SECRET PROJECT
#cerpen Lily N. D. Madjid
BRAKKK!
Pintu ruang penghubung itu terbanting dengan keras. Dengan penuh rasa marah aku bergegas. Apa-apaan itu tadi? Jared bodoh! S*alan! Bisa-bisanya dia berbuat seperti itu? Mengabaikanku seolah-olah aku manusia tak kasat mata. Alih-alih menyapa dia malah asyik bercengkrama dengan yang lainnya. Dasar bodoh! Aku benci Jared.
Oke, oke! Itu memang hak dia untuk bergaul dengan siapa saja dalam pesta itu. Itu memang hak dia untuk melakukan apa pun yang dia suka. Terserah! Aku toh bukan siapa-siapanya. Dan aku memang tidak pernah berarti apa-apa bagi dirinya, 'kan?
Ya Tuhan, kenapa kenyataan itu bisa terasa begitu pahit?
Kuhempaskan tubuhku di bangku taman. Menarik napas dalam-dalam mencoba mengusir sesak yang menyeruak di dada. Ingar bingar suara musik dan canda tawa dari ruangan yang kutinggalkan menembus masuk hingga ambang pendengaranku. Samar, tetapi tetap terdengar.
Demi apa aku ada di sini?
Teringat percakapanku dengan Jared lewat telpon beberapa hari lalu.
"Kamu hadir ke acara launching lusa?" tanyanya waktu itu.
"Well, Bos Besar mengharapkan kita semua hadir bukan?" Aku menjawab sambil sibuk meredakan gemuruh di dada.
Begitulah bodohnya aku. Selalu seperti itu setiap kali berbicara dengan Jared. Padahal hanya bicara lewat telepon. Jangankan telepon, saat kami mengobrol lewat teks melalui aplikasi perpesanan pun hatiku seringkali bergetar dan seolah berdenyar. Ya, aku rasa aku memang gila, untuk semua yang berhubungan dengan Jared.
"Jadi, kau datang?"
"Ya. Kau?"
"Seperti yang tadi kau katakan, Bos Besar mengharapkan kita semua hadir di sana. Ini acara besar Laiyla. Dengan pesta yang juga besar. Kudengar media-media akan meliputnya."
"Ya. Project ini sudah lama digembar-gemborkan pada khalayak. Siapa yang tak ingin menyaksikan peluncurannya? Mereka pasti tak sabar ingin melihat bagaimana sebuah mobil terbang berbahan bakar air bekerja."
"Aku pun tak sabar."
"Tentu saja. Kau tim perancangnya, Jared. Tentu ingin menyaksikan bagaimana karyamu mendapat sambutan semua orang."
"No, Laiyl. Bukan itu."
"Lalu apa?"
"Aku tak sabar ... melihatmu berdiri anggun di pesta itu nanti."
Ya Tuhan! Bagaimana mungkin dia bisa berkata seperti itu tempo hari. Membuatku tak bisa tidur, dan gelisah menunggu datangnya malam ini, hanya untuk membuktikan ucapannya. Lalu menyaksikan kenyataan yang ada berbeda 180° dari bayanganku.
Jared pembohong!
Jangankan melihatku. Melirik saja tidak. Padahal beberapa kali aku berdiri di dekatnya. Beberapa kali ia berjalan melewatiku dengan senyum cerahnya. Namun, matanya terus menghindariku dengan menatap entah ke mana. Senyum yang yang nyaris terkembang di bibirku otomatis menguap, dan kubatalkan niat untuk menyapanya.
Aku benci Jared!
*** *** ***
"Laiyla?"
Satu suara mengejutkanku yang sedang berjalan melintasi koridor panjang menuju ruanganku. Aku berhenti. Di depan laboratorium workshop M031 terlihat siluet seseorang berdiri di bawah bayangan tiang penyangga bangunan.
Aku mendekat, siluet itu semakin jelas.
"Dr. Raymond?" tanyaku.
"Ck! Sudah kubilang panggil aku Zach." sosok itu berdecak sebal. Aku tersenyum.
"Sorry, Dr. Ray, eum ... Zach. Sedang apa di sini? Kenapa tidak bergabung di aula?"
"Kamu sendiri sedang apa di sini? Mengendap-endap sendiri dalam gelap?"
"No, Sir! Saya tidak mengendap-endap. Saya sedang menuju ruangan saya ta--"
"Ah, menghindari seseorang, kurasa. No, jangan menyangkal. Dengar, tak ada seorang gadis muda yang akan menyelinap keluar dari meriahnya pesta jika tidak sedang menghindar dari seseorang yang membuatnya patah hati. Hahaha ....!"
S*al! Kenapa Dr. zach Raymond bisa menebak dengan jitu?
"Anda sendiri sedang apa di sini? Mengapa tidak bergabung dalam pesta itu? Dan, hei--" aku terbelalak ketika menyadari kami ada di mana. "Laboratorium Workshop M031 tempat terlarang, bukan?" kataku sambil memelankan suara.
"Memang, tetapi tidak untukku. Aku sedang menyelesaikan sebuah projek. Mmm ... kebetulan sekali kita bertemu. Aku ... ah, masuklah dulu. Kita bicara di dalam." katanya.
Ia menggesekkan kartu pass di tangannya. Seketika pintu lab membuka. Dr. Raymond berbalik dan mengangguk padaku yang masih berdiri ragu.
"Jangan takut. Aku tak akan mencelakakanmu," katanya lalu melangkah masuk. Dengan antusias aku mengikutinya. Padahal tadinya aku hanya ingin menuju ruanganku dan menenangkan diri dari rasa marahku pada Jared. Tapi, ah, masa bodoh dengan Jared Witheart itu. LW M031 lebih menarik untukku. Sudah sejak lama aku penasaran, projek-projek besar apa lagi yang sedang disiapkan di dalamnya.
Jangan bayangkan LW M031 seperti Laboratorium workshop di kampus-kampus teknik atau apa. Tidak, ini jauh lebih hebat. Di dalamnya terdapat beberapa blok dan setiap blok berisi projek-projek berbeda. Projek-projek rahasia.
Zach membawaku ke salah satu blok. Di sana kami melewati satu pintu berpengaman ganda. Zach mendekati alat pemindai mata sebelum kembali menempelkan kartu passnya.
"Akses diterima."
Suara komputer bergema tepat sebelum pintu berdengung membuka. Aku memasuki ruangan luas di depanku dengan penuh rasa takjub. Berbagai perkakas modern dan mutakhir kulihat tersedia dalam ruangan ini. Aku menyentuhnya satu persatu. Norak sekali. Itu kusadari setelah melihat tatapan Zach yang setengah tersenyum melihat tingkahku.
"Hei, Zach! Ini hebat!"
"Memang. Tidak ada yang tidak hebat di LW M031, Laiyla. Ini laboratorium workshop tercanggih yang pernah ada di negeri ini. Tepatnya sih, tidak ada yang tidak hebat di SkyTech Enterprise." Zach berkata dengan bangga.
Ada. Jared Whitheart. Dia tidak hebat.
"Wah! Benarkah? Lalu ... mengapa kau membawaku ke sini?"
"Ah, ya. Itu hal penting yang akan kubicarakan denganmu."
Zach membuka sebuah kotak besi yang juga berpengaman ganda. Mengeluarkan sebuah berkas dari sana dan meletakannya di atas meja di hadapanku. Lagi-lagi aku terbelalak saat mengenali berkas itu.
"Zach! Ini cetak biru mesin teleportasi yang kubuat beberapa tahun lalu!" seruku heran.
Ya, jadi begini, aku merancang sebuah mesin teleportasi beberapa tahun lalu. Saat itu setiap pegawai baru di Skytech Enterprise diminta mengajukan sebuah rancangan inovatif. Aku sudah meneliti tentang kemungkinan-kemungkinan pembuatan mesin teleportasi sejak masih menjadi mahasiswa di kampusku dulu.
Rancanganku dinilai baik oleh Bos Besar. Aku ingat, ia memujiku sebagai seorang yang cerdas. Tetapi itu saja tidak cukup. Katanya masih jauh hingga kita dapat mewujudkan sebuah mesin teleportasi menjadi nyata.
Ah, aku benci dengan segala basa-basi itu. Dengan kata lain ia menganggap karyaku sebagai khayalan semata 'kan? Padahal aku sudah menjelaskannya dengan rinci, menyertakan perhitungan-perhitungan fisikanya dengan lengkap dan gamblang. Tidak mustahil untuk merealisasikannya.
Ia tetap tidak menerima saat kukemukakan semua pemaparan tentang projek itu. Alih-alih menerima, ia malah menyanggahnya dan mematahkan semua argumenku.
"Kita hidup dalam realita, Miss Soeninta. Bukan sains fiksi semata. Dan realita bagi kita adalah bisnis. Nah, cobalah rancang sesuatu yang inovatif dan layak jual."
Layak jual katanya? Apa dia tidak tahu jika mesin teleportasi bisa menjadi tambang emas jika kami merealisasikannya. Dan INI bukan hanya sekedar sains fiksi semata seperti yang ia katakan.
"Sedang mengenang masa lalu, Laiyl?" Suara Zach Raymond membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum pahit.
"Semacam itulah," kataku. Apakah lelaki paruh baya di depanku ini seorang pembaca pikiran atau apa? Sudah dua kali dia menebak isi kepalaku dengan jitu.
"Fokuslah. Karena aku membawa kabar gembira untukmu." Zach tersenyum lebar.
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu menarik sebuah kursi di seberangku. Ia duduk, lalu mulai membentangkan berkas-berkas itu di hadapanku. Aku rasa dia akan memberi kabar yang benar-benar hebat. Jadi, aku berdiam diri, siap-siap menerima kabar besar itu.
"Dengar," katanya dengan suara yang sengaja dibuat sedramatis mungkin. Aku sudah mempelajari cetak biru yang kau buat. Bahkan sudah melakukan riset ulang sebenarnya. Kupikir ...." Zach sengaja memenggal kalimatnya. Menatapku sambil tersenyum.
"Apa? Cepat katakan!" kataku. Zach masih tersenyum. "Dr. Raymond, please, jangan membuatku penasaran."
"Hahaha! Tidak sabaran.” Ia terkekeh. Tawanya bahkan semakin keras saat melihatku memutar mata. “Sabar, Nak. Jadi, kupikir tidak mustahil untuk merealisasikan projek ini,” katanya. Aku nyaris melompat kegiranagan. Untung saja aku bisa menahan diri. Namun, tak urung Zach terbahak menertawakanku.
“Zach? Benarkah? Jadi kau akan membuat sebuah mesin teleportasi?”
“Aku? Tentu tidak.”
“Ah! Tapi kau bilang—“
“Kau, Miss. Kau yang akan membuatnya. Aku sudah membicarakan ini dengan Salvatore.”
“Apa? Benarkah?”
"Kenapa? Kau tidak mau? Kalau begitu biar kuserahkan projek ini pada Jared Witheart. Dia ppemuda yang sangat berbakat.”
“Tidak.” Aku menggeram. “Aku mau, tentu saja, tapi, benarkah kau sudah membicarakannya dengan Bos Besar? Maksudku, Mr. Borsellino?”
“Tentu saja.”
“Apa katanya? Bukankah dulu dia menolak gagasan ini mentah-memntah?”
"Tentu saja Salvatore setuju. Aku sudah membujuknya. Aku tahu Laiyla, projek ini projek besar. Pasti akan sukses besar. Dan kamu, Laiyl, kamu yang akan membawakan kesuksesan itu untuk SkyTech Enterprise.”
(bersambung hingga part 2 saja)
BandungBarat, 16 Juni 2020