sedalam yang ia rasakan pada Lzylzy?

"Lupakan Lzylzy Nouraz, Bzimza."

Itu yang selalu Momma katakan pada Bzimza sejak bertahun-tahun lalu. Ibunya itu tahu bagaimana perasaan Bzimza pada Lzylzy. Namun, sejak hari Momma menerima selembar kartu undangan dari keluarga Nouraz yang mengabarkan hari pernikahan Lzylzy dengan seseorang dari Distrik 13, Momma selalu menyuruh Bzimza untuk realistis.

Bzimza tak pernah bisa.

Sejak dulu, Bzimza telah memberikan sekeping hatinya untuk Lzylzy Nouraz, dan gadis itu tak pernah mengembalikannya.

"Jangan salahkan aku jika tak lagi bisa mencinta gadis mana pun, Momma. Sungguh aku tidak pernah lagi bisa."

Hingga akhirnya Nyonya Noorzofz, Momma Bzimza, menyerah. Ia tak lagi memaksa putranya untuk mencari gadis lain. Meski di dalam hati  Nyonya Noorzofz masih tersimpan pertanyaan: bagaimana mungkin cinta monyet bisa sedemikian lama bertahan? Atau apakah sebenarnya Bzimza hanyalah seorang pemuja cinta platonis yang mendamba dengan sia?

*Temet*

.

Jumat, 05 Juni 2020

CERITA PENGANTAR TIDUR AYLA

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_5
#NomorAbsen_222
Jumlah kata : 953 kata (hanya isi)

CERITA PENGANTAR TIDUR AYLA




"Pada zaman dahulu kala--"

"Mama, Ayla bosan!" Tiba-tiba saja Ayla menyela kalimatku.

"Eh?" Aku mengernyit heran.

"Pasti mama mau cerita kancil lagi, 'kan?"

"Bagaimana kamu tahu?" Aku mengubah posisiku menghadap ke arah Ayla.

"Itu tadi." Bibir mungi Ayla mengerucut.

"Itu apa?"

"Mama mengawali ceritanya dengan 'pada jaman dahulu kala,' itu pasti cerita kancil. Seperti cerita Mama kemarin-kemarin," protes gadis kecil itu. Aku terbahak.

"Jadi, kamu tidak mau kalau mama cerita kancil?" Kucubit ujung hidungnya dengan gemas.

"Tidak. Ayla bosan!" Ayla mengelak dari cubitanku yang berikutnya.

"Lalu kamu mau Mama cerita apa?"

"Mmm ... sebentar, Ayla pikir dulu." Mata Ayla mengerjap. Ia tampak berpikir keras.

"Apa?" Aku tak sabar.

"Mmm ... Ayla nggak tahu, Mama. Pokoknya Ayla mau Mama cerita yang seru. Jangan kancil melulu.

Lagi-lagi aku tergelak sambil mengacak rambut ikalnya. Bocah enam tahun itu ikut tertawa.

"Oke. Dengar ya, pada suatu hari--"

"Aaah, Mama jangan cerita itu." Lagi-lagi Ayla menyela kalimatku.

"Kenapa? Ini bukan cerita kancil," kataku.

"Iya, tahu, itu cerita kelinci lomba lari dengan kura-kura. Cerita itu juga sudah bosan Mama. Ayo cerita yang lain lagi." Ayla mulai merengek.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mulai lagi mencoba menceritakan sebuah dongeng pada Ayla.

"Pada suatu hari di sebuah hutan ... "

"Itu cerita keluarga beruang! Ayla nggak mau!" Rengekan Ayla semakin menjadi. Fyuh, baiklah, aku menyerah.

"Mas! Mas Arshaka! Sini! Ini Ayla minta didongengi!"

Itu jurus terakhirku jika kewalahan menghadapi permintaan Ayla. Panggil saja papanya. Hahaha.

Mas Arsaka melongok dari ambang pintu. Ayla melonjak-lonjak senang menyambut kedatangannya. Aku segera saja menyingkir. Jika sudah begini, biarkan saja mereka menghabiskan waktu berdua. Aku? Ooo, aku bisa memanfaatkan waktu yang ada untuk merawat wajah atau apa di kamar sebelah. Me time. Haha.

***     ***     ***

Aku baru saja akan membersihkan sisa-sisa masker di wajah saat Mas Arshaka masuk.

"Ayla sudah tidur?" tanyaku. Mas Arshaka mengangguk. "Kok lama?" Aku melirik jam yang menempel di dinding kamar. "Memang tadi cerita apa?"

"Kisah-kisah sahabat nabi."

"Waaah, untung ada kamu, Mas. Ayla sekarang nggak mau lagi diceritai dongeng-dongeng anak."

"Iya. Dia sudah mulai kritis. Tadi waktu aku sedang cerita pun banyak disela oleh Ayla. Bertanya itu ini, ini itu. Cerewetnya persis kamu." Aku tergelak mendengar ucapan Mas Arshaka.

"Makanya aku kewalahan akhir-akhir ini menghadapi Ayla menjelang waktu tidurnya," keluhku.

"Kenapa?" Mas Arshaka membaringkan tubuhnya di atas kasur. "Tinggal baca saja banyak buku--yang sesuai dengan usia Ayla tentu--lalu nanti kamu ceritakan ulang."

"Itu yang agak sulit, Mas. Aku nggak punya waktu untuk bisa membaca banyak buku."

"Nggak punya waktu atau nggak mau menyisihkan waktu?" Ejek Mas Arshaka sambil tersenyum lebar.  Kulempar bantal ke arahnya. Dia mengelak sambil tertawa-tawa.

***     ***     ***

"Yakin, nih, Ayla mau nginap di rumah Bimby seminggu?" Aku kembali bertanya pada Ayla saat mengantarnya ke teras rumah. Ayla mengangguk kuat.

Di halaman, adikku Kenanga dan anaknya Bimby menyambut Ayla.

"Udah, sih, Kak. Kayak mau melepas Ayla kemana aja. Dia kan cuma ke rumahku. Lagi pula hanya seminggu." katanya.

"Iya, iya, tapi nanti kalau dia rewel atau apa, telpon aku."

"Aman. Tapi kayaknya nggak deh. Lihat itu, malah sepertinya Ayla sudah nggak sabar."

"Yah, pokoknya, aku titip Ayla. Kalau ada apa-apa, kamu telepon aku."

"Siap! Aku pergi dulu, Kak. Eh, Ayla, salam dulu sama Mama ya." Kenanga mengingatkan Alya.

"Mama, Alya pergi ke rumah Bimby dulu ya. Daah, Mama!"

"Daah, Ayla. Baik-baik ya, di rumah Bimby. Nurut sama Tante!" seruku.

Aku masih melambaikan tangan saat mobil yang dikemudikan Kenanga menghilang di tikungan jalan. Setelahnya aku berbalik. Baru saja Ayla pergi, tapi rasa rindu sudah menyergap. Apalagi saat melihat rumah yang lengang, dengan mainan-mainan Ayla yang bertebaran di mana-mana.

Fyuh!

Ini pertama kali aku melepas Ayla jauh dariku. Untung ada Mas Arshaka yang selalu menenangkan.

"Sudahlah, biar. Sesekali Ayla jauh dari kita tidak apa-apa," katanya, "lagi pula, dia hanya di tempat adikmu. Bukan ke mana-mana. Lihat sisi positifnya saja."

"Apa?"

"Kamu  jadi tidak perlu bingung-bingung lagi 'kan, mau bercerita apa pada Ayla sebagai pengantar tidurnya. Satu minggu bebas tugas loh." Mas Arshaka terbahak. Aku diam, tetapi dalam hati bersorak senang. Betul juga yang Mas Arshaka katakan.

Ternyata memang benar, aku tidak perlu merisaukan Ayla yang menginap di rumah adikku. Setiap hari Kenanga menelpon, melaporkan bahwa Ayla baik-baik saja. Saat kami melakukan video call, kulihat Ayla juga sangat ceria. Jadi ya, kuakui, kekhawatiranku memang berlebihan.

Satu minggu berlalu tanpa terasa. Mas Arshaka menjemput kembali Ayla. Bocah itu berlari sambil berteriak memanggilku saat ia tiba di rumah. Kami berpelukan erat seperti sudah seabad tak berjumpa.

Selama satu minggu ini, aku sudah membaca banyak kisah. Persediaan jika nanti Ayla memintaku bercerita menjelang dia tidur.

Waktunya tiba. Ayla sudah siap di pembaringannya. Selimut bergambar little pony sudah menyelubungi tubuh mungilnya.

"Mama, cerita dulu!"

Aha! Ini dia. Aku tersenyum lebar penuh percaya diri.

"Oke!" kataku. "Mama punya kisah yang bagus untuk Ayla."

"Oh ya?"

"Iya dong!"

"Mana?"

"Dengarkan ya. Alkisah, di suatu negeri di timur tengah sana--"

"Mama mau cerita tentang Aladin dan lampu wasiat?"

"Hah? Kok Ayla tahu?"

"Papa sudah pernah cerita itu," celetuk Ayla.

"Kalau kisah sahabat nabi?" tanyaku.

"Sahabat yang mana? Bilal sudah, Abbas ibnu firnas, Zaid bin Haritsah, Ham--"

"Semua sudah Ayla dengar?"

"Iya. Papa yang cerita. Mama cerita yang lain aja. Atau cerita-cerita kayak yang diceritakan Tante kemarin. Iya, Ma yang itu aja."

"Cerita apa?"

"Cerita seru, Ma. Ayla suka."

"Memangnya kemarin Tante Kenanga cerita apa?" Aku semakin penasaran.

"Ada banyak, Ma. Perebut Tanah Wakaf Mati Tersengat Listrik, Jenazahnya Hanyut; Penyiksa Anak Yatim Mati dengan Perut Membengkak Disengat Ribuan Tawon, Kerandanya Terkena Badai--"

"Stop, stop Ayla!" kataku. Ayla berhenti bicara. Aku memberi isyarat agar dia tetap di tempat. Kusambar ponsel lalu bergegas ke luar sambil menekan nomor Kenanga.

"Assalamualaikum! Halo, Ka--"

"Kenapa anakku kamu cekokin cerita-cerita azab ala sinetron ikan terbang?"

Tuuut, tuut, tuuut

Apa dimatikan?

"Awas kamu, Kenangaaaa!"

*Tumit*

Kamis, 04 Juni 2020

RUMAH SEBERANG JALAN

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_4
#NomorAbsen_222
Jumlah kata : 989 kata (hanya isi)

MEREKA TETANGGAKU:
RUMAH SEBERANG JALAN
.

Awal pagi yang selalu sibuk. Sejak pindah ke rumah ini seminggu lalu, kesibukan dan kericuhan di pagi hari memang meningkat di keluargaku. Jarak rumah yang jauh dari mana-mana membuat kami membutuhkan waktu tempuh yang lebih lama ke tempat aktivitas masing-masing, dibandingkan jarak yang kami tempuh saat masih di rumah lama.

Setiap pagi, semua orang akan bergegas ke sana, ke mari, sambil melakukan ini dan itu. Papa misalnya, sepagi ini sudah sibuk menelpon memberi berbagai intruksi pada lawan bicaranya di seberang sana.

Mama terlihat sedang panik saat aku melintasi pintu kamarnya yang terbuka. Satu tangannya mencari entah apa di laci nakas. Sementara tangan satunya memegangi pengering rambut yang berdesing di sisi kepala. Aku menggeleng takjub.

Turun ke lantai bawah, hiruk pikuk lain menyambutku. Kesibukan yang sama sudah berlangsung. Kakakku Shila ribut menanyakan di mana disimpannya entah apa pada Bi Darmi, yang juga sedang sibuk memasak sarapan. Sementara Mang Aep tampak sedang memanaskan mesin mobil yang akan digunakan untuk mengantar Mama ke kantor. Lagi-lagi aku menggeleng. Sepagi ini? Bahkan ayam jantan di kejauhan belum berhenti berkokok.

Sepertinya hanya aku yang agak santai di rumah ini. Tidak sepenuhnya santai sih. Hari ini aku ada kuliah pagi, tapi biar saja, aku tak suka tergesa-gesa. Ketergesaan membuat orang-orang tak bisa menikmati setiap detik waktu yang hadir dalam hidupnya. Itu pandanganku, ya.

"Dean! Kenapa belum bersiap-siap?" Suara Mama terdengar lantang. Kulihat ia sudah berdiri di ujung tangga dengan rambut yang sudah rapi. Bagaimana mungkin? Tadi kan Mama masih berkutat dengan rambutnya di atas?

"Matahari saja belum muncul, Mam. Kenapa harus terburu-buru?"

"Seperti tidak tahu saja bagaimana kemacetan di luar sana." Mama berjalan ke meja makan sambil menggerutu. "Cepat bersiap-siap, atau nanti Mama tinggal!" ancamnya padaku. Aku mendengkus sebal.

Argh!

Lagi-lagi harus mengalami ketergesaan yang kubenci. Lihat itu tetangga kami di seberang jalan, rumah mereka masih tenang. Mungkin penghuninya masih lelap di balik selimut tebal. Eh, tapi mungkin juga tidak. Itu, ada yang sudah bangun dan berdiri di dekat bingkai jendela besar ruang depan. Aku berjalan ke ujung teras agar dapat melihat lebih jelas. Seorang gadis.

Wah!

Kulambaikan tangan. Kulihat gadis di jendela tersenyum dan balas melambai.

Wah!

"Dean! Cepat bersiap-siap!"

"Iya, Mam. Iya."

Ah, Mama. Merusak suasana saja. Padahal gadis itu manis sekali. Kulangkahkan kaki dengan malas, kembali ke dalam. Sebelum masuk, sekali lagi kulepaskan pandang ke arah rumah seberang. Gadis itu sudah tak ada di sana.

***     ***     ***

Aku sedang duduk di tepi jendela kamar saat kudengar alunan musik dari rumah seberang jalan. Aku mengintip dari balik gorden. Dari luar, suasana rumah itu terlihat tenang. Semua pintu dan jendelanya tertutup rapat. Lampu penerangan di luar rumahnya pun begitu muram. Mungkin mereka sedang berhemat listrik.

Suara musik masih terdengar. Terkadang diselingi gelak tawa dari dalam rumah. Aku jadi penasaran, sedang apa mereka? Kubayangkan gadis manis itu sedang bercengkrama dengan keluarganya. Menikmati waktu istirahat bersama sambil mendengarkan lagu-lagu yang mereka sukai. Saling melempar joke dan tertawa bersama setelahnya.

Keluarga yang harmonis.

Di rumah ini, mana bisa hal-hal seperti itu kualami. Papaku si workaholic, tentu saja super sibuk. Mama pun demikian. Entah apa yang mereka cari. Shila jangan ditanya, temannya di mana-mana. Sepertinya setiap hari dia dan teman-temannya memiliki segudang rencana untuk dilakukan bersama.

Maka makan malam bersama keluarga adalah mimpi yang selalu melintas dalam angan, bagiku. Tak pernah terealisasi, walau berkali-kali janji kami sepakati. Baik di rumah lama kami dulu, maupun di sini. Selalu hanya aku yang ada di rumah saat makan malam tiba. Akhirnya, makan malamku seringkali hanya ditemani Mang Aep dan Bi Darmi.

Saat sarapan--yang seringnya terlalu pagi--kami memang sering bersama. Akan tetapi, sarapan macam apa itu, jika semua orang makan seperti dikejar hantu. Selalu terburu-buru.

Suara musik masih mengalun dari rumah tetangga kami. Aku jadi penasaran. Kusingkap lagi gorden dan mengintip. Di balkon, kulihat gadis manis itu berdiri. Menatap ke kejauhan. Rambutnya bergerak-gerak dipermainkan angin malam.

Segera aku beranjak dari jendela kamar. Setengah berlari ke luar dari dari sana dan menuju pintu samping yang mengarah ke balkon kami. Masih kulihat gadis itu di sana. Berdiri di sisi dinding pembatas, dengan mata yang masih menerawang menatap ke kejauhan.

"Hei!" Tanpa rencana, tiba-tiba saja sapaan itu terlontar dari mulutku. Si Gadis bergeming. Diam-diam aku menarik napas lega. Untung saja. Kalau tadi dia mendengarku, entah apa yang harus kukatakan. Lebih baik begini, berdiri di sini sambil memandanginya. Diam-diam.

***     ***     ***

Kudapati diriku semakin sering mengamati rumah itu. Jika ada waktu, aku sering berlama-lama duduk di teras. Pura-pura menghabiskan waktu sambil memetik gitar tua. Jika malam tiba, aku akan duduk diam-diam di balkon depan kamar, berharap gadis itu muncul lagi. Berdiri anggun di sisi balkon rumahnya.

Berhari-hari itu kulakukan, tetapi yang kutunggu tak juga menampakkan diri. Ke mana dia?

Siang ini, aku sudah duduk di pos pengamatanku: bangku teras. Baru saja akan memetik gitar saat seorang lelaki dengan persenjataan lengkap--untuk membersihkan rumput taman. Haha--turun dari motornya dan berdiri di depan pagar rumah seberang jalan.

Aku masih mengamati ke arah seberang. Lelaki itu masuk setelah membuka gembok pagar. Membuka gembok pagar? Apakah gadis itu dan keluarganya sedang tidak ada di rumah? Kalau begitu pantas saja, akhir-akhir ini dia tak pernah kelihatan.

Kuletakkan gitar, berjalan melintasi halaman. Kemudian kubuka pagar, menyeberangi jalan dan berdiri di depan pagar rumah seberang.

"Ehm! Pak!" Kusapa lelaki yang sedang bersiap-siap dengan alat pemotong rumputnya.

"Eh? Ya, Den?" Lelaki itu mendekat.

"Pemilik rumah ini," kutunjuk rumah besar itu, "sedang pergi ya?"

Si Bapak mengernyitkan alisnya.

"Rumah ini?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Iya. Rumahnya sepi. Gadis itu juga nggak pernah terlihat, apa dia--"

"Maksud Aden?"

"Gadis yang tinggal di rumah ini, Pak. Dia, anak pemilik rumah ini 'kan?" Aku tersenyum. Sudah kuniatkan mengorek informasi dari bapak ini.

"Ta-tapi," Si bapak mendadak tercekat. Dia melirik ke arah rumah. Lalu menatapku ragu. "Benar Aden melihat ada gadis di rumah ini? Rumah ini sudah bertahun-tahun ditinggal pemiliknya, Den, sejak Neng Dinda, putri mereka meninggal. Saya yang diberi amanah untuk merawat rumah ini." Si bapak bicara sambil menunjukkan serenceng kunci.

Kurasa aku mendadak blank. Apa katanya tadi? Coba diulangi?

*Tomat*

Cilame, Juni 2020

ALINA

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_3
#NomorAbsen_222
Jumlah kata :  979 kata (hanya isi)

A    L     I     N     A

.

"Andai aku menjadi--"

Gumaman di bibir pucat Alina yang tengah terbaring di atas kasur tipis terputus saat pintu kamarnya terbuka secara kasar. Nyaris saja engsel-engsel pintu itu berlompatan karena dorongan kuat dari arah luar. Di balik daun pintu yang menguak, Emak  berdiri sambil bertolak pinggang. Matanya yang selalu terlihat galak memelototi Alina.

"Lagi-lagi melamun! Cepat buatkan Emak sarapan!"

Alina segera bangkit. Ia mengabaikan rasa sakit di kepalanya yang berdenyut hebat. Emak tak pernah mengenal kata menunggu. Ia pun tak ingin tangan kurus Emak mendarat di tubuh ringkihnya hanya karena ia lalai mengerjakan tugas harian.

Tidak seperti emak-emak lainnya yang penuh kasih sayang, Alina merasa emaknya begitu ringan tangan. Entahlah, mungkin ini merupakan pelampiasan rasa frustrasinya menghadapi kehidupan. Mungkin juga karena Emak sudah terlalu muak menjalani hari-hari mereka yang payah.

Bapak pergi entah ke mana saat Alina belum mampu mengingat wajahnya. Meninggalkan Emak dan dirinya dalam lubang kemiskinan. Emak harus berjibaku, berjuang, demi bertahan hidup juga membesarkan Alina yang sakit-sakitan. Kondisi inilah yang membuat Emak selalu terlihat garang. Ia bahkan membenci Alina dan mungkin menganggap kehadirannya hanya sebaga penambah beban.

Alina meletakkan sepiring nasi goreng yang masih mengepul di atas meja. Emak baru saja selesai menyusun barang dagangan ke dalam keranjang di bagian belakang sepedanya. Dia melangkah masuk, lalu duduk di satu-satunya bangku yang ada di depan meja makan kecil. Mulai menghabiskan sarapan dalam diam yang berkepanjangan.

"Bereskan semua pekerjaan rumah. Siangi sabut kelapa dalam karung di samping sana." Emak berkata datar saat sudah selesai. Alina hanya mengangguk. Dia sudah terbiasa seperti itu. Tak pernah membantah, dan tak pernah bersusah payah membuka mulutnya. Emak tidak suka. Katanya ia muak mendengar suara Alina.

Setelah Emak pergi, Alina menarik napas lega. Lebih baik bagi dirinya jika Emak berada di luar sana. Namun, bukan berarti Alina bisa bersantai. Tidak. Ia tetap harus mengerjakan semua tugas-tugasnya meski sekuat tenaga menahan sakit di kepala.

Alina menyiangi sabut-sabut kelapa di samping rumah setelah selesai dengan semua urusan rumah tangga. Ia menguraikan sabut-sabut dari kulit luarnya yang keras. Sabut-sabut itu nanti akan dianyam oleh Emak. Menjadi tambang atau keset-keset yang kemudian di jualnya di pasar kota. Jari-jari Alina mengeras dan kapalan karena pekerjaan ini, tetapi ia tidak pernah peduli.

"Alina!"

Satu suara membuat Alina sontak mendongak. Wajahnya seketika cerah. Senyum tipis tersungging dari bibir keringnya.

"Sukab!"

Alina berseru menyapa pemuda yang tadi memanggilnya. Si pemuda berjalan mendekat. Sebuah tas punggung tersandang di pundaknya. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Tampan.

Sukab adalah teman sepermainan Alina sejak kecil. Mereka juga pernah belajar bersama di sekolah, sebelum Emak memutuskan agar Alina tinggal di rumah saja setamat sekolah menengah pertama. Sukab lain lagi, ia melanjutkan sekolahnya. Dia bahkan mulai kuliah tahun ini.

"Ini! Kubawakan pesananmu." Pemuda itu mengulurkan sebuah buku ke arah Alina. Mata Alina berbinar. Sakit di kepalanya tiba-tiba seperti terlupakan. Bibir Alina mengeja judul buku yang baru saja ia terima.

"Sepotong Senja untuk Pacarku."* Alina bergumam. Kemudian pandangannya beralih pada Sukab yang masih berdiri di depannya. "Apakah ada ...." Alina menunjuk dirinya sendiri. Sukab mengerti. Pemuda itu mengangguk.

"Seperti dalam buku-bukunya yang lain, ada nama kita di sana." Sukab menjelaskan dengan penuh antusias. Ia meminta Alina membuka satu halaman dan menyuruh Alina membacanya.

"Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain." ** Alina membaca paragraf itu dengan suara cukup kuat. Di akhir bacaannya dia menatap Sukab dengan penuh rasa takjub. "Pengarang buku ini, dia selalu menuliskan apa yang selalu kupikirkan, Sukab. Bagaimana bisa?"

Sukab hanya mengedikkan bahunya. Namun wajahnya menampilkan satu senyuman lebar.

Ini adalah buku yang ke sekian dari pengarang yang sama, yang dipinjamkan Sukab pada Alina. Ia menyukai semua karya pengarang itu. Alasan pertama, karena pengarang itu sering menggunakan nama Alina juga Sukab sebagai tokoh pada cerita-ceritanya. Tidak selalu, tetapi cukup sering. Alasan ke dua, Alina merasa buku karya pengarang itu menakjubkan, karena  menuliskan apa yang sering muncul dalam pikirannya. Selain itu, Alina memang menganggap cerita-cerita yang ditulis oleh si pengarang memang selalu menarik.

"Sukab! Bolehkah aku bertemu dengan pengarang buku ini?"

"Hah? Untuk apa?"

"Ingin bertemu saja." Mata Alina terlihat berbinar saat mengucapkannya.

"Dia mungkin orang yang sangat sibuk."

"Jadi, aku tidak bisa menemuinya?"

"Mmm ... aku tidak tahu, tapi, akan kucari informasinya," kata Sukab akhirnya. Ia tak ingin mengecewakan sahabatnya.

***     ***     ***

Emak murka saat suatu hari ditemukannya Alina sedang khusyuk dengan bukunya. Direbutnya buku itu, dilemparkan ke luar jendela. Ketika Alina berteriak tertahan menyaksikan buku kesayangannya melayang, Emak malah menjambak rambutnya.

"Kau habiskan waktumu dengan benda itu? Anak tak tahu diuntung, tak berguna! Kau lihat rumah masih berserak, makanan tak ada, pakaian kotor menumpuk dan sabut-sabut itu belum kau sentuh! Kau malah asyik membaca! Siapa yang memberimu benda itu?" Tangan Emak berulang mendarat di tubuh ringkih Alina.

Kini Alina memutuskan untuk diam. Ditahannya rasa sakit yang timbul akibat hantaman tangan Emak ditubuhnya. Ya, dia menyadari, kali ini adalah kesalahannya. Tadi ia lupa waktu saat membaca buku itu.

Alina mengatupkan mulutnya kuat-kuat. Emak semakin geram. Ia teramat kesal. Apalagi melihat Alina yang bungkam. Akhirnya Emak menghentakkan kaki kemudian pergi setelah menyorongkan tubuh Alina.

Esoknya Sukab mendapati banyak memar di tubuh Alina. Ada juga lebam di wajahnya.

"Alina--"

"Sukab, aku betul-betul ingin bertemu dengan si pengarang." Alina menyela kalimat Sukab. "Aku benar-benar ingin menjadi ... tokoh dalam ceritanya." Air mata Alina mengalir deras. Sukab mengernyitkan dahi tak mengerti.

"Alina?"

"Aku benci hidupku, Sukab. Aku benci penyakitku. Aku benci kemiskinan ini. Aku benci kemarahan Emak yang harus kutampung setiap hari." Tubuh Alina berguncang. "Biar kutemui pengarang itu. Biar dia membuatkan cerita baru untuk hidupku. Beri tahu aku, Sukab. Beritahu aku di mana dia." Tangis Alina menghiba. Semakin keras.

Sukab terpana di hadapan Alina yang kini meraung. Belum sempat Sukab menenangkan sahabatnya, raungan Alina telah berganti menjadi tawa yang getir. Alina terbahak-bahak menertawai nasibnya. Sementara Sukab diam-diam menitikkan air mata menyaksikan Alina tertawa.

**Tamat**

*) Judul cerpen dalam buku kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Adjidarma
**) Kutipan dari Sepotong Senja untuk Pacarku, SGA

Cilame, 02 Juni 2020

ZIKIR KUNTUM-KUNTUM BUNGA

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_2
#NomorAbsen_222
Jumlah kata :  477 kata (hanya isi)

.
ZIKIR KUNTUM-KUNTUM BUNGA

.

"Kesunyian adalah karib sejati."

Itu adalah sebuah keyakinan yang kami percayai selama ini. Sebab sebenarnyalah, bagi kuntum-kuntum bunga yang hidup di area pemakaman seperti kami, hanya kesunyian yang selalu menemani keseharian kami di sini. Tak ada hiruk pikuk, tak ada keriuhan, tak ada kegaduhan, tak ada bising yang berkepanjangan. Tak ada. Di sinilah tempat di mana kau bisa menemukan ketenangan hakiki. Sebuah sunyi yang abadi.

Kami kuntum-kuntum bunga sangat menyukai suasana seperti ini. Begitu tenang. Begitu senyap. Begitu sunyi. Terlebih bila malam mulai mengambang. Lalu matahari mengucapkan salam dengan mengecup pipi bumi, hingga rona jingga menyemburat pada batas horizonnya.

Maka semilir angin akan menemani kami menari. Meliuk-liukkan tubuh mungil kami yang sedang berzikir sepuas hati. Lalu sunyi akan mulai berirama, ditingkah  kukuk burung hantu juga binatang malam lainnya. Kami pun akan semakin khusyuk dalam puja-puji kami pada Sang Pencipta Semesta.

Di beberapa kesempatan, kami akan menerima kunjungan-kunjungan kalian. Manusia-manusia yang mengiringi karibnya berpulang. Maka pada saat itu, kami rumpun-rumpun bunga akan merasakan sunyi dengan nada yang berbeda. Sunyi yang menyayat hingga ke relung terdalam pada rongga dada.

Kami akan menyaksikan isak tangis tertahan kalian. Lalu dengung gumaman, saat baris-baris doa dipanjatkan.  Kemudian kami juga akan tertunduk, turut memberikan penghormatan terakhir bagi mereka yang telah berpulang.

Biasanya, setelah itu kesunyian akan semakin memekat. Saat petakziah terakhir mengayunkan langkah ke empat puluhnya. Saat itu dalam keheningan, akan kami dengar suara-suara yang akan membuat siapapun gemetar.

Pernahkah kalian, para manusia, mendengarnya juga?

Ah, kami rasa kalian tak pernah tahu, bukan? Percakapan yang terjadi antara mereka yang sebelumnya kalian usung dalam keranda, dengan sang utusan pembawa pertanyaan? Saat itu biasanya kami akan semakin larut dalam lantunan kalam-Nya yang bersama-sama kami dengungkan. Kami pun akan terus berzikir sambil menyimak tanya jawab yang berlangsung dalam sunyi yang mengalir.

***     ***     ***

Pada beberapa putaran purnama terakhir, kesunyian sepertinya semakin menjadi-jadi di sini, walaupun tak ada lagi usungan keranda dan iring-iringan para petakziah seperti biasa. Tubuh-tubuh tak bernyawa kini hanya diantar oleh tatap-tatap mata segelintir manusia yang memandang dari kejauhan. Juga tangisan-tangisan kini teredam oleh lapisan-lapisan kain penghalang. Kain yang menutupi sebagian wajah-wajah letih bersepuh duka mendalam.

Kotak-kotak beroda telah menggantikan iring-iringan pembawa keranda. Orang-orang berpakaian tak biasa akan memasukkan kotak terkunci berisi jasad si mati ke dalam liang lahat secepat yang mereka mampu.

"Lalu ke mana perginya kalian?" Kami kuntum-kuntum bunga kini bertanya-tanya. Lama pertanyaan kami menggantung di udara. Tak mendapatkan jawaban.

Akhirnya kesiur angin membawa kabar pada kami. Konon semua terjadi karena wabah yang tengah melanda. Ia menyebar di mana-mana. Mengintai diam-diam. Mencuri kesempatan untuk merenggut dengan paksa lagu suka cita, dan menggantinya dengan kidung duka yang membahana. Wabah jugalah yang telah membuat hari-hari menjadi lebih sunyi dari biasanya.

Apakah kami, kuntum-kuntum bunga di area pemakaman yang menyukai kesunyian menjadi berbahagia karenanya?

Ah, ternyata tidak juga. Malahan kini kami merindukan kalian. Namun bukan sebagai si mati yang terbaring kaku dalam peti  terkunci.

*Tamat*

SUATU HARI DI BAWAH TIANG LAMPU JALAN

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_1
#NomorAbsen_222
Jumlah kata : 828 kata (hanya isi)

SUATU HARI DI BAWAH TIANG LAMPU JALAN

.

"TIN TIIIN!"

Suara klakson kendaraan bersahutan. Jalan raya di depanku tampak begitu padat, seperti biasanya. Kendaraan roda empat besar dan kecil berjejal-jejal memadati ruas-ruasnya. Macet. Belum lagi roda dua yang menyelip mengisi setiap celah yang tersisa, menambah keruwetan yang sudah tercipta.

Aku selalu saja menjumpai pemandangan seperti ini. Setiap hari. Tidak pagi, siang, sore, bahkan di malam hari. Menyaksikan kesemrawutan dan kekacauan yang biasanya lama sekali baru akan terurai. Ah, mengapa mereka tidak diam saja? Tak tahukah mereka, suara memekakkan dari klakson-klakson itu bisa saja membuat seseorang menjadi gila.

Orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar pun sama padatnya dengan kendaraan yang merayap di jalan. Sebagian terlihat cukup santai. Mungkin mereka memang sedang menikmati waktu luang dengan berjalan-jalan. Terkadang ada juga yang kulihat melangkah perlahan sambil bergandengan dengan pasangan. Sebagian yang lain bergegas. Seperti dikejar atau mengejar waktu, atau entah apa yang mengejar atau mereka kejar itu. Aku tak pernah bisa mengerti. Seringkali aku bertanya-tanya sendiri, apa nikmatnya menjalani hidup yang penuh ketergesaan seperti itu?

Sebagian kecil lainnya lagi akan kulihat duduk-duduk di bangku-bangku yang berjajar di sisi jalur pedestrian ini. Seperti yang saat ini kulihat, di salah satu bangku yang berada tak jauh dari tempatku berdiri, seorang lelaki dan perempuan makan es krim stroberi berdua. Mereka duduk menatap jalanan yang sibuk.

“Aku tak bisa begini, terus,” ujar si lelaki, mengeluh.

Ia menoleh pada perempuan di sampingnya yang juga mengalihkan perhatiannya dari arah jalan. Sesaat mereka bertatapan, lalu si perempuan menunduk. Aku tak dapat menangkap suaranya. Hanya saja kulihat, tak lama kemudian bahunya bergetar.

Awalnya kupikir yang ini cukup romantis. Lihat saja, di sela kesemrawutan seperti ini, mereka masih bisa menikmati setitik kelezatan yang manis. Namun, setelah dilihat lebih cermat, malah terasa agak aneh menyaksikan mereka berdua-duaan sambil menikmati es krim di tengah segala keriuhan dan hiruk-pikuk jalan. Mengapa mereka tidak mencari tempat yang lebih tenang? Di taman kota, misalnya. Pun saat melihat raut keduanya yang terlihat sangat muram, orang-orang yang melihat pasti akan mengerutkan kening semakin dalam karena heran.

Ooo ... ternyata ini hanya salah satu fragmen sedih lain yang berurai air mata.

Biarkan aku menduga. Mmm ... bisa jadi mereka sepasang kekasih yang sedang menghadapi ujian cinta yang cukup besar. Mungkin, keduanya sama-sama tidak mendapatkan restu dari orang tua. Mungkin juga, mereka berdua pasangan yang sedang menjalin hubungan terlarang. Atau bahkan mungkin, mereka itu sebenarnya hanya dua bersaudara yang sedang memikirkan masalah dalam keluarga mereka bersama-sama.

Semua kemungkinan itu mungkin saja 'kan? Toh, apa sih yang tidak mungkin terjadi di sisi jalan yang padat dan ramai seperti ini?

Tidak percaya?

Dengar, aku pernah menyaksikan sebuah mobil yang tiba-tiba saja menyeruduk orang-orang yang sedang berjalan di jalur pedestrian. Sopirnya mabuk. Orang-orang tewas seketika. Mayat-mayat mereka bergelimpangan.

Aku juga pernah melihat jambret yang dihajar massa, setelah ia tertangkap karena mengambil dompet ibu-ibu paruh baya yang baru saja keluar dari bank di seberang jalan sana. Satu orang berteriak menyuruh yang lain membakar si jambret. Provokasi yang segera saja disambut teriakan-teriakan bar-bar dari orang-orang lainnya. Seperti api yang menyambar bahan bakar, semua orang larut tersulut amarah. Untung saja petugas segera datang. Nyawa si jambret pun tak jadi melayang.

Suatu waktu, pernah juga kulihat sebuah sedan mewah yang tiba-tiba saja berhenti. Penumpangnya, seorang perempuan muda, ke luar membanting pintu, sambil mulutnya mengeluarkan makian-makian. Seorang lelaki menyusul keluar dari pintu yang bersebrangan. Juga dengan amarah yang sama yang terpancar dari matanya yang menatap nyalang (aduh, mengapa banyak sekali kuucapkan kata 'yang'?). Ah, penampilan yang mewah dan elegan ternyata tak cukup menjamin seseorang dapat bersikap elegan juga rupanya.

Peristiwa-peristiwa lain yang bahkan tak bisa lagi kusebutkan saking banyaknya, juga selalu kusaksikan di sisi jalan padat ini. Sebab memang selalu saja ada peristiwa-peristiwa yang begitu asik untuk kuamati. Peristiwa-peritiwa yang selalu saja melintas di hadapanku. Peristiwa-peristiwa yang terlalu sayang untuk dilewatkan.

Tidak semuanya semenyeramkan yang tadi telah kuceritakan. Tidak. Ada juga peristiwa-peristiwa yang mengharukan, menyedihkan, menyebalkan, menggelikan, menjijikan, menakjubkan, juga peristiwa yang membuatku ingin tertawa sekeras-kerasnya, walau aku tak bisa melakukan itu. Bahkan, ada juga peristiwa yang biasa-biasa saja, sampai-sampai aku bingung harus bagaimana meresponnya.

Kuduga kau pasti akan bertanya-tanya, mengapa aku seperti tak ada pekerjaan saja mengamati semua hiruk pikuk yang terjadi di jalan ini. Iya 'kan?

Yah, bukannya tidak ada pekerjaan atau apa, tetapi semuanya memang selalu terjadi di hadapanku, di sini. Aku pun selalu menyaksikannya dari sini, di sisi jalan padat ini. Semua melintas cepat seperti fragmen-fragmen yang diambil dari sebuah maha karya besar bernama kehidupan. Bagiku jalan ini memang ibarat miniatur kehidupan dunia dengan segala kerumitannya, dengan segala kesibukannya, dengan segala keberagamannya, dengan segala tetek bengek dan ingar bingar di dalamnya.

Aku sendiri, tentu senang diberi kesempatan untuk menyaksikan semua itu. Kuanggap semua semata-mata sebagai hiburan bagiku, yang selamanya harus selalu tegak di sini, di sisi jalan ini. Menjalani kehidupanku sendiri, sekaligus menjalankan tugas mulia yang kuemban.

Hei! Sudah sepanjang ini aku bercerita, tetapi kita belum juga berkenalan, bukan? Kalau begitu perkenalkan, orang-orang yang berlalu lalang itu selalu menyebutku, tiang lampu jalan. Ya, benar. Tiang lampu jalan. Akulah saksi hiruk pikuknya kehidupan.

*Timit*

Kamis, 07 Mei 2020

AKU INGIN PULANG

AKU INGIN PULANG
#Cerpen_LilyNDMadjid



BRAKKK!

 Gayatri tergugu saat Pramudya, suaminya, membanting pintu di depan wajahnya. Perempuan dua puluh tiga tahun itu tersedu sambil memegangi  kedua pipinya yang memerah. Sakit terasa. Tetapi lebih sakit lagi di sini, di dalam dadanya. Ini bukan pertama kalinya Pramudya mengamuk mencaci-maki dirinya, atau meninggalkan bekas pukulan di tubuh perempuan itu.

 Pramudya memang lelaki yang temperamental. Hal-hal kecil saja mampu menyulut amarahnya. Masakan yang kurang asin, mainan anak yang berserak, dan hal-hal remeh lainnya sanggup membuatnya melontarkan kata-kata kasar. Apalah lagi saat dilihat ada chat dari lelaki lain di ponsel Gayatri.

 Ya. Itulah sumber kemurkaan Pramudya hari ini. Ia mendapati pesan dari seorang lelaki di aplikasi perpesanan ponsel Gayatri. Padahal Gayatri sendiri tak tahu menahu soal itu. Ia belum sempat menyentuh benda pipih itu hari ini. Pekerjaan rumah tangga dan anak sudah cukup menyita waktunya.

 “Siapa lelaki itu?” Begitu tadi Pramudya membentak dengan mata berkilat-kilat saat Gayatri sedang menyapu lantai kamar.

 “Lelaki apa, Mas?”

 “Jangan berpura-pura bodoh! Di belakangku kau asyik chat dengan lelaki lain rupanya!” Amarah Pramudya semakin menjadi. Kali ini jari-jarinya meraih wajah Gayatri dan menekannya kuat-kuat. Gayatri meringis menahan nyeri yang seketika menjalar di wajah. Air matanya mengalir tanpa ia inginkan.

 “Aku, aku tidak--”

 “Cih! Jangan menyangkal! Ini buktinya!” teriak Pramudya sambil menyodorkan ponsel Gayatri ke depan wajah pemiliknya, kemudian membantingnya ke lantai. Benda itu mendarat dengan mengeluarkan suara keras. Air mata Gayatri mengalir semakin deras.

*** *** ***

 Aksana memandangi layar ponselnya lekat-lekat. Mambaca lagi pesan yang dikirimnya pada Gayatri beberapa hari yang lalu. Tanda centang dua berwarna biru sudah terlihat di sana. Tetapi, kenapa Gayatri tidak juga membalasnya? Aksana menatap lagi  pesan itu.

 Delapan pesan. Semuanya ia kirim dengan selang waktu beberapa jam setiap pesannya. Menunggu jawaban. Tetapi pesan-pesan itu tak berbalas. Lupakah Gayatri pada dirinya? Atau marah? Ah, sebenarnya wajar saja jika Gayatri marah atau malah membencinya. Semua ini salahnya.

Aksana mengacak rambut sebahunya. Perasaan lelaki bertubuh tegap itu campur aduk. Kesal, marah, sedih, juga rindu. Rindu pada Gayatri. Pikirannya mendadak melayang ke tahun-tahun yang telah berlalu. Berapa tahunkah? Empat? Atau lima tahun pertemuan terakhirnya dengan perempuan berwajah manis itu?

*** *** ***

 Matahari mulai condong ke arah barat. Panasnya tak lagi membakar seperti saat siang tadi. Angin bertiup semilir memberikan kesejukan. Tetapi di suatu tempat, dua anak muda justru terjerat gundah. Gayatri duduk di lantai bambu sebuah dangau. Terisak-isak. Di hadapannya Aksana menunduk lesu.

 “Tak ada jalan lain, aku harus pergi, Atri,” gumam Aksana serupa keluhan. Gayatri tak menyahut. Tangisnya semakin larut.

Aksana meraih tangan Gayatri. Tetapi gadis belia itu menepisnya. Aksana menarik nafas panjang.

 “Benarkah tak ada jalan lain?” Terbata-bata Gayatri berkata.

 “Apalagi? Aku sudah berusaha. Tapi tetap saja hasilnya tak sesuai dengan keinginan orangtuamu, kan?” gumam Aksana. Ada gurat nyeri di sudut hatinya, juga sekilat rasa terhina mengingat penolakan orangtua Gayatri saat mereka mengetahui hubungan antara dia dan Gayatri.

 Aksana tahu apa yang membuat orangtua Gayatri tak menerimanya. Apalagi? Semua orang di desa itu tahu statusnya, yang hanya seorang pemuda miskin dengan orangtua yang juga miskin, hanya buruh  pekerja tuan-tuan tanah di desa itu. Turun temurun hidup dalam kemiskinan belaka. Bukan pemuda seperti itu yang diharapkan orangtua Gayatri untuk dijadikan calon menantu.

Aksana otomatis tersingkir. Tak peduli sekuat apapun ia dan Gayatri saling mencinta. Kedua orang tua Gayatri benar-benar menutup semua pintu kesempatan untuk Aksana. Tapi Aksana tak mau begitu saja menyerah. Ia bertekad akan memenuhi apa yang diinginkan orang tua Gayatri.

Jika desa ini tak memungkinkan dia untuk mewujudkan semua cita-citanya itu, ibukota ia yakini bisa menjadi jalan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Terutama mimpi terbesar Aksana. Menyunting Gayatri.

 Tetapi realita tak selalu sejalan dengan harapan, bukan? Itulah keadaan yang kerap terjadi. Dan begitulah yang Aksana alami. Ungkapan ibukota lebih kejam dari ibu tiri bukan sekedar ungkapan semata. Tetapi memang begitulah adanya. Ibukota yang keras dan garang telah menghempaskan mimpi-mimpi Aksana ke jurang terdalam.

 Ibukota memaksanya terbungkuk dan merangkak, menahan beban demi bertahan hidup. Bertahun-tahun ia bertahan, hingga keputusasaan menyergapnya kemudian. Mencabik-cabik dan mengoyak-moyakkan keyakinan juga tekadnya yang semula baja. Keputus-asaan itu jugalah yang akhirnya mengubah Aksana, menjadi bajingan di belantara kota.

*** *** ***

  Gayatri menatap lekat telepon genggam di tangannya. Terpampang pesan dari Aksana beberapa waktu lalu. Pesan yang membuat suaminya murka. Tak pernah ia balas. Untuk apa? Toh semua sudah berakhir. Walau tak dapat dipungkiri, masih ada gelenyar dalam dadanya, bercampur rasa nyeri yang samar.

 “Aksana …” bibirnya mengeja tanpa suara.

 Tangannya bergerak pada keypad  telepon pintarnya. Gayatri ingin menghapus saja pesan itu. Toh tak ada gunanya tetap di sana. Ia tak akan pernah membalasnya. Membalas pesan Aksana sama saja mendatangkan murka Pramudya. Gayatri tak ingin itu terjadi. Ditambah lagi, Gayatri menganggap sudah tak ada lagi cerita antara ia dan Aksana.

 “Semua sudah berakhir, Mas,” Bisiknya. Airmatanya menetes. Air mata yang ia benci karena membuatnya terlihat begitu lemah. Walaupun sebenarnya airmatalah yang selalu hadir menemaninya. Menemani hari-hari kelam dalam hidupnya.

 Dulu, setelah mengucap janji akan segera kembali, Aksana pergi. Membiarkan Gayatri menunggunya dari hari ke hari. Hingga tahun-tahun berganti, Aksana bagai ditelan Bumi. Tak ada kabar, apalah lagi menepati janji. Gayatri hanya bisa pasrah saat orangtuanya menerima pinangan Pramudya, seorang pemuda berada yang orangtuanya keturunan priyayi. Walau kemudian ternyata, pernikahan itu tak pernah berjalan seperti yang diharapkan Gayatri.

*** *** ***

♫♪ Ramadhan tiba, ramadhan tiba, ramadhan tiba
Marhaban yaa Ramadhan, Marhaban yaa Ramadhan ♪♫

Aksana tertegun mendengar alunan lagu yang lamat-lamat sampai di telinganya. Ia ingat, Antasena adik semata wayangnya dulu sering sekali menyanyikan lagu ini setiap kali Ramadhan datang menjelang. Sudah dekatkah Ramadhan ini?

Aksana mendekati kalender yang terpaku di  dinding dekat jendela kamar kontrakannya. Ah, rupanya Ramadhan memang akan segera tiba. Pantas saja. Aksana termenung, sebuah pemikiran tiba-tiba melintas di kepalanya. Apakah kali ini akan ia lewati seperti Ramadhan-Ramadhan sebelumnya? Sendiri tanpa sesiapa?

Entah kenapa tiba-tiba Aksana dilanda rindu. Ia merindukan suasana Ramadhan di kampungnya yang begitu meriah. Semua orang selalu bersuka cita menyambut Ramadhan. Anak-anak hingga orang dewasa selalu antusias pergi ke masjid malam hari. Salat tarawih, tadarus, memakmurkan masjid. Dan yang paling seru, untuk anak-anak dan para pemuda adalah saat  berkeliling desa untuk membangunkan orang sahur. Ah, menyenangkan, dan ia adalah bagian dari semua itu dulu.

Ada yang membuncah di relung hati Aksana. Lima ramadhan telah berlalu. Terbayang dalam benak Aksana wajah emak dan bapaknya. Lima tahun tak berjumpa. Lima tahun tanpa berita. Seperti apa mereka kini? Sehatkah? Lalu Antasena? Tentu dia sudah besar sekarang. Tak pernah berkabar bukan karena tak ingin. Tetapi ia malu. Sebab mimpinya belum lagi tergapai. Bahkan ia malah seperti ini kini. Malu pada keluarganya juga pada … Gayatri. Ah, Gayatri. Seperti apa dia kini? Marni bilang dia sudah menikah. Biarlah. Itu lebih baik untuknya.

 TOK, TOK, TOK!

 Pintu terbuka saat Aksana baru saja akan membuka mulut untuk bertanya siapa di luar.

 “Bro! Ngapain lu?” satu sosok tinggi kurus masuk tanpa melepas sepatunya. Langsung membaringkan diri di atas kasur yang terbentang di sisi ruangan.

 “Nggak ngapa-ngapain. Lagi suntuk aja gue.” Balas Aksana tanpa semangat.

 “Suntuk kenapa?”

 “Aah, nggak sih. Tiba-tiba aja gue keingetan sama ortu. Udah bertahun-tahun kan, gue gak balik kampung.”

 “Ahahahah … ngapa jadi melow banget sih lu? Kayak bukan laki aja.”

 “Auk ah! Emang lu gak pernah apa, ngerasa kangen sama keluarga lu? Pengen pulang. Pengen ngerasain lebaran di rumah lagi,”

 “Hah? Enggak tuh! Hahahah …”

 “Ah, dasar lu, anak durhaka.”

 “Ahahahah …Bodo amat! Eh, Bro! Kita operasi yuk.”

 “Lagi males gue.”

 “Ah, elu. Males lu piara. Ayolah, gua udah bokek berat ini. Kantong kosong kering kerontang. Katanya lu kangen ortu lu juga. Satu dua orang mangsa aja dah kalo lu males. Lumayan bisa buat ongkos lu mudik.

 Aksana termenung. Suasana lebaran di kampungnya terbayang lagi. Senyuman emak. Tawa ceria bapak dan adiknya melintas di pelupuk mata. Akhirnya Aksana mengangguk.

 “Iyalah, yuk!” Katanya kemudian. “Buat ongkos mudik,” katanya lagi dalam gumaman.

*** *** ***

. “Atri! Atri!”

 “Ya, Mas.” Tergopoh-gopoh Gayatri meninggalkan dapur.

 “Hih! Lama betul kalau dipanggil.” Pramudya menggerutu sambil menatap Gayatri masam. “Atri, dengar! Orangtuaku mau datang, mereka mau menginap agak lama. Mungkin berlebaran di sini.”

 “Oh? Tapi Mas bilang kemarin, kita yang akan pulang.”

 “Memangnya kenapa kalau orangtuaku yang datang berkunjung dan ikut berlebaran di sini? Hah? Kau nggak suka?”

 “Bukan, bukan begitu, Mas. Tapi …”

 “Sudah jangan banyak omong! Pergi ke pasar sana, beli semua persiapan untuk menyambut ibu bapakku. Masak makanan kesukaan mereka!”

*** *** ***

 Gayatri melajukan sepeda motornya perlahan. Di balik kaca helmnya, matanya berkaca-kaca. Bukan dia tak suka mertuanya datang berkunjung. Tetapi, beberapa hari lalu Pramudya sudah sepakat bahwa tahun ini mereka yang akan pulang kampung.

 Sudah empat tahun mereka tak pulang. Gayatri rindu orangtuanya di kampung sana. Beberapa waktu lalu ibunya menelpon agar Gayatri pulang menjelang Ramadhan, dan munggahan bersama mereka. Tapi kini, sepertinya niatan itu harus dikuburnya dalam-dalam.

 Tiba-tiba Gayatri dikejutkan dengan munculnya satu sepeda motor yang menjajari laju motor maticnya. Lama kelamaan motor yang ditumpangi dua lelaki berpakaian hitam dengan helm fullface itu memepetnya. Jantung Gayatri berdegup kencang. Begal?

 Konsentrasi Gayatri buyar. Motornya oleng lalu ia terjatuh. Satu lelaki berbadan kurus kerempeng turun menghampiri Gayatri yang masih terhimpit sepeda motornya sendiri. lelaki itu menarik tas yang masih terselempang di bahu Gayatri. Refleks Gayatri mempertahankan harta miliknya itu. Ia bahkan nekat berteriak-teriak minta tolong.

 Sejenak lelaki itu panik, ia mengayunkan tinjunya ke arah wajah Gayatri. Kaca depan helm lepas dan terpental. Bibir Gayatri pecah terkena bogem mentah. Gayatri masih juga menjerit-jerit. Lelaki ceking itu semakin panik dan emosi, ia mencabut sesuatu yang berkilat dari pinggangnya, mengayunkannya ke arah Gayatri. Belati. Benda itu menancap tepat di dada perempuan yang masih sempat menjerit sebelum rebah ke bumi.

 Darah bersimbah. Secepat kilat si ceking menarik lepas tas dari tangan Gayatri. Ia bergegas ke arah temannya yang pucat menyaksikan.

“Cabut, Bro!” kata si ceking, membuang tas Gayatri setelah mengambil isinya. Sebuah dompet dan ponsel.

“Dia, dia … mati?” tanya temannya. Suara lelaki itu bergetar.

“Gak tau. Cepetan cabut sebelum ada yang datang,”

  “Kenapa sampai lu abisin cewek itu?”

 “Cerewet lu, Bro! Buruan kabur!”

 Gemetar pria di atas motor itu melajukan kendaraannya meninggalkan Gayatri yang tergeletak entah hidup ataukah mati. Entah kenapa, perasaan lelaki itu jadi kacau. Sebelumnya, ia tak pernah benar-benar melukai korban-korbannya selama ini. Namun kini, melihat belati itu menancap di dada perempuan itu, hatinya  menjadi ngeri, juga cemas. Lalu wajah itu, dia seperti … pernah mengenalnya.

*** *** ***

 Suara adzan berkumandang, terdengar sayup-sayup di kejauhan. Mata Aksana terpejam. setetes air jatuh di sela-selanya. Bahunya bergetar. Ia tak pulang lagi Ramadhan ini. Namun bukan itu yang membuatnya menangis. Bayangan wajah seorang perempuan dengan ekspresi kesakitan itulah yang membuatnya terguncang. Ya, ia mengenali wajah itu sekarang. Wajah Gayatri.

 “Cepat menuju masjid! Tarawih berjamaah dan ada bimbingan rohani malam ini!” Suara teriakan sipir bergema di lorong-lorong bangsal tahanan. Sementara Aksana tenggelam dalam penyesalan.

****TAMAT****

PUISI RAKYAT (PUISI LAMA): PANTUN

      KOMPETENSI DASAR 3.9 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puis...